Oleh: Misno Mohd Djahri
Setiap manusia
memiliki ide, gagasan dan pemikiran yang berbeda sehingga muncullah berbagai
teori dan ilmu pengetahuan. Perkembangan dari ilmu pengetahuan meniscayakan
adanya spesialisasi pada masing-masing disiplin ilmu, hingga pda perkembangan
berikutnya memengaruhi pola pikir seseorang dengan disiplin ilmunya
masing-masing. Berangkat dari sinilah kemudian sebuah ilmu akan dikuasai secara
mendalam oleh para pakarnya, bagaimana jika ada seorang yang menguasai banyak
cabang ilmu? Atau orang yang membahas dan berbicara disiplin ilmu yang bukan
bidangnya?
Islam sebagai
agama yang sangat memberikan perhatian kepada ilmu pengetahuan telah memberikan
jalan dalam mempelajari dan mendalami sebuah disiplin ilmu. Allah Ta’ala
berfirman dalam kalamNya:
يَرْفَعِ ٱللَّهُ
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍۢ
… niscaya Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. QS. Al-Mujadilah: 11.
Ayat menunjukan
tingkatan derajat yang lebih tinggi bagi para ahli, expert dan pemilik ilmu di
bidangnya masing-masing.
Permasalahan yang
muncul adalah ketika ada orang yang “merasa” memiliki kemampuan untuk membahas
dan berbicara tentang suatu displin ilmu namun sejatinya ia bukan ahli di
bidangnya. Maka dalam hal ini Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ
وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًۭا
Dan janganlah
kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya. QS. Al-Isra: 36.
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:
أن الله تعالى
نهى عن القول بلا علم بل بالظن الذي هو التوهم والخيال
“Allah Ta’ala
melarang untuk bicara tanpa ilmu, yaitu bicara dengan sekadar sangkaan yang
merupakan kerancuan dan khayalan” (Tafsir Ibnu Katsir).
Wahbah Zuhaili
berkata tentang makna ayat tersebut, “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang
tidak kamu ketahui, dan janganlah kamu ikut campur dalam hal yang tidak ada
hubungannya denganmu”. Maknanya adalah apabila ada seseorang yang tidak pakar
di bidang ilmu tertentu kemudian dia membahas dan membicarakannya maka itu
bukanlah ranah dia, karena kita tidak boleh berbicara tanpa ilmu. Maknanya tidak
boleh berbicara suatu bidang ilmu tanpa memiliki keahlian padanya.
Hal ini juga dilakukan
oleh shahabat Nabi yang mulia, Abu Bakar sangat takut ketika ia berkata yang
bukan bidangnya, padahal dia adalah orang yang pertama kali beriman kepada
Rasululullah, seraya berkata,
“أي
سماء تظلني؟ وأي أرض تقلني؟ إذا قلت في كلام الله ما لا أعلم”
“Langit mana
tempat saya bernaung, dan bumi mana tempat saya berpijak, jika saya berkata
tentang kitab Allah yang tidak saya ketahui,“ itulah komentar Abu Bakar ketika
ia ditanya tentang makna “Abba” dalam surah ‘Abasa ayat 31.
Demikian juga
sahabat Nabi lainnya, yaitu Umar bin Khattab, beliau tidak malu bertanya kepada
Ibnu Abbas tentang tafsir surah An Nasr; Umar bertanya kepadanya karena Ibnu
Abbas pernah didoakan oleh Nabi saw,
“ اللهم فقهه فى
الدين وعلمه التأويل “
“Ya Allah jadikanlah Ibnu Abbas orang yang dalam ilmu agamanya dan
ajarkan ia ilmu tafsir.”
Riwayat-riwayat
tersebut memberikan pesan buat kita bahwa ulama itu memilki kepakarannya
masing-masing, sebagaimana Umar bertanya kepada Ibnu Abbas tentang tafsir
karena ia tidak memiliki pengetahuannya tentangnya.
Maka kita
sebagai orang yang masih banyak belajar, hendaknya berhati-hati dalam
memberikan pembahasan atau berbicara yang bukan kepakaran kita. Apalagi kita
merasa paling pintar dalam bidang yang bukan bidang kita, sampai-sampai
menyepelekan orang lain yang pakar dengan kita.
Kemudian juga
ada kasus di mana seseorang yang bukan pakar di bidang tertentu, misalnya
ekonomi syariah, tetapi dia sok tahu membahas, membicarakan hingga merumuskan
satu kurikullum bidang ekonomi syariah. Tentu ini tidak elegan dan tidak sesuai
dengan apa yang telah digariskan oleh Islam. Apalagi jika merujuk kepada sabda
Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam:
إِذَا
ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ. قَالَ كَيْفَ
إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ إِذَا أُسْنِدَ الْأَمْرُ
إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ . فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam bersabda: “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja
kehancuran terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya ‘Bagaimana maksud amanat
disia-siakan? Nabi menjawab; “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka
tunggulah kehancuran itu.” Bukhari.
Hadits ini menunjukan
mengenai bahayanya suatu Amanah baik berupa pekerjaan atau yang lainnya diserahkan
kepada bukan ahlinya. Karena jika demikian adanya maka kehancuran ada di depan
mata dan tunggu kehancurannya. Demikian pula ketika ada seseorang yang
berbicara, membahas atau menulis satu bidang ilmu yang bukan keahliannya, maka
tentu saja kerusakan yang akan terjadi.
Oleh karena
itu, hendaknya bagi kita yang diberikan sedikit ilmu ini terus belajar, jangan
pernah sombong dan membahas serta membicarakan disiplin ilmu yang bukan keahlian
kita. Apalagi sok tahu dan menyepelekan orang lain, ini tentu sangat berbahaya
dan bisa terjatuh pada kesesatan. Selain itu hendaknya kita selalu muhasabah
diri, berlaku lebih tawadhu (rendah hati), zuhud dan akhlak mulia lainnya
sebagaimana padi yang ketika semakin berisi akan semakin merunduk. Wallahu a’lam
30 Juni 2022.