Selasa, 31 Juli 2012

Sang Ksatria dan Pesona Dunia

Oleh : Abu Aisyah




Sang Ksatria…
Matahari baru saja beranjak ke peraduannya
Ketika itu, sepasang kaki melangkah dengan pasti
Meninggalkan “Neraka Dunia” katanya…
          Daun-daun pohon pala menjadi saksi
          “Aku Bebas”…… I am Free Now….
Belum lagi keluar dari sebuah gang…
Senyuman manis, tipis, menghampiri
Kakak mau pulang? Ya…. Aku akan pulang!!!
          “Neraka Dunia” telah ditinggalkannya
Duka nestapa sejarah adanya
Siraman air comberan telah tiada
Roti ketan (Rotan) tinggal cerita
Kesantriaaaaaaaaaaaaa……nnn, Ila Liqa…. Bye, selamanya
Selamat datang di dunia penuh pesona
Sebuah rayuan manis lagi romantis
Nggak narsis nggak eksis………. Najis
Ingat Sang Ksatria itu adalah bisikan Iblis
          Ini adalah dunia kawan…
Buat pendatang baru seperti kamu harus tahu aturan
Jangan potong jenggot sembarangan!!!
Pesona dunia telah membuatmu lupa
Lupa pada aturanNya
Lupa pada syariatNya
Lupa segala-galanya
…dan lupa pada Ilahana
Geliman dosa menjadi biasa
Maksiat menjadi adat
Didikan “Neraka Dunia” tak ada bekasnya
Hanya “Alumni PYIT” yang tersemat
Sang Ksatria…
Nuranimu tertutup
Hatimu tertutup
Akal budimu tertutup
Hingga………. Mata kakimu-pun tertutup……… Isbal Man!!!
Sang Ksatria……
Dunia memang penuh pesona
Gemerlapnya menjerat sukma
Gebyarnya dinikmati raga
Hijaunya memuaskan hawa
Tapi……….
Itu semua fatamorgana
Itu semua palsu belaka
Itu semua godaannya
Itu semua adalah bala’ fi dunya…
Sang Ksatria….
Sekarang kau memang bebas
Tidak ada yang melarang dan menindas
Penjara dan rotan tinggalah bekas
Tapi…. Ingat !!! ada Ar-Rahman di atas ‘Arsy
Silahkan terpesona dengan dunia
Rasul yang Mulia-pun bersabda
“Dunia itu hijau…. Khadhra’ di pandang mata
Tapi, cintailah dunia sewajarnya saja
Darah mudamu wahai sang ksatria
Gunakan itu untuk dien-mu
Jangan ragu…
Walau pesona dunia terus menderu
Walau nafsumu memuncak di ujung perdu
Sang Ksatria…
Bisa jadi kau sekarang sadar
Bahwa “neraka dunia” itu adalah surga
Surga dengan penuh kenikmatannya
Seperti Nabi Ayyub dengan kudisnya
Sang Ksatria…
Malam ini kau ada di sini
“Neraka dunia” ini….
Kawah Candradimuka ini… menjadi saksi
Andai tembok di belakang sana bisa bicara
Niscaya ia akan berkata “Ini Dia anak yang dulu mengencingi saya”
Sang Ksatria…
Sadarlah kita
Pesona dunia di luar sana memang menggoda
Gemerlap hawa di luar sana sangat mengguncang rasa
Ingatlah sabda Nabi yang mulia…”Dunia itu hanya persinggahan sementara”
Sang Ksatria…
Berbekalah…. Untuk dunia
Ambilah bekal sebanyak-banyaknya
Fatazzawadu…. Fainna khaira zaadi taqwa…
Taqwa, di mana saja berada
Qiroah mulia adanya
Manhajuna pegang erat selamanya
Sang Ksatria…
Walaupun jasad ini jauh berada
Namun ukhuwah iman dan Islam menyatukan hati kita
Semoga kita dipertemukan di jannahNya
Akhir perjuangan insan mulia
Keabadiaan tiada tara
Semoga….
Ya Allah, kumpulkanlah kami di jannahMu
Bersama para shidiqiin dan syuhadaMu
Bertetangga dengan nabiMu
Dan menatap takjub wajah mulia-Mu…

Bogor, Juni 2012


Urgensi Wasiat Wajibah Untuk Anak Angkat

Oleh : Abdurrahman MBP

Islam sebagai dien (aturan hidup) yang  paripurna memiliki sumber-sumber hukum yang kredibel (qoth’i) sebagai rujukan bagi setiap permasalahan yang ada. Sumber–sumber hukum Islam tersebut adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Al-Qur’an adalah aturan yang datang dari Allah Subhanahu Wa  Ta’ala, sedangkan As-Sunnah adalah ucapan, perbuatan dan taqrir Nabi Muhammad Shalallahu Alahi Wa salam yang berperan sebagai bayan (penjelas) bagi Al-Qur’an,[1] keduanya bersifat pasti dan tauqifi yang berarti baku dan tidak bisa dirubah, pada keduanya terdapat dalil-dalil global sebagai dasar bagi hukum-hukum dalam Islam.
Selain adanya sumber hukum (Mashadir Al-Ahkam), dalam Islam juga dikenal adanya Dalaail Al-Ahkam yaitu Ijma Shahabat, Qiyas, Ijtihad, Maslahah Mursalah, Istihsan, Istishab, Syar’u man Qoblana dan ‘Urf.[2] Ijtihad, Qiyas dan Maslahah Mursalah menjadi dalil hukum Islam yang sangat penting bagi perkembangan hukum Islam, dengan adanya sumber-sumber hukum dan dalil hukum ini Islam dapat berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, yaitu dengan menghasilkan hukum-hukum baru yang belum dikenal pada zaman Nabi Muhammad Shalallahu Alahi Wa salam yang tercakup dalam ruang lingkup Ilmu Fiqh. Kerangka ilmu fiqh yang begitu luas memerlukan adanya sebuah pemikiran dan istidlal (pengambilan dalil-dalil) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga akan dapat memberikan solusi bagi setiap permasalahan yang terjadi di masyarakat. Dan inilah ciri khas dari fiqh yang selalu bersifat dinamis dan senantiasa  berubah-ubah.[3] 
Kondisi masyarakat yang terus tumbuh dan berkembang menuntut ilmu fiqh untuk menanggung beban berat dalam peranannya sebagai problem solving (pembuat solusi), namun dengan adanya Al-Qur’an dan As-Sunnah yang memuat dalil-dalil global menjadikan semua permasalahan dapat dijawab oleh ilmu fiqh, tentunya dengan sentuhan tangan dari para cendekiawan (ulama) untuk menggali hukum dari keduanya.[4]
Fiqh Mawaris sebagai bagian dari ilmu fiqh juga terus berkembang bersamaan dengan berkembangnya permasalahan yang dihadapi masyarakat. Berbagai permasalahan muncul silih berganti, yang semua itu membutuhkan ijtihad, Qiyas dan pengambilan dalil-dalil (istidlal) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Permasalahan-permasalahan yang sering muncul dan memerlukan pemecahan dalam hukum waris adalah menyangkut hal-hal yang belum pernah terjadi pada zaman Nabi Muhammad Shalallahu Alahi Wa salam.
Di antara permasalahan tersebut adalah apa yang terjadi pada zaman Khalifah Umar bin Al-Khathab yang terkenal dengan masalah Ghorowain atau Umaryatain di mana seorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri (suami), ibu dan ayah, yang menjadi masalah adalah bagian dari ibu yang berjumlah 1/3 apakah diambil dari seluruh harta warisan atau dari sisa harta warisan setelah dikurangi bagian suami. Umar berfatwa bahwa bagian ibu adalah 1/3 dari sisa harta warisan.[5] Walaupun pendapat ini berseberangan dengan pendapat Ibnu Abbas namun dalam kapasitas sebagai hasil Ijtihad maka berlaku kaidah fiqhiyah “ Ijtihad tidak dibatalkan oleh ijtihad “.[6] Umar bin Khathab juga berijtihad mengenai masalah Musyarakah (Himariyah), beliau berpendapat bahwa saudara kandung itu berserikat dengan saudara seibu dalam menerima warisan dari ayahnya yang meninggal.[7] Para Shahabat Nabi Muhammad Shalallahu Alahi Wa salam dan generasi-generasi sesudahnya banyak berijtihad dan berfatwa mengenai berbagai permasalahan waris yang timbul pada zamannya.
Dari sini terlihat bahwa fiqh mawaris termasuk di dalamnya masalah wasiat adalah perkara fiqh yang terus berkembang dan memerlukan berbagai ijtihad dan pendapat dari para ulama (cendekiawan) untuk menggali dalil-dalil global yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk menghasilkan sebuah hukum baru sebagai solusi bagi permasalahan yang dihadapi yang belum pernah terjadi pada zaman Nabi Muhammad Shalallahu Alahi Wa salam.
Di antara hasil ijtihad yang muncul dalam ruang lingkup fiqh- mawaris adalah Wasiat Wajibah yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 Ayat 1 dan 2, Kompilasi Hukum Islam sendiri adalah hasil Ijma’ Ulama Indonesia. Disebutkan bahwa Wasiat Wajibah adalah  “Suatu tindakan pembebanan oleh hakim atau lembaga yang mempunyai hak agar harta seseorang yang telah meninggal dunia tetapi tidak melakukan wasiat secara sukarela, agar diambil hak atau benda peninggalannya untuk diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula “.[8]
Wasiat wajibah yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam juga terdapat dalam Undang-Undang Waris Mesir No. 71 Tahun 1946 Pasal 76-79 dan Undang-Undang Ahwal Asy-Syakhsiyah di Suriah pasal 257.[9] Adapun wasiat wajibah yang diberlakukan di Mesir adalah bagi mereka yang tidak mendapatkan warisan dari dzawil arham, seperti cucu laki-laki garis perempuan dan cucu perempuan garis perempuan.[10]  Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 Ayat 2  disebutkan “Terhadap anak angkat yang tidak menerima warisan diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya “.
Sementara para Imam Madzhab berbeda pendapat mengenai hukum wasiat ada yang berpendapat wajib dan ada juga yang berpendapat hanya sunnah, adapun mengenai wasiat wajibah (wasiat yang wajib dilakukan) Ibnu Hazm berpendapat seperti dikutip oleh Hasbi Ash-Shidieqy bahwa apabila diadakan wasiat untuk kerabat-kerabat yang tidak mendapatkan warisan dari muwaris, maka hakim harus bertindak memberi sebagian dari harta peninggalan kepada kerabat-kerabat yang tidak mendapatkan warisan pusaka sebagai suatu wasiat yang wajib bagi mereka.[11]


[1]       Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah,  Bina Ilmu, Surabaya, 1978,  hal. 143
[2]       Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syari’ah, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1990,  hal. 45
[3]       Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999,  hal. 20
[4]       Peunoh Daly, Perkembangan Ilmu Fiqh, Bumi Aksara, Jakarta, 1982,  hal. 83
[5]       Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris, Raja Grafindo, Jakarta,  2000,  hal. 129
[6]       Abdul Majid, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh, Kalam Mulia, Jakarta, 2001, hal. 49
[7]       Fathurrahman, Ilmu Waris, Al-Ma’aif, Bandung, 1981, hal. 539
[8]       Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris,  hal. 184
[9]       Wahbah Al-Zuhayly,  Al-Fiqh Al-Islami Wa Adilatuhu, Dar Al-Fikr, 1989,  hal. 121
[10]     Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris hal. 185.
[11]     Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqh Mawaris, PT. Pustaka Rizki Putra, 2001,  hal.  275.

Senin, 30 Juli 2012

Berpikir Positif ...

Oleh : Siti Nuryati

Berbaik sangka (khusnudzan) dan berpikir positif hendaknya melekat pada diri kita. Mengapa? Karena bisa jadi orang lain tidaklah seburuk yang kita kira. Kita hanya melihat apa yang tampak, tapi tidak tahu niat baik apa yang ada di hatinya. Dengan berbaik sangka dan berpikir positif dapat mengubah suatu keburukan menjadi kebaikan.

Ketika menghadapi penentangan lantaran risalah Islam yang dibawanya, Rasulullah SAW bukannya melontarkan doa kutukan. Beliau justru memohonkan maaf dan harapan kepada yang telah menyakitinya agar diberi petunjuk Allah SWT. Pilihan beliau ternyata tidak salah.

Tak lama setelah peristiwa itu, mereka yang pernah menyakiti beliau memeluk Islam dan menjadi sahabat yang paling setia. ''Tanggapilah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dengan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat akrab.'' (QS Al-Fushilat: 34).

Berbaik sangka dan berpikir positif dapat menyelamatkan hati dan hidup kita. Hati yang bersih adalah yang tidak menyimpan kebencian. Hati yang tenteram adalah yang tidak memendam syakwasangka dan apriori terhadap orang lain. Dan hati yang berseri-seri ialah yang selalu berpikir positif bagi dirinya maupun orang lain.

Sementara kebencian, berburuk sangka, dan berpikir negatif hanya akan meracuni hati kita. Umpatan seorang Yahudi yang mendatangi Rasulullah SAW tak membuatnya berpikir balas dendam, meski beliau bisa melakukannya.

Ada ungkapan yang sangat menggugah dari seorang sufi, ''Yang paling penting adalah bagaimana kita selalu baik kepada semua orang. Kalau kemudian ada orang yang tidak baik kepada kita, itu bukan urusan kita, tapi urusan orang itu dengan Allah SWT.''

Berpikir positif pun bisa membuat hidup kita lebih legowo, karena Allah SWT seringkali menyiapkan rencana yang mengejutkan bagi hamba-Nya. Suatu saat, Umar bin Khathab tengah dirundung kegalauan yang menyesakkan.

Putrinya, Hafshah, baru saja menjanda. Umar datang menemui Abu Bakar dan menawarinya menikahi Hafshah. Ternyata Abu Bakar menolak. Umar pun menawari Utsman bin Affan untuk menikahi Hafshah. Namun, Utsman pun menolaknya.

Dalam kegalauan itu, Umar mengadu kepada Rasulullah SAW tentang sikap kedua sahabatnya itu. Rasulullah SAW menuntun Umar agar selalu berpikir positif, sehingga bisa menjalani hidup dengan legowo.

Rasulullah SAW bahkan berdoa, ''Semoga Allah akan menentukan pasangan bagi Hafshah, yang jauh lebih baik dari Utsman serta menentukan pasangan bagi Utsman, yang jauh lebih baik dari Hafshah.'' Ternyata, tak lama setelah itu, Rasulllah SAW menikahkan Utsman dengan putri beliau sendiri. Dan setelah itu, beliau pun menikahi Hafshah.
republika 

Salurkan Marah Pada Tempatnya



Oleh : Bambang Prawiro


“Ramadhan adalah bulan mulia, bulan penuh berkah, dan bulan kesabaran. Pada bulan ini kita diperintahkan untuk menahan makan, minum dan hawa nafsu”, seperti itu kata ustadz dan Guru ngaji yang sering saya dengar, dari dulu sampai sekarang ini. Memang benar bahwa menahan hawa nafsu itu bukan hanya pada bulan Ramadhan saja tapi juga pada bulan-bulan lainnya. Nah... kalau menahan hawa nafsu itu berarti menahan segala hal jelek yang bisa mengurangi pahala puasa kita maka kalau marah juga termasuk tidak bisa menahan hawa nafsu. Marah....? ya, menahan marah adalah suatu yang sangat dianjurkan dalam Islam, tentu saja bukan semua marah tidak boleh. Ada beberapa hal yang marah itu juga dibolehkan, misalnya saja ketika melihat suatu kemungkaran maka kita harus marah atau melihat syariat Islam dihina kita juga harus marah juga.
Kaitannya dengan bhulan ramadhan adalah bahwa kita memang harus lebih ekstra dalam menahan marah ini, saya sendiri bukan tipe orang yang suka marah (ehm...... Astaghfirullah...). Tapi bener sih, cuman kalau sudah dipancing dan ternyata ada seseorang yang bikin marah ya... marah juga lah. Tapi bukan berarti marahnya itu tidak menahan hawa nafsu ya.... Contoh nyatanya begini, misalnya ada seorang siswa yang kita ajar ternyata susah diatur, disuruh menulis gak mau, disuruh mengerjakan tugas gak mau? Alasananya ada aja, gak punya pulpen lah... (Pembaca heran kali ya, masa ke sekolah gak bawa pulpen... ) tapi ini benar-benar terjadi, biasa di lembaga pendidikan anak yatim memang begini, sudah itu penginnya pulang dan gak mau dialphakan lagi (Kalau komentar para guru sih katanya peroistiwa ini adalah cermin gurunya tersebut tidak bisa mengajar dan tidak bisa memotivasi siswa...... ah... teori. Tapi kalau sudah keterlaluan begini boleh khan marah? (Ya enggak lah...) Oke deh... anggap saja itu bukan marah tapi hanya kesel lagian siswa itu juga hanya dicoret tangannya pakai pena, tapi agak kenceng emang sih...
Kembali ke marah.... jadi menurut saya sih definisi menahan marah sepertinya tidak tepat, apalagi kalau dikaitkan dengan bulan Ramadhan... yang tepat (lagi-lagi menurut saya) adalah menyalurkan marah pada tempatnya. Kalau kita melihat seseorang yang melanggar perintah Allah dan rasulNya sudah pasti kita harus marah, walaupun cara menyalurkan marahnya harus tepat. Kalau menahan marah dan menyimpannya dalam hati bisa-bisa jadi penyakit, dan merusak tubuh kita. Jadi mari kita isi Ramdhan ini dan bulan-bulan berikutnya dengan menyalurkan marah pada tempatnya. Setuju.....? Harus Itu.

Sabtu, 28 Juli 2012

Jual Beli Menurut Empat Madzhab Islam

Oleh : DR. Ar-Rabi'ah

تعريف البيع عند الحنفية : (مبادلة شيء مرغوب فيه بمثله على وجه مخصوص)[1] .
(المبادلة) هي التمليك ، وقوله (مرغوب فيه) احترز به عن التراب والميتة والدم فإنها ليست بمال[2]، وقوله (مخصوص) أي بإيجابٍ وقبول أو تعاط، فخرج التبرع من الجانبين والهبة بشرط العوض[3] .
تعريف المالكية : للمالكية تعريفان عام وخاص ، أما العام فهو يشمل أنواع البيوع كالصرف والمراطلة والسلم وهبة الثواب والتولية وهو : ( عقد معاوضة على غير منافع ولا متعة لذة) . وأما الخاص فهو الغالب عرفاً وأخص من العام بزيادة :(ذو مكايسة ، أحد عوضيه غير ذهب ولا فضة ، معين غير العين فيه ) فتخرج البيوع الأربعة[4] .
قوله (عقد معاوضة) أي لا يكون العقد إلا بين اثنين بإيجاب وقبول ، فخرج بقيد المعاوضة الهبة والوصية، والمعاوضة مفاعلة إذا عوض كل من البائع والمشتري صاحبه شيئاً بدل المأخوذ منه، وقوله (على غير منافع) خرج النكاح والإجارة [5] ، وقوله (ذو مكايسة) أي ذو مغالبة فيخرج هبة الثواب والتولية لعدم وجود معنى المغالبة فيها ، وبقوله (أحد عوضيه غير ذهب ولا فضة) أخرج الصرف والمراطلة لأن كلا عوضيهما ذهباً أو فضة[6] ، وقوله (معين غير العين فيه) أي معين فيه كل ما خالف العين [وهو الثمن] فخرج السلم لأن غير العين فيه وهو المثمن ليس معيناً بل في الذمة[7] .
تعريف الشافعية: (عقد معاوضة مالية تفيد ملك عين أو منفعة على التأبيد لا على وجه القربة)[8].
قوله (عقد معاوضة) خرج عقد القرض والنكاح لأنها لا تسمى معاوضة عرفاً، وقوله (يفيد ملك عين) خرج عقد النكاح والخلع والصلح عن الدم لأن الزوج لا يملك منفعة البضع وإنما الانتفاع به ، والزوجة والجاني لا يملكان شيئاً وإنما يستفيدان رفع سلطنة الزوج ومستحق القصاص ، وقوله (أو منفعة على التأبيد) قيد خرج به الإجارة لأنها مؤقتة ودخل به بيع حق الممر ونحوه [9].
ونقل قليوبي شرحاً آخر للتعريف فقال : ( أَخرَج بالعقد المعاطاة، وبالمعاوضة نحو الهدية، وبالمالية نحو النكاح، وبإفادة ملك العين الإجارة، وبغير وجه قربة القرض، والمراد بالمنفعة بيع نحو حق الممر، والتقييد بالتأبيد فيه لإخراج الإجارة أيضاً، وإخراج الشيء الواحد بقيدين غير معيب)[10] .
تعريف الحنابلة : (مبادلة عين مالية أو منفعة مباحة مطلقاً بأحدهما، أو بمال في الذمة للتملك على التأبيد ، غير ربا وقرض)[11].
قوله (مبادلة عين) أي دفعها وأخذ عوضها[12] ، فلا يكون البيع إلا بين اثنين حقيقة أو حكماً كتولي طرفي العقد[13]، وقوله (مالية) صفة لعين وهي لا تكون إلا لكل جسم أبيح نفعه واقتناؤه مطلقاً فخرج نحو الخنزير والخمر والميتة النجسة والحشرات والكلب ولو لصيد ، وقوله (أو منفعة مباحة مطلقاً) بأن لا تختص إباحتها بحال دون آخر كممر دار أو بقعة تحفر بئراً بخلاف نحو ميتة مدبوغ فلا يباع هو ولا نفعه لأنه لا ينتفع به مطلقاً بل في اليابسات ، وقوله (بأحدهما) أي عين مالية أو منفعة مباحة مطلقاً ، وهو متعلق بمبادلة ، وقوله (للتملك) احترازاً عن الإعارة ، وقوله (على التأبيد) احترازاً عن الإجارة[14]، وقوله (غير ربا وقرض) وذلك إخراجٌ لهما نصاً لأن الربا محرم ومقصود القرض الإرفاق وليس المبادلة[15]


[1]حاشية ابن عابدين ، ج4 ، ص4-5 .
[2] المرجع السابق ، ج4، ص4 .
[3] المرجع السابق، ج4 ، ص5 ، انظر أيضاً : الدر المختار ، الحصكفي ، ج4 ، ص5 .
[4] حاشية الدسوقي ،ج3، ص2 .
[5] بلغة السالك ، الصاوي ،ج2، ص2 .
[6] المرجع السابق ، ج2 ، ص3.
[7] حاشية الدسوقي ،ج3 ،ص3 .
[8] قليوبي وعميرة ، ج2 , ص152 .
[9] مغني المحتاج ، الشربيني ، ج2 ، ص152 .
[10] قليوبي وعميرة ، ج2 ، ص152 .
[11] شرح منتهى الإرادات ، البهوتي ، ج2، ص140 .
[12] المرجع السابق ، ج2 ، ص140 .
[13] كشاف القناع ، البهوتي ، ج3 ، ص146 .
[14] شرح منتهى الإرادات ، البهوتي ، ج2 ، ص140 .
[15] كشاف القناع ، البهوتي ، ج3 ، ص146 .

Jumat, 27 Juli 2012

Ilmu Falak Series : Tarikh Yuliah

Oleh : KH. Syakur Chudlori

A.      Tarikh Yuliah (Tarikh Masehi Gaya Lama)
Tarikh ini berlandaskan pada perjalanan (semu) matahari mengelilingi bumi. Orang yang berjasa dalam pembentukannya adalah Julius Caesar sewaktu beliau sedang memegang tampuk kerajaan Romawi, atas nasehat Sosigenes seorang ahli astronomi Iskandariyah yang mana ia mencontoh kalender Mesir di mana negeri itu telah berabad-abad menggunakan kalender tahun matahari.
Tarikh Yulian ini dimulai sejak tanggal satu Januari tahun 45 sebelum Masehi (SM) dengan ketentuan sebagai berikut ?
1.      Satu tahun ditetapkan rata-rata 365, 25 hari
2.      Tahun biasa (basithah) lamanya 366 hari
3.      Tahun panjang (kabisah) lamanya 366 hari
4.      Satu kali dalam empat tahun terjadi tahun kabisah yang mana ketentuannya adalah : tahun-tahun yang habis dibagi empat merupakan tahun kabisah , sedang yang tidak habis adalah tahun basithah
5.      Kelebihan satu hari dalam tahu kabisah dimasukan dalam bulan februari. Jadi lama hari dalam bulan Pebruari yang dalam tahun basithah berjumlah 28 hari pada tahun kabisah menjadi 29 hari
6.      Permulaan tahun ditetapkan pada bulan januari (sedang sebelumnya pada 1 Maret.
7.      Titik permulaan musim bunga ditetapkan pada tanggal 24 Maret
Sebenarnya sebelum Julius Caesar orang Romawi telah mengenal nama-nama sebagai berikut :
1.      Martinus : 31 hari
2.      Aprilis : 29 hari
3.      Majus : 31 hari
4.      Junius : 29 hari
5.      Quintilis : 31 hari
6.      Sextilis : 29 hari
7.      September : 29 hari
8.      Oktober : 31 hari
9.      Nopember : 29 hari
10.  Desember : 29 hari
11.  Januarius : 29 hari
12.  Februarius : 28 hari
Jadi satu tahun berjumlah 355 hari (sama dengan tahun kabisah dalam tahun hijriyah)
Karena satu tahun syamsiyyah berjumlah antara 365 dan 366 hari, maka jumlah hari pada setiap bulan di atas oleh Julius Caesar dirubah seperti yang kita lihat sekarang ini.
Bulan kelima yang semula quintilis dirubah menjadi Julisu / Juli untuk kehormatan Julius Caesar yang lahir pada bulan tersebut. Sedang bulan keenam yang semula bernama Sextilis dirubah menjadi August/Agustus untuk kehormatan Kaisar Augustus karena peristiwa-peristiwa penting pada kaisar itu terjadi pada bulan tersebut dan lama harinya dijadikan 31 hari agar tidak kalah besar dengan bulannya Julius Caesar (31).
Untuk menetapkan permulaan hari Tarikh Yulian menjadi satu Januari yang semula satu Maret, dan permulaan muslim buunga menjadi tanggal 24 Maret, maka jumlah hari tahun 45 SM diperpanjang yaitu menumpukan bulan Januari dan bulan Pebruari pada bulan Nopember dan Desember karena itu tahun 45 SM tersebut disebut orang tahun kacau (annus compusionus)