Oleh:
Abdurrahman
Iman kepada takdir baik
dan buruk adalah salah satu dari rukun iman dalam Islam, sehingga setiap muslim
wajib meyakini takdir tersebut. Keimanan ini tercermin dalam kehidupan
sehari-hari yaitu perilaku dalam menyikapi setiap hal yang menimpa dirinya dan
juga menimpa orang lain di sekitarnya. Jika hal-hal yang baik itu yang menimpa
kita tentu kita akan berbahagia, namun jika ada hal yang terasa berat berubah
musibah, atau ketidakberuntungan maka rasa sesak seringkali muncul dalam dada. Maksudnya
adalah seolah-olahmusibah atau ketidakberuntngan itu adalah bencana yang
menyusahkan manusia.
Demikian pula jika
dalam sebuah kesempatan yang sama ternyata orang lain mendapatkan sesuatu yang
lebih dari kita, atau seseorang mendapatkan sesuatu sementara kita yang
memiliki kesempatan yang sama dengan orang tersebut ternyata tidak bisa
mendapatkannya. Sebagai contoh konkrit jika kita dan seorang teman sedang
berjalan ke suatu tempat untuk mendapatkan sesuatu. Dengan kompetensi yang sama
dan kesempatan yang sama ternyata kita tidak bisa mendapatkan sesuatu tersebut
sementara teman itu mendapatkannya. Maka apa yang ada dalam diri kita? Jawaban normatifnya
adalah itu sudah menjadi rizqinya. Terlalu sederhana jika hal tersebut adalah
jawabannya, tentu saja jika tidak ada hal lain yang mempengaruhinya. Berikutnya
terindikasi bahwa teman kita tersebut melakukan hal-hal yang sifatnya curang
dalam mendapatkan sesuatu tersebut. Apa yang ada dalam pikiran kita? Tidak suka
padanya? Meyakini bahwa itu adalah juga rizqinya? Atau kita menyalahkan diri
kita yang tidak bisa mendapatkan sesuatu tersebut?
Seperti telah
disebutkan sebelumnya bahwa rizqi Allah itu sudah dibagi-bagikan kepada semua
hambaNya tanpa sedikitpun salah. Hal ini berarti bahwa walaupun teman yang
mendapatkan sesuatu tersebut dengan cara yang curang, berbohong dan hal-hal
lainnya maka tetap saja itu memang sudah menjadi takdirnya. Kecurangan,
tindakan dia yang berbohong dan segala hal salah yang ia lakukan akan menjadi “dosa”
baginya. Demikian pula karena kita tidak bisa mendapatkan sesuatu itu maka itu
adalah bukan rizqi kita. Keyakinan ini harus terpatri dalam jiwa sehingga kita
tidak lagi merasa bahwa Allah tidak memberikan sesuatu pada kita. Karena ada
banyak sesuatu lain yang telah ditetapkan bagi kita. Lantas, bagaimana dengan
usaha manusia, Apakah ia berkontirbusi dengan rizqi yang ia dapatkan? Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...