Oleh : Abdurrahman
Al-Qur’an
adalah sumber hukum utama dalam Islam, ia adalah wahyu Allah ta’ala yang diturunkan
melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihih Wasalam.
Sebagai sumber hukum Islam, maka Al-Qur’an harus dipahami oleh seluruh umat
Islam. Namun tidak semua orang bisa memahaminya dengan benar, bisa karena
kekurangan akalnya atau keterbatasan ilmu yang dimilikinya.
Maka,
untuk memudahkan dalam memahami Al-Qur’an, para ulama merumuskan suatu ilmu
yang menjadi alat untuk memahaminya, ilmu tersebut adalah ilmu Tafsir. Dengan
ilmu tafsir akan diketahui apakah suatu ayat bermakna ‘am atau khas,
tekstual atau kontekstual serta pemahaman ayat lainnya. Secara sederhana tafsir
adalah penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an, merincinya dan mengambil hukum darinya.
Pada
masa Rasulullah penafsiran Al-Qur’an dilakukan langsung oleh beliau, sehingga
setiap ada ayat yang tidak dipahami oleh para shahabat maka langsung ditanyakan
kepada Rasulullah. Inilah salah satu dari tugas beliau yaitu menjelaskan
ayat-ayat Al-Qur’an, sebagaimana kalamNya yang mulia:
بِٱلْبَيِّنَٰتِ
وَٱلزُّبُرِ ۗ وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا
نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
… keterangan-keterangan
(mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami
turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan. QS An-Nahl : 44.
Ayat ini menjadi dalil bagi tugas
Rasulullah yaitu menjelaskan Al-Qur’an kepada seluruh umat manusia.
Hadits-hadits yang menyebutkan beliau memberikan penafsiran berbagai ayat
Al-Qur’an yang tidak dipahami oleh para shahabat sangat banyak jumlahnya, diantaranya
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Uqbah
bin ‘Amir berkata : “Saya mendengar Rasulullah
berkhutbah di atas mimbar membaca firman Allah ta’ala : وأعدوا لهم
ما استطعتم من قوة
kemudian Rasulullah bersabda :
ألا إن القوة الرمي
“Ketahuilah bahwa
kekuatan itu pada memanah”.
Demikian
juga hadits Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim Rasulullah
bersabda tentang Al-Kautsar adalah
sungai yang Allah janjikan kepadaku (nanti) di surga.
Selanjutnya
setelah Rasulullah wafat maka setiap pertanyaan yang muncul tentang makna ayat
Al-Qur’an segera ditanyakan kepada beberapa shahabat Nabi semisal Abdullah bin
Abbas, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab dan beberapa shahabat
lainnya. Para shahabat adalah orang-orang yang sangat memahami makna Al-Qur’an,
karena ayat-ayat tersebut turun ketika mereka berada di sekitarnya. Bahkan
beberapa ayat merupakan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada
Nabi, misalnya kalamNya:
يَسْـَٔلُونَكَ
عَنِ ٱلْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِىَ مَوَٰقِيتُ لِلنَّاسِ وَٱلْحَجِّ
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah:
"Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah)
haji. QS Al-Baqarah: 189.
Dalam ayat
ini sangat jelas sekali bahwa orang-orang yang bertanya dalam ayat ini adalah
para shahabat Nabi. Sehingga penafsiran mereka tidak diragukan lagi. Periode
berikutnya setelah para shahabat wafat, maka murid-murid mereka menggantikan
posisi sebagai mufasir, di antara mereka adalah:
1.
Said
bin Jubair dan Mujahid bin Jabr di Makkah, keduanya berguru kepada Abdullah Ibnu
'Abbas.
2.
Muhammad
bin Ka'ab dan Zaid bin Aslam di Madinah, keduanya
berguru kepada Ubay bin Ka'ab.
3.
Al-Hasan
Al-Bashriy dan Amir Al-Sya'bi di Irak berguru kepada 'Abdullah bin Mas'ud.
Setelah
berakhirnya tiga periode ini maka penafsiran Al-Qur’an dilanjutkan oleh
generasi sesudahnya. Namun karena perkembangan zaman yang terus berubah,
menyebarnya Islam ke seluruh penjuru dunia dan munculnya berbagai persoalan
baru yang belum pernah muncul pada masa sebelumnya maka penafsiran Al-Qur’an
mengalami berbagai perkembangan. Hal ini disebabkan kontak budaya antara Islam
dengan budaya lainnya.
Perkembangan
tafsir ada yang bersifat positif dan ada juga yang negatif. Perkembangan yang
bersifat positif misalnya pentadwinan ilmu Tafsir yaitu penulisan secara sistematis
ilmu tafsir dan tafsir-tafsir Al-Qur’an. Sedangkan perkembangan yang negative
adalah penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan yang memalingkan
makna sebenarnya dari Al-Qur’an, dalam hal ini penafsiran tersebut bertentangan
dengan riwayat-riwayat yang telah shahih dari Rasulullah.
Jika pada periode
awal penafsiran Al-Qur’an lebih banyak menggunakan riwayat-riwayat yang berasal
dari Rasulullah dan para shahabatnya, maka periode setelahnya bermunculan tafsir
Al-Qur’an dengan penggunaan akal dan rasio secara berlebihan. Metode yang
digunakan oleh mereka dikenal dalam ilmu tafsir dengan metode tafsir bil
ra’yi yaitu penafsiran dengan menggunakan akal dalam bentuk ijtihad yang
dilakukan oleh para mufasir.
Pada periode
inilah corak tafsir berkembang dengan pesat sehingga bermunculan berbagai corak
tafsir, di antara berbagai corak tafsir yang berkembang tersebut adalah corak
Tafsir Falsafi, Tafsir Sufi, Tafsir Mu’tazili, Tafsir Syi’i dan Tafsir
Ijtima’i. Dari segi metodologi berkembang pula metode tafsir Maudhu’i (tematik)
yaitu penafsiran Al-Qur’an dengan mendasarkan pada satu tema utama. Contoh
corak tafsir seperti ini misalnya Tafsir
Tarbawi, Tafsir Fiqhi/hukmi, Tafsir Ilmi, Tafsir I’tiqadi dan beberapa corak lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...