Kamis, 30 Juni 2022

Jangan Bicara Ilmu yang Bukan Bidang Keahliannya!

Oleh: Misno Mohd Djahri

 


Setiap manusia memiliki ide, gagasan dan pemikiran yang berbeda sehingga muncullah berbagai teori dan ilmu pengetahuan. Perkembangan dari ilmu pengetahuan meniscayakan adanya spesialisasi pada masing-masing disiplin ilmu, hingga pda perkembangan berikutnya memengaruhi pola pikir seseorang dengan disiplin ilmunya masing-masing. Berangkat dari sinilah kemudian sebuah ilmu akan dikuasai secara mendalam oleh para pakarnya, bagaimana jika ada seorang yang menguasai banyak cabang ilmu? Atau orang yang membahas dan berbicara disiplin ilmu yang bukan bidangnya?

Islam sebagai agama yang sangat memberikan perhatian kepada ilmu pengetahuan telah memberikan jalan dalam mempelajari dan mendalami sebuah disiplin ilmu. Allah Ta’ala berfirman dalam kalamNya:

يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍۢ

… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. QS. Al-Mujadilah: 11.

Ayat menunjukan tingkatan derajat yang lebih tinggi bagi para ahli, expert dan pemilik ilmu di bidangnya masing-masing.

Permasalahan yang muncul adalah ketika ada orang yang “merasa” memiliki kemampuan untuk membahas dan berbicara tentang suatu displin ilmu namun sejatinya ia bukan ahli di bidangnya. Maka dalam hal ini Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًۭا

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. QS. Al-Isra: 36.

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:

أن الله تعالى نهى عن القول بلا علم بل بالظن الذي هو التوهم والخيال

“Allah Ta’ala melarang untuk bicara tanpa ilmu, yaitu bicara dengan sekadar sangkaan yang merupakan kerancuan dan khayalan” (Tafsir Ibnu Katsir).

Wahbah Zuhaili berkata tentang makna ayat tersebut, “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui, dan janganlah kamu ikut campur dalam hal yang tidak ada hubungannya denganmu”. Maknanya adalah apabila ada seseorang yang tidak pakar di bidang ilmu tertentu kemudian dia membahas dan membicarakannya maka itu bukanlah ranah dia, karena kita tidak boleh berbicara tanpa ilmu. Maknanya tidak boleh berbicara suatu bidang ilmu tanpa memiliki keahlian padanya.

Hal ini juga dilakukan oleh shahabat Nabi yang mulia, Abu Bakar sangat takut ketika ia berkata yang bukan bidangnya, padahal dia adalah orang yang pertama kali beriman kepada Rasululullah, seraya berkata,

“أي سماء تظلني؟ وأي أرض تقلني؟ إذا قلت في كلام الله ما لا أعلم”

“Langit mana tempat saya bernaung, dan bumi mana tempat saya berpijak, jika saya berkata tentang kitab Allah yang tidak saya ketahui,“ itulah komentar Abu Bakar ketika ia ditanya tentang makna “Abba” dalam surah ‘Abasa ayat 31.

Demikian juga sahabat Nabi lainnya, yaitu Umar bin Khattab, beliau tidak malu bertanya kepada Ibnu Abbas tentang tafsir surah An Nasr; Umar bertanya kepadanya karena Ibnu Abbas pernah didoakan oleh Nabi saw,

اللهم فقهه فى الدين وعلمه التأويل

“Ya Allah jadikanlah Ibnu Abbas orang yang dalam ilmu agamanya dan ajarkan ia ilmu tafsir.”

Riwayat-riwayat tersebut memberikan pesan buat kita bahwa ulama itu memilki kepakarannya masing-masing, sebagaimana Umar bertanya kepada Ibnu Abbas tentang tafsir karena ia tidak memiliki pengetahuannya tentangnya.

Maka kita sebagai orang yang masih banyak belajar, hendaknya berhati-hati dalam memberikan pembahasan atau berbicara yang bukan kepakaran kita. Apalagi kita merasa paling pintar dalam bidang yang bukan bidang kita, sampai-sampai menyepelekan orang lain yang pakar dengan kita.

Kemudian juga ada kasus di mana seseorang yang bukan pakar di bidang tertentu, misalnya ekonomi syariah, tetapi dia sok tahu membahas, membicarakan hingga merumuskan satu kurikullum bidang ekonomi syariah. Tentu ini tidak elegan dan tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Islam. Apalagi jika merujuk kepada sabda Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam:

إِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ. قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ إِذَا أُسْنِدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ . فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya ‘Bagaimana maksud amanat disia-siakan? Nabi menjawab; “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” Bukhari.  

Hadits ini menunjukan mengenai bahayanya suatu Amanah baik berupa pekerjaan atau yang lainnya diserahkan kepada bukan ahlinya. Karena jika demikian adanya maka kehancuran ada di depan mata dan tunggu kehancurannya. Demikian pula ketika ada seseorang yang berbicara, membahas atau menulis satu bidang ilmu yang bukan keahliannya, maka tentu saja kerusakan yang akan terjadi.

Oleh karena itu, hendaknya bagi kita yang diberikan sedikit ilmu ini terus belajar, jangan pernah sombong dan membahas serta membicarakan disiplin ilmu yang bukan keahlian kita. Apalagi sok tahu dan menyepelekan orang lain, ini tentu sangat berbahaya dan bisa terjatuh pada kesesatan. Selain itu hendaknya kita selalu muhasabah diri, berlaku lebih tawadhu (rendah hati), zuhud dan akhlak mulia lainnya sebagaimana padi yang ketika semakin berisi akan semakin merunduk. Wallahu a’lam 30 Juni 2022.  

 

Rabu, 29 Juni 2022

Holywings dan Usaha Mencari Kerja Halal

Oleh: Misno bin Mohamad Djahri

 


Salah saru dari berita yang berkembang di Indonesia saat ini adalah dicabutnya izin usaha Bar and Restaurant “Holywings” di beberapa wilayah. Pencabutan izin ini didasarkan kepada promo mereka yang terkesan mengandung unsur sara, di mana dalam promonya mereka memberikan “Gordon’s Dry Gin atau Gordons Pink”, yaitu satu jenis minuman keras (khamr) bagi mereka yang Bernama “Muhammad dan Maria. Tentu saja nama “Muhammad” yang digunakan menundang amarah masyarakat muslim, karena nama ini adalah nama Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam dan identik dengan muslim. Namun ada hal yang menarik juga, bahwa ketika izin operasional ditutup maka para pemilik dan pemegang saham menyayangkan dengan menyebutkan bahwa sekitar 2.850 pekerjanya adalah muslim. Pertanyaan besarnya adalah “Kenapa banyak muslim yang bekerja di tempat yang menjual minuman keras (khamr)?”

Jawaban dari pertanyaan ini sangat banyak, mulai dari kebutuhan hidup masyarakat muslim yang semakin meningkat dan susahnya mencari pekerjaan sehingga mereka mau bekerja di tempat seperti itu. Sebagian lainya tidak paham hukum bekerja di tempat yang menjual minuman keras, mungkin mereka beranggapan bahwa “selama tidak mengonsumsi masih boleh”, hingga mereka menganggapnya tidak masalah.

Keharaman dari khamr atau minuman keras sudah tidak diragukan lagi, sebagaimana firman Allah Ta’ala:  

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. QS Al Maidah: 90.

Kalimat “jauhilah” dalam ayat ini bermakna tinggalkanlah yang hukumnya adalah haram untuk mengonsumsinya. Secara lebih tegas disebutkan dalam firmanNya yang lain:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا ۗ وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ

Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir. QS. Al Baqarah: 219.

Ayat ini secara jelas menunjukan bahwa khamr (minuman keras) itu diharamkan dalam Islam, hal ini dikuatkan oleh sabda Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ» (رواه مسلم)

Dari Ibnu Umar r.a. bahwasannya Nabi saw. bersabda, “Setiap hal yang memabukkan itu khamr, dan setiap yang memabukkan itu haram.” HR. Muslim.

Selain ayat dan hadits tersebut, masih banyak lagi dalil-dalil yang menunjukan keharaman minuman keras dan semua yang memabukan. Jika dzatnya haram maka hukum jual belinya juga haram dan bekerja di tempat tersebut juga haram.

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَ جَلَّ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْمَيْتَةَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْخِنْزِيرَ وَثَمَنَهُ

Sesungguhnya Allah telah mengharamkan khamr dan mengharamkan hasil jual beli khamr, mengharamkan bangkai dan hasil jual beli bangkai, dan mengharamkan babi serta mengharamkan hasil jual beli babi. HR. Abu Dawud.

Maka jika jual belinya haram maka bekerja pada tempat yang menjual khamr hukumnya juga menjadi haram, dan penghasilan yang diperolehnya juga otomatis haram juga.  

Maka sebagai seorang muslim hendaknya kita berhati-hati dalam bekerja dan mencari nafkah, jangan sampai terjatuh kepada pekerjaan yang haram. sebagaimana sebuah Riwayat menyebutkan:

إِنَّ رُوْحَ القُدُسِ نَفَثَ فِي رَوْعِي إِنَّ نَفْسًا لاَ تَمُوْتَ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقُهَا ، فَاتَّقُوْا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ ، وَلاَ يَحْمِلَنَّكُمْ اِسْتَبْطَاءَ الرِّزْقُ أَنْ تَطْلُبُوْهُ بِمَعَاصِي اللهَ ؛ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُدْرِكُ مَا عِنْدَهُ إِلاَّ بِطَاعَتِهِ

Sesungguhnya ruh qudus (Jibril), telah membisikkan ke dalam batinku bahwa setiap jiwa tidak akan mati sampai sempurna ajalnya dan dia habiskan semua jatah rezekinya. Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah cara dalam mengais rezeki. Jangan sampai tertundanya rezeki mendorong kalian untuk mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Karena rezeki di sisi Allah tidak akan diperoleh kecuali dengan taat kepada-Nya.” (HR. Musnad Ibnu Abi Syaibah 8: 129 dan Thabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir 8: 166, hadits shahih. Lihat Silsilah As Shahihah no. 2866).

Pada riwayat lainnya dijelaskan:

أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ

Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram. HR. Ibnu Majah.

Jika hari ini masih ada beberapa saudara muslim kita yang bekerja di tampat yang menjual khamr atau tempat maksiat lainnya maka segeralah bertaubat dan mencari pekerjaan yang halal. Fenomena ini ternyata sudah diprediksi oleh Nabi dalam sabdanya:

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ

Sungguh akan datang satu zaman di tengah manusia, seseorang tidak lagi peduli dengan harta yang dia ambil, apakah dari harta halal ataukah dari harta haram. HR. Ahmad dan Bukhari.

Maka, bagi karyawan Holywings dan semua yang terlibat dalam jual beli khamr serta benda dan jasa yang mengandung maksiat lainnya, segeralah bertaubat dan mencari pekerjaan yang halal. Karena keharaman khamr merupakan syariat Allah Ta’ala dan pasti mengandung hikmah yang sangat banyak bagi individu dan masyarakat.  

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga kita dan seluruh umat Islam dari pekerjaan yang haram, dan jangan lupa kita selalu berdoa:

اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu. HR. Tirmidzi.

Bogor, Rabu pagi 29062022.

Senin, 27 Juni 2022

Gusti Allah Mboten Sare (Allah Subhaanahu Wa Ta’ala Tidak Tidur)

Oleh: Misno

 


Manusia di dunia telah diciptakan oleh Allah Ta’ala dengan berbagai suku bangsa (QS. Al-Hujuraat: 13), Dia menciptakan manusia dengan berbagai warna kulit, dari yang hitam legam hingga yang putih bercahaya. Demikian pula Allah Ta’ala menciptakan manusia dengan berbagai perilaku dan wataknya, ada yang mulai lebih malaikat hingga ada yang durjana melebihi Iblis dan bala tentaranya. Berbagai perilaku manusia akan nampak dalam muamalah keseharian mereka, kita akan mendapatkan banyak manusia yang baiknya luar biasa, namun tidak jarang yang jahatnya di luar batas rasa manusia. Semua itu adalah cobaan dan bala bagi manusia, apakah mereka akan selalu mengingat Allah Ta’ala dan hidup di bawah syariahNya, atau durjana dan mendurhakaiNya hingga akan bersama Iblis di neraka.

Inilah fenomena yang ada di sekitar kita, berapa banyak manusia durhaka yang selalu berbuat nista, tidak hanya kepada Rabbnya, namun juga kepada manusia. Mereka mendzalimi manusia lainnya tanpa merasa atau karena hawa nafsunya yang membawa kepada perbuatan yang selalu merugikan orang lain di sekitarnya. Ada banyak penyebabnya, namun secara khusus adalah kotornya hati karena dipenuhi oleh sifat dengki kepada manusia di sekitarnya. Dari hari ke hari mereka mendzalimi orang lain, menindas, menghina, mengeksploitasi, memfitnah dan berbagai ucapan dan tindakan yang menyusahkan manusia lainnya. Seringnya ia melakukan perbuatan tersebut hingga tidak menyadari bahwa apa yang dilakukannya adalah dosa, yang sejatinya bukan hanya kepada manusia lainnya namun kepada pemilik semesta raya yaitu Allah Ta’ala.

Ya… ketika seseorang mendzalimi orang lain sejatinya ia tengah bermaksiat kepada Allah taa’ala. Ketika hatinya dipenuhi dengan kedengkian kepada manusia lainnya maka sejatinya ia telah durhaka kepada Sang Pencipta. Apalagi jika orang yang didzaliminya tidak melakukan kesalahan apa-apa. Ini terancam dalam firmanNya:

وَٱلَّذِينَ يُؤْذُونَ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ بِغَيْرِ مَا ٱكْتَسَبُوا۟ فَقَدِ ٱحْتَمَلُوا۟ بُهْتَٰنًۭا وَإِثْمًۭا مُّبِينًۭا

Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. QS. Al-Ahzab: 58.

Merujuk pada ayat ini, maka merupakan dosa besar apabila seseorang menyakiti dan mendzalimi orang lain tanpa ada sebab yang dilakukan oleh orang yang didzalimi. Sehingga Allah Ta’ala serta rasulNya yang mulai selalu mewanti-wanti jangan sampai manusia menyakiti manusia lainnya.

Bagi mereka yang merasa disakiti, didzalimi, diperlakukan tidak sebagaimana mestinya maka mencegah kedzaliman tersebut adalah hal yang utama. Memberikan nasehat agar orang tersebut berhenti melakukan kedzaliman dan menyakiti orang lain, agar orang tersebut terhindar dari adzab Allah yang sangat pedih.

Namun, jika berbagai upaya telah dilakukan dan kedzaliman itu masih tetap ada maka ingatlah “Gusti Allah Mboten Sare”, Allah Ta’ala tidak pernah tidur dan lalai dari berbagai kedzaliman yang dilakukan oleh manusia kepada manusia lainnya. Ada dua kemungkinan, pertama orang yang berbuat dzalim tersebut akan segera diadzab di dunia dengan adzab yang dahsyat, atau ia akan diadzab di akhirat dengan adzab yang lebih dahsyat lagi. Seseorang yang mendzalimi orang lain di akhirat akan menjadi orang-orang yang muflis (bangkrut) karena amal baiknya diambil oleh orang-orang yang didzalimi. Tidak hanya itu, dosa-dosa yang dilakukan oleh orang yang didzalimi akan diberikan kepadanya dan dia harus menanggung siksaannya. Apalagi jika orang tersebut terus mendzalimi, menyakiti, memfitnah dan hatinya penuh dengan rasa dengki kepada manusia lainnya. Maka adzabnya akan diberikan dua kali lipat, di dunia dan juga di akhirat.

Jika demikian adanya, maka sudah selayaknya kita sebagai manusia untuk berhati-hati jangan sampai mendzalimi manusia, jangan sampai ada dalam diri kita rasa dengki dengan manusia lainnya hingga membuat kedzaliman kepada manusia lainnya.

Sedangkan bagi mereka yang didzalimi namun tidak bisa lagi dicegah dengan tangan dan kekuasaan maka serahkan semuanya pada Allah Ta’ala, Dia akan memberikan balasan di dunia dan juga di akhirat sana. Kedzaliman yang kita terima akan menjadi tabungan kita di akhirat sana karena sejatinya Allah Ta’ala memang tidak akan pernah alpha, selalu mencatat amal semua hambaNya dan akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat sana. Bogor, 27062022.

Ketika Ibadah terasa Susah

Oleh: Misno

 


Salah satu dari hidayah yang diberikan Allah Ta’ala kepada para hambaNya adalah diberikannya kenikmatan untuk beribadah kepadaNya. Ibadah sebagai bentuk penghambaan diri kepadaNya sejatinya adalah kebutuhan setiap insan, namun masih banyak manusia yang tidak bisa merasakan manisnya ibadah kepadaNya. Kenapa hal ini terjadi?

Allah menciptakan manusia dengan tujuan utama agar mereka beribadah kepadaNya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. QS. Adz-Dzariyat: 56

Hal ini bukan berarti Allah Ta’ala membutuhkan ibadah manusia sebagai hambaNya, namun justru sebagai bentuk kasih sayangNya kepada seluruh umat manusia. Dengan beribadah kepada Allah Ta’ala maka manusia akan mendapatkan berbagai kemashlahatan baik di dunia maupun di akhirat sana.

Namun, tidak semua manusia mendapatkan hidayah untuk dapat beribadah kepadaNya, sebagian manusia lali dari beribadah kepadaNya. Sementara sebagian lainnya merasa berat dan susah ketika beribadah. Misalnya ketika akan melaksanakan shalat jiwa merasa berat, demikian pula ketika melaksanakan ibadah puasa maka badan menjadi lemah terasa. Apalagi jika ibadah tersebut memerlukan pengorbanan yang lebih, misalnya shalat shubuh di pagi hari ketika orang lain masih terlelap tidur. Demikian pula berpuasa ketika orang lain banyak yang tidak puasa, semua berat dilaksanakan karena adanya faktor internal dan ekternal yang menggoda insan.

Pertanyaan terbesar adalah “Apa yang ahrus kita lakukan ketika berat melaksanakan ibadat? Atau ketika merasa susah melaksanakan ibadah? Benarkan dosa dan kemaksiatan yang kita lakukan menjadi penyebab malas dalam ibadah?

Jawabannya adalah kembali kepada diri kita sendiri, dimulai dari memperbaiki keimanan kita, muhasabah diri tentang keberadaan kita di dunia. Untuk apa kita hadir di dunia dan kemana kita akan kembali nantinya. Memperbaiki dan terus menguatkan keimanan kita kepada Allah Ta’ala, memperkuat ketakwaan dan belajar untuk dapat menikmati ibadah yang dilakukan.

Pertama, Menguatkan keimanan dan ketakwaan berarti melaksanakan seluruh perintahnya dan menjauhi semua larangannya. Hal ini berarti agar kita tidak lagi susah dalam beribadah maka biasakan diri untuk terus beribadah, mungkin suatu waktu harus “dipaksa” diri ini untuk beribadah kepadaNya. Mudah-mudahan dengan pembiasaan dan sekali-kali “dipaksa” lama-kelamaan diri ini akan akan merasakan manisnya beribadah kepadaNya.

Kedua, Berusaha sekuat tenaga meninggalkan semua laranganNya. Berdasarkan berbagai ayat al-Qur’an hadits nabi yang mulia, pendapat para ulama serta pengalaman manusia tenryata dosa dan maksiat menjadi penyebab seseorang tidak dapat merasakan indahnya beribadah kepadaNya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَعَصَى ءَادَمُ رَبَّهُ فَغَوَى . ثُمَّ اجْتَبَاهُ رَبُّهُ فَتَابَ عَلَيْهِ وَهَدَى . قَالَ اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى . وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى . قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنتُ بَصِيرًا . قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ ءَايَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنسَى . وَكَذَلِكَ نَجْزِي مَنْ أَسْرَفَ وَلَمْ يُؤْمِن بِئَايَاتِ رَبِّهِ وَلَعَذَابُ اْلأَخِرَةِ أَشَدُّ وَأَبْقَى

Dan Adam pun mendurhakai Rabb-nya, maka ia sesat. Kemudian Rabb-nya (Adam) memilihnya, maka Dia menerima taubatnya dan memberi Adam petunjuk. Allah berfirman, “Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk dariKu, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjukKu, ia tidak akan seat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. Berkatalah ia:”Ya, Rabb-ku, mengapa Engkau menghimpun aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya seorang yang bisa melihat”. Allah berfirman:”Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari inipun kamu dilupakan”. Dan demikanlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya terhadap ayat-ayat Rabb-nya. Dan sesungguhnya adzab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal. QS. Thaha:121-127.

Ayat ini menyebutkan beberapa efek negatif yang ditimbulkan karena perbuatan maksiat. Allah menjelaskan dalam ayat ini, bahwa akibat (yang ditimbulkan karena) perbuatan maksiat adalah ghay (kesesatan) yang merupakan sebuah kerusakan. Seakan-akan Allah berfirman “Barangsiapa mendurhakai Allah, maka Allah akan merusak kehidupannya di dunia.” Makna seperti ini juga disebutkan dalam ayat-ayat berikut. FirmanNya:

فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى

Lalu barangsiapa yang mengikuti petunjukKu, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. QS. Thaha: 123.

Maka, salah satu dari sebab beratnya kita melaksanakan ibadat dan rasa susah ketika beribadah adalah karena dosa dan maksiat yang kita lakukan. Sehingga sebagai seorang hamba yang terus berusaha menjadi baik hendaknya kita terus sekuat tenaga meninggalkan segala bentuk dosa, maksiat dan kesalahan. Semoga dengan itu kita akan dapat merasakan manisnya beribadah kepadaNya. Wallahu ‘alam, di tengah perjuangan melawan rasa malas dan lemah. 27062022.

Selasa, 21 Juni 2022

Toxic Relationships di Tempat kerja: Penyebab dan Cara Menghadapinya

Oleh: Dr. Misno, SHI., SE., MEI



Bekerja seringkali melibatkan orang lain, bahkan dalam beberapa pekerjaan meniscayakan adanya tim yang solid dalam menyelesaikan berbagai pekerjaa. Sebagai sebuah aktifitas yang harus dijalani, maka bekerja dengan orang lain menjadi kegiatan sehari-hari di tempat kerja. Frekuensi bertemu yang hampir setiap hari memunculkan berbagai beda pendapat, salah paham hingga konflik yang terjadi. Penyebabnya, bisa karena masalah pribadi, pekerjaa, beda pandangan atau hal-hal lainnya. Apabila konfilk ini terus berlanjut maka akan memunculkan hubungan yang tidak baik bahkan cenderung bersifat negatif dan kontra produktif. Inilah yang disebut dengan Toxic Relationships, apabila hal ini terjadi di tempat kerja maka ketidaknyamanan dalam bekerja, sehingga target serta fokus pekerjaan menjadi terganggu. Secara otomatis tujuan dari perusahaan dan tempat bekerja juga akan mengalami dampaknya.

Ada banyak penyebab munculnya Toxic Relationships¸ mulai dari beda pandangan, adanya kepentingan hingga masalah pribadi yang seringkali membuat konflik semakin bertambah tajam. Belum lagi jika di tempat kerja muncul kelompok-kelompok yang saling berseteru, lengkaplah sudah “hubungan beracun” ini. Pada banyak kasus, ketika di tempat kerja sudah membuat kelompok-kelompok atau “gank”, maka dapat dipastikan organisasi akan terganggu. Sebagai contoh umum adalah ketika pimpinan berganti, maka orang-orang yang berseberangan dengan pimpinan baru akan disingkirkan, diganti dengan orang-orang yang sepaham atau yang mendukungnya. Fenomena ini sudah lazim terjadi di berbagai tempat kerja, dari mulai perusahaan, pabrik hingga lembaga Pendidikan tinggi. Efeknya adalah munculnya Toxic Relationships di antara pekerja yang berbeda kelompok tersebut.

Berdasarkan beberapa literatur, maka penyebab dari Toxic Relationships diantaranya adalah; Pertama, lemahnya kepemimpinan. Hal ini terjadi biasanya karena pimpinan yang cenderung diktator, berlebihan dalam pengawasan, tidak kompeten dan suka mengancam bawahan. Kedua, Pekerjaan yang melebihi kemampuan pekerja, ini menjadikan pekerja stress karena di bawah tekanan pekerjaan yang mengakibatkan pekerja tidak nyaman termasuk memunculkan hubungan yang tidak baik. Ketiga, minimnya apresiasi. Hubungan yang tidak sehat akan muncul karena kurangnya apresiasi dan penghargaan, padahal ucapan berupa pujian, promosi jabatan, kenaikan gaji atau pengakuan kepada public menjadi hal penting bagi pekerja untuk mengurangi Toxic Relationships.

Kembali ke permasalahan utama, bahwa ketika Toxic Relationships terjadi, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan, dari mulai niat kita bekerja, efek jangka pendek dan jangka Panjang dari “hubungan” ini hingga kemungkinan menghentikannya. Beberapa cara untuk menghadapi Toxic Relationships adalah sebagai berikut:

 

1. Hindari Drama

Jangan terjebak ke dalam konflik kecil, buatlah batasan yang jelas jangan terjebak kepada saling menyalahkan dan banyak mengeluh. Sekali-kali berbicara dan mengungkapkan pendapat dengan tegas sebagai kekuatan untuk perubahan. Mengeluh secara terus-menerus akan membawa anda dan rekan kerja lain semakin terpuruk. Selain itu anda akan kehilangan respect (rasa hormat) dari orang lain.  

 

2. Tingkatkan Kepedulian kepada Diri Sendiri

Banyak cara untuk membantu diri anda sendiri agar terhindar dari Toxic Relationships, hal ini agar ketahanan fisik dan mental tetap terjaga. Misalnya dengan melakukan aktifitas olah raga, memperbaiki pola makan dan berserah diri kepada Allah Ta’ala. Jika Anda kesulitan memotivasi diri sendiri, carilah teman yang peduli terhadap anda dan berusaha untuk saling mendukung.

Luaskan cakrawala pemikiran, kepada hal-hal di luar pekerjaan. Carilah kegiatan kreatif di luar yang membuat anda lebih bersemangat menjalani pekerjaan, misalnya dengan menulis, melukis, menggambar, mengikuti kelas yang dapat meningkatkan kualitas diri serta berbagai kegiatan yang membuat diri anda semakin kreatif dan menjaga anda dari rasa Lelah, bosan dan hal-hal yang membosankan dalam pekerjaan.

 

3. Fokus pada Masa Depan

Jika anda merasa sudah tidak mampu untuk menghadapi berbagai Toxic Relationships, maka mulailah mencari pilihan lain yang lebih baik. tingkatkan kemampuan, komunikasi dengan teman-teman di luar, komunikasi dengan konsultan karier kalau ada. Yakin bahwa akan selalu ada harapan yang akan membuat anda semakin percaya diri dan terhindar dari Toxic Relationships.        

Semoga kita semua terhindar dari berbagai Toxic Relationships  di tempat kerja. Kalaupun terjadi maka perbaiki niat kita dalam bekerja, muhasabah diri penyebab dari hal ini, berusaha untuk menjalankan amanah pekerjaan dengan baik, jangan terlalu mengurusi pekerjaan orang lain dan berdo’a semoga ianya segera berakhir. 21062022.

Jumat, 17 Juni 2022

Kedzaliman yang Tidak Sadar Dilakukan

Oleh: Abd Misno

 


Manusia diciptakan dengan segala keterbatasan, sehingga banyak hal di luar pengetahuannya yang sejatinya masalah besar yang harus diketahuinya namun tidak disadarinya. Jika masalah tersebut terkait dengan dirinya sendiri tentu tidak menjadi masalah, namun jika sesuatu yang tidak dia ketahui atau tidak disadari itu menyangkut orang lain maka ini adalah masalah besar. Dalam hal ini adalah kesalahan atau kedzaliman yang dilakukan kepada orang lain yang dia sendiri tidak mengetahuinya atau tidak merasakannya.

Sebagai contoh, seseorang yang tanpa dia sadar menginjak kaki temannya, atau tanpa disadarinya dia menabrak seseorang yang tidak disadarinya. Maka dalam hal ini tentu dimaafkan jika dia betul-betul memang tidak mengetahuinya. Bagaimana jika kedzaliman yang dilakukan kepada orang lain tetapi dia tidak merasakannya atau tidak sadar telah mendzalimi orang lain?

Dzalim (ظلم) bermkan meletakkan sesuatu/ perkara bukan pada tempatnya, lawan katanya adalah adil yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dalam konteks dengan orang lain disebut dzalim adalah ketika ia menyakiti orang lain dengan ucapan atau tindakannya. Kedzaliman ini bisa karena sengaja atau tidak sengaja. Ada juga yang dia ketahui telah mendzalimi orang lain atau ia tidak menyadarinya. Kedzaliman yang seringkali dirasakan oleh orang lain namun pelakunya tidak merasakannya adalah kedzaliman yang sebenarnya. Maka kita harus hati-hati dengan hal ini, yaitu kedzaliman yang tidak sadar dilakukan.

Biasanya pelaku kedzaliman adalah orang-orang yang kedudukannya berada di atas atau memiliki sesuatu yang lebih dibanding orang lain yang didzalimi. Misalnya seorang pemimpin yang memutuskan sebuah kebijakan, tanpa dia sadari kebijakan tersebut mendzalimi bawahannya. Mungkin dia tidak sadar bahwa ia telah mendzalimi, sehingga ia bersikap biasa saja dengan bawahannya tersebut. Namun bukan berarti hal ini dimaafkan, karena bisa jadi kedzaliman yang tidak disadari itu lebih besar dosanya daripada kedzaliman yang nyata.

Kedzaliman dalam Islam sangat dilarang, Allah Ta’ala berfirman “…dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. QS. Al-Anfaal: 25. Rasulullah Shalallahu Alaihi Salam memberikan contoh mengenai kedzaliman tersebut dalam sabdanya “Di antara bentuk kezaliman seseorang terhadap saudaranya adalah apabila ia menyebutkan keburukan yang ia ketahui dari saudaranya dan menyembunyikan kebaikan-kebaikannya.”. pada Riwayat yang lainnya bahwa kedzaliman itu akan membawa kegelapan pada hari kiamat, sebagaimana sabdanya “Takutlah kalian akan kezhaliman karena kezhaliman adalah kegelapan pada hari Kiamat.” Keharaman dari berbuat dzalim secara nyata dalam haditsnya “Wahai hambaku, sesungguhya aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku telah menetapkan haramnya (kezaliman itu) di antara kalian, maka janganlah kalian saling berlaku zalim.”.

Merujuk pada ayat dan hadits yang telah disebutkan sebelumnya dapat dipahami bahwa berbuat dzalim kepada orang lain adalah dosa dan akan mendapatkan balasan yang berat.

Sehingga sebagai orang Islam kita harus berhati-hati jangan sampai berbuat dzalim kepada orang lain. Termasuk seorang atasan yang memutuskan berbagai kebijakan, hendaknya jangan asal membuat sebuah keputusan, ajaklah para bawahan untuk bermusyawarah tentang keputusan yang akan dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala “…sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka…” QS. Asy-Syuraa: 38. Ajaklah para bawahan bermusyawarah dan berikan kesempatan untuk memberikan ide dan gagasannya. Apabila memutuskan suatu perkara maka tanyalah pendapatnya agar jangan sampai terjadi kedzaliman kepada para bawahan kita.

Sebagaimana dipahami bahwa kedzaliman yang kita lakukan baik sengaja ataupun tidak, sadar atau tidak akan membuka pintu bagi doa yang dikabulkan. Riwayat dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

اِتَّقِ دَعْوةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ

Takutlah kepada doa orang-orang yang teraniyaya, sebab tidak ada hijab antaranya dengan Allah (untuk mengabulkan). HR. Muslim. Dari Abu Hurairah bahwa dia berkata bahwasanya Rasulullah bersabda:

دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ مُسْتَجَابَةُ وَإِنْ كَانَ فَاجِرًا فَفُجُوْرُهُ عَلَى نَفْسِهِ

Doanya orang yang teraniaya terkabulkan, apabila dia seorang durhaka, maka kedurhakaannya akan kembali kepada diri sendiri. HR. Ahmad.

Maka ketika kita menjadi pemimpin hendaknya selalu ajak musyawarah para bawahan kita, berikan mereka kesempatan untuk menyampaikan ide dan gagasannya. Jangan sampai keputusan yang kita lakukan mendzalimi mereka, dan akan menjadi dosa bagi kita. Selalulah bertanya tentang kebijakan kita akan mendzalimi mereka atu tidak? Mintalah maaf kepada mereka agar kedzaliman yang sadar atau tidak sebagai efek dari kebijakan kita tidak menjadi kedzaliman yang membawa kepada dosa dan kesalahan yang berakibat adzab di dunia dan juga di akhirat.

Semoga kita semua terhindar dari segala bentuk kedzaliman, baik yang disengaja ataupun tidak disengaja, baik yang sadar ataupun tidak sadar dilakukan. Aameen Ya Rabbal ‘aalameen. 17062022.

 

Jumat, 10 Juni 2022

Dosa Suami berdampak pada Perilaku Istri?

Dr. Abd Misno, MEI

 


Salah satu atsar (ucapan, tindakan dan sifat para shahabat tabi’in, tabi’ut tabi’in dan ulama masa lalu yang sholeh) dari salaf ash-sholeh (para pendahulu umat Islam yang sholeh dari kalangan sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan ulama masa lalu yang sholeh) yang selalu mengiang di telinga adalah ucapan dari mereka:

إن عصيت الله رأيت ذلك في خلق زوجتي و أهلي و دابتي

Sungguh, ketika bermaksiat kepada Allah, aku mengetahui dampak buruknya ada pada perilaku istriku, keluargaku dan hewan tungganganku.

Pada riwayat lainnya, disebutkan dari Fudhail bin Iyadh, beliau berkata:

إني لأعصي الله فأعرف ذلك من خلق حماري وخادمي.

Sesungguhnya ketika aku bermaksiat kepada Allah Ta’ala, maka dampaknya akan terlihat pada perilaku kendaraan dan pembantuku.

Sebagai suami tentu saja atsar ini harus menjadi perhatian, bagaimana ternyata dosa dan kesalahan yang kita lakukan akan nampak dari perilaku istri dan kendaraan yang kita miliki. Tentu saja para salaf ash-sholeh mengucapkan astar ini bukan berdasarkan hawa nafsunya, namun berdasarkan kepada pengalaman dan pemahaman mereka terhadap nash dari al-Qur’an dan al-Sunnah Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam.

Bahkan setelah 1400 tahun lebih berlalu, ternyata atsar ini masih berlaku hingga saat ini dan dapat dirasakan oleh orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan kesadaran tentang agama dan keyakinan pada Allah Ta’ala yang Esa dan RasulNya yang mulia. Bukan sebuah kebetulan ketika sebagai suami seringkali kita mendapatkan realita yang demikian; istri uring-uringan, kendaraan yang mogok di jalan hingga khadimah yang susah untuk diberikan amanah. Ternyata merujuk kepada atsar tersebut salah satu penyebabnya adalah karena dosa yang oleh para suami lakukan.

Merujuk pada atsar tersebut, maka efek dari dosa yang dilakukan oleh para suami adalah perilaku istri yang sering tidak sesuai ekspektasi. Susah ketika diajak kepada kebaikan, selalu melanggar yang dilarang hingga uring-uringan dan ngomel-ngomel tanpa adanya sebab yang kita lakukan. Bagi para suami mungkin hal ini seperti biasa, padahal apabila kita cermati lebih mendalam ternyata memang benar atsar tersebut. Oleh karena itu, ke hadapan jika istri ngomel-ngomel atau marah-marah tanpa adanya sebab maka muhasabah diri, “Dosa apa yang telah para suami lakukan?”

Kedua adalah kendaraan yang susah diatur, pada masa lalu kendaraan seperti kuda, unta, keledai dan binatang tunggangan lainnya menjadi alat transportasi utama. Salaf ash-sholeh sangat meyakini bahwa jika tiba-tiba binatang tunggang tersebut susah diatur, memberontak ketika diperintah berjalan atau berhenti, tiba-tiba terjatuh atau berhenti dan berlari tanpa sebab. Maka semua itu adalah karena dosa dan kesalahan yang mereka lanjutkan. Mereka sangat meyakini hal ini sehingga mereka sangat berhati-hati dalam menjalani kehidupan ini. Kontekstualisasi dari pemahaman ini adalah, jika kendaraan kita seperti sepeda, sepeda motor, mobil, pesawat dan kendaraan lainnya tiba-tiba mogok atau sulit dikendalikan maka salah satunya adalah karena dosa dan kesalahan yang kita lakukan.

Ada tambahan dalam riwayat yang lainnya yaitu, susahnya khadimah diatur adalah karena dosa dan kesalahan yang dilakukan oleh para lelaki termasuk sebagai suami. Kontekstualisasi dari pemahaman terhadap atsar ini adalah bahwa jika bawahan kita, staff dan orang-orang yang berada dalam tanggungjawab kita dalam pekerjaan tiba-tiba susah diatur, melawan dan tindakan yang tidak menyenangkan lainnya. Maka dapat dipastikan bahwa salah satu sebabnya adalah karena dosa dan kesalahan yang kita lakukan.

Sebagai orang beriman, saya sangat meyakini atsar ini, karena para shahabat adalah umat terbaik yang ada dalam Islam, sebagaimana firman Allah Tala “Sungguh Allah telah ridha kepada orang-orang yang beriman (para sahabat Nabi) ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon (Bai’atu Ridwan). Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada mereka dan membalas mereka dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al Fath : 18). Demikian juga firmanNya “Dan orang-orang yang terlebih dulu (berjasa kepada Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah telah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha mepada Allah. dan Allah telah mempersiapkan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (QS. At Taubah : 100). Selain itu banyak lagi ayat dan hadits yang menunjukan keutamaan mereka, di antaranya adalah sabda Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam “Sebaik-baik umat manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’in) dan kemudian orang-orang yang mengikuti mereka lagi (tabi’ut tabi’in).” HR. Muttafaq ‘alaih.

Tentu saja selain ayat dan hadits tersebut, pengalaman hidup menunjukan hal yang demikian, di mana ketika istri, kendaraan dan staff kita ngambek biasanya saya akan muhasabah diri tentang dosa apa yang sudah saya lakukan. Ternyata benar adanya, hingga kemudian efek positifnya adalah selalu berusaha utuk terus memperbaiki diri, mujahadah dan terus berusaha meninggalkan dosa dan maksiat kepadaNya. Apakah anda juga merasakan yang demikian? Bogor, menjelang maghrib, 10 Juni 2022.

The Living Fiqh of Munakahat

Sinopsis

Judul Buku: The Living Fiqh of Munakahat: Dinamika Hukum Pernikahan Islam Klasik Hingga Kontemporer




Sebagai makhluk biologis manusia memerlukan pernikahan sebagai bentuk penyaluran syahwatnya, tentu saja tujuannya adalah meneruskan generasi manusia berikutnya. Pernikahan dapat dilihat bukan hanya dari perspektif biologis, karena sejatinya pernikahan melibatkan keluarga besar, komunitas dan masyarakat. Sehingga pernikahan dapat dilihat dari perspektif sosiologis sebagai interaksi antar individu laki-laki dan perempuan beserta keluarga besarnya.

Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam telah memberikan pedoman dalam pernikahan, (QS. An-Nisaa: 21). Ikatan yang kokoh ini karena pernikahan memiliki banyak dimensi, dari mulai penyaluran hasrat seksual, meneruskan generasi berikutnya, kebutuhan akan kasih sayang dalam keluarga, hingga status sosial yang merupakan bagian dari budaya yang ada di lingkungan sosialnya.

Perspektif Islam mengenai pernikahan tercakup dalam kajian fiqh munakahat (hukum pernikahan Islam), di mana ia telah secara detail dijelaskan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan al-hadits serta pendapat para ulama dalam ruang lingkup ilmu fiqh. Fiqh sendiri dipahami sebagai hasil pemahaman seorang mujtahid atas nash dari al-Qur’an dan al-Sunnah.

Bagaimana Fiqh Munakahat yang dinamis mengikuti perkembangan zaman? Bagian mana saja yang sudah bersifat baku dan tidak boleh bertentangan dengan syariah? Serta bagian mana yang dibolehkan sebagai sebuah budaya, adat dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat? The Living Fiqh of Munakahat akan menjawabnya dengan tuntas… Selamat Membaca…


Info: 085885753838

Etika dan Norma Ekonomi Islam (Part 2): Islam dan Keharusan Bekerja

Oleh: Aziz Abdurrahman, S.Li (Mahasiswa Pascasarjana INAIS Bogor)


                Bekerja merupakan perintah Allah Ta’ala dan menjadi kewajiban setiap manusia, semenjak masa Nabi Adam ‘Alaihissalam sampai Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dalam banyak firman-Nya, Allah Ta’ala memotivasi manusia agar senantiasa bekerja dalam kehidupannya, diantarannya Allah Ta’ala berfirman,

و جعلنا النهار معاشا

“Kami telah menjadikan waktu siang untuk mengusahakan kehidupan (bekerja).” (QS. An-Naba: 11)

Bahkan di dalam ayat lainnya Allah Ta’ala berfirman,

فإذا قضيت الصلواة فانتشروا في الأرض وابتغوا من فضل الله و اذكروا الله كثيرا لعلكم تفلحون

“Maka apabila telah ditunaikan shalat, bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10)

            Adapun kisah dari orang-orang shalih baik dari para Nabi dan yang lainnya sungguh telah menjadi teladan bagi siapapun, Nabi Daud ‘Alaihissalam tidak makan melainkan dari hasil jerih payah kerja tangan beliau sendiri, Nabi Zakaria adalah seorang tukang kayu, dan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah seorang pedagang.

            Pekerjaan pada masa awal islam yang familiar ada dua jenis, yaitu pedagang dan tukang kebun. Hal ini didasari pada letak geografis dua kota suci umat islam, yaitu Mekkah dan Madinah. Kota Mekkah yang terkenal sebagai kota metropilitan biasa menjadi tempat singgah para jama’ah haji dari berbagao negeri sehingga perdagangan menjadi pekerjaan yang amat menguntungkan, adapun kota Madinah disebabkan karena daerahnya yang subur, maka kebanyakan penduduknya bekerja sebagai tukang kebun, dan biasanya kebun yang mereka miliki adalah kebun kurma.

            Oleh karena itu jika kita membuka kitab-kitab hadits maka dua pekerjaan itu yang sering disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, diantaranya adalah pujian Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasaallam kepada pedagang yang jujur dan amanah. Dalam haditsnya beliau bersabda,

التاجر الصدوق الأمين مع النبيين و الصديقين  و الشهداء يوم القيامة

“Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para Nabi, orang-oran Shiddiq, dan para Syuhada pada hari kiamat.” (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim).

Sedangkan untuk mereka yang bekerja di ladang dan perkebunan, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

ما من مسلم يغرس غرسا أو يزرع زرعا فيأكل منه طير أو إنسان أو بهيمة إلا كان له به صدقة

“Tidaklah seorang muslim yang menanam satu tanaman atau menyemai satu semaian lalu (buahnya) dimakan oleh burung atau manusia atau binatang lainnya, maka ia dihitung sebagai sedekah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

            Namun sesuai dengan berkembangnya zaman, tentu jenis-jenis pekerjaan sudah semakin bervariasi, misalnya saja ketika pasa kekhilafahan islam ada yang bekerja untuk negara dengan berbagai jenis pekerjaan, misalnya angkatan bersenjata, juru tulis, bendahara dan lain sebagainya. Secara spesifik misalnya pada masa Khilafah Abbasiyah, ketika pendirian Baitul Hikmah telah dirampungkan, maka di dalam perpustakaan terbesar itu ada beberapa ilmuwan yang bekerja sebagai penerjemah buku-buku asing ke dalam bahasa Arab, khususnya ilmu-ilmu umum, seperti kimia, biologi dan yang lainnya.

            Sehingga pandangan seorang muslim akan pekerjaan tidak boleh sempit hanya dengan mengacu di zaman Nabi saja. Karena bekerja itu adalah perkara duniawi, sedangkan dalam kaidah ushul fikih disebutkan bahwa asal dalam masalah keduniaan/mu’amalah adalah halal, sampai ada dalil yang melarangnya. Jika kita lihat pada masa kini, jenis pekerjaan jauh lebih beragam, sebut saja misalnya jasa transportasi online (baik untuk mengangkut orang atau barang) jasa membuat konten kreatif (sebagai iklan) dan juga beberapa jenis pekerjaan lainnya.  Namun tetap harus menjadi perhatian kita sebagai umat islam untuk berpedoman kepada koridor syariah, jangan sampai kemudian kita termakan oleh omongan sebagian orang yang mengatakan bahwa zaman sekarang mencari rizki yang haram saja sulit, apalagi yang halal. Tentu perkataan tersebut tidak akan keluar dari lisan orang yang beriman.

            Lalu apa saja tujuan dari diharuskannya bekerja dalam pandangan islam? Dalam hal ini Dr. Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Daur Al-Qiyam Wal Akhlak Fil Iqtishad Al-Islami menjelaskan beberapa poin untuk menjawab pertanyaan diatas, diantaranya;

 1. Untuk Mencukup Kebutuhan Hidup

            Berdasarkan ajaran syariat, seorang muslim diminta bekerja untuk mencapai beberapa tujuan. Yang pertama adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara yang halal, mencegahnya dari kehinaan meminta-minta, dan menjaga tangannya agar tetap berada di atas. Islam melarang umatnya untuk mengemis dan meminta-minta serta berharap belas kasihan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang yang berangkat ke gunung, membawa talinya, lalu memikul seikat kayu bakar di atas punggungnya, lalu dijualnya, yang dengannya Allah menjaaga wajahnya, adalah jauh lebih baik baginya daripada meminta-minta kepada oran lain, yang bisa diberi atau ditolak”.

2. Untuk Kemaslahatan Keluarga.

     Bekerja diwajibkan demi terwujudnya keluarga sejahtera. Islam mensyariatkan seluruh manusia untuk bekerja, baik laki-laki ataupun wanita sesuai dengan profesinya masing-masing. Seorang wanita ia bisa bekerja di rumahnya, untuk medidik anak-anaknya serta menjaga harta suaminya, ataupun bisa ia bekerja di luar rumahnya dengan tetap memperhatikan batasan-batasan syariah.

Dari Ka’ab bin ‘Ujrah, ia berkata, “Nabi mendatangi seorang laki-laki dan para sahabat melihat bahwa orang itu sangat tekun dan bersemangat. Lalu mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah bekerjanya orang tersebut fi sabilillah? Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab; “Jika ia berusaha untuk kebutuhan anak-anaknya yang masih kecil maka itu fi sabilillah, jika ia bekerja untuk memenuhi kebutuhan kedua orang tuanya yang telah renta maka itu fi sabilillah, jika untuk kehormatan dirinya maka ia fi sabilillah. Para sahabat kembali bertanya, kalau ia bekerja demi mencukupkan kebutuhan dirinya? Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, “Pekerjaan itu juga fi sabilillah. Tapi jika ia bekerja untuk kesombongan atau riya, maka itu adalah fi sabili asy-syaithan.” (HR. Thabrani)

     Sangat jelas bagi kita penjelasan dari hadits di atas bahwa seluruh jenih pekerjaan yang halal adalah bagian dari jihad di jalan Allah, yang dikecualikan adalah pekerjaan yang dapat menyombongkan pemiliknya dan mengakibatkan riya. Maka haruslah kita berhati-hati dalam hal ini, karena beberapa jenis pekerjaan pada zaman sekarang amat sangat berpotensi untuk menjadikan pemiliknya bersikap sombong, misalnya orang-orang yang bekerja sebagai aparatur sipil negara, yang setiap harinya ada baju khusus yang mereka pakai, atau para pejabat yang difasilitasi mobil dan rumah mewah oleh negara. Semoga kita dijauhkan dari sifat sombong ini.

3. Untuk Kemaslahatan Masyarakat

     Meskipun seseorang tidak lagi membutuhkan pekerjaan karena seluruh kebutuhan hidupnya telah tercukupi ia tetaplah harus bekerja, baik untuk dirinya ataupun masyarakat sekitar. Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa Abu Darda yang saat itu sudah sangat tua sedang menanam pohon kenari, kemudian ditanya oleh orang yang melihatnya, “untuk apa engkau menanamnya, ia tidak akan berbuah kecuali sekian tahun lagi?” Abu Darda menjawab, “Alangkah senangnya aku karena akan mendapatkan pahala darinya, karena orang lain yang akan memakan hasilnya.”

     Kisah sahabat Abu Darda di atas menjadi pelajaran bagi kita bahwa meskipun kita sudah memasuki usia pensiun, namun tidak boleh hanya duduk berpangku tangan. Apa saja yang bisa dikerjakan, maka kita kerjakan, bisa menulis, memberikan ceramah motivasi untuk kaum muda, serta ikut dalam aktivitas sosial lainnya yang bermanfaat untuk lingkungan sekitar kita.

 

Pada akhirnya kita semua sangat berharap menjadi hamba yang dicintai oleh Allah, dan dalam sebuah haditsnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

إن الله يحب إذا عمل أحدكم أن يتقنه

“Sesungguhnya Allah mencintai orang yang apabila ia bekerja secara profesional.” (HR. Baihaqi)