Oleh : Abdurrahman MBP
Tafsir
Fiqhi adalah corak tafsir yang menggali hukum,-hukum di dalam ayat-ayat
Al-Qur’an yang mengandung hukum-hukum taklifi. Corak ini memusatkan perhatian
pada ayat-ayat yang secara eksplisit dan implicit mengandung hukum-hukum fiqh
Islam. Fiqh dalam bahasa Arab (ﻓﻘﻪ)
adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas
persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan
pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya.
Sebagaimana
mafhum bahwa Al-Qur’an adalah kitabullah yang mengandung hukum-hukum
syariat yang diturunkan kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam. Di
antara hukum-hukum syariat tersebut adalah hukum-hukum yang berhubungan dengan
ibadah dan muamalah, kedua ruang lingkup hidup tersebut saat ini dikenal dengan
istilah fiqh. Pada masa Rasulullah masih hidup, setiap muncul permasalahan keagamaan
(fiqh) akan langsung disampaikan kepada beliau, selain itu juga pemahaman para
shahabat terhadap bahasa Arab menjadikan permasalahan yang muncul tidak banyak.
Namun
setelah beliau wafat permasalahan yang berkenaan dengan hukum-hukum fiqh Islam
bermunculan, walaupun ada ijma bahwa segala sesuatu dikemablikan kepada Al-Quran
dan Al-Hadits, namun beberapa permasalahan sering kali tidak ditemukan pada
keduanya. Dari sinilah muncul tantangan baru bagaimana memahami fiqh Islam
dengan pendekatan yang lain, yaitu keahlian mujtahid untuk menggali hukum-hukum
dari Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam dan kepada sunnah RasulNya.[1] Pendekatan
yang dilakukan ini disebut dengan ijtihad, yaitu upaya untuk menggali
hukum-hukum dari Al-Qur’an dan Al-hadits dengan kekuatan akal dan hati.
Karena
ijtihad menjadi jalan keluar maka bermunculanlah para ulama yang berijtihad
sesuai dengan ilmu yang dimilikinya. Sehingga bermunculanlah berbagai pendapat
yang berbeda. Perbedaan sendiri telah terjadi sejak pada masa para sahabat Nabi.
Situasi ini terus berkembang hingga munculnya empat ulama madzhab yang menjadi
patokan umum dalam mengambil keputusan hukum oleh sebagian umat Islam. Mereka
adalah Imam Hanafi, Imam Syafi’i, imam Maliki. Sedangkan dalam kalangan Syi’ah
terdapat juga madzhab yang dikenal dengan Zaidiyyah dan Imamiyah.[2] Dengan
berkembangnya pendapat-pendapat madzhab tersebut maka berkembang pula corak
penafsiran yang sesuai dengan madzhabnya masing-masing. Sehingga muncul tafsir
Al-Qur’an dengan corak fiqhi madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hanbali. Pada
kalangan syiah juga muncul penafsiran yang sesuai dengan keyakinan mereka,
Karakteristik
dari tafsir fiqhi adalah memfokuskan perhatian kepada aspek hukum fiqh. Karena
itu para mufasir corak fiqhi akan selalu menafsirkan setiap ayat Al-Qur’an yang
dihubungkan dengan persoalan hukum Islam. Para mufasir akan panjang lebar
menafsirkan ayat-ayat ahkam, yaitu ayat-ayat yang berhubungan dengan
hukum Islam dalam Al-Qur’an. Terkadang mufasir hanya menafsirkan ayat-ayat
tertentu saja mengenai satu tema yang sama, maka dalam hal ini tafsir fiqhi
secara metodik adalah tafsir maudhu’i.[3]
Sebagaimana
disebutkan sebelumnya bahwa tafsir fiqhi terbagi menjadi corak tafsir yang
sesuai dengan madzhab penulisnya masing-masing, beberapa dari kitab tafsir
tersebut adalah :
1. Ahkamul Qur’an karya al Jashash yang diklaim sebagai
bentuk kerangka istimbath Imam Hanafi
2. Ahkamul Qur’an karya Kayya al Harasy sebagai refresentasi
Imam Asy Syafi’i,
3. Ahkamul Qur’an karya Ibn ‘Arabi yang mewakili Fiqh Imam Maliki,
4. Jamiu Li Ahkam Qur’an karya Abi Abdillah al Qurtuby yang
mewakili Fiqh Imam Maliki
5. Kanzu al ‘Irfan fi Fiqh Quran karya Miqdad as Saiwary
yang mewakili Imamiyah.
6. Ats-Tsamarat Yaani’ah wa al Ahkam Wadhihah al Qaathi’ah
karya Yusuf ats Tsalai yang mewakili Zaidiyyah.
Corak
dari tafsir fiqhi ini terus mengalami perkembangan hingga saat ini, sikap
fanatik madzhab yang dulu sangat kental sudah mengalami penurunan hingga
beberapa penulis tafsir modern terutama yang berkonsentrasi pada tafsir
ahkam tidak lagi menonjolkan madzhab dan kelompoknya. Di antara contoh
ayat-ayat hukum di dalam Al-Qur’an adalah surat al-Baqarah: 124 tentang iddah :
وَٱلَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَٰجًۭا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ
أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍۢ وَعَشْرًۭا
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya
(beridah) empat bulan sepuluh hari.
Ayat ini
menunjukan bahwa masa iddah seorang perempuan yang ditinggal wafat oleh
suaminya adalah empat bulan sepuluh hari, namun jika ia dalam keadaan hamil
maka iddahnya hanya sampai ia melahirkan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam
ayat lainnya :
وَأُو۟لَٰتُ
ٱلْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.
Penafsiran
kedua ayat ini menggunakan corak tafsir fiqhi yaitu membahas tentang hukum yang
berkaitan dengan iddahnya seorang wanita yang dicerai, baik karena suaminya
meninggal dunia atau karena thalaq. Demikian juga ayat-ayat tentang waris,
pernikahan, zakat, shalat, puasa. Haji dan permaaslahan fiqh lainnya.
[1]
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufasirun, hal. 319.
[2] Gus Arifin & Suhendri Abu Faqih, Al-Qur’an
Sang Mahkota Cahaya, Jakarta : Elex
Media Komputindo, tahun 2010, hal. 79
[3]
Shalahudin Hamid, Studi Ulumul Qur’an, Jakarta “ Intimedia, tahun
2002, hal. 332.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...