Oleh : Maman Suherman
Ibadah Haji sebagai konsep ajaran dapat ditemukan dalam sumber
rujukan agama Islam, baik dalam al-Qur’an maupun dalam al-Hadits. Selanjunya,
para ulama melakukan upaya pemahaman atas ajaran yang bersumber dari keduanya
tersebut, dan melahirkan sekian banyak kitab-kitab fiqh yang membahas persoalan
ibadah haji. Pembahasan masalah ibadah Haji tersebut tertuang dalam kitab Fiqh
secara umum, dan tertuangkan pula dalam kitab yang secara khusus membahas
Ibadah Haji.
Bagaimana pelaksanaan ibadah haji diselenggarakan dalam sebuah
komunitas negara? Menurut Al Mawardi dan Abi Ya’la pemahaman terhadap ibadah
haji sebagai bagian dari rukun Islam itu dapat dikelompokkan pada dua
pemahaman: pertama berupa norma pengaturan penyelenggaraan, dan kedua berupa norma
ajaran. Yang pertama dirumuskan sebagai “Tasyiir al-hajiij”, sedangkan yang
kedua dirumuskan sebagai “Iqamatu al-hajj”.[1]
Secara teknis travelling, pelaksaan ibadah haji dari negeri-negeri
yang berjarak jauh dari pusat pelaksaan di kota Makkah (dan juga Madinah[2])
seperti yang disebutkan dalam al-Qur’an al-Karim[3]
dapat dilaksanakan oleh perorangan ataupun kelompok yang tidak memerlukan
keterlibatan negara, akan tetapi dalam gagasan pemikiran kedua ulama ahli
siyasah itu tidaklah demikian. Mereka berpendapat bahwa penanganan
penyelenggaraan ibadah haji itu meliputi tiga ruang kewenangan: Pertama Keweangan Politis; Kedua Kewenangan
Leadership dan Kelembagaan; Ketiga Kewenangan Manajerial. Secara ekspilisit mereka menyatakan bahwa:
فَأَمَّا تَسْيِيرُ الْحَجِيجِ فَهُوَ
وِلَايَةُ سِيَاسَةٍ وَزَعَامَةٍ وَتَدْبِيرٍ”
“Wewenang dalam mengatur perjalanan
para jamaah haji (persiapan, pelaksanaan di perjalanan, selama tinggal di
tempat tujuan, dan kepungalangan kembali ke negeri asal) merupakan kewenangan politik, pemerintah, dan menjadi
ranah management”.
Sebagai konsekwensi logis dari adanya kewenagan politis yang
penerapannya ditetapkan oleh keputusan pihak pemerintah, maka orang-orang yang
diberi tugas oleh pemerintah dalam melaksanakan pengaturan penyelenggaraan haji
itu tidak boleh sembarangan. Tidak sekedar keahlian dalam pemahaman manasik dan
pengalaman yang teruji dalam pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji, akan
tetapi moralitas yang tinggi menjadi bagian prasyarat yang harus dimiliki oleh
mereka yang bertugas melaksanakan pengaturan penyelenggaraan haji. Al-Mawardi
dan Abi Ya’la menetapkan bawa mereka yang diberi tugas dan wewenang pelaksanaan
pengaturan penyelenggaraan haji itu harus juga memiliki watak yang teruji
sebagai sesorang yang “ditaati, memiliki kemampuan dan keterampilan yang baik,
mempunyai syaja’ah (keberanian dan keteguhan dalam menghadapi resiko), memiliki
wibawa, dan juga memperoleh hidayah, wawasan yang luas dalam beragama”.
[1]Pemahaman Al Mawardi dan Abi Ya’la tentang masalah pengaturan
penyelenggaraan haji tersebut dapat dibedakan kedalam dua kelompok, namun tidak
dapat dipisahkan dalam pelaksanaannya.
[2] Sebenarnya kunjungan atau ziarah ke Madinah tidak termasuk pada
bagian ibadah haji. Kunjungan ke kota Madinah lebih bersifat penghormatan pada
semangat perjuangan Nabi Muhammad dan para sahabat yang jenazahnya tersimpan di
dalam Masjid Nabawy dan di pemakaman umum Baqi al-Gorqod.
[3] Surat 22, al-Hajj, ayat 27: Tafsir Muqatil bin Sulaiaman, Juz iii,
hal 123; Jami’ul Bayan, Juz 18, hal 605;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...