Penerjemahan
buku-buku Yunani pada masa Daulah Abbasiyah ke dalam bahasa Arab membawa
revolusi pemikiran dan keilmuan dalam dunia Islam. Munculnya kesadaran ilmiah
sehingga mendorong berbagai penemuan dan kajian-kajian keilmuwan dalam berbagai
bidang adalah salah satu akibat dari penerjemahan ini. Selain itu masuk juga ke
dalam khazanah keilmuan Islam, ilmu Filsafat Yunani, bahkan ia menjadi satu
cabang ilmu yang banyak dipelajari oleh para cendekiawan muslim. Sejak saat
itulah ilmu filsafat menjadi satu metode tersendiri dalam memahami berbagai
sendi syariat Islam, termasuk dalam penafsiran Al-Qur’an. Hasilnya adalah
muncul ilmu tafsir falsafi yaitu penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan
pendekatan filsafat.
Tafsir
falsafi menurut Quraisy Shihab adalah upaya penafsiran Al Qur’an dikaitkan
dengan persoalan-persoalan filsafat.[1]
Dengan kata lain bahwa Tafsir falsafi adalah tafsir yang didominasi oleh
teori-teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang mendefisnisikan tafsir
falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori
filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat Al Qur’an dapat ditafsirkan dengan
menggunakan filsafat. Muhammad Husain al-Dzahabi mendefinisikan tafsir falsafi
yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan
falsafi, seperti tafsir bi al-ra`y. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi
sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi
ayat.[2]
Pendekatan
yang digunakan dalam tafsir falsafi adalah penggunaan akal yang lebih dominan
sehingga ayat-ayat yang ada dipahami dengan rasio mufasir sendiri. Menanggapi
hal ini umat Islam terbagi menjadi dua kelompok, pertama golongan yang menolak
dan yang menerima corak tafsir ini.
Kelompok
Pertama, mereka yang menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku
karangan para filosof. Mereka menolaknya karena menganggap bahwa antara
filsafat dan agama adalah dua bidang ilmu yang saling bertentangan sehingga
tidak mungkin disatukan.
Kelompok
Kedua, mereka yang mengagumi filsafat. Mereka menekuni dan menerima
filsafat selama tidak bertentangan dengan norma-norma Islam. Mereka berusaha
memadukan filsafat dan agama serta menghilangkan pertentangan yang terjadi di
antara keduanya.[3]
Sebagaimana
disebutkan sebelumnya bahwa karakter dari corak tafsir falsafi adalah
penggunaan ilmu filsafat sebagai penafsir Al-Qur’an. Cara yang ditempuh adalah
dengan mena’wil teks-teks agama dan hakikat hukumnya yang sesuai dengan
pandangan-pandangan filsosofi. Ini berarti bahwa pemaknaan teks Al-Qur’an
tunduk kepada pandangan filosof. Selain itu juga menggunakan metode pensyarahan
teks-teks agama dan hakikat hukumnya berdasarkan pandangan-pandangan filosof.[4]
Di
dalam corak tafsir ini, berbagai aliran filsafat menjadi variabel penting di
dalam menafsirkan al-Quran. Pengertian filsafat tidak hanya membahas tentang metode
berfirkir saja, melainkan lebih dari itu filsafat telah menjadi disiplin ilmu
yang membicarakan persoalan hubungan manusia dengan Tuhan dan keberadaan Tuhan.
Ranah
nuansa tafisr filsafat adalah mengungkap pandangan al-Quran secara komprehensif
tentang keyakinan dan sistem teologi. Namun, proses yang dilakukan bukan dalam
rangka pemihakan terhadap madzhab tertentu, yang sudah terbangun mapan dalam
sejarah, tetapi lebih pada upaya menggali secara serius bagaimana al-Quran
berbicara dalam soal-soal teologis itu dengan melacak tema-tema pokok, serta
konteks-konteks di mana terma itu dipakai al-Quran.
Muhammad
Husain al-Dzahabi menyebutkan bahwa sebenarnya tidak ditemukan adanya ahli
filsafat muslim yang menulis tafsir Al-Qur’an secara lengkap. Yang ada hanyalah
pendapat-pendapat dari tokoh-tokoh mereka yang menafsirkan Al-Qur’an secara
terpisah dan dikemukakan dalam buku-buku filsafat karangan mereka.[5]
Beberapa
pendapat para filosof muslim dalam menafsirkan Al-Qur’an dapat dilihat dalam
karya Al-Farabi, Ikhwanus Shafa dan Ibnu Sina. Al-Farabi menulis Fushus
al-Hikam yang memuat beberapa penafsirannya terhadap ayat-ayat Al-Qur’an
dengan pendekatan filosofis. Salah satunya adalah penafsirannya terhadap surat
Al-Hadid ayat 3, Allah ta’ala berfirman :
هُوَ
ٱلْأَوَّلُ وَٱلْءَاخِرُ وَٱلظَّٰهِرُ وَٱلْبَاطِنُ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَىْءٍ
عَلِيمٌ
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin;
dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Penafsiran
Al-Farabi terhadap ayat ini bercorak platonik, yakni penafsiran Plato tentang
kekekalan alam. Oleh karena itu Al-Farabi menafsirkan kepemulaan Allah dari
segi bahwa segala yang ada dan mengakibatkan adanya yang lain, itu semua adalah
berasal dariNya. Allah adalah yang pertama dari segi adaNya. Ia yang pertama
dari setiap waktu yang keberadaanya bergantung padaNya. Telah ada waktu ketika
tidak ada sesuatu selain dariNya.[6]
Berkenaan dengan lanjutan ayat ini yaitu pada kalimat “وَٱلظَّٰهِرُ وَٱلْبَاطِنُ” artinya “Dia Yang Maha Dhahir dan Maha Bathin”, Al-Farabi
menafsirkan dengan menyatakan bahwa Tidak ada wujud yang lebih sempurna selain
dari wujudNya, tidak ada yang tersembunyi kekurangan wujudNya dan Dia ada pada dzat
yang Dhahir, dan tidak pantas muncul pada yang batin. DenganNya nampak segala
sesuatu yang dhahir seperti matahari, dan nampak segala sesuatu yang
tersembunyi dari persembunyiannya.
Beberpa
ulama menolak model tafsir falsafi, mereka beralasan bahwa corak ini tidak
sesuai dengan riwayat-riwayat yang datang dari Nabi Muhammad Shalallahu
Alaihi Wasalam, di antara ulama yang menolak hal ini adalah Fakru Razi
dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib. Demikian juga pendapat dari al-Dzahabi dalam
kitabnya yang menukil pendapat al-Ghazali dan beberapa kelompok fuqaha
lainnya.
[1] Quraisy Syihab dkk, Sejarah dan
Ulum Al Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1999, hlm. 182
[2] Muhammad Husein al-Dzahabi, Kitâb al-Tafsîr wa al-Mufassirûn,
Dar al-Fikr, Beirut, 1995, Jilid I, hlm. 419
[3]
Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, Bandung : Pustaka Setia, tahun 2008 hal.
169-170
[4]
Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah : Bandung : PT Remaja Rosda Karya, tahun
2000, hal. 15.
[5]
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wal Mufasirun, Juz II, hal. 309
[6]
Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah, hal. 16. Lihat pula Muhammad Husain
Al-Dzahabi, At-Tafsir Wa Al-Mufasirun, Juz II hal.
310
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...