Kamis, 02 Juni 2022

Akad Musyarakah Mutanaqishah (MMQ)

Oleh: Dr. Misno, MEI



Musyarakah mutanaqishah merupakan produk turunan dari akad musyarakah, yang merupakan bentuk akad kerjasama antara dua pihak atau lebih. Kata dasar dari musyarakah adalah syirkah yang berasal dari kata syaraka-yusyriku-syarkan-syarikan-syirkatan (syirkah), yang berarti kerjasama, perusahaan atau kelompok/kumpulan. Musyarakah atau syirkah adalah merupakan kerjasama antara modal dan keuntungan. Sementara mutanaqishah berasal dari kata yatanaqishu-mutanaqishun yang berarti mengurangi secara bertahap. (Hosen, 2018)

Ada beberapa pendapat ulama tentang musyarakah mutanaqishah yang terdapat dalam fatwa DSN MUI No.73 antara lain: Pendapat Ibnu Qudamah tentang mudharabah adalah: Apabila salah satu dari dua yang bermitra (syarik) membeli porsi (bagian, hishshah) dari syarik lainnya, maka hukumnya boleh, karena (sebenarnya) ia membeli milik pihak lain.

Pendapat Ibn Abidin tentang musyarakah mutanaqishah: Apabila salah satu dari dua orang yang bermitra (syarik) dalam (kepemilikan) suatu banguan menjual porsi (hissah)-nya kepada pihak lain, maka hukumnya tidak boleh; sedangkan (jika menjual porsinya tersebut) kepada syarik-nya, maka hukumnya boleh.

Pendapat Wahbah Zuhaili tentang musyarakah mutanaqishah: “Musyarakah mutanaqishah ini dibenarkan dalam syariah, karena sebagaimana Ijarah Muntahiyah bi-al-Tamlik bersandar pada janji dari Bank kepada mitra (nasabah)-nya bahwa Bank akan menjual kepada mitra porsi kepemilikannya dalam Syirkah apabila mitra telah membayar kepada Bank harga porsi Bank tersebut.

Di saat berlangsung, Musyarakah mutanaqishah tersebut dipandang sebagai Syirkah ‘Inan, karena kedua belah pihak menyerahkan kontribusi ra’sul mal, dan Bank mendelegasikan kepada nasabah-mitranya untuk mengelola kegiatan usaha. Setelah selesai Syirkah Bank menjual seluruh atau sebagian porsinya kepada mitra, dengan ketentuan akad penjualan ini dilakukan secara terpisah yang tidak terkait dengan akad Syirkah.”

Pendapat Kamal Taufiq Muhammad Hathab tentang musyarakah mutanaqishah: Mengingat bahwa sifat (tabiat) musyarakah merupakan jenis jual-beli --karena musyarakah dianggap sebagai pembelian suatu porsi (hishshah) secara musya’ (tidak ditentukan atas batasnya) dari sebuah pokok-- maka apabila salah satu mitra (syarik) ingin melepaskan haknya dari syirkah, maka ia menjual hishshah yang dimilikinya itu, baik kepada pihak ketiga maupun kepada syarik lainnya yang tetap melanjutkan musyarakah tersebut.

Pendapat Nuruddin Abdul Karim al-Kawamilah tentang musyarakah mutanaqishah: Studi ini sampai pada kesimpulan bahwa Musyarakah Mutanaqisah dipandang sebagai salah satu macam pembiayaan Musyarakah dengan bentuknya yang umum; hal itu mengingat bahwa pembiayaan musyarakah dengan bentuknya yang umum terdiri atas beberapa ragam dan macam yang berbeda-beda. Dilihat dari sudut “kesinambungan pembiayaan” (istimrariyah al-tamwil), musyarakah terbagi menjadi tiga macam: pembiayaan untuk satu kali transaksi, pembiayaan musyarakah permanen, dan pembaiayaan musyarakah mutanaqishah.

Pembiayaan MMQ merupakan bentuk pembiayaan kemitraan berbasis bagi hasil antara pihak BUS/UUS/BPRS dan pihak Nasabah dalam rangka kepemilikan suatu aset properti tertentu yang dimiliki bersama berdasarkan prinsip syirkah 'inan dimana hishshah (porsi modal) pihak Bank berkurang dan beralih secara bertahap kepada pihak Nasabah melalui mekanisme pembelian angsuran atau pengalihan secara komersial (bai'). Bagi hasil antara pihak Bank dan pihak Nasabah didasarkan pada hasil penggunaan manfaat atas asset bersama tersebut secara komersial berupa pendapatan ujroh dari penyewaan aset dengan akad ijarah (sewa) sesuai nisbah bagi hasil dan biaya sewa yang disepakati.

Dasar Hukumnya adalah Firman Allah surat QS. Shad 38: 24:

وَإِنَّ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلۡخُلَطَآءِ لَيَبۡغِي بَعۡضُهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَقَلِيلٞ مَّا هُمۡۗ  

Artinya: "…Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang yang bersyarikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian lain, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; dan amat sedikitlah mereka ini…."

 

Demikian juga firman Allah surat QS. al-Ma’idah [5]: 1:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوۡفُواْ بِٱلۡعُقُودِۚ  

Artinya: “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”

Berikutnya adalah hadits  riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُولُ : أَنَا ثَالِثٌ الشَرِيكَينِ مَالَم يَخُن أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ، فَإِذَاخَانَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ خَرَجتُ مِن بَينِهِمَا

“Allah swt. berfirman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka.” (HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh alHakim, dari Abu Hurairah).

 

Hadits selanjutnya adalah Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:

الصُّلْحُ جَا ئِزٌ بَينَ المُسْلِمِيْنَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالََا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِم إِلَّاشَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْأَحَلَّ حَرَا مًا

“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”

 

Hadits tersebut menejaskan Allah akan bersama dua orang yang berserikat. Allah akan memberkahi kedua orang yang berserikat dengan catatan tidak ada yang mengkhianati satu dengan lainnya. Jika ada yang berkhianat Allh akan mencabut keberkahan dari perserikatan tersebut. Dan apabila diantara orang yang berserikat itu berselisih, pilihlah jalan perdamian sebagai pilihan yang baik.

Dasar hukum Kaidah Fiqih adalah pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

الأصل فى المعاملة الإباحة إلا أن يدل دليل على تحريمها

“Segala bentuk muamalah pada dasarnya adalah mubah (boleh) kecuali ada dalil yang mengharamkannya”

 

Rukun dan Syarat. Sebagai sebuah perjanjian, syirkah atau perserikatan harus memenuhi segala rukun dan syaratnya agar perjanjian tersebut sah dan mempunyai akibat hukum seperti undang-undang bagi pihak- pihak yang mengadakan. (Ascarya, 2015). Adapun yang menjadi rukun syirkah menurut ketentuan syariat islam adalah sebagai berikut (Anshori, 2010).:

1.      Sighat (lafadz akad), Sighat pada hakikatnya adalah kemauan para  pihak untuk mengadakan serikat/Kerjasama dalam menjalankan suatu usaha. Contoh lafadz akad: “Aku bersyirkah denganmu untuk untuk urusan ini atau itu” dan pihak lain berkata: “Telah aku terima”.

2.      Syarik adalah mitra, yakni pihak yang melakukan akad syirkah (musyarakah).

3.      Hishshah adalah porsi atau bagian syarik dalam kekayaan musyarakah yang bersifat musya`.

4.      Musya` adalah porsi atau bagian syarik dalam kekayaan musyarakah (milik bersama) secara nilai dan tidak dapat ditentukan batas-batasnya secara fisik (Fatwa DSN No. 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Musyarakah Mutanaqishah).

5.      Pokok pekerjaan, setiap perserikatan harus memiliki tujuan atau kerangka kerja yang jelas, serta dibenarkan menurut syariah.

Dalam akad musyarakah mutanaqishah terdapat unsur kerjasama (syirkah) dan unsur sewa (ijarah). Kerjasama dilakukan dalam hal penyertaan modal atau dana dan kerjasama kepemiikan. Sementara sewa merupakan kompensasi yang diberikan salah satu pihak kepada pihak lain. Ketentuan pokok yang terdapat dalam musyarakah mutanaqishah merupakan ketentuan pokok kedua unsur tersebut. Maka syarat dari pelaksanaan akad syirkah adalah sebagai berikut:

a.    Masing-masing pihak harus menunjukkan kesepakatan dan kerelaan untuk saling bekerjasama.

b.    Antar pihak harus saling memeberikan rasa percaya dengan yang lain.

c.    Dalam pencampuran hak masing-masing dalam kepemilikan obyek akad tersebut.

d.    Akad musyarakah mutanaqishah dapat diijarahkan kepada syarik atau pihak lain.

e.    Apabila aset musyarakah menjadi obyek ijarah, maka syarik (nasabah) dapat menyewa aset tersebut dengan nilai ujrah yang disepakati.

f.     Keuntungan yang diperoleh dari ujrah tersebut dibagi sesuai dengan nisbah yang telah disepakati dalam akad, sedangkan kerugian harus berdasarkan proporsi kepemilikan. Nisbah keuntungan dapat mengikuti perubahan proporsi kepemilikan sesuai kesepakatan para syarik.

g.    Kadar atau Ukuran atau bagian atau porsi kepemilikan asset Musyarakah syarik (LKS) yang berkurang akibat pembayaran oleh syarik (nasabah), harus jelas dan disepakati dalam akad.

h.    Biaya perolehan aset Musyarakah menjadi beban bersama sedangkan biaya peralihan kepemilikan menjadi beban pembeli.

Karena akad musyarakah mutanaqishah berkaitan dengan unsur sewa. Maka ketentuan pokoknya mengikuti rukun dan syarat pada akad ijarah .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...