Senin, 26 September 2022

Menanti Pelanjut Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi

Misno Mohd Djahri


Umat Islam kembali berduka dengan meninggalnya salah satu dari tokoh cendekiawan muslim dunia yaitu Yusuf Al Qaradhawi. Beliau kembali menghadap Allah Tta’ala pada Senin 26 September 2022 dalam usia 96 tahun. Sebagai seorang cendekiawan musliam, beliau saat ini menjabat sebagai Presiden Pendiri Persatuan Cendekiawan Muslim Internasional (IUMS). Beliau adalah ulama yang moderat yang banyak diikuti oleh banyak ulama dunia, walaupun Riwayat organisasiny aberawal dari Ikhwanul Muslimin namun banyak karyanya bersikap lebih moderat dan dapat diterima oleh banyak golongan.

Syaikh Yusuf Al Qaradawi lahir di Shafth Turaab, Kairo, Mesir pada 9 September 1926, menyelesaikan Pendidikan dasar dan menengah di Ma’had Thantha dan Ma’had Tsanawi, kemudia melanjutkan studi di Universitas Al Azhar Fakultas Ushuludin dan selesai pada tahun 1952. Beliau meraih gelar Doktor pada tahun 1972 dengan disertasi yang berjudul “Zakat dan Damapknya dalam Penanggulangan Kemiskinan”. Maha karya inilah yang kemudian membawa beliau Menyusun buku Fiqh Zakat yang menyebar ke hampir seluruh penjuru dunia. Tentu saja nilai kebaruan dari buku tersebut adalah upaya penulis dalam mengkorelasikan antara zakat dengan kemiskinan.

Pada awal tahun 1960, beliau diangkat menjadi Dekan Fakultas Syariah di Universitas Qatar yang baru didirikan dan diberikan kewarganegaraan Qatar pada 1968. Selama tinggal di Qatar, Al Qaradawi menjadi terkenal sebagai seorang sarjana atas bukunya Fiqh al-Zakat (The Fikih Zakat) pada 1973. Salah satu pemikiran menarik dalam buku tersebut tersebut adalah kemungkinan diberikannya zakat kepada non muslim selama mereka tidak memerangi umat Islam. Hal ini sebagai bentuk pengembangan dari ashnaf zakat mualafa, yaitu mereka yang dilembutkan hatinya agar masuk Islam.

Salah satu pemikiran beliau yang cukup penting di bidang ilmu pengetahuan adalah sikapnya yang menolak dikotomi ilmu, menurut beliau ilmu itu bisa islami atau tidak islami tergantung siapa yang memandang dan menggunakannya. Apabil umat Islam berpandangan bahwa ilmu agama terpisah dari ilmu dunia (dikotomi) maka umat Islam akan mengalami kemunduran. Karena hal ini yang menjadikan umat Islam selalu terbelakang sampai sekarang. Walaupun demikian beliau memiliki pemikiran yang selalu menampilkan Islam secara ramah, santun dan washatiyyah sehingga mudah diterima oleh banyak kalangan.

Selain banyak yang simpati kepada beliau ada juga beberapa pihak yang tidak suka dengan Yusuf Al Qaradhawi, yang pertama orang-orang non muslim yang tidak suka dengan background beliau sebagai aktifis Ikhwanul Muslimin. Hingga banyak yang menganggap beliau memiliki pemikiran fundamentalis yang diwariskan dari Muhamad Abduh, Jamaludin Al-Afghani, Rasyid Ridha dan yang lainnya. Sebenarnya hal ini sangat wajar jika melihat latar belakang kehidupan beliau di mana pada saat beliau tumbuh negara-negara Islam khususnya di Afrika Utara dan Mesir dikuasai oleh Perancis dan penjajahan barat. Maka kebangkitan Pan Islamisme jelas sangat kentara pada sikap dan pemikiran beliau. Karena tergabung dalam Ikhwanul Muslimin ini pula kalangan Salafi (Wahabi) juga tidak menyukainya dengan alasan memiliki akidah yang tidak sesuai dengan salafu shaleh. Tentu saja kita memahami hal ini sebagai sebuah dinamika pemikiran umat Islam yang harus bijak dalam menyikapinya.

Terlepas dari hal positif yang ada pada diri beliau serta beberapa kekurangan sebagai manusia maka kontribusi beliau kepada Islam dan umatnya tidak diragukan lagi. Semoga Allah Ta’ala mengampuni semua kesalahannya dan mengangkat derajat di sisiNya. Sekarang tinggal kita yang ditinggalkan, siapa yang akan melanjutkan perjuangan beliau dalam mendakwahkan Islam yang penuh rahmat kepada seluruh umat manusia? Maka jawabannya tidak perlu menunggu dan menanti orang lain yang akan melanjutkan perjuangan dakwah beliau. Kita semua adalah pelanjut beliau, untuk terus mempelajari Islam, mengamalkan dan mendakwahkan kepada seluruh umat manusia.

Kita semua adalah pelanjut dari perjuangan dakwah Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Beliau telah tiada dan inshaallah telah memperoleh ganjaran atas semua amal baiknya. Tinggal kita yang masih ada di dunia, akankah kita memiliki semangat juang Islam seperti beliau? Atau selalu sibuk dengan dunia hingga lupa bahwa setiap kita adalah muslim dan setiap muslim menanggung beban untuk belajar, mengamalkan dan mendakwahkan Islam. Tujuan utamanya adalah untuk mencapai keridhaan Allah Ta’ala, kemudian manusia mengetahui dan memahami bahwa Islam adalah agama yang membawa kedamaian untuk semua. Wallahu a’lam, 26092022.

Jumat, 23 September 2022

Menjaga Keluarga dari Adzab Neraka

Oleh: Misno bin Mohamad Djahri

 


Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan keluarga adalah satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat. Sedangkan, pengertian keluarga menurut Undang-undang 52 tahun 2009 adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami istri; atau suami, istri dan anaknya; atau ayah dan anaknya (duda); atau ibu dan anaknya (janda). Dalam skala yang lebih luas keluarga adalah orang-orang yang memiliki kekerabatan tidak hanya orang tua dan anak tetapi juga saudara, paman/bibi, kakek/nenek, cucu dan kerabat dekat lainnya.   

Sebagai sebuah ikatan yang kokoh maka keluarga adalah tempat di mana seluruh anggotanya saling mengasihi, menyayangi dan memenuhi kebutuhannya masing-masing. Keluarga adalah tempat menyemai kebajikan, mendidik anak-anak, saling melindungi dan bersama-sama menuju kebahagiaan yang diharapkan bersama.  

Kebahagiaan menjadi harapan seluruh keluarga, tercukupinya semua kebutuhan, kehadirannya selalui dihargai serta terjalin cinta dan kasih sayang di antara mereka. Harapan ini kadang tercapai tapi tidak sedikit yang kandas dalam perjalanan sebuah keluarga. Namun pada umumnya setiap keluarga akan merasakan kebahagiaan itu dan terkadang diselingi dengan konflik dan perselisihan sebagai “garam kehidupan” dalam keluarga. Lebih dari itu kebahagiaan yang diharapkan oleh keluarga tentu saja tidak terbatas hanya di dunia saja, namun juga kebahagiaan selama-lamanya di akhirat sana.

Guna mewujudkan kebahagiaan yang sebenarnya, maka Islam telah memberikan panduan kepada seluruh umat manusia untuk selalu menjaga keluarganya dari hal-hal yang dapat merusak kebahagiaan itu. Menjaga keluarga dari fitnah dunia dan siksa api neraka disampaikan oleh Allah Ta’ala dalam firmanNya:    

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. QS. at-Tahrim: 6

Allah Ta’ala dalam ayat ini memerintahkan orang-orang yang beriman agar menjaga diri dan keluarganya dari api neraka. Penulis Tafsir al-Muyyasar menafsirkan ayat ini dengan menyatakan “Yang menyiksa penghuninya adalah para malaikat yang kuat dan keras dalam perlakuan mereka. Mereka tidak menyelisihi perintah Allah, sebaliknya mereka senantiasa melaksanakan apa yang diperintahkan kepada mereka. Sementara dalam tafsri al-Mukhtasar dijelaskan “Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan menjalankan apa yang disyariatkan kepada mereka, buatlah perisai untuk diri dan keluarga kalian dari api besar (Neraka) yang dinyalakan dengan manusia dan bebatuan. Di atas Neraka ada Malaikat yang kasar terhadap orang-orang yang memasukinya dan keras, mereka tidak mendurhakai perintah Allah jika diperintahkan dan melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya tanpa malas dan enggan.

Sementara itu dalam tafsir Al-Wajiz disebutkan “Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulNya, jauhkanlah diri kalian dan keluarga kalian dari neraka dengan meninggalkan kemaksiatan dan melaksanakan ketaatan. Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia (kafir) dan batu-batu (berhala yang disembah). Neraka itu dijaga oleh malaikat-malaikat yang jumlahnya ada 19 malaikat yang memiliki sikap kasar, badannya sangat keras. Mereka tidak pernah melakukan kemaksiatan terhadap perintah Allah sebelumnya dan mengerjakan apa yang diperintahkan kepadanya di masa yang akan datang.

Penjelasan yang lebih komprehensif dalam kitab Zubdatut Tafsir, “يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ (Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu) Yakni jagalah diri kalian dengan menjalankan apa yang diperintahkan kepada kalian dan menjauhi apa yang dilarang bagi kalian. وَأَهْلِيكُمْ (dan keluargamu) Dengan memerintahkan mereka untuk taat kepada Allah dan melarang mereka berbuat maksiat. نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ(dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu) Yakni dari api yang besar yang menyala dengan manusia dan batu, sebagaimana api lain yang menyala dengan kayu. Ibnu Jarir mengatakan: maka wajib bagi kita untuk mengajarkan kepada anak-anak kita agama dan perbuatan baik serta adab yang sangat mereka perlukan. عَلَيْهَا مَلٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ(penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras) Yakni di atas api neraka itu berdapat para penjaga dari golongan malaikat yang bertugas mengatur neraka dan mengazab penghuninya, mereka sangat bengis terhadap penghuni neraka, sama sekali tidak merasa kasihan jika penghuni neraka meminta belas kasihan, sebab mereka diciptakan untuk mengazab penghuni neraka. لَّا يَعْصُونَ اللَّـهَ مَآ أَمَرَهُمْ(dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka) Yakni tidak menyelisihi perintah Allah. وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan) Yakni melaksanakan perintah itu segera tanpa menundanya. Dan mereka mampu untuk menjalankan perintah itu.

Merujuk pada beberapa tafsir tersebut maka dapat disimpulkan bahwa menjaga diri sendiri dan keluarga dari api neraka adalah salah satu dari cara untuk meraih kebahagiaan, tidak hanya kebahagiaan di dunia namun juga kebahagiaan di akhria sana. Karena kebahagiaan di dunia terbatas masanya sedangkan kebahagiaan di akhirat abadi selamanya. Wallahu a’lam, Jumayt berkah, 23092022.

Kamis, 22 September 2022

Menjaga Keluarga dari Fitnah Dunia Menuju Kebahagiaan Sebenarnya

 Oleh: Misno bin Mohammad Djahri


Keluarga adalah “harta” yang paling berharga bagi setiap manusia, sehingga berbagai bentuk pengorbanan dilakukan untuk keluarga tersayang. Seorang ibu yang telah mengandung bayi bersusah payah lebih kurang sembilan hingga melahirkan anaknya, itu belum selesai karena ia harus menjaga dan mengasuhnya hingga dewasa. Seorang ayah juga pergi pagi pulang petang, peras keringat dan banting tulang untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Anggota keluarga lainnya juga selalu berupaya, saling membantu, melindungi dan bersama-sama menghadapi berbagai keadaan dalam kehidupan. Singkatnya bahwa keluarga adalah sesuatu yang sangat berharga bagi kita.

Nilai keluarga yang sangat berharga telah dibuktikan dengan pengorbanan yang dilakukan oleh setiap anggota keluarga, namun sepertinya ada yang kurang yaitu dimensi agama yang memberikan ruang bagi setiap anggota keluarga untuk selalu Bersama dalam suka dan duka di dunia serta berharap Bahagia selamanya di akhirat sana. Bahkan seudah selayaknya bahwa agama adalah pondasi keluarga yang telah mempertemukan mereka dalam satu ikatan yang kuat yaitu keluarga sebagai pilar untuk melaksanakan syariahNya.

Kebahagiaan keluarga tentu saja tidak hanya dirasakan di dunia saja, bahkan menjadi harapan keluarga untuk selalu Bersama hingga ke jannahNya. Kebahagiaan yang tidak hanya dirasakan dalam kehidupan di dunia, namun juga kebahagiaan sebenarnya di akhirat sana. Tentu saja untuk mendapatkannya perlu adanya pengorbanan dan saling menguatkan antar sesame anggota keluarga akan cita-cita mulia itu menjadi kenyataan nantinya.

Salah satu dari upaya agar dapat Bersama-sama dengan keluarga Bahagia di alam sana, masuk ke dalam jannahNya dan mendapatkan keridhaanNya adalah dengan selalu memperhatikan dan menjaga seluruh keluarga kita dari adzab neraka. Ini tidak hany amenjadi kewajiban seorang bapak, namun juga seluruh anggota keluarga lainnya. Allah ta’ala berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًۭا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌۭ شِدَادٌۭ لَّا يَعْصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. QS. At-Tahrim: 6.

Ayat ini memerintahkan bagi semua orang beriman agar menjaga dirinya serta keluarganya dari adzab neraka, beberapa penafsiran yang disebutkan oleh para ulama diantaranya adalah:

Abdullah bin Abbâs Radhiyallahu anhu berkata, “Lakukanlah ketaatan kepada Allâh dan jagalah dirimu dari kemaksiatan-kemaksiatan kepada Allâh, dan perintahkan keluargamu dengan dzikir, niscaya Allâh Azza wa Jalla akan menyelamatkanmu dari neraka”. Sementara Mujâhid rahimahullah berkata tentang firman Allâh ‘peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka’, “Bertakwalah kepada Allâh, dan perintahkan keluargamu agar bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla”.

Qatâdah rahimahullah berkata, “(Menjaga keluarga dari neraka adalah dengan) memerintahkan mereka untuk bertakwa kepada Allâh dan melarang mereka dari kemaksiatan kepada Allâh Azza wa Jalla , dan mengatur mereka dengan perintah Allâh Azza wa Jalla , memerintahkan mereka untuk melaksanakan perintah Allâh Azza wa Jalla , dan membantu mereka untuk melaksanakan perintah Allâh. Maka jika engkau melihat suatu kemaksiatan yang merupakan larangan Allâh, maka engkau harus menghentikan dan melarang keluarga(mu) dari kemaksiatan itu”

Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah berkata, “Allâh Yang Maha Tinggi sebutannya berfirman, ‘Wahai orang-orang yang membenarkan Allâh dan RasulNya ‘Peliharalah dirimu!’, yaitu maksudnya, ‘Hendaklah sebagian kamu mengajarkan kepada sebagian yang lain perkara yang dengannya orang yang kamu ajari bisa menjaga diri dari neraka, menolak neraka darinya, jika diamalkan. Yaitu ketaatan kepada Allâh. Dan lakukanlah ketaatan kepada Allâh.

Firman Allâh ‘dan keluargamu dari api neraka!’, Maksudnya, ‘Ajarilah keluargamu dengan melakukan ketaatan kepada Allâh yang dengannya akan menjaga diri mereka dari neraka. Para ahli tafsir mengatakan seperti yang kami katakan ini.’ Imam al-Alûsi rahimahullah berkata, “Menjaga diri dari neraka adalah dengan meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan dan melaksanakan ketaatan-ketaatan. Sedangkan menjaga keluarga adalah dengan mendorong mereka untuk melakukan hal itu dengan nasehat dan ta’dîb (hukuman) … Yang dimaksukan dengan keluarga, berdasarkan sebagian pendapat mencakup: istri, anak, budak laki, dan budak perempuan. Ayat ini dijadikan dalil atas kewajiban seorang laki-laki mempelajari kewajiban-kewajiban dan mengajarkannya kepada mereka ini”

Maka jika kita betul-betul meyakini bahwa keluarga adalah sesuatu yang paling berharga dalam kehidupan kita hendaknya mulai dari sekarang saling nasehat-menasehati dalam kebaikan dan ketakwaan, karena hanya dengan itu seluruh keluarga akan selalu menyadari dan memahami bahwa hakikatnya keluarga yang berada di bawah naungan syariah Islam itulah yang akan menjadi keluarga yang Bahagia, tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat sana.  22092022

 

Jumat, 09 September 2022

Keutamaan Menanam Pohon dalam Islam

Oleh: Misno Mohd Djahri

 


Islam agama yang paripurna, kesempurnaannya terletak pada sendi-sendi syariahnya yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusia. Dari mulai sendi-sendi internal manusia, sampai masalah eksternal terkait dengan manusia lainnya dan alam semesta.

Menanam adalah salah satu dari bagian kehidupan manusia yang dianjurkan dalam Islam, hal ini karena manusia sebagai khalifah di muka bumi dalam makna menjadi penanggungjawab semesta bertanggungjawab untuk seluruh kehidupan semesta. Namun faktanya, banyak sekali kerusakan di muka bumi yang terjadi adalah karena manusia. Mengenai hal ini Allah Ta’ala berfirman:

ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ

Telah nampak jelas kerusakan di darat 6dan di laut yang disebabkan oleh perbuatan tangan Manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar… QS. Ar-Ruum: 41.

Kerusakan baik secara fisik ataupun sistem ekosistem yang sudah berjalan sesuai dengan kehendakNya adalah karena ulah manusia. Sehingga sudah selayaknya manusia bertanggungjawab atas segala kerusakan yang ada, termasuk harus berupaya untuk memperbaiki kerusakan semesta.

Salah satu cara untuk memperbaiki kerusakan alam adalah dengan menanam pohon, sebagai bentuk memperbaiki kerusakan yang di muka bumi.

Islam memandang bahwa menanam pohon bukanlah sekadar memperbaiki kerusakan lingkungan, lebih dari itu adalah sebagai ibadah dan sarana mendapatkan pahala dari Allah Ta’ala. Rasulullah Shalallahu walaihi wassalam dalam banyak hadits telah bersabda:   

  يَغْرِسُ غَرْسًا إِلاَّ كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَ مَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَ مَا أَكَلَتِ الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةً وَ لاَ يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً

Tidaklah seorang Muslim menanam pohon, melainkan apa yang dimakan dari tanaman itu sebagai sedekah dan pahalanya untuknya, dan apa yang dicuri dari tanaman tersebut sebagai sedekah dan pahalanya untuknya, dan tidaklah kepunyaan seorang itu berkurang melainkan menjadi sedekah dan pahala baginya, HR. Muslim.

Hadits ini menunjukan bahwa ketika seseorang menanam pohon, maka ia akan mendapatkan pahala dari proses menanamnya. Bahkan ketika hasil dari pohon tersebut dicuri orang, dimakan oleh manusia atau hewan, maka ia akan mendapatkan pahala. Sebagaimana sabda beliau:  

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا, أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيْمَة إِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ

Tidaklah seorang Muslim menanam pohon, tidak pula menanam tanaman kemudian tanaman itu dimakan oleh burung, manusia atau hewan, melainkan menjadi sedekah dan pahalanya untuk yang menanam,” HR. Bukhari

Secara lebih detail dalam Riwayat lainnya dijelaskan:

إن قَامَتِ السَّاعَةُ وَفِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا تَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا

Jikapun akan terjadi hari Kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada bibit, jika ia mampu sebelum terjadi hari Kiamat, maka tanamlah. HR. Bukhari dan Ahmad.

Merujuk pada hadits-hadits tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Islam sangat menganjurkan untuk bercocok tanam, khususnya tanaman yang dapat memenuhi kebutuhan pokok umat manusia. Karena ia adalah salah satu usaha untuk menghidupkan tanah mata, sebagaimana firmanNya:

وَءَايَةٌۭ لَّهُمُ ٱلْأَرْضُ ٱلْمَيْتَةُ أَحْيَيْنَٰهَا وَأَخْرَجْنَا مِنْهَا حَبًّۭا فَمِنْهُ يَأْكُلُونَ

Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan daripadanya biji-bijian, maka daripadanya mereka makan. QS. Yaasin: 33.

Imam Al-Qurthubi menafsirkan ayat tentang bercocok tanam, “Bercocok tanam termasuk fardhu kifâyah. Imam (penguasa) berkewajiban mendesak rakyatnya untuk bercocok tanam dan yang semakna dengan itu, seperti menanam pohon”. Bahkan untuk memotivasi umat beliau agar gemar menanam pohon beliau mengatakan “Muslim mana saja yang menanam sebuah pohon lalu ada orang atau hewan yang memakan dari pohon tersebut, niscaya akan dituliskan baginya sebagai pahala sedekah dan amal jariah yang tiada putusnya”.

Demikian pula Abu Hayyan al-Andalusi (w 745 H) dalam Tafsir al-Bahr al-Muhith menyatakan “Bumi yang mati adalah bumi yang tidak ada pohon-pohonnya. Sedangkan Ibn ‘Asyur (Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir): bumi yang mati adalah bumi yang kering dan patah karena tak ada kehidupan tumbuhan di dalamnya. Cara menghidupkannya adalah dengan menanam tanaman, rumput, dan pepohonan.

Merujuk pada pendapat para ulama tersebut, maka jelas sekali bagaimana Islam sangat menganjurkan umatnya untuk menanam pohon dan bercocok tanam sebagai sarana untuk memakmurkan bumi, memperbaiki kerusakan yang ada dan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.

Lebih dari itu adalah bahwa menanam pohon akan bernilai ibadah apabila diniatkan untuk mendapatkan ridha dari Allah Ta’ala (QS. Al-Bayyinah: 5) dan mengikuti petunjuk dari Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam (QS. Al-Ahzab: 21). Dari sini tidak ada alasan bagi kita untuk merusak alam semesta, bahkan sebaliknya harus menjaga kelestariannya. Salah satu caranya adalah dengan menanam pohon dan menjaga kelestarian hutan dan bumi ini. Wallahu’alam, 09092022.

 

 

 

Minggu, 04 September 2022

Antara Rizki, Takdir dan Kenaikan BBM

 Oleh: Misno Mohd Djahri

 


Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi topik berita yang sedang berkembang saat ini, kondisi ekonomi yang belum pulih setelah pandemic Covid-19 menjadi satu sebab utama penolakan banyak pihak kenaikan harga komoditi ini. Bukan tanpa alasan, di tengah harga minyak dunia yang justru turun justru Indonesia malah menaikan harga BBM dengan alasan penyesuaian harga dengan harga minyak dunia. Sementara tetangga kita Malaysia justru menurunkan harga BBM sebagai bentuk stimulus bagi perekonomian masyarakat.

Kenaikan BBM secara otomatis akan berpengaruh kepada kenaikan berbagai komiditi yang ada, harga barang-barnag di pasar akan merangkak naik seiring dengan kenaikan BBM. Ini adalah sesuatu yang wajar, karena seluruh transportasi yang ada Sebagian besar masih menggunakan BBM ini. Tentu saja kenaikan harga barang-barang kebutuhan di masyarakat akan menjadikan masalah tersendiri dalam aktifitas ekonominya. Program bantuan yang dibuat oleh pemerintah mungkin akan membantu beberapa saat, namun tidak berjalan lama dan dampaknya tidak signifikan karena kenaikan harga kebutuhan yang juga tidak bisa terkendali.

Di tengah kenaikan harga BBM muncul juga yang mengaitkannya dengan rizki dan takdir dari Allah Ta’ala. Tidak salah bahwasanya rizki setiap manusia telah ditentukan sehingga bagaimanapun keadaannya makai a akan tetap mendapatkan rizki. Demikian pula takdir Allah Ta’ala juga akan berjalan dan tidak ada yang bisa menghalanginya. Namun, mengaitkan antara rizki dan kenaikan BBM sepertinya tidak elegan khususnya di saat masyarakat mengalami kesusahan khususnya dalam masalah ekonomi. Sekali betul bahwa rizki manusia memang sudah ditentukan, namun kenaikan BBM yang dilakukan oleh pemerintah selayaknya juga memperhatikan keadaan masyarakat. Takdir Allah Ta’ala juga akan berjalan, namun kenaikan BBM juga harus memperhatikan takdir dari masyarakat.

Analoginya seperti seseorang yang sedang kelaparan kemudian diberikan buku tata cara berpuasa. Tentu ini sangat menyakitkan baginya yang sedang kelaparan tapi disuruh berpuasa secara tidak langsung. Kenaikan harga BBM jelas membuat susah banyak orang khususnya mereka yang ekonominya di bawah rata-rata. Karena efek dari kenaikan ini yang lebih mengerikan yaitu meningkatnya harga barang dan jasa di tengah masyarakat. Kondisi ekonomi yang belum pulih, susahnya mencari pekerjaan dan berusaha akan semakin sengsara ketika BBM dan harga barang dan jasa naik atau bahkan berpindah harga.

Sehingga, penolakan terhadap kenaikan harga BBM bukan tidak meyakini adanya takdir dari Allah Ta’ala, demikian pula bukan berarti tidak meyakini rizki dariNya. Namun kenaikan harga yang dilakukan ini jelas menyengsarakan masyarakat, apalagi dampaknya adalah kenaikan harga barnag dan jasa. Maka hendaknya pemerintah dalam memutuskan setiap kebijakan merujuk pada kemashlahatan, sebuah kaidah menjelaskan “Kebijakan pemimpin atas rakyatnya haruslah merujuk pada kemashlahatan”. Kemashlahatan yang dimaksud adalah kebaikan dan tidak membuat rakyat sengsara dengan kenaikan harga-harga.

Semoga Allah ta’ala memberikan hidayah kepada para pemimpin bangsa sehingga mereka kembali pada syariah Islam yang memberikan solusi kemashlahatan dalam berbagai permasalahan bangsa. Semoga juga para pemimpin betul-betul takut pada Allah Ta’ala, sehingga dalam menetapkan kebijakan khususnya berkaitan dengan kebutuhan masyarakat selalu mempertimbangkan kemashlahatan untuk mereka. Semoga… 04092022.

Berbuat Adil kepada Orang yang Dibenci

Oleh: Dr. Misno, MEI

 


Interaksi antar manusia seringkali memunculkan berbagai perselisihan di antara mereka, dari mulai salah paham tentang suatu masalah hingga kebencian yang berkepanjangan hingga tujuh turunan. Perselisihan yang terjadi tidak jarang juga membuat sakit hati hingga dengan mudah “membara” apabila terkena sedikit percikan. Berangkat dari perselisihan, kemudian perasaan yang disakiti hingga dendam yang ada dalam diri memunculkan berbagai persoalan baru khususnya ucapan dan tindakan yang tidak sesuai dengan panduan agama dan moral. Kata-kata yang tidak pantas diucapkan, semisal berbagai jenis binatang hingga kata-kata munafik dan kafir keluar karena luka yang begitu dalam dirasakan. Sementara tindakan dapat berupa sikap acuh tak acuh, mengusir hingga melakukan hal-hal yang bertentangan dengan agama dan norma. Bagaimana semestinya kita sebagai muslim menyikapinya?

Allah Ta’ala berfirman dalam kalamNya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil. Berbuat adillah karena ia lebih mendekati ketakwaan. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” QS. Al Maa’idah: 8.

Konteks ayat ini adalah perintah untuk menegakan kebenaran dan berlaku adil dalam keadaan bagaimanapun juga. Termasuk kepada orang lain yang kita benci atau kita pernah merasakan sakit hati karenanya. Berlaku adil dalam hal ini adalah tidak mengucapkan kata-kata yang tidak benar ataupun melakukan Tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan perintah agama, apalagi dikarenakan kebencian yang ada di dalam diri kita. Karena dengan berbuat adil itu menjadi salah satu sarana dalam upaya mendekatkan diri kepada takwa. Ayat ini diakhir dengan perintah untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala karena sejatianya Ia Maha Mengetahui semua yang kita lakukan.

Kembali ke masalah awal, berbuat adil kepada orang yang kita benci atau orang yang pernah menyakiti kita adalah dengan mengucapkan kata-kata yang sesuai dengan fakta. Jangan pernah mengucapkan kata-kata dusta atau tidak sebenarnya kepada mereka, apalagi penyebabnya adalah karena kebencian di dalam jiwa. Demikian pula tidak melakukan Tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala, karena itu menunjukan dendam kesumat yang bisa jadi akan membuat dada menjadi berat. Karena dendam dan kebencian akan menjadi beban dan pikiran yang dapat merusakan kekhusyuan dan tidak baik dalam aturan agama.

Lantas bagaimana menyikapinya? Kebencian kepada orang lain, apalagi penyebabnya adalah karena orang tersebut melanggar syariat Allah Ta’ala adalah dibolehkan. Bahkan bisa menjadi wajib ketika orang tersebut terang-terangan melakukan kemaksiatan, mengajak orang lain bermaksiat dan tetap melakukannya walaupun sudah diperingati berkali-kali. Benci terhadap perilakunya yang tidak sesuai dengan syariah adalah sah secara agama, ia juga menjadi tanda keimanan seorang hamba. Tapi sekali lagi kebencian tersebut tidak menjadikan kita berlaku dzalim kepadanya, apalagi sampai menjadikannya bahan cemoohan dan ejekan.

Termasuk dalam tidak berbuat adil adalah ketika kebencian kepada seseorang kemudian mengucapkan kata-kata dusta untuk memuaskan dan menguatkan kebenciaannya. Demikian juga melakukan Tindakan tidak benar (dzalim) hanya karena ia benci dengannya. Ditambah lagi kebencian kepada seseorang seringkali juga merembet kepada orang-orang yang dekat dengannya, hingga orang yang tidak bersalah namun karena dekat dengan orang yang dibenci jadi ikut-ikutan dibenci. Ada juga yang karena benci dengan seseorang sampai semua tindakan orang yang dibencinya selalu salah di matanya, padahal bisa jadi itu tindakan benar yang dilakukan oleh orang yang dibencinya.

Maka, Islam sebagai agama yang benar memberikan pedoman secara keseluruhan, bahwa ketika kita membenci seseorang (dengan syarat kebencian yang didasarkan syariat), maka kita tidak boleh berlaku dzalim kepada mereka. Tidak boleh mengucapkan kata-kata kasar dan dusta kepadanya, serta tidak boleh melakukan Tindakan-tindakan dzalim hanya karena kebencian dalam diri kita. Semoga Allah ta’ala memberikan kepada kita hidayahNya sehingga tidak ada dalam diri kita rasa benci kepada orang lain, kalaupun benci dengan seseorang adalah karena tindakannya yang tidak sesuai dengan syariah Ar Rahman, dan kita tidak boleh berbuat dzalim kepadanya dengan mengucapkan kata-kata kasar atau Tindakan-tindakan yang melebihi dari kesalahannya. Apalagi karena kebencian yang ada dalam diri kita… Wallahua’lam. 04 September 2022.