Oleh: Syawaluddin
Nasution
Pendahuluan
Dalam persoalan
perubahan hukum ini dua hal peran hukum, dimana dalam perannya hokum
menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat adanya perubahan social (social
change) dalam hal ini hokum berperan pasif, kemudian Sejauhmana hokum berperan
untuk menggerakkan masyarakat menuju suatu perubahan yang terencana Hukum
berperan aktif. Disini fungsi hukum sebagai a tool of social engineering/alat
rekayasa masyarakat.
Dalam hokum islam
status hukum sudah jelas dan tegas yang dinyatakan secara eksplisit dalam al-Qur’an
dan al-Hadis, tidak akan menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat Islam.
Akan tetapi, terhadap persoalan-persoalan baru yang belum jelas status hukumnya
dalam kedua sumber itu, menuntut para Ulama untuk memberi solusi dan jawaban
yang cepat dan tepat agar hukum Islam menjadi responsif dan dinamis yang dapat
menyesuaikan diri dengan kedadaan.
Di sinilah letak
strategisnya posisi ijtihad sebagai instrumen untuk melakukan ‘social
engineering’. Hukum Islam akan berperan secara nyata dan fungsional kalau
ijtihad ditempatkan secara proporsional dalam mengantisipasi dinamika sosial
dengan berbagai kompleksitas persoalan yang ditimbulkannya.
Perubahan Hokum Dalam
Kajian Barat
Hukum Menyesuaikan Diri
Terhadap Perubahan Masyarakat
Hugo Sinzheimer
menjelaskan bahwa;
“Wanneer er tusschen
recht en leven tegenstellingen bestaan, dan komen ersteeds krachten in beweging
om deze op te fheffen. Dan begint een tijdperk, waarin nieuw recht
onstaat....”[1]
Perubahan hukum
senantiasa dirasakan perlu dimulai sejak adanya kesenjangan antara
keadaan-keadaan, peristiwa-peristiwa, serta hubungan-hubungan dalam masyarakat,
dengan hukum yang mengaturnya. Bagaimanapun kaidah hukum tidak mungkin kita
lepaskan dari hal-hal yang diaturnya, sehingga ketika hal-hal yang seyogianya
diaturnya tadi telah berubah sedemikian rupa, tentu saja dituntut perubahan
hukum untuk menyesuaikan diri agar hukum masih efektif dalam pengaturannya, hal
ini sesuai dengan aliran Sociological Jurisprudence sebagaimana yang sebutkan
oleh Roscoe Pound, Eugen Ehrilich, Benyamin Cardozo, Kartoriwics, Gurvitch dan
lain-lain, mereka mengatakan bahwa hokum yang baik adalah hokum yang sesuai
dengan hukujm yang hidup di dalam masyarakat.[2]
Kesenjangan yang dimaksud sebagai sumber
yang membutuhkan adanya perubahan hukum, adalah terhadap perubahan pada
kaidah-kaidah masyarakat. Sedangkan perubahan pada jenis pertama dan kedua
belum memaksa hukum untuk segera melakukan penyesuaian terhadapnya.
Dalam keadaan yang telah mendesak,
perundang-undangan memang harus disesuaikan dengan perubahan masyarakat. Apakah ciri yang menandai adanya kesenjangan
antara hukum dan peristiwa yang seyogianya diaturnya, sehingga mendesak untuk
diadakan perubahan hukum? Ciri atau tanda itu menurut Dror
“adalah ditandaidengan
tingkah laku warga masyarakat yang tidak lagi merasakan kewajiban-kewajiban
yang dituntut oleh hukum, sebagai sesuatu yang harus dijalankan”[3]
Jadi terdapat kesenjangan yang membedakan
antara tanggapan hukum di satu pihak dan masyarakat di pihak lain mengenai
perbuatan yang seyogianya dilakukan. Jadi “das sollen” sudah berbeda jauh dari pada “das sein”.
Hukum bertujuan untuk mengkordinir
aktivitas-aktivitas warga masyarakat di mana aktivitas-aktivitas itu senantiasa
berubah sesuai dengan perubahan masyarakat. karena itu hukum merasa
berkewajiban turut campur secara lebih serius dan langsung dalam wujud
kaidah-kaidah hukum.
Dari contoh kasus
konkrit di atas, ternyatalah bahwa efektif atau tidaknya hukum, tidak
semata-mata ditentukan oleh peraurannya, tetapi juga dukungan dari beberapa
institusi yang berada di sekililingnya, seperti faktor manusianya, faktor
kultur hukumnya, faktor ekonomi, dan sebagainya.
Agaknya sulit terwujud
hukum yang baik dengan pelaksanaan yang baik, jika hukum itu sekadar hasil
transfer belaka, tanpa memperhitungkan faktor-faktor non hukum.
Hukum Membawa
Masyarakat Berubah (a tool of social engineering)
Kalau dia atas yang
kita bicarakan adalah bagaimana hukum menyesuaikan diri dengan perubahan
masyarakat, maka kini kita akan membahas segi kedua dari persoalan perubahan
yakni bagaimana hukum menjadi faktor penggerak ke arah perubahan masyarakat.
Inilah yang biasa dinamakan : law is a tool of social engineering.
Yang mula-mula memperkenalkan konsep hukum
sebagai alat rekayasasosial adalah Roscoe Pound, Bapak Ilmu Hukum Sosiologis dalam tulisannya:
Scope and Purposes of Sociological
Jurisprudence, yang mengemukakan butir-butir penting yang harus diketahui dan
diterapkan oleh seorang juris yang berfaham sosiologis.
Meskipun kenyataan positif dari hasil
digunaknnya hukujm sebagai “a tool of social engineering” telah banyak diakui
baik dari kalangan hukum sendiri maupun dari kalangan ilmu-ilmu sosial, namun
tetap masih ada segelintir pakar yang tidak mau mengakui fungsi perekayasaan
hukum ini. Seperti yang dikemukakan oleh
sebagaimana diuraikan oleh satjipto Rahardjo. ” Bahwa penemuan di bidang
teknologi merupakan penggerak perubahan sosial, sebab penemuan yang demikian
itu menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan yang berantai sifatnya.[4]
Sifat yang terakhir
disebut ini bisa dijelaskan sebagai berikut. Pertama terjadi suatu penemuan
baru di bidang teknologi. Di tempat
kedua menyusullah kegiatan ekonomi. Di sini orang mulai memikirkan pemanfaatan
ekonomis apa yang dapat dipetik dari penemuan itu. Baru kemudian hukum masuk,
apabila kedua kegiatan yang disebutkan di atas telah dijalankan. Dengan
demikian hukum diterima sebagai struktur atas yang mempunyai basisnya pada
bidang teknologi dan ekonomi yang oleh karena itu hanyalah merupakan kelanjutan
dari kejadian-kejadian pada bidang tersebut”
Tentu hal ini dapat
diterima jika dikatakan bahwa hukum hanyalah alat yang menggerakkan perubahan
secara tidak langsung. Contohnya, pertumbuhan penduduk yang sudah tiba pada
tingkat yang membahayakan, tidak dapat ditekan secara langsung oleh hukum.
Dalam hal ini, adalah mustahil jika hukum mengeluarkan peraturan untuk membunuh
sebagian penduduk agar pertumbuhan penduduk teratasi. Hukum di sini hanya
mungkin menekan pertambahan penduduk secara tidak langsung melalui ketentuan
tentang jumlah anak yang ditanggung negara bagi pegawai negeri dan ABRI serta
perturan-peraturan hukum lainnya yang berkaitan dengan program Keluarga
Berencana.
Faktor-Faktor Pengubah
Hukum
Perubahan hokum dapat
disebabkan beberapa aspek yaitu : Aspek politik yang dapat dipengaruhi oleh
penguasa,orsospol, ormas, LSM. Kemudian aspek budaya yang bisa disebabkan
perubahan nilai dalam masyarakat, stratifikasi atau juga disebabkan adanhya
kontak budaya. paktor pengubah hokum juga dapat disebabkan aspek ekonomi,
seperti perdagangan bebas, perjanjian ekonomi, arbitrase, traktat dan
lain-lain. Kemudian aspek ilmu
pengetauan dan teknologi dengan berobahnya gaya hidup, kejahatan tingkat
tinggi. Juga dapat disebabkan aspek pendidikan
Sementara cara pengubah hukum adalah
- Fiction seperti pembuatan defenisi
atau rekayasa
- Equity atau kesetaraan
- Legislation atau berdasarkan penetapan
hukum
Perubahan Hokum Dalam
Perspektif Hokum Islam
Dalam kajian hokum
Islam pengaruh-pengaruh unsur perubahan dapat menimbulkan perubahan-perubahan
sosial dalam sistem pemikiran Islam, termasuk di dalamnya pembaruan hukum
Islam. Pada dasarnya pembaruan pemikiran hukum Islam hanya mengangkat aspek
lokalitas dan temporalitas ajaran Islam, tanpa mengabaikan aspek universalitas
dan keabadian hukum Islam itu sendiri. Tanpa adanya upaya pembaruan hukum Islam
akan menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam memasyarakatkan hukum Islam
khususnya dan ajaran Islam pada umumnya.[5]
Mengingat hukum Islam
merupakan salah satu bagian ajaran agama yang penting, maka perlu ditegaskan
aspek mana yang mengalami perubahan (wilayah ijtihadiyah). Disini dapat
ditegaskan bahwa agama dalam
pengertiannya sebagai wahyu Tuhan tidak berubah, tetapi pemikiran manusia
tentang ajarannya, terutama dalam hubungannya dengan penerapan di dalam dan
di tengah-tengah masyarakat, mungkin
berubah. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perubahan dimaksud bukanlah
perubahan secara tekstual, tetapi secara kontekstual.
Perkembangan dunia yang
semakin maju disertai dengan era globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang pesat dalam beberapa bidang kehidupan masyarakat, seperti
medis, hukum, sosial serta ekonomi telah membawa pengaruh yang besar, termasuk
persoalan-persoalan hukum.[6] Masyarakat Islam sebagai suatu bagian yang tidak
terpisahkan dari dunia, tidak dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan
yang menyangkut kedudukan hukum suatu persoalan.
Masyarakat dengan berbagai
dinamika yang ada menuntut adanya perubahan sosial, dan setiap perubahan sosial
pada umumnya meniscayakan adanya perubahan sistem nilai dan hukum. Marx Weber
dan Emile Durkheim menyatakan bahwa “hukum merupakan refleksi dari solidaritas
yang ada dalam masyarakat”. Senada dengan Marx Weber dan Durkheim, Arnold M.
Rose mengemukakan teori umum tentang perubahan sosial hubungannya dengan
perubahan hukum. Menurutnya, perubahan hukum itu akan dipengaruhi oleh tiga
faktor; pertama, adanya komulasi progresif dari penemuan-penemuan di bidang
teknologi; kedua, adanya kontak atau konflik antarkehidupan masyarakat; dan
ketiga, adanya gerakan sosial (social movement).[7] Menurut teori-teori di
atas, jelaslah bahwa hukum lebih merupakan akibat dari pada faktor-faktor
penyebab terjadinya perubahan sosial.
Pengaruh-pengaruh unsur
perubahan di atas dapat menimbulkan perubahan-perubahan sosial dalam sistem
pemikiran Islam, termasuk di dalamnya pembaruan hukum Islam.
Pada dasarnya pembaruan
pemikiran hukum Islam hanya mengangkat aspek lokalitas dan temporalitas ajaran
Islam, tanpa mengabaikan aspek universalitas dan keabadian hukum Islam itu
sendiri. Namun pada kenyataannya tanpa adanya upaya pembaruan hukum Islam akan
menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam memasyarakatkan hukum Islam khususnya dan
ajaran Islam pada umumnya.3
Untuk mengawal hukum
Islam tetap dinamis, responsif dan punya adaptabilitas yang tinggi terhadap
tuntutan perubahan, adalah dengan cara menghidupkan dan menggairahkan kembali
semangat berijtihad di kalangan umat Islam. Pada posisi ini ijtihad merupakan
metode bagi lahirnya perubahan untuk mengawal cita-cita universalitas Islam
sebagai sistem ajaran yang shalihun li kulli zaman wal makan.
Umat Islam menyadari
sepenuhnya bahwa sumber-sumber hukum normatif–tekstual sangatlah terbatas
jumlahnya, sementara kasus-kasus baru di bidang hukum tidak terbatas jumlahnya.
Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayat al-Mujtahid menyatakan bahwa:
“Persoalan-persoalan kehidupan masyarakat tidak terbatas jumlahnya, sementara
jumlah nash (baik al-Qur’an dan al-Hadis), jumlahnya terbatas. Oleh karena itu,
mustahil sesuatu yang terbatas jumlahnyabisa menghadapi sesuatu yang tidak
terbatas.[8]
Semangat atau pesan
moral yang bisa kita pahami dari pernyataan Ibnu Rusyd di atas adalah anjuran
untuk melakukan ijtihad terhadap kasus-kasus hukum baru yang tidak secara
eksplisit dijelaskan sumber hukumnya dalam nash. Dengan demikian, Ijtihad
merupakan satu-satunya jalan untuk mendinamisir ajaran Islam sesuai dengan
tuntutan perubahan zaman dengan berbagai kompleksitas persoalannya yang
memasuki seluruh dimensi kehidupan manusia.
Islam meyakini
perubahan sebagai suatu realitas yang tidak bisa diingkari. Islam juga memberi
posisi yang paling tepat demi memudahkan semua hal untuk berubah secara shahih
dan aman. Agama berjalan bersama beriringan dengan lajunya kehidupan. Tugas
agama adalah mengawal perubahan secara benar untuk kemaslahatan hidup manusia.9
Di sinilah sesungguhnya tugas seorang cendekiawan muslim untuk merumuskan
pendekatan dan metodologi yang tepat sesuai dengan konteks yang melingkupinya
agar agama menjadi fungsional dan bisa membumi.
Dalam hukum Islam,
perubahan sosial budaya dan letak geografis menjadi variabel penting yang ikut
mempengaruhi adanya perubahan hukum. Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyatakan bahwa
“perubahan hukum adalah dikarenakan perubahan zaman, tempat, keadaan, dan
kebiasaan”[9] Dalam kaidah fiqh lainnya disebutkan “hukum itu berputar bersama
illatnya (alasan hukum)dalam mewujudkan dan meniadakan hukum”[10]
Salah satu bukti
konkret betapa faktor lingkungan sosial budaya berpengaruh terhadap hukum Islam
adalah munculnya dua pendapat Imam Syafi’i yang dikenal dengan qaul qadim dan
qaul jadid. Pendapat lama (qaul qadim) adalah pendapat hukum Imam Syafi’i ketika
beliau berada di Mesir.[11] Perbedaan pendapat hukum dalam masalah yang sama
dari seorang Mujtahid Imam Syafi’i jelas disebabkan faktor struktur sosial,
budaya, letak geografis yang berada antara daerah Iraq (Baghdad) dan Mesir
Dalam konteks historis,
pemikiran bidang hukum Islam sesungguhnya memperlihatkan kekuatan yang dinamis
dan kreatif dalam mengantisipasi setiap perubahan dan persoalan-persoalan baru.
Hal ini dapat dilihat dari munculnya sejumlah madzhab hukum yang memiliki corak
sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang sisio-kultural dan politik di mana
madzhab itu tumbuh dan berkembang. Warisan monumental yang sampai sekarang
masih memperlihatkan akurasi dan relevansinya adalah kerangka metodologi
penggalian hukum yang mereka ciptakan.
Dengan perangkat
metodologi tersebut, segala permasalahan bisa didekati dan dicari legalitas
hukumnya dengan metode qiyas, maslahah al-mursalah, istihsan, istishab, dan
‘urf.[12] Dalam posisi demikian, hukum Islam akan berfungsi sebagai rekayasa
sosial (social engineering) untuk melakukan perubahan dalam masyarakat
Akan tetapi, untuk
melakukan upaya pembaruan pemikiran hukum Islam bukanlah hal yang udah, karena
masyarakat banyak yang terpuaskan dengan mazhab yang mereka anut, sehingga
sulit untuk menerima pemikiran lain diluar yang diyakininya.
Oleh karena itulah
diperlukan beberapa syarat; pertama, adanya tingkat pendidikan yang tinggi dan
keterbukaan dari masyarakat muslim; kedua, hukum Islam (fiqh) harus dipandang
sebagai variasi suatu keragaman yang bersifat partikular yang selalu dibatasi
oleh dimensi ruang dan waktu; ketiga, memahami faktor sosio–kultural dan
setting politik yang melatarbelakangi lahirnya suatu produk hukum agar dapat
memahami partikularisme dari pemikiran hukum tersebut; keempat, mengorientasikan
istinbat hukum dari aspek qaulan (materi hukum) kepada aspek manhajan (kerangka
metodologis). Di samping itu, perlu juga memahami pemikiran hukum yang tidak
dibatasi sekat-sekat madzhab. Keterbatasan alternatif yang dibingkai dengan
sekat madzhab akan menghasilkan produk pemikiran yang rigid (kaku) dan akan
mempersulit upaya pembaruan hukum Islam itu sendir
Dalam Islam juga
dikenal istilah doktrin siasah, yaitu bagaimana seperngkat peraturan yang
dibuat oleh penguasa, atau juga dikarenakan kondisi sosial yang membuat berlaku
tidaknya hokum (doktrin takhayyur), kemudian perkembangan seiring dengan adanya
peristiwa baru (tatbiq), kiemudian bisa juga disebabkan adanya pembaharuan
dibidang hokum Islam (tajdid).
Penutup
Perubahan hokum jika
dilihat dari dua persi yang berbeda yaitu persi barat dan juga hukum Islam,
sama-sama disebabkan adanya perubahan social, baik dari segi politik, ekonomi,
budaya, maupun ilmu pengetahuan, karena hokum tumbuh dalam masyarakat maka
hokum harus sesuai dengan hokum yang yang hidup dan tumbuh di dalam masyarakaT.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad.
Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum. Jakarta: Yarsif Watampone., 1996
Ali, Zainudin, Filsafat
Hukum, Jakarta: Grafika, 2006
Arifin, Syamsul. dkk,
Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan. Yogyakarta: Sipress, 1996
Azhar, Muhammad, Fiqh
Kontemporer Dalam Pandangan Neomodernisme Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996
Hasan, A. Pintu Ijtihad
Sebelum Tertutup. Bandung: PT al-Ma’arif, 1994
al-Jauziyah, Ibn
Qayyim, I’lam al-Muawaqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin. Beirut: Daar al-Fikr, TT
Muzdhar, M. Atho’,
Membaca Gelombang Ijtihad antara Tradisi dan Liberasi. Yogyakarta: Titian Ilahi
Press, 1998
Lili Rasjidi dan Ira
Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hokum, Bandung: Citra Adtya
Bakti, 2007
Rusyd, Ibn, Bidayat
al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (Indonesia: Daar al-Kutub al-Arabiyyah, TT
ash-Shiddiqie, Hasbi,
Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1993
Soerjono Soekanto,
Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994
Soesanto, Astrid S.
Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Jakarta: Binacipta,1985
Yahya, Mukhtar dan
Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam. Bandung: PT Al-Ma’arif,
1996
az-Zarqa, Musthafa
Muhammad, Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Studi Komparatif Delapan Mazhab)
Terj. Ade Dedi Rohayana. Jakarta: Rineka Cipta, 2000
[1] Achmad Ali,
Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum. (Jakarta: Yarsif Watampone., 1996).
H.203
[2] Lili Rasjidi dan
Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hokum, Bandung: Citra Adtya
Bakti, 2007), h. 66 lihat juga Zainudin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta: Grafika,
2006), h. 61
[3] Ibid. h.,204
[4] Ibid, h. 215
[5] Muhammad Azhar,
Fiqh Kontemporer Dalam Pandangan Neomodernisme Islam (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), hal. 59-60
[6] Musthafa Muhammad
az-Zarqa, Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Studi Komparatif Delapan Mazhab)
Terj. Ade Dedi Rohayana (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal. 45
[7] Soerjono Soekanto,
Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), hal. 96.
Lihat pula, Astrid S. Soesanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial
(Jakarta:Binacipta,1985), hal. 157-158
[8] Ibn Rusyd, Bidayat
al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (Indonesia: Daar al-Kutub al-Arabiyyah,
TT),
hal. 2
[9] Ibn Qayyim
al-Jauziyah, I’lam al-Muawaqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin (Bairut: Daar al-Fikr,
TT), hal. 14. Lihat pula, Hasbi ash-Shiddiqie, Falsafah Hukum Islam (Jakarta:
Bulan Bintang, 1993), hal. 444
[10] Mukhtar Yahya dan
Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam (Bandung: PT Al-Ma’arif,
1996), hal. 550
[11] M. Atho’ Muzdhar,
Membaca Gelombang Ijtihad antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi
Press, 1998), hal. 107. Lihat pula, A. Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup
(Bandung: PT al-Ma’arif, 1994).
[12] Syamsul Arifin,
dkk, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan (Yogyakarta: Sipress, 1996),
hal. 72-73