Oleh : Muhamad Asep
Kehadiran
Bank Syariah Mandiri sejak tahun 1999, sesungguhnya merupakan hikmah sekaligus
berkah setelah terjadinya krisis ekonomi tahun 1997-98. Sebagaimana diketahui,
krisis ekonomi dan moneter sejak tahun 1997, yang disusul dengan krisis
multi-dimensi termasuk di panggung politik nasional telah menimbulkan beragam
dampak negatife yang sangat hebat terhadap seluruh tatanan ekonomi negara.
Kondisi
perbankan yang mengalami likuiditas mendorong dunia perbankan untuk menaikan
suku bunga yang tinggi di mana hal tersebut ditujukan untuk menarik dana para
nasabah agar menanamkan dananya di bank dengan iming-iming mendapatkan bunga
yang lebih tinggi. Bahkan perbankan konvensional menawarkan kepada kreditur
nilai nominal bunga yang di dapat sebesar 60%. Hal ini mengakibatkan perbankan
konvensional menjadi tempat yang tidak menyenangkan bagi pelaku usaha yang
ingin meminjam dana untuk kebutuhan produktif maupun konsumtif sehingga banyak
bank yang diguncang isu yang menyebabkan rush dan berkurangnya kepercayaan rakyat
terhadap bank. Guna menjamin dan memulihkan kepercayaan tersebut banyak bank
yang ditutup atau diambill alih oleh pemerintah. Karena dibutuhkan biaya yang
besar melalui program restrukturisasi dan rekapitalisasi perbankan.
Upaya
intensif pendirian bank Islam disebut oleh peraturan perundang-undangan Indonesia
sebagai “Bank syariah” di Indonesia
dapat ditelusuri sejak 1988, yaitu pada saat pemerintah mengeluarkan Paket
Kebijakan Oktober (Pakto) yang mengatur deregulasi perbankan di Indonesia.
Setelah adanya rekomendasi dari Lokakarya Ulama tentang Bunga Bank dan
Perbankan di Cisarua (Bogor) pada 19-22 Agustus 1990, yang kemudian diikuti
dengan diundangkannya UU No. 7/1992 tentang Perbankan di mana perbankan bagi hasil mulai diakomodasi,
maka berdirilah Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang merupakan bank umum Islam
pertama yang beroperasi di Indonesia. Sejak saat itulah perkembangan Lembaga
Keuangan Syariah (LKS) menjadi salah satu pilar penyangga ekonomi bangsa dan
Negara yang berfalsafahkan Pancasila, di samping tetap menjaga eksistensi
ekonomi syariah yang telah berjalan pada bank konvensional yang ada selama ini.
Perkembangan
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) merupakan fenomena yang cukup menarik di
tengah-tengah upaya bangsa kita keluar dari krisis ekonomi. Industri perbankan
syariah tumbuh dengan berbagai produknya di tengah-tengah masyarakat untuk
berinvestasi di Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan menerapkan sistem ekonomi
syariah dalam aktivitas ekonominya.
Selama Lebih dari enam tahun beroperasi, kecuali UU
No. 7/1992 dan Peraturan Pemerintah No. 72/1992 praktis tidak ada peraturan
perundang-undangan lainnya yang mendukung beroperasinya Perbankan Syariah.
Ketiadaan perangkat hukum
pendukung ini memaksa perbankan syariah menyesuaikan produk-produk mereka
dengan hukum positif (peraturan
umum perbankan) yang berlaku di Indonesia,
yang notabene berbasis bunga/konvensional. Akibatnya ciri-ciri syariah yang
melekat padanya menjadi tersamar dan Bank Islam di Indonesia tampil seperti
layaknya Bank Konvensional. Dengan diundangkannya UU
No. 10/1998 tentang Perubahan
UU No. tentang perbankan,
maka secara tegas Sistem Perbankan Syariah ditetapkan sebagai bagian dari
Sistem Perbankan Nasional. UU tersebut telah diikuti dengan ketentuan
pelaksanaan dalam beberapa Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tanggal 12
Mei 1999, yaitu tentang Bank Umum, Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) dan BPR berdasarkan prinsip syariah.
Keleluasaan
yang diberikan oleh perundang-undangan yang baru tersebut telah mendapat
tanggapan yang positif dari kalangan perbankan yang kemudian munculah Bank
Syariah Mandiri (BSM) yang merupakan bank umum yang beroperasi secara penuh
berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Sebagai
lembaga intermediasi, bank konvensional menerima simpanan dari nasabah dan
meminjamkannya pada nasabah (unit ekonomi) lain yang membutuhkan dana. Atas
simpanan dana para nasabah itu, bank memberi
imbalan berupa bunga. Demikian pula, atas pemberian pinjaman itu bank
mengenakan bunga kepada para peminjam. Diakui bahwa peran bank konvensional itu
telah mampu memenuhi kebutuhan manusia dan aktivitas perbankan dapat dipandang
sebagai wahana bagi masyarakat modern untuk membawa mereka kepada pelaksanaan
kegiatan tolong-menolong dan menghindari adanya dana-dana yang menganggur (idle) sesuai dengan pelaksanaan dua
ajaran al-Qur’an yaitu:
1)
Prinsip
at-Ta’awun, yaitu saling membantu dan
saling bekerja sama di antara anggota masyarakat untuk kebaikan, sebagaimana
dinyatakan dalam al-
“…..Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran….”
(QS 5:2).
2)
Prinsip
menghindari Al-Iktinaz, yaitu menahan
uang (dana) dan membiarkannya menganggur (idle)
dan tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum,
sebagaiman dinyatakan dalam al-Qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu….” (QS 4:29).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...