Rabu, 30 Juni 2021

Islam di Tatar Sunda

*Islam di Tatar Sunda*

Penulis: 
_Abdurrahman Misno_


 
Budaya sebagai satu sistem karya, karsa dan cipta manusia dipahami memiliki beberapa unsur diantaranya adalah kepercayaan dan sistem hukum. Sementara Islam sebagai agama universal dipahami sebagai agama yang yang memberikan ruang bagi adat kebiasaan dalam sebuah sistem budaya di manapun berada. Maka pertemuan Islam dan Budaya di Tatar Sunda menjadi hal yang sangat menarik untuk diperbincangkan. Sebuah pertemuan yang menghasilkan harmoni dan Islam dengan nuansa lokal serta budaya Sunda yang bernafaskan Islam. Munculnya istilah *Sunda teh Islam* atau _Fiqh Sunda_ bukanlah suatu kebetulan, dalam kajian fiqh sejak dahulu telah muncul fiqh dengan corak Arab, Mesir, Iraq dan yang lainnya. Maka istilah Fiqh Sunda lahir dari sebuah keniscayaan dalam perkembangan hukum Islam di Tatar Sunda.

Buku membahas mengenai Islam di Tatar Sunda atau yang dalam bahasa sekarang Provinsi Jawa Barat dan Banten. Pembahasan meliputi masalah spiritualitas Sunda yang ternyata memiliki korelasi kuat dengan keyakinan adanya satu Tuhan (_Ilaah_), masalah ibadah terkait dengan kekhasan dari ibadah yang ada di Tatar Sunda hingga _muamalah al-maaliyah_ yang salah satunya dibahas mengenai keyakinan tidak bolehnya membungakan uang di kalangan komunitas Sunda. 
Sebuah buku yang layak menjadi referensi anda dalam memahami Islam dan budaya lokal di Nusantara khususnya budaya Sunda. Selamat membaca...

Info: Abd Misno: 085885753838

Jumat, 25 Juni 2021

Mashlahat Syariat untuk Ummat

*Mashlahah Syariah untuk Ummah*


Syukur kepada Allah Ta'ala yang telah menganugerahkan kepada Kita Nikmat iman, Islam dan ikhsan, serta Shalawat dan salaam semoga tercurah kepada Nabi al Musthofa, Shalallahu Alaihi wassalam. Kepada seluruh ahli baitnya, para Shahabatnya serta orang orang yang mengikuti jejak sunnahnya hingga akhir zaman. 

Khatib berwasiat kepada diri Khatib Pribadi dan kepada seluruh Jamaah Jum'ah rahimakumullah. 
Wasiat Taqwa yang bermakna *Optimalisasi Jiwa dan Raga untuk Meraih Ridha Allah Azza Wa Jalla* 
Ketaqwaan yang diawali dengan Keyakinan dalam hati, ucapan dengan lisan serta amal dengan anggota badan. 

Iman dan Ketaqwaan akan membawa kepada ketenangan, sebagaimana firmanNya: QS. Al Maidah: 64 "..... "
Ketaqwaan yang memberikan kemashlahatan bagi individu dan masyarakat luas. Termasuk untuk bangsa dan negara.

Syariah sebagai pedoman dalam Islam memiliki esensi tunggal yaitu mashlahah bagi ummah. 

Kenapa Kita harus beriman? Karena hanya iman yang akan menjadikan hidup terasa Aman. 

Kenapa riba itu haram? Karena dampaknya akan menghancurkan suatu Negara. 

Kenapa zina diharamkan? Karena ia akan merusak tatanan masyarakat. 

Jawaban dari Itu semua adalah karena segala bentuk ketakwaan akan membawa kepada kemashlahatan, sedangkan segala bentuk kemaksiatan akan membawa kepada kemudharatan. 

Maka, Syariat Islam sejatinya hadir untuk kemashlahatan umat manusia. Sebagai rahmat untuk semua... 

Wallahua'lam.

Senin, 07 Juni 2021

Maha Karya Pustaka di Tatar Sunda

📜 *Maha Karya Pustaka di Tatar Sunda* 📜


⚜️⚜️⚜️⚜️⚜️⚜️⚜️⚜️⚜️⚜️⚜️
🪴Tatar Sunda adalah sebuah wilayah di bagian barat pulau Jawa yang telah ada sejak dahulu kala. Cerita dan legenda yang ada di wilayah ini menunjukan warisan budaya yang kaya bahkan sejak masa pra sejarah. Budaya yang berkembang mencerminkan tingginya peradaban di Bumi Parahyangan ini. 

✍🏻✍🏻✍🏻✍🏻✍🏻✍🏻✍🏻✍🏻✍🏻✍🏻✍🏻
📖Peradaban menulis telah ada sejak awal berdirinya kerajaan di wilayah ini. Terbukti dengan ditemukannya berbagai maha karya dalam bentuk tulisan yang tertuang ke dalam berbagai media; batu, kayu, bambu, daun lontar, kertas dan media lainnya. Semua itu menunjukan bahwa Tatar Sunda sangat kaya dengan budaya menulis dan tentu saja membaca. 

📜📘📗📙📚🔴📚📙📗📘📜
Buku “Maha Karya di Tatar Sunda” ini merupakan kumpulan dari warisan budaya Sunda dalam bentuk tulisan, yaitu; Amanat Galunggung, Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian, Serat Maha Purwa, Sewaka Dharma, Bujangga Manik, Carita Parahyangan, Carita Ratu Pakuan, Cariosan Siliwangi dan Uga Wangsit Siliwangi.  

❓‼️⁉️Bagaimana sejatinya budaya di Tatar Sunda di masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang? 

✅Silahkan tela’ah buku yang luar biasa ini. 

_Tebal Buku: 512 Halaman_
_Cover: Hard Cover dan Soft Cover_

⏭️Info Pembelian: 
Abd Misno 
📲 085885753838


Harga Buku *Maha Karya di Tatar Sunda*
Soft Cover: Rp. 100.000
Hard Cover: Rp. 125.000
Buku setebal 500 halaman.

Sabtu, 05 Juni 2021

Metodologi Penelitian Bidang Muamalah, Ekonomi dan Bisnis

📚 *Metodologi Penelitian Bidang Muamalah, Ekonomi dan Bisnis* 📚


🎓 _Masih bingung menyusul Skripsi, Tesis dan Disertasi karena minim literature Metode Penelitian?_
🏆 _Ingin paham Metodologi Penelitian dalam bidang Muamalah, Ekonomi dan Bisnis?_

🎊🎊🎊🎊🎊🎊🎊🎊🎊🎊🎊
📗 Buku yang ditulis oleh para pakar dalam bidang Metodologi Penelitian ini menjadi solusinya. 

Membahas secara Komprehensif mengenai Metode Penelitian bidang Muamalah, Ekonomi dan Bisnis dari teori dasar hingga Praktik pelaksanaanya. 

🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱🌱
Informasi dan Diskusi: 

Dr. Abd Misno, MEI
📲 *085885753838*

Rabu, 02 Juni 2021

THE LIVING MAQASHID

 

THE LIVING MAQASHID

Memahami Tujuan Syariah Islam dalam Bingkai Perubahan

Oleh: Dr. Abd Misno, MEI

 

 

PENDAHULUAN

=======

 

Islam adalah agama yang paripurna, ia mengatur seluruh sendi kehidupan manusia. Dari seseorang bangun tidur sampai tidur lagi, bahkan ketika sedang terlelap tidur telah ada aturannya dalam Islam. Demikian pula Islam mengatur dari masalah aqidah dan kepercayaan, ibadah ritual hingga muamalah dengan sesama umat manusia dan semesta. Islam mengatur masalah-masalah kecil semacam aturan dalam buang air kecil, ia juga mengatur masalah besar semisal politik dan urusan kenegaraan serta hubungan internasional.

Sifat paripurna dari Islam juga tampak dari maksud dan tujuan kehadirannya bagi umat manusia. Ia hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam, memberikan petunjuk dan pedoman dalam bertingkah laku, bermuamalah hingga berbangsa dan bernegara. Maksud dan tujuan syariah Islam yang dikenal dengan Maqashid Syariah memberikan perlindungan kepada seluruh umat manusia agar mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Imam Al-Ghazali dan Asy-Syathibi merumuskannya dalam maqashid al-khmasah yaitu; melindungi agama, nyawa, akal, keturunan dan harta benda. Perlindungan terhadap agama menjadi tujuan utama syariah, yaitu melindunginya dari berbagai penyimpangan sehingga tujuan diciptakannya jin dan manusia akan tercapai yaitu hanya beribadah kepada Allah Ta’ala. Selanjutnya adalah melindungi segala hal terkait dengan kebutuhan dasar dari manusia, nyawa mereka harus terlindungi, akal mereka harus senantiasa terpelihara, keturunan mereka harus dijaga hingga harta bendanya tidak boleh dilanggar oleh yang lainnya.

Seiring dengan perkembangan zaman, maka teori tentang Maqashid Syariah juga terus berkembang, dalam makna term hifdz bukan hanya sekadar menjaga atau melindungi namun lebih dari itu adalah mengembangkan dan menstimulus agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada di masyarakat. Maka berbagai pemikiran mengenai maqashid syariah yang dihasilkan dari kajian mendalam melahirkan temuan-temuan baru terkait dengan hikmah at-tasyri’ atau maksud dan tujuan syariah.

Jika pada awal perkembangannya maqashid syariah hanya membahas lima hal saja yang dikenal dengan maqashid al-khamsah, maka saat ini berkembang dengan adanya hifdz al-bi’ah (menjaga lingkungan), hifdz daulah (menjaga negara) dan hifdz al-ummah (menjaga umat) Islam dari segala bentuk penyimpangan baik dari sisi aqidah, ibadah ataupun muamalah.

Perkembangan dari maqashid syariah tidak lepas dari perubahan karena waktu dan tempat di mana Islam berada. Kebutuhan manusia di masa lalu berbeda dengan kebutuhan di masa sekarang, tentu saja selain kebutuhan yang akan selalu ada seperti makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Demikian pula tempat yang berbeda meniscayakan adanya kebutuhan yang berbeda di antara manusia yang tinggal di berbagai tempat di seluruh dunia.

Mereka yang tinggal di wilayah padang pasir memiliki kebutuhan yang berbeda dengan yang tinggal di wilayah bersalju, demikian pula yang tinggal di wilayah tropis akan berbeda kebutuhannya dengan mereka yang tinggal di wilayah sub tropis. Maka, bagaimana syariah Islam menanggapi hal ini? apakah maksud dan tujuan syariah tidak akan berubah karena perbedaan waktu dan tempat? Atau mengalami dinamisasi bersamaan dengan perubahan tersebut?.

The Living Maqashid adalah maqashid syariah yang terus bergerak secara dinamis seiring perubahan zaman. Kehidupan umat manusia yang terus berubah karena perkembangan tekhnologi meniscayakan adanya perkembangan dalam teori maqashid syariah. Demikian pula perubahan waktu dan tempat di mana Islam berkembang meniscayakan adanya pergerakan tersebut.

Imam Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya I’lamul Muwaqi’in menyatakan:

تغير الفتوى بتغير الزمان والمكان والاحوال والعادة

Taghayyur al-fatwa wakhtilafuhā bi sababi taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwāl wa an-niyah wa al-awā’id. (Perubahan fatwa dan perbedaanya disebabkan berubahnya waktu dan tempat, kondisi masyarakat, niat dan adat).

Ibnu Qayyim menyatakan pula bahwa ijtihad, sebagai perwujudan berfikir merdeka, bersifat kontekstual dengan perkembangan zaman, situasi dan kondisi. Atas dasar hal tersebut, untuk melakukan ijtihad seorang mujtahid harus memahami hal ihwal manusia, kultur masyarakat dan ilmu-ilmu bantu yang senantiasa berubah, sehingga mujtahid dalam ijtihadnya dapat terhindar dari kekeliruan. dan mengacu pada jiwa syari’at.

Pada bagian lainnya beliau mencatat:

وقد اتفقت كلمة فقهاء المذاهب على أن الأحكام التي تتبدّل بتبدّل الزمان وأخلاق الناس هي الأحكام الاجتهادية من قياسية ومصلحية، أي: التي قررها الاجتهاد بناء على القياس أو على دواعي المصلحة، وهي المقصودة بالقاعدة الآنفة الذكر: "لا ينكر تغير الأحكام بتغير الأزمان". أمّا الأحكام الأساسية التي جاءت الشريعة لتأسيسها وتوطيدها بنصوصها الأصلية الآمرة الناهية كحرمة المحرمات المطلقة،  فهذه لا تتبدَّل بتبدُّل الأزمان بل هي الأصول التي جاءت بها الشريعة لإصلاح الأزمان والأجيال

Dan pendapat seluruh ulama madzhab telah sepakat bahwa hukum syariat yang bisa berubah dengan berubahnya zaman dan perilaku manusia, adalah hukum-hukum yang bersifat ijtihadi yang berlandaskan analogi dan maslahat, atau: yang ditetapkan karena ijtihad yang berlandaskan qiyas dan maslahat, maka inilah maksud daripada kaidah “tak diingkari perubahan hukum dengan perubahan zaman”. Sedangkan hukum asasi yang dengannya satang syariat sebagai pondasinya melalui nushus (quran dan hadits) yang asli menunjukkan perintah dan larangan seperti keharaman mendekati hal-hal yang diharamkan secara mutlak, maka itu semua tidak boleh berganti hanya dengan perubahan zaman akan tetapi dia tetap berdiri sebagai pondasi yang datang syariat dengannya untuk mengevaluasi zaman dan generasi. (Ibnu Al-Qayyim: 1/49).

Jika fatwa hukum akan mengalami perubahan karena berubahnya waktu dan tempat, maka maksud dan tujuan syariah yang menjadi dasar dari perubahan tersebut mestilah akan senantiasa mengikuti perkembangan zaman atau ada di berbagai tempat sebagai wujud fitrah penciptaan Allah Ta’ala atas semua makhlukNya.

Imam Al-Qarrafi juga berpendapat adanya perubahan karena kebiasaan yang ada di masyarakat dalam kitabnya Al-furuq:

أَنَّ الْأَحْكَامَ الْمُتَرَتِّبَةَ عَلَى الْعَوَائِدِ تَدُورُ مَعَهَا كَيْفَمَا دَارَتْ وَتَبْطُلُ مَعَهَا إذَا بَطَلَتْ كَالنُّقُودِ فِي الْمُعَامَلَاتِ فَإِذَا تَغَيَّرَتْ الْعَادَةُ فِي النَّقْدِ وَالسِّكَّةِ إلَى سِكَّةٍ أُخْرَى حُمِلَ الثَّمَنُ فِي الْبَيْعِ عِنْدَ الْإِطْلَاقِ عَلَى السِّكَّةِ الَّتِي تَجَدَّدَتْ الْعَادَةُ بِهَا دُونَ مَا قَبْلَهَا

Sesungguhnya Hukum yang tersusun atas kebiasaan maka akan eksis sebagaimana kebiasaan tersebut, dan akan batal sebagaimana kebiasaan itu pula, seperti uang tunai dalam muamalat. Maka apabila adat dalam pembayaran telah berubah kepada bentuk mata uang yang lain, maka metode dan pembayarannya pun turut berubah kepada yang telah diperbaharui (Al-Qarrafi: 1/176).

Perubahan yang ada di masyarakat akan berpengaruh terhadap perubahan hukumnya, dan perubahan hukum tersebut salah satunya adalah karena adanya kemashlahatan yang bisa diraih selain menhilangkan kesusahan yang ada. Maka jelas sekali bahwa pada beberapa bagian khususnya yang bersifat haajiyat maka perubahan dari maqashid Syariah menjadi sebuah keniscayaang.

Bagaimana maqashid syariah bergerak dinamis seiring perubahan zaman? Buku ini akan membahas bagaimana sejatinya maksud dan tujuan syariah itu akan senantiasa relevan kapan saja, di mana saja dan dalam keadaan bagaimanapun juga. Inilah sejatinya makna dari rahmatan lill’alamiin menjadi rahmat untuk semua kapan saja dan di mana saja.

Selasa, 01 Juni 2021

Teori Maqashid Syariah Imam Asy-Syathibi


Imam Syathibi dalam kitab al-Muwafaqat menyusun kaidah-kaidah maqashid syari’ah yang harus dijadikan dasar dalam ijtihad dengan mendasarkan pada maqashid syari’ah. Seluruh kaidah-kaidah maqashid diklasifikasikan oleh Syathibi ke dalam tiga kategori besar: kaidah-kaidah yang berkaitan dengan tema maslahat dan mafsadat, kaidah-kaidah yang berkaitan dengan dasar penghilangan kesulitan, dan kaidah-kaidah yang berhubungan dengan akibat-akibat perbuatan dan tujuan orang-orang mukallaf.

Kategori pertama menekankan pada realisasi kemaslahatan sebagai tujuan dari ketentuan hukum Islam. Termasuk ke dalam kategori ini adalah kaidah-kaidah sebagai berikut:

أَنَّ وَضْعَ الشَّرَائِعِ إِنَّمَا هُوَ لِمَصَالِحِ الْعِبَادِ فِي الْعَاجِلِ وَالْآجِلِ مَعًا

Penentuan hukum-hukum syari’at adalah untuk kemaslahatan hamba, baik untuk saat ini maupun nanti.

أَنَّ الطَّاعَةَ أَوِ الْمَعْصِيَةَ تَعْظُمُ بِحَسَبِ عِظَمِ الْمَصْلَحَةِ أَوِ الْمَفْسَدَةِ النَّاشِئَةِ عَنْهَا

Yang bisa dipahami dari penentuan Tuhan adalah bahwa ketaatan dan kemaksiatan diukur dengan tingkat kemaslahatan dan kemafsadatan yang ditimbulkannya.

فَالْأَوَامِرُ وَالنَّوَاهِي مِنْ جِهَةِ اللَّفْظِ عَلَى تَسَاوٍ فِي دَلَالَةِ الِاقْتِضَاءِ وَالتَّفْرِقَةِ بَيْنَ مَا هُوَ مِنْهَا أَمْرُ وُجُوبٍ ، أَوْ نَدْبٍ ، وَمَا هُوَ نَهْيُ تَحْرِيمٍ ، أَوْ كَرَاهَةٍ لَا تُعْلَمُ مِنَ النُّصُوصِ ، وَإِنْ عُلِمَ مِنْهَا بَعْضٌ فَالْأَكْثَرُ مِنْهَا غَيْرُ مَعْلُومٍ ، وَمَا حَصَلَ لَنَا الْفَرْقُ بَيْنَهَا إِلَّا بِاتِّبَاعِ الْمَعَانِي وَالنَّظَرِ إِلَى الْمَصَالِحِ وَفِي أَيِّ مَرْتَبَةٍ تَقَعُ

Perintah dan larangan dari sisi teks adalah sama dalam hal kekuatan dalilnya, perbedaan antara apakah ia berketetapan hukum wajib atau sunnah dan antara haram atau makruh tidak bisa diketahui dari nash, tetapi dari makna dan  analisis dalam hal kemaslahatannya dan dalam tingkatan apa hal itu terjadi.

فَالْمَصْلَحَةُ إِذَا كَانَتْ هِيَ الْغَالِبَةَ عِنْدَ مُنَاظَرَتِهَا مَعَ الْمَفْسَدَةِ فِي حُكْمِ الِاعْتِيَادِ فَهِيَ الْمَقْصُودَةُ شَرْعًا ، وَلِتَحْصِيلِهَا وَقَعَ الطَّلَبُ عَلَى الْعِبَادِ

Kemaslahatan jika bersifat dominan dibandingkan kemafsadatan dalam hukum kebiasaan, maka kemaslahatan itulah sesungguhnya yang dikehendaki secara syara’ yang perlu diwujudkan.

Berdasarkan kaidah-kaidah kategorisasi pertama ini diketahui dengan jelas bahwa nilai, makna, dan eksistensi kemaslahatan menentukan suatu status hukum dan diposisikan di atas otoritas teks, yang dalam fiqh klasik memiliki otoritas sangat kuat.

Kategori kedua adalah kaidah-kaidah yang berhubungan dengan dasar berpikir maqashid untuk menghilangkan kesulitan atau kesukaran. Kaidah-kaidah yang masuk dalam kategorisasi kedua ini adalah:

مِنْ قَصْدِ الشَّارِعِ إِلَى التَّكْلِيفِ بِمَا يَلْزَمُ عَنْهُ مَفْسَدَةٌ فِي طَرِيقِ الْمَصْلَحَةِ قَصْدُهُ إِلَى إِيقَاعِ الْمَفْسَدَةِ شَرْعًا

Syari’ (Allah) memberikan beban taklif bukan bertujuan untuk menyulitkan dan menyengsarakan.

لَا يُنَازَعُ فِي أَنَّ الشَّارِعَ قَاصِدٌ لِلتَّكْلِيفِ بِمَا يَلْزَمُ فِيهِ كُلْفَةٌ وَمَشَقَّةٌ , لكن يلاحظ على تلك المشقة اللازمة للتكاليف

Tidak dipertentangkan bahwa Allah telah menetapkan hukum taklif yang di dalamnya terdapat beban dan kesulitan, tetapi bukanlah esensi kesulitan itu yang sesungguhnya dikehendaki, melainkan kemaslahatan yang akan kembali kepada orang mukallaf yang menjalankannya.

الشَّرِيعَةُ جَارِيَةٌ فِي التَّكْلِيفِ بِمُقْتَضَاهَا عَلَى الطَّرِيقِ الْوَسَطِ الْأَعْدَلِ , بَلْ هُوَ تَكْلِيفٌ جَارٍ عَلَى مُوَازَنَةٍ تَقْتَضِي فِي جَمِيعِ الْمُكَلَّفِينَ غَايَةَ الِاعْتِدَالِ

Syari’at perlu dijalankan dengan cara yang moderat dan adil, mengambil dari dua sisi secara seimbang, yang bisa dilakukan oleh hamba tanpa kesulitan dan kelemahan.

الْأَصْلَ إِذَا أَدَّى الْقَوْلُ بِحَمْلِهِ عَلَى عُمُومِهِ إِلَى الْحَرَجِ أَوْ إِلَى مَا لَا يُمْكِنُ شَرْعًا أَوْ عَقْلًا ، فَهُوَ غَيْرُ جَارٍ عَلَى اسْتِقَامَةٍ وَلَا اطِّرَادٍ ، فَلَا يَسْتَمِرُّ الْإِطْلَاقُ

Pada dasarnya, apabila pelaksanaan suatu pendapat akan mengarahkan pada kesulitan atau pada hal yang tidak mungkin secara logika dan syara’, maka hal tersebut tidak bisa dilakukan dengan istiqamah (tetap) sehingga tidak perlu diteruskan.

Kaidah-kaidah di atas menunjukkan bahwa ijtihad berbasis maqashid berpihak pada kemudahan dan kemampuan mukallaf sebagai pelaksana hukum.

Sementara itu, kategorisasi ketiga adalah sekelompok kaidah yang berhubungan dengan akibat akhir dari suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh mukallaf serta tujuan mukallaf itu sendiri, yaitu:

النَّظَرُ فِي مَآلَاتِ الْأَفْعَالِ مُعْتَبَرٌ مَقْصُودٌ شَرْعًا كَانَتِ الْأَفْعَالُ مُوَافِقَةً أَوْ مُخَالِفَةً

Menganalisis akibat akhir perbuatan hukum adalah diperintahkan oleh syara’, baik perbuatan itu sesuai dengan tujuan syara’ maupun bertentangan.

فَإِنَّ عَلَى الْمُجْتَهِدِ أَنْ يَنْظُرَ فِي الْأَسْبَابِ وَمُسَبَّبَاتِهَا

Mujtahid wajib menganalisis sebab-sebab dan akibat-akibat hukum.

Berdasarkan kategorisasi yang terakhir, bahwa ijtihad tidak hanya berfokus pada teks dalil, tapi juga pada konteks peristiwa atau perbuatan hukum dan pada sisi  akibat sebagai upaya untuk mengetahui sisi maslahat dan mafsadat yang ditimbulkannya.

Berdasarkan ketiga kategorisasi yang telah dibahas sebelumnya tampak bahwa kemaslahatan, kemudahan, dan tujuan akhir suatu ketentuan hukum menjadi dasar utama yang hendak dicapai oleh maqashid syari’ah.