Oleh: Dr. Misno, MEI
Musyarakah mutanaqishah merupakan produk turunan dari akad musyarakah, yang merupakan
bentuk akad kerjasama antara dua pihak atau lebih. Kata dasar dari musyarakah
adalah syirkah yang berasal dari kata syaraka-yusyriku-syarkan-syarikan-syirkatan
(syirkah), yang berarti kerjasama, perusahaan atau kelompok/kumpulan.
Musyarakah atau syirkah adalah merupakan kerjasama antara modal dan keuntungan.
Sementara mutanaqishah berasal dari kata yatanaqishu-mutanaqishun yang
berarti mengurangi secara bertahap. (Hosen, 2018)
Ada beberapa pendapat ulama tentang
musyarakah mutanaqishah yang terdapat dalam fatwa DSN MUI No.73 antara lain:
Pendapat Ibnu Qudamah tentang mudharabah adalah: Apabila salah satu dari dua
yang bermitra (syarik) membeli porsi (bagian, hishshah) dari syarik lainnya,
maka hukumnya boleh, karena (sebenarnya) ia membeli milik pihak lain.
Pendapat Ibn Abidin tentang musyarakah
mutanaqishah: Apabila salah satu dari dua orang yang bermitra (syarik)
dalam (kepemilikan) suatu banguan menjual porsi (hissah)-nya kepada pihak lain,
maka hukumnya tidak boleh; sedangkan (jika menjual porsinya tersebut) kepada
syarik-nya, maka hukumnya boleh.
Pendapat Wahbah Zuhaili tentang
musyarakah mutanaqishah: “Musyarakah mutanaqishah ini dibenarkan dalam syariah,
karena sebagaimana Ijarah Muntahiyah bi-al-Tamlik bersandar pada janji
dari Bank kepada mitra (nasabah)-nya bahwa Bank akan menjual kepada mitra porsi
kepemilikannya dalam Syirkah apabila mitra telah membayar kepada Bank harga
porsi Bank tersebut.
Di saat berlangsung, Musyarakah
mutanaqishah tersebut dipandang sebagai Syirkah ‘Inan, karena kedua belah pihak
menyerahkan kontribusi ra’sul mal, dan Bank mendelegasikan kepada
nasabah-mitranya untuk mengelola kegiatan usaha. Setelah selesai Syirkah Bank
menjual seluruh atau sebagian porsinya kepada mitra, dengan ketentuan akad
penjualan ini dilakukan secara terpisah yang tidak terkait dengan akad
Syirkah.”
Pendapat Kamal Taufiq Muhammad
Hathab tentang musyarakah mutanaqishah: Mengingat bahwa sifat (tabiat)
musyarakah merupakan jenis jual-beli --karena musyarakah dianggap sebagai
pembelian suatu porsi (hishshah) secara musya’ (tidak ditentukan atas
batasnya) dari sebuah pokok-- maka apabila salah satu mitra (syarik) ingin
melepaskan haknya dari syirkah, maka ia menjual hishshah yang dimilikinya itu,
baik kepada pihak ketiga maupun kepada syarik lainnya yang tetap melanjutkan
musyarakah tersebut.
Pendapat Nuruddin Abdul Karim
al-Kawamilah tentang musyarakah mutanaqishah: Studi ini sampai pada kesimpulan
bahwa Musyarakah Mutanaqisah dipandang sebagai salah satu macam pembiayaan
Musyarakah dengan bentuknya yang umum; hal itu mengingat bahwa pembiayaan
musyarakah dengan bentuknya yang umum terdiri atas beberapa ragam dan macam
yang berbeda-beda. Dilihat dari sudut “kesinambungan pembiayaan” (istimrariyah
al-tamwil), musyarakah terbagi menjadi tiga macam: pembiayaan untuk satu
kali transaksi, pembiayaan musyarakah permanen, dan pembaiayaan musyarakah
mutanaqishah.
Pembiayaan MMQ merupakan bentuk
pembiayaan kemitraan berbasis bagi hasil antara pihak BUS/UUS/BPRS dan pihak
Nasabah dalam rangka kepemilikan suatu aset properti tertentu yang dimiliki
bersama berdasarkan prinsip syirkah 'inan dimana hishshah (porsi modal) pihak
Bank berkurang dan beralih secara bertahap kepada pihak Nasabah melalui
mekanisme pembelian angsuran atau pengalihan secara komersial (bai').
Bagi hasil antara pihak Bank dan pihak Nasabah didasarkan pada hasil penggunaan
manfaat atas asset bersama tersebut secara komersial berupa pendapatan ujroh
dari penyewaan aset dengan akad ijarah (sewa) sesuai nisbah bagi hasil
dan biaya sewa yang disepakati.
Dasar Hukumnya adalah Firman Allah
surat QS. Shad 38: 24:
…
وَإِنَّ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلۡخُلَطَآءِ لَيَبۡغِي بَعۡضُهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٍ إِلَّا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَقَلِيلٞ مَّا هُمۡۗ …
Artinya:
"…Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang yang bersyarikat itu sebagian
dari mereka berbuat zalim kepada sebagian lain, kecuali orang yang beriman dan
mengerjakan amal shaleh; dan amat sedikitlah mereka ini…."
Demikian juga firman Allah surat QS.
al-Ma’idah [5]: 1:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوۡفُواْ بِٱلۡعُقُودِۚ …
Artinya: “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”
Berikutnya adalah hadits riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah,
Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ
اللهَ تَعَالَى يَقُولُ : أَنَا ثَالِثٌ الشَرِيكَينِ مَالَم يَخُن أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ،
فَإِذَاخَانَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ خَرَجتُ مِن بَينِهِمَا
“Allah
swt. berfirman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama
salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak
telah berkhianat, Aku keluar dari mereka.” (HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh
alHakim, dari Abu Hurairah).
Hadits selanjutnya adalah Nabi
riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
الصُّلْحُ
جَا ئِزٌ بَينَ المُسْلِمِيْنَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالََا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
وَالمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِم إِلَّاشَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْأَحَلَّ حَرَا
مًا
“Perdamaian
dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan
syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.”
Hadits tersebut menejaskan Allah
akan bersama dua orang yang berserikat. Allah akan memberkahi kedua orang yang
berserikat dengan catatan tidak ada yang mengkhianati satu dengan lainnya. Jika
ada yang berkhianat Allh akan mencabut keberkahan dari perserikatan tersebut.
Dan apabila diantara orang yang berserikat itu berselisih, pilihlah jalan
perdamian sebagai pilihan yang baik.
Dasar hukum Kaidah Fiqih adalah pada
dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.”
الأصل
فى المعاملة الإباحة إلا أن يدل دليل على تحريمها
“Segala bentuk muamalah pada dasarnya adalah mubah (boleh) kecuali
ada dalil yang mengharamkannya”
Rukun dan Syarat. Sebagai
sebuah perjanjian, syirkah atau perserikatan harus memenuhi segala rukun dan
syaratnya agar perjanjian tersebut sah dan mempunyai akibat hukum seperti
undang-undang bagi pihak- pihak yang mengadakan. (Ascarya, 2015). Adapun yang
menjadi rukun syirkah menurut ketentuan syariat islam adalah sebagai berikut
(Anshori, 2010).:
1.
Sighat
(lafadz akad), Sighat pada hakikatnya adalah kemauan para pihak untuk mengadakan serikat/Kerjasama dalam
menjalankan suatu usaha. Contoh lafadz akad: “Aku bersyirkah denganmu untuk
untuk urusan ini atau itu” dan pihak lain berkata: “Telah aku terima”.
2.
Syarik
adalah mitra, yakni pihak yang melakukan akad syirkah (musyarakah).
3.
Hishshah
adalah porsi atau bagian syarik dalam kekayaan musyarakah yang bersifat musya`.
4.
Musya`
adalah porsi atau bagian syarik dalam kekayaan musyarakah (milik bersama)
secara nilai dan tidak dapat ditentukan batas-batasnya secara fisik (Fatwa DSN
No. 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Musyarakah Mutanaqishah).
5.
Pokok
pekerjaan, setiap perserikatan harus memiliki tujuan atau kerangka kerja yang
jelas, serta dibenarkan menurut syariah.
Dalam akad musyarakah mutanaqishah
terdapat unsur kerjasama (syirkah) dan unsur sewa (ijarah). Kerjasama dilakukan
dalam hal penyertaan modal atau dana dan kerjasama kepemiikan. Sementara sewa
merupakan kompensasi yang diberikan salah satu pihak kepada pihak lain.
Ketentuan pokok yang terdapat dalam musyarakah mutanaqishah merupakan ketentuan
pokok kedua unsur tersebut. Maka syarat dari pelaksanaan akad syirkah adalah
sebagai berikut:
a.
Masing-masing
pihak harus menunjukkan kesepakatan dan kerelaan untuk saling bekerjasama.
b.
Antar
pihak harus saling memeberikan rasa percaya dengan yang lain.
c.
Dalam
pencampuran hak masing-masing dalam kepemilikan obyek akad tersebut.
d.
Akad
musyarakah mutanaqishah dapat diijarahkan kepada syarik atau pihak lain.
e.
Apabila
aset musyarakah menjadi obyek ijarah, maka syarik (nasabah) dapat menyewa aset
tersebut dengan nilai ujrah yang disepakati.
f.
Keuntungan
yang diperoleh dari ujrah tersebut dibagi sesuai dengan nisbah yang telah
disepakati dalam akad, sedangkan kerugian harus berdasarkan proporsi
kepemilikan. Nisbah keuntungan dapat mengikuti perubahan proporsi kepemilikan
sesuai kesepakatan para syarik.
g.
Kadar
atau Ukuran atau bagian atau porsi kepemilikan asset Musyarakah syarik (LKS)
yang berkurang akibat pembayaran oleh syarik (nasabah), harus jelas dan
disepakati dalam akad.
h.
Biaya
perolehan aset Musyarakah menjadi beban bersama sedangkan biaya peralihan
kepemilikan menjadi beban pembeli.
Karena akad musyarakah mutanaqishah
berkaitan dengan unsur sewa. Maka ketentuan pokoknya mengikuti rukun dan syarat
pada akad ijarah .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...