KAIDAH–KAIDAH
LUGHAWIYAH
DALAM
MEMAHAMI SUMBER HUKUM ISLAM
Oleh
: Turmudi
NIM : 06 EKNI 1023
- Pendahuluan
Nash-nash al Quran dan Hadis adalah berbahasa Arab,
untuk memahami hukum dari kedua nash tersebut secara sempurna lagi benar
tentunya haruslah memperhatikan pemakaian uslub-uslub (gaya bahasa) bahasa Arab dan cara penunjukan
lafadz nash kepada artinya. Oleh karena itu para ulama ahli Ushul Fiqh
mengarahkan perhatiannya kepada penelitian terhadap uslub-uslub dan
ibarat-ibarat bahasa Arab yang lazim dipergunakan oleh sastrawan-sastrawan Arab
dalam menggubah syair dan menyusun prosa.
Dari kajian itu, para ulama Ushul Fiqh menyusun
kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipergunakan untuk memahami
nash-nash syari’at secara benar sesuai dengan pemahaman orang Arab itu sendiri,
yang mana nash-nash itu diturunkan dalam bahasa mereka.
Ulama tersebut dalam pembahasannya memulai dari
makna-makna dari suatu lafadz, karena lafadz-lafadz itu dalam bahasa adalah
diciptakan untuk menyatakan makna-makna tertentu. Mereka membagi lafadz dalam
hubungannya dengan makna kepada beberapa bagian.
Ditinjau dari segi makna yang diciptakan untuk lafadz
itu dibagi menjadi 3 bagian yaitu : Khash, Amm dan Musytarak. Ditinjau dari
segi makna yang dipakai untuknya lafadz itu dibagi menjadi 4 bagian yaitu :
Hakikat, Majaz, Sharih dan Kinayah. Ditinjau dari terang dan tersembunyinya
makna, maka lafadz itu dibagi menjadi 2 bagian yaitu : Dhahir dan Khafi.
Sedangkan ditinjau dari cara-cara penunjukan lafadz kepada makna menurut
kehendak pembicara, lafadz itu dibagi menjadi 4 bagian yaitu : Dalalah ibarat,
Dalalah isyarat, Dalalah dalalah dan Dalalah iqtidha’.[1]
Namun dalam makalah ini hanya akan membahas hubungan
lafadz dengan makna ditinjau dari segi makna yang diciptakan untuknya, yaitu :
Khash, Amm dan Musytarak.
- Khash :
a.
Arti dan Hukum Lafadz Khash
Arti lafadz Khash adalah lafadz yang diciptakan untuk
memberi pengertian satu satuan yang tertentu, baik menunuk pada pribadi
seseorang, menunjuk macam sesuatu, menunjuk jenis sesuatu, menunjuk benda
kongkrit, menunjuk benda yang abstrak atau penunjukan arti kepada satu satuan
itu secara hakiki, atau secara I’tibari ( lafadz yang diciptakan untuk memberi
pengertian banyak yang terbatas) seperti : tsalatsatun, mi’atun, jam’un dan fariqun.
Adapun hukum lafadz khash dalam nash syara’ adalah
menunjuk kepada dalalah qath’iyah terhadap makna khusus yang dimaksud, dan
hukum yang ditunjuknya adalah qath’I bukan zhanni, selama tidak ada dalil yang
memalingkannya kepada makna lain.
Contoh hukum lafadz tersebut adalah :
فمن لم يجد فصيام ثلا ثة ايام فىالحج ……tetapi
jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu)Maka wajib berpuasa
tiga hari dalam masa haji..(Qs.al Baqarah 196)
قلنا
يانار كونى بردا وسلاما على ابراهيم
فى كل اربعين شاة
شاة
Dan selain itu diantara dalil-dalil yang berhubungan dan tidak terpisah
dari nash al ‘Am, yang paling jelas adalah istisna’(pengecualian),syarat,sifat
dan al goyah.[2],artinya
bahwa mukhashish ini tidak dapat berdiri sendiri sehingga maknanya berhubungan
dengan sebelumnya (muttashil). Contohnya dalam al Qur’an adalah sebagai berikut
:
الا ان تكون تجارة
حا ضرة تد يرونها بينكم فليس عليكم جناح ان لا تكتبوها
…kecuali jika muamalah
itu perdagangan tunai yang kami jalankan
Diantara kamu, maka tak
ada dosa lagi bagi kamu jika kamu tidak
Menulisnya ( Q.s al
Baqarah 282)
واذا ضربتم فى الارض فليس عليكم جناح ان تقصروا من الصلواة ان حفتم انيتنكم
الذ ين كفروا.
Dan apabila kamu
bepergian di muka bumi maka tidaklah mengapa
Kamu mengkosorkan shalat
mu jika kamu takut diserang orang kafir
( Q.s an Nisa’ 101)
من
نسا ئكم اللا تى دخلتم بهن
…Dari isterimu yang
telah kamu campuri (Q.s an Nisa’ 23 )
وايد يكم الى المرا
فق
… dan tanganmu sampai dengan siku (Q.s. al Maidah 6)
Lafadz Khash itu kadang datang secara mutlak,
tanpa diikuti oleh suatu syarat apapun, dan kadang muqayyad yakni
dibatasi dengan suatu syarat. Kadang juga datang dengan shighat (bentuk) amr
yakni tuntutan untuk dilakukan suatuy
perbuatan, dan juga terkadang dengan shighat nahi yang melarang
mengerjakan suatu perbuatan.[3]
Pengertian lafadz khash yang mutlak adalah lafadz khash yang tidak
diberi qayyid (pembatasan) yang berupa lafadz yang dapat mempersempit keluasan
artinya, contoh :
فتحر ير رقبة من
قبل ان يتما سا
….Maka
wajib atasnya memerdekakan seorang budak
Sebelum
kedua isteri itu bercampur ….(Q.s al Mujadalah 3)
Sedangkan pengertian lafadz khash yang muqayyad
adalah lafadz khash yang diberi qayyid yang berupa lafadz yang dapat
mempersempit keluasan artinya, contoh :
ومن قتل مؤمنا خطا
فتحرير رقبة مؤمنة ودية مسلمة الى اهله
…Dan
barang siapa membunuh seorang mukmin karena salah hendaklah
Ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman dan membayar
Diyah
yang diserahkan kepada keluarganya ( Q.s an Nisa’ 92)
Adapun lafadz khash yang berbentuk Amr adalah
dipergunakan oleh orang lebih tinggi kedudukannya untuk menuntut kepada orang
yang lebih rendah derajatnya agar melakukan suatu perbuatan. Bentuk-bentuk
lafadz amar itu adalah fi’il amr, fi’il mudhri’ yang dimasuki lam amr, sesuatu
yang diperlakukan sebagai fi’il amr dan jumlah khabariyah yang diartikan selaku
jumlah insyaiyah (kalimat yang mengandung tuntutan)dan ushlub yang dipakai oleh
al Qur’an dalam menuntut untuk melakukan suatu perbuatan.[4]Contoh
adalah sebagai berikut :
ولتكن
منكم امة يد عون الى الخير وياء مرون بالمعروف وينهون عن المنكر والئك هم المفلحون
يا
ايها الذ ين امنوا عليكم انفسكم لا يضر كم من ضل اذا هتد يتم
والمطلقات
يتر بصن با نفسهن ثلا ثة قروء
ان
الله ياء مركم ان تؤ دوا الاما نات الى اهلها
علمنا ما فر ضنا عليهم فى ازوا جهم
Sedangkan lafadz khash yang berbentuk nahi (larangan)
adalah digunakan untuk menuntut agar meninggalkan suatu perbuatan.
Bentuk-bentuknya adalah fi’il mudhari’ yang disertai la nahiyyah, jumlah
khabariyah yang diartikan selaku jumlah –insyaiyyah dan ushlub yang dipakai
dalam menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan.
Contohnya adalah sebagai berikut :
لا تفسدوا فى الا رض
ولا يحل لكم ان تاء خذ وا مما اتيتمو هن
شياء
ولا تقربوا ما ل اليتيم الا با لتى هى ا حسن
3.‘Am :
Arti al ‘am secara terminologi adalah suatu lafadz
yang maknanya meliputi satuan-satuan yang berhubungan dengan makna itu tanpa
batas.[5]
Contoh lafadz itu :
الزا نية والزانى فا جلد وا كل وا حد منهما ما
ئة جلد ة
والسا رق والسا رقة فا قطعوا ايد يهما
Sedangkan menurut bahasa berarti menunjukkan atas
mencakup dan menghabiskan semua satuan-satuan yang ada di dalam lafadz itu
dengan tanpa menghitung ukuran tertentu dari satuan-satuan itu. Maka lafadz كل عقد (setiap akad) di dalam pendapat ahli hukum
Islam yang berbunyi “ untuk sahnya setiap akad disyaratkan sifat keahlian
(kecakapan,cakap bertindak) dari pada orang-orang yang melakukan akad” sehingga
lafadz ‘am yang menunjukkan atas tercakupnya segala sesuatu yang bisa dikatakan
akad dengan tanpa membatasi pada kad tertentu.
Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa keumuman itu
adalah termasuk sifat lafadz, karena keumuman itu merupakan dalalah lafadz atas
mencakupnya kepada semua satuan-satuannya.
3.1.Jenis-Jenis Bentuk Lafadz ‘Am
Jenis dan ragam lafadz ‘am adalah
- Lafadz متى اين
ما من contoh dalam al qur’an adalah :
و ما تنفقوا من خير يو ف اليكم و
انتم لا تظلمون
ان يعمل سو ءا يجز به
- lafadz اى كل contoh dalam al Qur’an adalah :
كل نفس ذائقة الموت
ايا ما تد عوا فله الا سماء الحسنى
-
Lafadz jama’ yang dita’rifkan
dengan ‘idhafah atau dengan alif lam jinsiyah,contoh:
للر جال نصيب مما ترك الوالدان والاقربون
وللنساء نصيب مما ترك الوالدان والاقربون
-
Isim mufrad yang dita’rifkan
dengan alif lam jinsiyah, isim-isim maushul seperti dalam contoh :
واحل الله البيع وحرم الربا
والذين يتو ؤون منكم ويذ رون ازواجا
ىتربصن با نفسهن اربعة اشهر وعشر
واللائ يءسن منالمحيض من نسا ئكم ان
ارتبتم فعد تهن ثلا ثة اشهر
-
Isim-isim istifham dan isim
nakirah, seperti dalam contoh :
قا لوا من فعل هذا با لهتنا
ما ذا ارادالله بهذا مثلا
لا هجرة بعد الفتح
3.2.Macam-Macam al ‘Am :
Ditinjau dari penggunaannya, lafadz ‘am ada 4 (empat) macam
yaitu :
1.
‘Am yuradu bihi ‘amm ( yang
benar-benar dimaksudkan untuk umum) yaitu yang disertai qarinah yang
menghilangkan kemungkinan untuk dikhususkan, contoh :
وما من دابة فى الارض الاعلى الله رز
قها وجعلنا من الماء كل شيء حى
2.
‘Amm Yuradu bihi Khusus ( ‘amm tapi yang dimaksudkan adalah
khusus), yaitu ‘amm yang disertai qarinah yang menghilangkan arti umumnya dan
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘amm itu adalah sebagian dari satuannya,
contohnya :
و لله على الناس حج البيت
3.
‘Amm Makhsush (‘Amm yang khusus untuk ‘amm),
yaitu ‘amm yang mutlak, artinya ‘amm yang tidak disertai
qarinah yang menghilangkan kemungkinan dikhususkan dan tidak disertai pula
qarinah yang menghilangkan keumumannya. Nash-nash yang didatangkan dengan
sighat umum tidak disertai qarinah, sekalipun qarinah lafdziah, akliyah dan
‘urfiyah yang menyatakan keumumannya atau kekhususannya. Contoh pada lafadz al
Muthallaqa tu ini :
والمطلقات يتربصن
بانفسهن ثلاثة قروء
4. Qashrul ‘Amm (mempersempit arti ‘amm) yaitu
dipersempit perluasan artinya kepada sebagian satuannya dengan salah satu
dari 4 hal yaitu :
a.
Kalam mustaqil munfasil (kalimat
sempurna yang berdiri sendiri tetapi terpisah
dengan kalimat yang pertama) contoh :
والذين يرمون المخصنات ثم لم ياء توا باربعية شهداء فاجلدوا هم ثمانين
جلدة
b.
Kalam mustaqil muttashil (kalimat
sempurna yang berdiri sendiri tetapi kalimat itu masih bersambung) contoh:
فمن شهد منكم الشهر فليصمه ومن كان مريضا او على سفر فعدة من ايام اخر
c.
kalam ghair mustaqil (kalimat yang
tidak berdiri sendiri atau kalimat tidak sempurna)
d.
Maa laisa bikalam ( bukan berupa
kalimat), contoh :
قل الله خا لق كل شيئ
تد مركل شيئ بامره
واتوا حقه يوم حصاده
4. Musytarak
4.1.Pengertian
Musytarak
Musytarak menurut bahasa berarti sesuatu yang dipersekutukan
adapun maknanya menurut istilah (term) adalah :
اللفض المو ضو عة لحققيقتين مختلفتين
او اكثر
“ lafadz yang diciptakan
untuk dua hakikat (makna) atau lebih yang kontradiksi”
Sehingga perbedannya dengan lafadz Amm atau khash, bahwa amm
adalah lafadz yang diciptakan untuk satu makna dan makna yang satu itu mencakup
satuan-satuan makna yang tidak terbatas meskipun dalam kenyatannya dapat
terbatas, khash adalah lafadz yang diciptakan untuk satu satuan dari
satuan-satuan yang terandung dalam suatu makna.
Adapun musytarak adalah dicipta untuk beberapa makna yang
penunjukannya kepada makna itu dengan cara pergantian.[6]Contohnya
seperti lafadz ‘ain (عين ) yang
secara bahasa mempunyai makna-makna antara lain : mata untuk melihat, mata air
dan mata-mata begitupun juga dengan lafadz quru’ (قر ء) yang
secara bahasa juga mempunyai makna lebih dari satu yaitu : suci dan
menstruasi(haid) seperti :
و المطلقت يتر بصن با نفسهن ثلثت قرو ء
4.2.Sebab
– Sebab Timbulnya Lafadz Musytarak
Yang
menyebabkan lafadz itu menjadi musytarak antara lain adalah :
1.
Lafadz itu digunakan oleh satu
suku dengan suku yang lain berbeda maknanya dan kemudian sampai kepada kita
dengan kedua makna itu tanpa ada keterangan dari hal p[erbedaan yang dimaksud
oleh penciptanya. Misalnya lafadz “ yad” satu kabilah memaknai dengan hasta
seluruhnya tapi yang lain adalah telapak tangan sampai siku atau telapak tangan
saja.
2.
lafadz itu diciptakan menurut
hakikatnya untuk satu makna kemudia dipakai pula kepada makna lain tetapi
secara majazi (kiasan)
3.
Lafadz itu semula diciptakan untuk
satu makna kemudian dipindahkan kepada istilah syar’I untuk arti yang lain.[7]
4.3. Hukum
Lafadz Musytarak
Apabila terdapat persekutuan arti
lafadz musytarak pada suatu nash syar’i itu terjadi antara makna lughawi dengan
makna ishtilahi syar’i maka hendaklah diambil makna menurut istilah syar’i.
Misalnya lafadz “ shalat” yang menurut bahasa diartikan dengan do’a dan menurut
syara’ diartikan ibadah yang sudah tertentu itu, maka dalam hal ini hendaklah
diartikan menurut arti istilah syar’i.
Dan apabila persekutuan arti lafadz musytarak pada suatu nash
syar’i itu terjadi antara beberapa makna lughawi, maka seseorang wajiblah
berijtihat untuk menentukan arti yang dimaksud, sebab syari’ tidak menghendaki
seluruh arti lafadz musytarak melainkan salah satu arti dari beberapa arti yang
banyak itu. Dalam hal ini mujtahid harus sanggup menunjukkan qarinah atau dalil
yang dapat menentukan arti yang dikehendaki.[8]
Jika tidak ada qarinah yang menunjukkan kepada arti yang
dimaksud, maka para ulama berlainan pendapat dalam menentukan arti yang
dikehendaki :
a.
Menurut ulama hanafiyah dan
sebagian Syafi’iyah, lafadz musytarak itu tidak dapat digunakan untuk seluruh
arti yang banyak itu dalam satu pemakaian. Andai kata dimaksud untuk arti
keseluruhan, lafadz itu disebut ‘amm,
bukan musytarak lagi dan bukan pula majaz
b.
Menurut jumhur ulama aliran
Syafi’iyah dan sebagian Mu’tazilah, bila tidak ada qarinah yang menunjukkan
kepada arti yang dikehendaki, maka lafadz musytarak itu hendaklah diartikan
kepada seluruh artinya, selagi arti-arti itu dapat digabungkan. Seperti dalam
Q.S al Hujjaj 18 :
ا لم ترا ان الله
يسجد له من في السموات و من في لارض
Lafadz “yasjudu” dalam ayat tersebut adalah musytarak artinya
antara makna “meletakkan dahi diatas tanah” dengan “ketundukan pada sunnah
Allah”. Arti keduanya memang dikehendaki, sebab kalau diartikan menurut arti
yang pertama saja tentu perbuatan itu tidak bisa dijalankan oleh benda-benda
yang tidak berakal dan bukan pula diartikan menurut arti yang kedua saja, sebab
tentu tidak layaklah dikhitabkan Tuhan.
5. Penutup.
Demikian makalah yang serba singkat ini, pemakalah menyadari
bahwa makalah ini jauh dari sempurna maka masukan dan respon dari kawan-kawan
adalah hal yang saya harapkan untuk menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qattan, Mana’ : Mubahits fi “ulumul Qur’an;
Mansyuratul ‘asharil Hadist, Beirut ,
tt.
Farid, Miftah dan Agus Syihabuddin : al Qur’an Sumber
Hukum Islam Yang Pertama, Bandung ,
Pustaka tahun 1989.
Khallaf, Abdul Wahab : al Ilmu Ushul al Fiqh, terj.
Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fikih), cet III, Jakarta , Raja Grafindo Persada tahun 1994.
Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman, Dasar-dasar
Pembinaan Hukum Fikih Islam, Cet III, Bandung, al Ma’arif tahun 1993.
[1]Mukhtar
Yahya dan Fatchurrahman : Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami,(Bandung , al Ma’arif) cet
ke 3 Tahun 1993.h. 178-180
[2]Abdul
Wahab Khallaf : Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul fiqh), terj, Ilmu
Ushulul Fiqh (Jakarta, Raja Grafondo Persada 1993) cet ke 3 h. 310
[3]Yahya
dan Fatkhurrahman, Dasar-Dasar h.183
[4]Ibid.
h. 191 - 192
[5]Mana’
al Qattan : Mabahits fi ‘Ulumuil Qur’an ; Mansyuratul ‘Ashril Hadist, Beirut tt, h. 221
[6]Miftah
Faridl dan Agus Syihabuddin : Al Qur’an Sumber Hukum Islam Yang pertama,
( Bandung, Pustaka, 1989 ) h. 186
[7]Yahya
dan Fatkhurrahman, Dasar-Dasar …… h.225
[8]Ibid.
256
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...