Oleh : Abdurrahman MBP
Islam
sebagai dien (aturan hidup) yang
paripurna memiliki sumber-sumber hukum yang kredibel (qoth’i)
sebagai rujukan bagi setiap permasalahan yang ada. Sumber–sumber hukum Islam tersebut
adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Al-Qur’an adalah aturan yang datang dari Allah Subhanahu
Wa Ta’ala, sedangkan As-Sunnah
adalah ucapan, perbuatan dan taqrir Nabi Muhammad Shalallahu
Alahi Wa salam
yang berperan sebagai bayan (penjelas) bagi
Al-Qur’an,[1]
keduanya bersifat pasti dan tauqifi yang berarti baku dan tidak bisa
dirubah, pada keduanya terdapat dalil-dalil global sebagai dasar bagi
hukum-hukum dalam Islam.
Selain
adanya sumber hukum (Mashadir Al-Ahkam), dalam Islam juga dikenal adanya
Dalaail Al-Ahkam yaitu Ijma Shahabat, Qiyas, Ijtihad, Maslahah
Mursalah, Istihsan, Istishab, Syar’u man Qoblana dan ‘Urf.[2]
Ijtihad, Qiyas dan Maslahah Mursalah menjadi dalil hukum
Islam yang sangat penting bagi perkembangan hukum Islam, dengan adanya
sumber-sumber hukum dan dalil hukum ini Islam dapat berkembang sesuai dengan
tuntutan zaman, yaitu dengan menghasilkan hukum-hukum baru yang belum dikenal
pada zaman Nabi Muhammad Shalallahu Alahi Wa salam yang
tercakup dalam ruang lingkup Ilmu Fiqh. Kerangka ilmu fiqh yang begitu
luas memerlukan adanya sebuah pemikiran dan istidlal (pengambilan
dalil-dalil) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga akan dapat memberikan solusi
bagi setiap permasalahan yang terjadi di masyarakat. Dan inilah ciri khas dari
fiqh yang selalu bersifat dinamis dan senantiasa berubah-ubah.[3]
Kondisi masyarakat yang terus tumbuh dan berkembang menuntut ilmu fiqh
untuk menanggung beban berat dalam peranannya sebagai problem solving
(pembuat solusi), namun dengan adanya Al-Qur’an dan As-Sunnah yang memuat
dalil-dalil global menjadikan semua permasalahan dapat dijawab oleh ilmu fiqh,
tentunya dengan sentuhan tangan dari para cendekiawan (ulama) untuk menggali
hukum dari keduanya.[4]
Fiqh Mawaris sebagai bagian dari ilmu fiqh juga terus berkembang
bersamaan dengan berkembangnya permasalahan yang dihadapi masyarakat. Berbagai
permasalahan muncul silih berganti, yang semua itu membutuhkan ijtihad,
Qiyas dan pengambilan dalil-dalil (istidlal) dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Permasalahan-permasalahan yang sering muncul dan memerlukan pemecahan
dalam hukum waris adalah menyangkut hal-hal yang belum pernah terjadi pada
zaman Nabi Muhammad Shalallahu Alahi Wa salam.
Di antara permasalahan tersebut adalah apa yang terjadi pada zaman
Khalifah Umar bin Al-Khathab yang terkenal dengan masalah Ghorowain atau
Umaryatain di mana seorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang
istri (suami), ibu dan ayah, yang menjadi masalah adalah bagian dari ibu yang
berjumlah 1/3 apakah diambil dari seluruh harta warisan atau dari sisa harta
warisan setelah dikurangi bagian suami. Umar berfatwa bahwa bagian ibu adalah
1/3 dari sisa harta warisan.[5]
Walaupun pendapat ini berseberangan dengan pendapat Ibnu Abbas namun dalam
kapasitas sebagai hasil Ijtihad maka berlaku kaidah fiqhiyah “ Ijtihad tidak
dibatalkan oleh ijtihad “.[6]
Umar bin Khathab juga berijtihad mengenai masalah Musyarakah (Himariyah),
beliau berpendapat bahwa saudara kandung itu berserikat dengan saudara seibu
dalam menerima warisan dari ayahnya yang meninggal.[7]
Para Shahabat Nabi Muhammad Shalallahu Alahi Wa salam dan
generasi-generasi sesudahnya banyak berijtihad dan berfatwa mengenai berbagai
permasalahan waris yang timbul pada zamannya.
Dari
sini terlihat bahwa fiqh mawaris termasuk di dalamnya masalah wasiat
adalah perkara fiqh yang terus berkembang dan memerlukan berbagai ijtihad dan
pendapat dari para ulama (cendekiawan) untuk menggali dalil-dalil global yang
ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk menghasilkan sebuah hukum baru sebagai
solusi bagi permasalahan yang dihadapi yang belum pernah terjadi pada zaman
Nabi Muhammad Shalallahu Alahi Wa salam.
Di antara
hasil ijtihad yang muncul dalam ruang lingkup fiqh- mawaris adalah Wasiat
Wajibah yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 Ayat 1 dan 2,
Kompilasi Hukum Islam sendiri adalah hasil Ijma’ Ulama Indonesia.
Disebutkan bahwa Wasiat Wajibah adalah
“Suatu tindakan pembebanan oleh hakim atau lembaga yang mempunyai hak
agar harta seseorang yang telah meninggal dunia tetapi tidak melakukan wasiat
secara sukarela, agar diambil hak atau benda peninggalannya untuk diberikan
kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula “.[8]
Wasiat
wajibah yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam juga terdapat dalam
Undang-Undang Waris Mesir No. 71 Tahun 1946 Pasal 76-79 dan Undang-Undang Ahwal
Asy-Syakhsiyah di Suriah pasal 257.[9]
Adapun wasiat wajibah yang diberlakukan di Mesir adalah bagi mereka yang tidak
mendapatkan warisan dari dzawil arham, seperti cucu laki-laki garis
perempuan dan cucu perempuan garis perempuan.[10] Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal
209 Ayat 2 disebutkan “Terhadap anak
angkat yang tidak menerima warisan diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3
dari harta warisan orang tua angkatnya “.
Sementara
para Imam Madzhab berbeda pendapat mengenai hukum wasiat ada yang berpendapat
wajib dan ada juga yang berpendapat hanya sunnah, adapun mengenai wasiat
wajibah (wasiat yang wajib dilakukan) Ibnu Hazm berpendapat seperti dikutip
oleh Hasbi Ash-Shidieqy bahwa apabila diadakan wasiat untuk kerabat-kerabat
yang tidak mendapatkan warisan dari muwaris, maka hakim harus bertindak
memberi sebagian dari harta peninggalan kepada kerabat-kerabat yang tidak
mendapatkan warisan pusaka sebagai suatu wasiat yang wajib bagi mereka.[11]
[1] Umar Hasyim, Apakah
Anda Termasuk Golongan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, Bina Ilmu, Surabaya, 1978, hal. 143
[2]
Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syari’ah, CV. Haji Masagung, Jakarta,
1990, hal. 45
[3]
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta,
1999, hal. 20
[4] Peunoh Daly, Perkembangan
Ilmu Fiqh, Bumi Aksara, Jakarta, 1982,
hal. 83
[5] Ahmad Rafiq, Fiqh
Mawaris, Raja Grafindo, Jakarta,
2000, hal. 129
[6] Abdul Majid, Kaidah-Kaidah
Ilmu Fiqh, Kalam Mulia, Jakarta, 2001, hal. 49
[7] Fathurrahman, Ilmu
Waris, Al-Ma’aif, Bandung, 1981, hal. 539
[8] Ahmad Rafiq, Fiqh
Mawaris, hal. 184
[10] Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris
hal. 185.
[11]
Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqh Mawaris, PT. Pustaka Rizki Putra, 2001, hal.
275.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...