Disusun Oleh : Ana Nafsi Muthaminah
Hari Asyura (عاشوراء )
adalah hari ke-10 pada bulan Muharram dalam kalender Islam. Sedangkan asyura sendiri berarti kesepuluh.
Hari ini menjadi terkenal karena bagi kalangan Syi'ah dan sebagian Sufi merupakan hari berkabungnya atas kesyahidan Husain bin Ali, cucu dari Nabi Islam Muhammad pada Pertempuran Karbala tahun 61 H (680). Akan tetapi, Sunni meyakini bahwa Nabi Musa berpuasa pada hari tersebut untuk mengekspresikan kegembiraan kepada Tuhan
karena kaum Yahudi sudah terbebas dari Fira'un (Exodus). Menurut tradisi Sunni, Muhammad berpuasa pada hari tersebut dan meminta
orang-orang pula untuk berpuasa.
Sejarah
Pada masa pra-Islam, 'Asyura diperingati sebagai hari raya resmi bangsa Arab. Pada masa itu orang-orang berpuasa dan bersyukur menyambut 'Asyura.
Mereka merayakan hari itu dengan penuh suka cita sebagaimana hari Nawruz yang
dijadikan hari raya di negeri Iran.[3]
Dalam sejarah Arab, hari 'Asyura (10 Muharram) adalah hari raya bersejarah.
Pada hari itu setiap suku mengadakan perayaan dengan mengenakan pakaian baru
dan menghias kota-kota mereka. Sekelompok bangsa Arab, yang dikenal sebagai
kelompok Yazidi, merayakan hari raya tersebut sebagai hari suka
cita.
Syahidnya Husain bin Ali
Tanggal 10 Muharram 61 H atau tanggal 10 Oktober 680 merupakan hari pertempuran Karbala yang terjadi di Karbala, Iraq sekarang. Pertempuran ini terjadi antara pasukan Bani Hasyim yang dipimpin oleh Husain bin Ali beranggotakan sekitar 70-an orang melawan pasukan Bani Umayyah yang dipimpin oleh Ibnu Ziyad, atas perintah Yazid bin Muawiyah, khalifah Umayyah saat itu.
Pada hari itu hampir semua pasukan Husain bin Ali, termasuk Husain-nya sendiri syahid terbunuh, kecuali pihak perempuan,
serta anak Husain yang sakit bernama Ali bin Husain. Kemudian oleh Ibnu Ziyad mereka dibawa menghadap Khalifah di Damaskus, dan kemudian yang selamat dikembalikan ke Madinah.
Peringatan kesyahidan Husain di Indonesia
Tabot adalah upacara
tradisional masyarakat Bengkulu untuk mengenang tentang kisah kepahlawanan dan kematian cucu Nabi Muhammad
SAW, Husain bin Ali. Di Pariaman, Sumatera Barat upacara tradisional ini dikenal pula dengan istilah Tabut.
Asyura bagi Muslim Sunni
Sebelum Islam, Hari Asyura sudah menjadi hari peringatan dimana beberapa
orang Mekkah biasanya melakukan puasa. Ketika Nabi Muhammad melakukan hijrah ke
Madinah, ia mengetahui bahwa Yahudi di daerah tersebut berpuasa pada hari
Asyura - bisa jadi saat itu merupakan hari besar Yahudi Yom Kippur. Saat itu, Muhammad menyatakan bahwa Muslim dapat berpuasa pada hari-hari
itu.[1][2]
Di kalangan suku Banjar yang merupakan muslim Sunni di Kalimantan, Hari
Asyura dirayakan ekspresi kegembiraan dengan membuat bubur Asyura yang
terbuat dari beras dan campuran 41 macam bahan yang berasal dari sayuran,
umbi-umbian dan kacang-kacangan. Bubur Asyura tersebut akan disajikan sebagai
hidangan berbuka puasa sunat Hari Asyura.
Asyura merupakan peringatan hal-hal di bawah ini dimana Muslim, khususnya
Sunni percaya terjadi pada tanggal 10 Muharram.
ACARA RITUAL HARI ASYURA
Memukul
Kepala dan Dada
Kaum rafidhah memukul-mukul badan mereka untuk mendekatkan
diri mereka kepada Allah dan mendapatkan pahala di sisiNya.
Cara
Memukul Badan
Dalam setiap peringatan hari besar mereka mereka, yang berbeda dengan
perayaan hari besar kaum muslimin seperti peringatan terbunuhnya
Ali bin Abi Tolib dan peringatan terbunuhnya Husein bin Ali,
kaum rafidhoh melakukan upacara-upacara ritual untuk mengekspresikan
kesedihan mereka terhadap musibah-musibah yang menimpa ahlul
bait, yang kebanyakan cerita2 musibah itu adalah karangan mereka
sendiri. Ritual-ritual ini diadakan di setiap wilayah yang memiliki
penduduk kaum rafidhoh, tetapi terlihat sangat jelas di beberapa wilayah
Pakistan, Iran, India, Irak dan wilayah Nabtiyah di Lebanon.
Dalam merayakan ritual ini pun cara mereka berbeda-beda, di Negara teluk
mereka memukul badan mereka dengan tangan kosong karena masyarakat
negara teluk lebih “berbudaya”. Tetapi di Pakistan dan Lebanon
mereka menyabet badan mereka sendiri dengan pedang dan belati
untuk menumpahkan dan melukai anggota badan. Sementara itu kaum
rofidhoh di wilayah lainnya menggunakan rantai untuk memukuli badan
mereka sendiri.
Acara “pukul memukul” itu tak lupa disertai dengan pembacaan sya’ir-syair
kesedihan dan musibah, khotbah duka cita untuk ahlul bait,mencaci
maki bani umayyah dan para sahabat Nabi. Semua itu dilakukan
untuk mendapatkan pahala dan keridhoan Allah ta’ala. Tidak ketinggalan
pula acara tangis bersama sampai berteriak-teriak, karena mereka
mengatakan bahwa para imam mereka memberi kabar gembira: “Barang
siapa menangis atau membuat dirinya menangis untuk Husein maka wajib
masuk sorga.” Semua ingin masuk sorga, maka semua berlombalomba untuk
bertambah sedih dan bertambah kencang tangisnya.
Sejarah Ritual “pukul memukul”
Acara ritual ini bermula dari rasa sedih para pengikut Ali bin Abi Tolib
yang telah berjanji untuk berperang membela Ali namun ketka terjadi
perang mereka lari meninggal Ali bin Abi Tolib sendirian hingga Ali
bin Abi Tolib pun bosan dan membenci mereka karena kemunafikan mereka.
Lalu Ali bin Abi Tolib berkhotbah kepada mereka dan menjuluki mereka
dengan sifat-sifat yang jelek seperti pengkhianat, pembohong, kaum
yang hina, orang yang berakal kerdil dll... ”Aku mengajak kalian untuk
berjihad dan kalian menolak, aku telah memberitahu kalian tapi kalian tidak
mau mendengarkan, aku telah berdakwah kepada kalian mengajak kepada kebenaran
tapi kalian tolak dakwahku, aku telah menasehati kalian tapi kalian enggan
untuk menerima...” hingga Ali bin Abi Tolib berkata: “Demi Allah... aku
ingin agar Mu’awiyah menukar pengikutnya dengan pengikutku seperti menukar
uang, maka 10 orang pengikutku akan kutukar dengan 1 orang pengikut Mu’awiyah."
Kesedihan pengikut Ali bin Abi Tolib makin
bertambah ketika mereka menulis surat kepada Husein bin Ali bahwa mereka
berbaiat kepada Husein dan berjanji akan menolongnya, tetapi ketika Husein
binAli benar-benar datang mereka tinggalkan mati sendirian bersama keluarganya
seperti mereka meninggalkan Muslim bin Aqil mati sendirian.
Maka bertambahlah kesedihan mereka hingga hati kecil mereka merasa
bersalah, lalu mereka mulai menghukum diri mereka sendiri dengan
memukul dada dan menampar pipi mereka. Semua ini sebagai hukuman
atas perbuatan mereka dan sebagai pembalasan kepada diri mereka
atas penghianatan mereka kepada Husein bin Ali, Muslim bin Aqil
dan sebelumnya Ali bin Abi Tolib. Begitulah, semakin besar rasa bersalah
seseorang, maka dia semakin “bersemangat” dalam memukul dirinya
sendiri dan semakin keras pula menangisnya. Demikian ritual ini berkesinambungan,
setiap generasi menghukum diri mereka sendiri atas kesalahan
yang dilakukan oleh generasi yang hidup jauh sebelum mereka, yaitu
pengkhianatan terhadap Allah dan Ahlul bait. Selang berlalunya waktu,
generasi yang datang belakangan tidak pernah memahami sebab utama
ritual ini dan mengira bahwa ritual ini hanya bertujuan untuk mengungkapkan
kesedihan atas kejadian yang menimpa Husein bin Ali dan
ahlul bait seperti yang didengungkan oleh para ulama, dan bukannya sebagai
penyesalan atas pengkhianatan mereka. Sementara itu generasi belakangan
tetap meyakini bahwa ritual ini untuk mencara pahala dengan rasa
cinta kepada Husein bin Ali dan mereka lupa bahwa sebenarnya ritual
ini diadakan sebagai hukuman kepada diri mereka sendiri yang telah
mengkhianati Husein bin Ali. Ini hukuman di dunia, di akherat Allah
akan menghukum mereka dengan hukuman yang lebih berat. Subhanallah,
bagaimana mereka mengubah ritual ini dari hukuman menjadi ibadah
yang berpahala.
Pendapat di atas dikuatkan oleh perkataan
Zainab binti Ali yang ditujukan kepada pengikut Ali (Syi’ah, bukan rafidhoh):
“Wahai penduduk kufah, wahai para pengkhianat, perumpamaan kalian adalah
bagaikan seorang perempuan yang mengurai benang yang sudah dipintal. Kalian hanya mempunyai kesombongan, kejahatan, kebencian dan kedustaan. Apakah
kalian menangisi
saudaraku? Tentu, demi Allah, maka perbanyaklah tangis dan jangan banyak
tertawa, sungguh kalian telah diuji dengan kehinaan... bagaimana kalian menganggap
enteng membunuh menantu nabi terakhir?"
Perkembangan Ritual “pukul memukul”
Ibadah ini mulai berkembang dan meluas di awal berkembangnya syi’ah
saat mereka ingin mencari ibadah yang berbeda dengan ibadah bani
umayyah dan supaya memperlihatkan perbedaan antara mereka dengan
kaum muslimin lainnya. Maka mereka selalu berusaha membesarbesarkan dan
menekankan pentingnya ritual ini. Bahkan mereka membuat pakaian
khusus yang dipakai saat upacara yaitu pakaian berwarna hitam
dengan alasan duka cita atas kematian Husein bin Ali dan
ahlul bait.
Pada periode Bani Buwaih yang menguasai iran dan irak atas nama melindungi
Khilafah Abbasiyah, mereka ikut mengembangkan upacara ini
hingga menjadi bagian dari syi’ah yang tidak bisa dipisahkan lagi. Lalu datanglah
Syah Ismail Safawi yang berkhianat kepada Khilafah Uthmaniyah
mengumumkan hari berkabung nasional yang berlaku di seluruh
wilayah kekuasaannya pada 10 hari pertama bulan muharram. Bahkan
Syah sendiri mengadakan open house untuk menerima ucapan duka
cita dari rakyat dan mengadakan perayaan khusus yang juga dihadiri
oleh Syah Ismail. Juga Syah Abbas Al Safawi memakai pakaian hitam
pada tanggal 10 muharrom dan melumuri dahinya dengan lumpur serta
memimpin pawai di jalan-jalan sambil bersyair dengan syair duka untuk
Husein dan melaknat Bani Umayah.
Peranan Iran Dalam Pengembangan Ritual "pukul memukul"
Sejak berubah menjadi negara islam, Iran menggalakkan warganya untuk
menghidupkan kembali ritual-ritual seperti ini, bahkan ikut mendanai
kaum syiah di mana-mana untuk mengadakan perayaan 10 Muharam
besar-besaran. Tapi yang aneh, sebagian syiah tidak memiliki uang untuk membeli makanan tetapi Iran malah memberikan dana dalam jumlah
besar hanya untuk mengadakan perayaan ritual ini dengan alas an agama.
Sehabis acara perayaan, kita melihat pemandangan cukup memalukan
yang diliput oleh media massa dunia. Darah, gambar orang memukul
diri disiarkan oleh media massa dengan menuliskan bahwa ini adalah
perayaan hari besar kaum muslimin. Hal ini sangat memalukan kaum
muslimin.
Pendapat Dunia Terhadap Ritual Ini
Kantor berita Reuter bagaikan mendapat “harta karun” berharga ketika
wartawannya di wilayah Nabtiah Lebanon merekam gambar seorang
syi’ah sedang memukul kepala anaknya dengan pedang pada perayaan
10 Muharam. Begitulah, para pengikut aliran sesat selalu memberikan
bukti atas kecaman musuh terhadap Islam. Foto-foto berdarah
perayaan asyura dimuat di media masa dunia, mereka membahasnya
panjang lebar di koran, majalah bahkan channel TV untuk membahas
kebuasan dan sifat haus dan ritual ibadah kaum muslimin yang
jauh dari kemanusiaan.
SUMBER:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...