Oleh: Dr. Misno, MEI
Mudharabah diambil dari kata dharaba
yakni: melakukan perjalanan untuk berdagang. Hal ini sesuai dengan firman Allah surat
al-Muzammil [73]: 20:
…
وَءَاخَرُونَ يَضۡرِبُونَ فِي ٱلۡأَرۡضِ يَبۡتَغُونَ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ …
Artinya: “dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian
karunia Allah.”
Mudharabah dalam bahasa Arab juga
berasal dari kata: رب , yang
sinonimnya: جر إِت , seperti dalam kalimat: yang artinya: إِت yakni: ia memberikan modal untuk
berdagang kepada fulan. (Muslich, 2013).
Kata ب juga berarti memukul dan berjalan. Pengertian memukul dan
berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memikulkan kakinya dalam
menjalankan usaha. (Antonio, 2010).
Secara etimologi mudharabah adalah
kontrak atau perjanjian antara pemilik modal (rab al-mal) dan pengguna
dana (mudharib) untuk digunakan untuk aktivitas yang produktif di mana
keuntungan dibagi antara pemilik modal dan pengelola modal. (Mardani, 2012).
Para ulama mendefinisikan mudharbah, diantaranya:
Sayyid Sabiq mendefinisikan
mudharabah dengan “ akad yang dilakukan oleh dua pihak, yang salah satu pihak
menjadi pemodal untuk diperdagangkan, dengan ketentuan keuntungan dibagi dua
sesuai dengan kesepakatan bersama.” Sementara Ibnu Qudamah mendefinisikan
mudharabah dengan “ pihak pemodal menyerahkan sejumlah modal kepada pihak
pengelola untuk diperdagangkan, dan selanjutnya berhak mendapat bagian tertentu
dari keuntungan.” Imam Taqiyyuddin mendefinisikan mudharabah dengan “Akad atas
harta, yang kemudian dikelola oleh pihak pengelola modal untuk perdagangan.”
Nisbah bagi hasil antara pemodal dan
pengelola modal harus disepakasi diawal perjanjian. Besarnya nisbah bagi hasil
masing- masing pihak tidak
diatur dalam syariah,
tetapi tergantung kesepakatan mereka.
Nisbah bagi hasil bisa dibagi rata 50:50, tetapi bisa juga 30:70, 60:40, atau
proporsi yang disepakati.
Di luar porsi bagi hasil yang
diterima pengelola, pengelola tidak diperkenankan meminta gaji atau konpensasi
lainnya untuk hasil kerjanya. Semua mazhab sepakat dalam hal ini. Namun demikian,
Imam Ahmad memperbolehkan pengelola untuk mendapatkan uang makan harian dari
rekening mudharabah. Ulama dari mazhab Hanafi memperbolehkan untuk mendapatkan
uang harian seperti, akomodasi, makan, dan transportasi apabila dalam
perjalanan bisnis luar kota. (Ascarya, 2015).
Dasar Hukumnya adalah Firman
Allah surat al-Muzammil [73]: 20 :
…
وَءَاخَرُونَ يَضۡرِبُونَ فِي ٱلۡأَرۡضِ يَبۡتَغُونَ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ …
Artinya:
“… dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah
S.W.T...”
Firman Allah surat al-Jumu`ah 62:10:
فَإِذَا
قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ
ٱللَّهِ …
Artinya:
“…apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah
karunia Allah S.W.T...”
Firman Allah surat al-Baqarah 2:
198:
لَيۡسَ
عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَبۡتَغُواْ فَضۡلٗا مِّن رَّبِّكُمۡۚ …
Artinya: “Tidak ada dosa (halangan) bagi kamu untuk mencari karunia
Tuhanmu...”.
Dasar hukum dari hadits adalah
riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib, di mana Nabi Muhammad SAW bersabda:
ثَلاَثٌ
فِيْهِنَّ الْبَرَكَةُ : اَلْبَيْعُ اِلَى أَجَلٍ، وَالْمُقَارَضَةُ، وَإِخْلاَطُ الْبُرِّ
بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ.
Artinya:
“Dari shuhaib r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda: ada tiga perkara yang di
dalamnya terdapat keberkahan: jaul beli secara tangguh, muqharadah, dan
mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual “.
Berikutnya adalah hadits riwayat Thabrani:
كَانَ
سَيِّدُنَا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ إِذَا دَفَعَ الْمَالَ مُضَارَبَة
اِشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ أَنْ لاَ يَسْلُكَ بِهِ بَحْرًا، وَلاَ يَنْزِلَ بِهِ وَادِيًا،
وَلاَ يَشْتَرِيَ بِهِ دَابَّةً ذَاتَ كَبِدٍ رَطْبَةٍ، فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ ضَمِنَ،
فَبَلَغَ شَرْطُهُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَأَجَازَهُ
)رواه الطبراني فى الأوسط عن ابن عباس
Artinya ”Adalah
Abbas bin Abdul Muththalib, apabila ia menyerahkan sejumlah harta dalam
investasi mudharabah, maka ia membuat syarat kepada mudharib, agar harta itu
tidak dibawa melewati lautan, tidak menuruni lembah dan tidak dibelikan kepada
binatang, Jika mudharib melanggar syarat-syarat tersebut, maka ia bertanggung
jawab menanggung risiko. Syarat-syarat yang diajukan Abbas tersebut sampai
kepada Rasulullah Saw, lalu Rasul membenarkannya”.
(HR
ath_Thabrani). Hadits ini menjelaskan praktik mudharabah muqayyadah.
Hadits tersebut menjelaskan bahwa
kegiatan mudharabah adalah salah satu kegiatan yang diberkahi. Nabi penah
memberi syarat kepada mudharib dalam transsaksi mudharabah dan Apabila
persyaratan tersebut dilanggar mudharib siap menanggung resiko yang
telah diperbuat.
Dasar hukum dari Kaidah Fiqih
adalah:
الأصل
فى المعاملة الإباحة إلا أن يدل دليل على تحريمها
“Segala bentuk muamalah pada dasarnya adalah mubah (boleh) kecuali
ada dalil yang mengharamkannya”.
Rukun dan syarat-nya mayoritas
ulama fiqih membagi rukun mudharabah menjadi tiga, yaitu:
1)
`Aqid
(pemilik modal dan pengelola modal).
2)
Ma`qud
`alaih (modal, usaha, dan keuntungan).
3)
Shigat
(ijab dan kabul).
Adapun yang menjadi syarat sahnya
akad mudharabah yang berhubungan dengan rukun-rukun itu sendiri, yaitu:
a.
Disyaratkan
kedua belah pihak pemilik modal dan pelaksana usaha, keduanya harus memiliki
kompetensi beraktifitas dalam pengertian kedua belah pihak sudah dewasa,
berakal, cakap dan tidak dilarang dalam emeberdayakan hartanya.
b.
Objek
transaksi seperti modal harus berupa mata uang, harus diketahui dengan jelas
ukurannya dan bukan berbentuk tangguhan, dapat diserah terimakan kepada pihak
pengelola modal.
c.
Untuk
bentuk usaha berbentuk perniagaan, tidak menyusahkan pengelola modal dengan
ketentuan-ketentuan menyulitkan.
d.
Nisbah
keuntungan harus diketahui secara jelas ukurannya dan dibagi dengan presentase
yang bersifat seimbang atau merata.
e.
Pemilik
modal melafalkan ijab seperti “aku serahkan modal ini kepadamu untuk usaha,
jika terdapat keuntungan akan dibagi dua” dan ucapan qobul dari pengelola
modal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...