Ole : Abdurrahman
Pengertian ‘Urf
Secara etimologi kata العرف (al-‘urf)
berasal dari Fi’il (kata kerja) عرف (‘arafa) yang berarti mengetahui.
Bentuk derivatif dari kata ini adalah al-ma’ruf yang berarti segala
sesuatu yang sesuai dengan adat (kepantasan).
Sedangkan secara terminology العرف (al-‘urf)
adalah kebiasaan kebanyakan masyarakat, baik dalam perkataan maupun
perbuatan yang dilakukan secara terus menerus dan diakui sebagai sesuatu yang
baik di masyarakat. Al-Jurjani
di dalam kamus al-Ta‘rifat, menyebutkan bahwa ‘Urf adalah perbuatan atau kepercayaan yang
dipegang teguh oleh sebagian besar anggota masyarakat dan mereka menerimanya
sebagai suatu kebenaran. Al-Ghazali mendefinisikan adat atau ‘urf dengan sesuatu
yang telah diakui oleh jiwa manusia yang dapat diterima oleh akal fikiran
manusia serta dapat diterima oleh akal sehat dan seluruh masyarakat muslim yang
tidak bertentangan dengan syara’. Ibnu Faris di dalam kamusnya menyatakan bahwa
kata arafa dan arfun menunjukkan sesuatu yang berkesinambungan
berhubungan satu dengan lainnya atau membawa ketenangan dan ketentraman. Dalam
penggunaannya kalimat Urf lebih mencerminkan kepada kedua makna tersebut yaitu
bersifat kontinyu dan berhubungan satu dengan lainnya. An-Nasafi (710 H) menyebutan
bahwa Urf adalah sesuatu yang menetap dalam jiwa yang akal menerimanya dan
sesuai dengan tabiat yang masih bersih.
Dari beberapa definisi tersebut
terkandung beberapa segi bahwa urf selalu sejalan dengan tabiat yang masih bersih
sehingga jiwa merasa tenang yakni:
a. Dalam
prosesnya urf membutuhkan waktu sehingga menjadi kebiasaan yang tetap dan jiwa
menjadi terbiasa dengan sesuatu tersebut.
b. Dibenarkan
oleh akal dan tidak bertentangan dengan ukuran-ukuran kebenaran dalam sebuah
komunitas.
Jadi menetap dan diterimanya
sesuatu tersebut karena seringnya dilakukan dan meluasnya dalam suatu
komunitas. Ketika sesuatu yang menetap pada jiwa tersebut tidak memenuhi
syarat-syarat di atas, misalnya terjadi hanya pada orang tertentu atau belum
menjadi sesuatu yang familiar dalam prilaku atau akal tidak membenarkan seperti
kebiasaan minum-minuman keras perilaku jahat dan seterusnya itu semuanya tidak
termasuk urf.
Dalam definisi yang lain
ditambahkan syarat kesesuaiannya dengan syariah seperti yang kemukakan oleh
Ibnu Athiyah bahwa “Urf adalah segala sesuatu yang familiar pada jiwa manusia
dan tidak bertentangan dengan syariah”. Definisi sejenis juga dikemukakan Ibnu
Dhofar (565 H) bahwa Urf adalah sesuatu yang menurut akal dibenarkan dan
ditetapkan oleh syariah.
Dalam dua definisi tersebut
mengangkat syarat kesesuaian dengan syariah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan. Jika dilihat dari kronologisnya maka definisi ini merupakan
definisi yang belum dikenal sebelumnya oleh karena itu muallif kitab Asar
Al-Urf memberikan definisi yang lebih luas yaitu bahwa urf adalah sesuatu yang
menetap pada jiwa manusia yang dibenarkan oleh akal sehat dan diterima oleh
tabiat yang masih bersih dan bersifat turun-menurun yang tidak bertentangan
dengan syariah.
Pada masa-masa selanjutnya ‘Urf secara umum digunakan dengan makna
tradisi, yang tentu saja meliputi tradisi baik (al-urf al-shahih) dan
tradisi buruk (al-‘urf al-fasid). Dalam konteks ini, al-ma’ruf
bermakna segala sesuatu yang sesuai dengan tradisi yang baik. Arti “baik”
disini adalah sesuai dengan tuntunan wahyu. Kalimat al-ammr bi al-ma’ruf
berarti memerintahkan sesama manusia untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai
yang pantas menurut suatu masyarakat, yang tidak bertentangan dengan
nilai-nilai wahyu.
Nilai-nilai yang pantas
menurut suatu masyarakat merupakan manifestasi hati-hati nurani masyarakat
tersebut dalam konteks kondisi lingkungan yang melingkupi masyarakat tersebut.
Kondisi lingkungan yang berbeda pada masyarakat yang berbeda akan menyebabkan
variasi pada nilai-nilai kepantasan yang dianut. Karena itu, tradisi pada suatu
masyarakat bisa berbeda dengan tradisi pada masyarakat yang lain.
Sebagai sebuah contoh,
apabila Al-Qur’an menyatakan “wa ‘asyiru hunna bi al-ma’ruf (…dan
pergaulilah isteri-isteri kalian secara ma’ruf)” maka yang dimaksud adalah
tuntutan kepada para suami untuk memperlakukan isteri-isteri mereka sesuai
dengan nilai-nilai kepantasan yang berlaku dalam masyarakat, yang mana
nilai-nilai itu bisa jadi berbeda dengan yang ada pada masyarakat lainnya.
Namun perlu diingat bahwa nilai-nilai kepantasan itu tidak boleh bertentangan
dengan nilai-nilai syariat Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...