Oleh : Maman Suherman
Dalam perkembangan sejarah Usuhul Fiqh dikenal adanya Madrasah
Ushul Fiqh atau dalam istilah lainnya Aliran Pemikiran Ushul Fiqh.
Pertanyaannya adalah bagaimana proses yang mendahului munculnya aliran Ushul
Fiqh tersebut?
Perkembangan pemikiran dalam Usuhul Fiqh tidak muncul secara
terpisah, akan tetapi berhubungan dengan babakan pemikiran yang terjadi
sebelumnya.[1]
Perkembangan ushul fiqh yang terjadi pada zaman sahabat dan tabiin turut
memberi warna pada pengembangan pemikiran ushul fiqh yang terjadi selanjutnya.
Dan yang tidak kalah penting untuk dicatat adalah perkembangan pemikiran usuhul
fiqh pada periode Imam Madzhab yang turut juga mewarnai kelahiran Madrasah
Ushul Fiqh. Setidak-tidaknya ada tiga periode perkembangan ushul fiqh yang
mendahului kelahiran madrasah ushul fiqh. Ketiga periode itu adalah: Pertama,
Masa Sebelum Imam Syafi’i, Kedua Masa Imam Syafi’i dan Ketiga Masa sesudah Imam
Syafi’i.
Masa sebelum Imam syafi’i ditandai dengan munculnya Imam Abu
Hanifah bin Nu’man (wafat 150 H). Beliau dipandang sebagai pendiri madzhab
Hanafi, beliau tinggal dan perkembang pemikirannya di Irak. Dibanding masa tabi'in, metode ijtihad Imam Abu Hanifah sudah semakin jelas polanya. Dalam
berijtihad, ia sangat dikenal banyak menggunakan qiyas dan istihsan.
Langkah-langkah ijtihadnya ialah, secara berurutan, merujuk pada
Alquran, sunnah, fatwa sahabat yang disepakati (ijma' ash-shahabi), dan memilih salah satu dari fatwa para sahabat yang berbeda-beda
dalam satu kasus hukum. Imam Abu Hanifah tidak akan melakukan istinbath hukum sendiri, selama ia menemukan jawaban hukum dari sumber-
sumber rujukan tersebut. Yang menarik ialah, Imam Hanafi tidak menjadikan
pendapat ulama
tabi'in sebagai rujukan. Karena rentang waktu yang sudah jauh antara
Rasulullah dan ulama dari generasi tabi'in. Ia
berpendapat, kedudukannya sama dengan kedudukan para tabi'in
dalam hal berijtihad. Dalam hal ini, sangat terkenal ucapannya: “Hum Rijaal, wa
nahnu rijaal, Mereka laki-laki (yang mampu berijtihad), kita juga laki- laki
(yang mampu berijtihad)”.
Mujtahid
lainnya, Imam Malik bin Anas (w. 179 H), pendiri mazhab Maliki. Ia tinggal dan
berkembang di Madinah. Karena faktor sosio kultural yang mempengaruhinya, ia
sangat ketat berpegang pada tradisi yang berkembang dalam masyarakat Madinah ('amal ahl al-madinah). Hal ini tergambar dari sikapnya yang menolak periwayatan
hadis-hadis yang dinisbahkan kepada Rasulullah M yang dinilainya tidak valid'
karena bertentangan dengan tradisi masyarakat Madinah. Ia juga mengritik
periwayatan hadis-hadis yang bertentangan dengan nashsh
Alquran atau prinsip-prinsip umum ajaran Islam. Misalnya, ia menolak
hadis-hadis yang menjelaskan tentang membasuh tujuh kali bekas jilatan anjing,
adanya khiyar
al-majlis, dan hadis yang menjelaskan pemberian sedekah atas nama orang yang
telah meninggal dunia. Akan tetapi, dalam berijtihad, Imam Malik sangat banyak
menggunakan hadis dibandingkan dengan Imam Hanafi. Hal ini karena Madinah yang menjadi
domisili Imam Malik adalah juga menjadi domisili Rasulullah M, sehingga tidak
mengherankan jika di dalam masyarakat Madinah banyak beredar hadis. Imam Malik
sendiri memiliki kitab hadis yang terkenal dengan nama al-Muwaththa.
Apabila Imam
Abu Hanifah banyak menggunakan qiyas dan istihsan dalam berijtihad, maka sebaliknya Imam Malik banyak menggunakan mashlahah mursalah. Belakangan metode mashlahah Imam Malik ini berkembang
sangat jauh, sehingga salah seorang ulama yang bernama Najmuddin ath-Thufi (657-716
H) dituduh sesat oleh sebagian ulama lainnya, karena dipandang telah
mengembangkan metode ini dengan cara yang sangat liberal.
Pada Masa Imam Syafi’i dimulai ketika tampilnya Imam Muhammad Idris
asy-Syafi'i (150-204 H). Berbeda dengan masa sebelumnya, di mana metode ushul
fiqh belum tersusun dalam suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan belum
dibukukan, maka masa ini ditandai dengan lahirnya karya Imam asy-Syafi'i yang
bernama ar-Risalah.
Sebagaimana layaknya proses lahir dan berkembangnya suatu
disiplin ilmu, asy-Syafi'i mewarisi pengetahuannya yang mendalam sebagai hasil
proses panjang perkembangan ilmu dari para pendahulunya. Dengan kata lain,
harus ditegaskan bahwa asy-Syafi'i bukanlah orang pertama yang merintis ilmu
ushul fiqh, sebagaimana dipahami secara keliru oleh beberapa pihak. Akan
tetapi, di tangannya untuk pertama kali ilmu ushul fiqh lahir sebagai ilmu yang
mandiri. Tentu saja harus ditegaskan, dari segi substansi ilmu, ar-Risalah telah mencakup semua
dasar-dasar dan metode ijtihad. Akan tetapi, dari sistematika keilmuan, sebagai
orang pertama yang mensistematisir dan membukukan ushul fiqh, kitab ar- Risalah juga belum sebaik
sebagaimana sistematika disiplin ilmu yang lahir sesudahnya.
Kitab ar-Risalah
sendiri, yang semula bernama al-Kitab,
banyak berisi uraian tentang metode
istinbath hukum, yaitu Alquran, sunnah, ijma \ fatwa ash-shahabi, dan al-qiyas. Baik juga ditegaskan, secara umum kitab ar-Risalah asy-Syafi'i sangat
menekankan al-qiyas sebagai
metode ijtihad. Bahkan dalam beberapa, bagian dari buku tersebut ia menegaskan, al-qiyas merupakan satu-satunya metode
ijtihad. Dalam hal ini ia berkata, al-ijtihad huwa al-qiyas (ijtihad itu tiada lain adalah qiyas).
Upaya pembukuan dan
pensistematisan ushul fiqh sejalan dengan masa keemasan ilmu keislaman yang
terjadi pada masanya. Imam asy- Syafi'i banyak memetik manfaat dan mengemukakan
sintesis atas tesis dan antitesis dari berbagai keunggulan dan kelemahan yang terpapar
dalam perdebatan ilmiah yang terjadi antara kelompok ulama Madinah dan kelompok
ulama Irak. Kepakarannya dalam ilmu ini, terutama karena ia adalah murid
langsung dari Imam Malik, ulama Madinah, dan dari Muhammad bin al-Hasan
asy-Syaibani, salah seorang murid Imam Abu Hanifah. Tambahan lagi, ia juga
menyerap ilmu fiqh dari para ulama di Mekah, di mana ia lahir dan dibesarkan.
Adapun setelah berlalunya masa Imam asy-Syafi'i,
perkembangan ilmu ushul fiqh semakin menunjukkan tingkat kesempurnaannya. Pada
masa ini (masih dalam abad ketiga) lahir beberapa karya dalam bidang ushul
fiqh, antara lain, an-Nasikh wa al-Mansukh, karya Ahmad bin
Hanbal (164-241 H), pendiri mazhab Hanbali, dan Ibthal al-Qiyas, karya Dawud azh-Zhahiri (200-270 H), pendiri mazhab azh-Zhahiri. Kitab
terakhir ini merupakan antitesis terhadap pemikiran Imam asy-Syafi'i yang
sangat mengunggulkan qiyas dalam berijtihad.
Agaknya, abad ketiga Hijriyyah merupakan puncak dan
masa keemasan fiqh Islam, karena pada masa itu suasana perdebatan terbuka dalam
ilmu fiqh sangat menggairahkan, sehingga bermunculan para ulama dalam bidang
ilmu ini. Akan tetapi fakta sejarah menunjukkan, suasana yang sangat
menggembirakan ini tidak berlangsung lama, karena dicemari oleh pemikiran
orang-orang yang sebenarnya tidak memiliki keahlian dalam bidang fiqh. Mereka
melahirkan fatwa-fatwa hukum yang kontroversial dan membingungkan masyarakat.
Hal itu bukan saja materi fatwa mereka yang saling bertolak belakang dengan
fatwa-fatwa para ulama yang kenamaan, tetapi juga karena
fatwa mereka pada umumnya tidak dibangun di atas landasan dalil dan metodologi
yang memenuhi standar. Akibatnya, pada pertengahan abad keempat, mulai
terdengar issus
penutupan pintu ijtihad. Keadaan ini diperparah dengan hilangnya rasa percaya
diri para ulama yang sebenarnya memiliki kemampuan berijtihad yang tampil pada
masa itu, sehingga mereka tidak berani berijtihad sendiri secara bebas. Mereka
berkeyakinan, setelah imam mazhab yang empat (Abu Hanifah, Malik bin Anas,
asy-Syafi'i, dan Ahmad bin Hanbal) tidak ada lagi ulama yang memiliki kapasitas
keilmuan sebagai mujtahid mutlak. Di samping itu, mereka juga berpendapat,
semua persoalan fiqh sudah dibahas ulama sebelumnya, sehingga tidak diperlukan
ijtihad baru.
Issue penutupan
pintu ijtihad menyebabkan kemunduran dalam bidang fiqh. Dampak kemunduran
tersebut terlihat dari karya-karya yang muncul tidak lagi melahirkan
mazhab-mazhab fiqh yang baru. Akan tetapi,
berbeda dengan fiqh, ushul fiqh semakin menunjukkan kesempurnaannya. Pembukuan
dan pensistematisan ushul fiqh yang dilakukan asy-Syafi'i dikembangkan oleh
para ulama selanjutnya. Sebagaimana diketahui, validitas fiqh diukur sejauhmana
kesesuaiannya dengan ushul fiqh sebagai metode ijtihad. Oleh karena pada masa
itu, ilmu ini sangat diperlukan, terutama karena ia berperan menjadi senjata
dalam perdebatan-perdebatan ilmiah di bidang fiqh. - Sebagaimana telah disebutkan, kitab ar-Risalah telah memuat secara
agak lengkap dasar-dasar ushul fiqh. Oleh karena itu, para ulama yang tampil
setelah masa Imam asy-Syafi'i, baik dari kalangan Syafi'iyyah sendiri maupun
dari mazhab lainnya, mengambil peran sebagai pengembang dasar-dasar ushul fiqh
asy-Syafi'i tersebut.
Meskipun para ulama dari berbagai mazhab mengembangkan
ushul fiqh yang ditulis asy-Syafi'i, akan tetapi hal itu tidak menjadikan arah
perkembangan ushul fiqh menjadi sama. Jika para ulama Syafi'iyyah meneruskan
sepenuhnya perluasan bahasan ushul fiqh asy-Syafi'i, maka para ulama dari
mazhab lainnya mengambil arah perkembangan yang agak berbeda. Dalam hal ini,
mereka mengambil prinsip-prinsip ushul fiqh asy-Syafi'i, tetapi dalam
pengembangannya, mereka kaitkan dengan
prinsip-prinsip mazhab mereka masing-masing. Ulama Hanafiyyah, misalnya,
mengembangkan pembahasan tentang al-istihsan dan al- 'urf yang
banyak digunakan Imam Abu Hanifah. Sementara ulama Hanabilah banyak
mengembangkan ijma' ahl al-Madinah, sadd adz-dzara'i\ dan al-mashlahah
al-mursalah.
Satu hal yang perlu
dicatat, meskipun arah pengembangan ushul fiqh berbeda-beda pada masing-masing
mazhab, namun semua mereka menerima dan mengembangkan empat dalil utama yang
ditegaskan oleh asy-Syafi'i, yaitu: Alquran, sunnah, al-ijma \ dan
al-qiyas. Bagaimanapun juga, sejalan dengan mazhab mereka masing-masing,
tentu saja intensitas penggunaan dalil yang empat itu berbeda-beda pada
masing-masing mazhab. Dari perkembangan pemikiran ushul fiqh sebagaimana
diungkapkan di atas, maka perkembangan ushul fiqh selanjutnya melahirkan dua
aliran/thariqah/madrasah yang besar dalam ushul fiqh, yaitu:
thanqa/madrasah asy-Syafi'iyyah atau thartqah/madrasah Mutakallimin,
dan thariqah/madrasah Hanafiyyah atau thanqah al-Fuqaha'.
[1] Sebagaimana telah dikemukan pada kajian terdahulu bahwa perkembangan
usul fiqh sudah terjadi setidak-tidaknya sejak zaman sahabat yang ditandai
terutama oleh adanya ketentuan dalam urutan penggunaan sumber hukum. Urutan
penggunaan sumber hukum ini bertolak dari dialog antara Rasulullah dengan
sahabat Muadz ibn Jabal pada saat dia diutus ke negeri Yaman. Hadits tersebut
tercantum dalam kitab Sunan Abu dawud, dan diniali sebagai hadits dla’if karena
dalam susunan rawinya terdapat seorang rawi yang dipandang majhul. Dalam
Maktabah Syamilah, hadits tersebut selain tercantumkan dalam kitab Abu Dawud,
tercantumkan pula dalam kitab hadits Sunan Baihaqy, dalam al-Madkhal ila Sunan
al-Kubra, Syarah Sunnah li al-Baghawy, dan dalam Ma’rifatu al-Sunan wal Atsar.
Selengkapnya hadits tersbut adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا
حَفْصُ بْنُ عُمَرَ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ أَبِي عَوْنٍ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرِو
ابْنِ أَخِي الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ، عَنْ أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصٍ، مِنْ أَصْحَابِ
مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا
أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ: «كَيْفَ
تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟»، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ: «فَإِنْ
لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟»، قَالَ: فَبِسُنَّةِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي
سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَا فِي كِتَابِ اللَّهِ؟»
قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي، وَلَا آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ: «الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ، رَسُولِ
اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ»،
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...