Kamis, 28 November 2013

Disertasi: Nenek Moyang Baduy

Oleh: Abdurrahman Misno Bambang Prawiro

Nenek moyang orang Baduy dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu nenek moyang yang berasal dari masa para Batara dan masa para puun. Batara Tunggal digambarkan dalam dua dimensi, sebagai suatu kuasa dan kekuatan yang tak tampak tetapi berada di mana-mana, dan sebagai manusia biasa yang sakti. Dalam dimensi sebagai manusia sakti, Batara Tunggal mempunyai keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan ke dunia di kabuyutan (tempat nenek-moyang), yaitu titik awal bumi Sasaka Pusaka Buana. Mereka itu ialah:
1.    Batara Cikal, yang diberitakan tidak ada keturunannya.
2.    Batara Patanjala yang menurunkan tujuh tingkat Batara ketiga, yaitu:
a.    Daleum Janggala
b.    Daleum Lagondi
c.    Daleum Putih Seda Hurip
d.   Daleum Cinangka
e.    Daleum Sorana
f.     Nini Hujung Galuh
g.    Batara Bungsu.
Mereka itu yang menurunkan Bangsawan Sawidak Lima atau tujuh batara asal, nenek moyang orang Baduy. Daleum Janggala adalah batara yang tertua, dan yang menurunkan kerabat tangtu Cikeusik; Daleum Putih Seda Hurip menurunkan kerabat Kampung Cibeo. Para Batara tingkat ketiga lain masing-masing menurunkan jenis kerabat pemimpin lainnya.
Lima Batara tingkat kedua, saudara-saudara muda Batara Pantajala, yaitu Batara Wisawara, Batara Wishnu, Batara Brahmana, Batara Hyang Niskala, dan Batara Mahadewa, menurunkan kelompok kerabat besar di luar Baduy yang disebut salawe nagara (dua puluh lima negara), yang menunjukkan jumlah kerabat yang besar, dan menurut pengetahuan orang Baduy adalah wilayah yang sangat luas di sebelah Sungai Cihaliwung.[1] Kelompok kerabat itulah yang dianggap orang Baduy keturunan yang lebih muda.
Dari ketujuh orang batara tingkat ketiga nenek-moyang orang Baduy itu tampak bahwa hanya kerabat jaro dangka yang berasal dari garis keturunan perempuan. Lainnya diturunkan melalui garis keturunan patrilineal. Para puun adalah keturunan Batara Patanjala, dan sampai masa akhir abad ke-19 oleh Jacobs dan Maijer dicatat sudah terjadi 13 kali pergantian puun Cikeusik.[2] Menurut catatan tahun 1988, jumlah puun Cikeusik adalah 24 orang, dan yang terakhir adalah Puun Sadi.
Suatu konsep penting dalam religi orang Baduy ialah karuhun, yaitu generasi-generasi pendahulu yang sudah meninggal. Mereka berkumpul di Sasaka Domas, yaitu tempat di hutan tua di hulu Sungai Ciujung. Karuhun dapat menjelma atau datang dalam bentuk asalnya menengok para keturuannya, dan jalan untuk masuk ialah melalui hutan kampung.
Dalam kaitan dengan konsep karuhun itu ada konsep lain, yaitu guriang, sanghyang, dan wangatua. Guriang dan Sanghyang dianggap penjelmaan para karuhun untuk melindungi para keturunannya dari segala marabahaya, baik gangguan orang lain maupun mahluk-mahluk halus yang jahat (seperti dedemit, jurig, setan) wangatua ialah ruh atau penjelmaan ruh ibu bapak yang sudah meninggal dunia.
Kosmologi orang Baduy yang menghubungkan asal mula dunia, karuhun dan posisi tangtu, merupakan konsep penting pula dalam religi mereka. Karena itu wilayah yang paling sakral ada di Kanekes, terutama wilayah taneuh larangan (tanah suci, tanah terlarang) tempat kampung tangtu dan kabuyutan. Bumi dianggap bermula dari masa yang kental dan bening, yang lama-kelamaan mengeras dan melebar. Titik awal terletak di pusat bumi, yaitu Sasaka Pusaka Buana tempat tujuh batara diturunkan untuk menyebarkan manusia. Tempat itu juga merupakan tempat nenek moyang. Kampung tangtu kemudian dianggap sebagai inti kehidupan manusia, yang diungkapkan dengan sebutan Pada Ageung yaitu tangtu Cikeusik, Cikertawana disebut Kadukujang, dan Cibeo disebut Parahyang, semua itu disebut Sanghyang Daleum.
Secara khusus posisi tempat nenek moyang (kabuyutan) dan alur tangtu dalam memperlihatkan kaitan karuhun, yaitu Pada Ageung-Sasaka Pusaka Buana- dangkanya disebut Padawaras. Kadukujang-Kabuyutan-ikut pada Cibeo dan Cikeusik dengan dangka-dangkanya yang disebut Sirah Dayeuh.[3]
Konsep buana (dunia) bagi orang Baduy berkaitan dengan titik mula, perjalanan, dan tempat akhir kehidupan. Ada tiga buana, yaitu Buana Luhur atau Buana Nyungcung (angkasa, buana atas) yang luas tak terbatas, Buana Tengah atau Buana Panca Tengah, tempat manusia melakukan sebagian besar pengembaraannya dan tempat ia akan memperoleh segala suka-dukanya. Buana Handap atau Buana Bawah ialah bagian dalam tanah yang tak terbatas pada luasnya. Keadaan di tiga buana itu adalah seperti halnya dunia ini, ada siang dan ada malam, dan keadaannya sebaliknya dengan di dunia.
Konsep lain dalam religi orang Baduy ialah kaambuan atau ambu (ibu, wanita, ibu suci).[4] Menurut orang Baduy ada tiga ambu yang penting (paling tidak yang ditakuti dan disegani) yaitu Ambu Luhur di Buana Luhur, Ambu Tengah di Buana Panca Tengah, dan Ambu Rarang di Buana Handap. Ambu Tengah ialah pemelihara kehidupan yang harus dihormati dengan kesungguhan melakukan pikukuh. Ambu luhur tidak hanya mengurus tempat orang Baduy setelah mati, tetapi juga dengan segala kekuatan dan kesaktiannya, Ambu Rarang dapat menyelesaikan setiap masalah kehidupan dengan menyebut namanya atau membaca mantera-mantera. Sedang Ambu Rarang adalah ambu yang menerima jasad dan ruh orang Baduy yang mati untuk diurus selama tujuh hari dan melepaskannya setelah 40 hari ke tempat akhir tetapi juga bentuk nyata dari Buana luhur.[5]
Pola kepercayaan ini saat ini mengalami beberapa perubahan terutama terindikasi dengan masuknya Islam, dari wawancara dengan Jaro Sami, Jaro Dainah, Jaro Alim, Jaro Sadi dan beberapa tokoh adat lainnya mereka sepakat bahwa agama dan kepercayaan mereka adalah Slam Sunda Wiwitan. Mereka meyakini bahwa leluhur mereka adalah Adam Tunggal yang sama dengan Nabi Adam dalam agama Islam. Wawancara dengan Jaro Sami sebagai Jaro Cibeo diketahui bahwa Adam bukanlah hanya satu pribadi melainkan ada empat sampai tujuh pribadi.  Masing-masing Adam memiliki tugas tersendiri yang diamanatkan oleh Tuhan. Adam Tunggal adalah leluhur Baduy yang diberi amanat untuk menjaga kabuyutan yang ada di wilayah Baduy maka keturunannya melanjutkan tugas tersebut menjaga keseimbangan alam (bertapa dengan beribadah kepada alam), selain itu tugas mereka yaitu ngasuh ratu nyanyak menak (menasehati raja dan penguasa negara).[6]
Sikap mereka terhadap Islam tercermin dari pengakuan mereka bahwa Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam adalah sebagai nabi penyempurna. Namun beliau tidak diutus untuk masyarakat Baduy, sehingga mereka tidak memiliki kewajiban untuk mengikutinya. Unsur Islam masuk ke dalam kepercayaan mereka secara perlahan dan tidak disadari oleh generasi berikutnya. Sehingga adanya konsep Adam dalam kepercayaan Baduy terindikasi karena interaksi mereka dengan Agama Islam.
Saat ini seluruh tokoh Baduy menyebutkan bahwa mereka beragama Slam Sunda Wiwitan, mereka berasal dari keturunan Adam Tunggal. Ayah Mursyid menyebutkan bahwa Adam Tunggal adalah utusan dari Sang Pencipta untuk meneguhkan dan mematuhkan wiwitan, menghayati, mengamalkan amanat awal yaitu Ngabaratapakeun, ngabaratanghikeun wiwitan atawa pikukuh karuhun. Patokan dan batasan dari pikukuh tersebut adalah:
“Lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung, gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirakrak, mun ngadek kudu saclekna, mun neukteuk kudu sateukna mun nilas kudu sapasna, nu lain dilainkeun, nu enya dienyakeun ulah gorok ulah linyok”

Panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung, gunung tidak boleh dihancurkan, lembah tidak boleh dirusak, kalau menyabet atau menebang harus se-pasnya, kalau memotong harus seukurannya, kalau mengelupas harus se-pasnya, yang salah nyatakan salah, yang benar nyatakan benar, tidak boleh menipu dan berbohong.[7]  

Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa pada masyarakat Baduy tidak boleh terjadi perubahan atau jika terpaksa terjadi perubahan maka diusahakan sesedikit mungkin perubahan tersebut. Hingga saat ini keteguhan memegang adat-istiadat masih ketat dilakukan, walaupun bukan berarti tidak terjadi perubahan tersebut. Karena perubahan adalah sebuah keniscayaan maka pada masyarakat Baduy sendiri saat ini telah dan sedang terjadi perubahan tersebut, tentu saja perubahan yang paling tampak adalah dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh pada Baduy Luar mereka saat ini sudah banyak yang memiliki alat informasi dan komunikasi seperti Radio, TV dan juga hand phone. Pada masyarakat Baduy Dalam kepemilikan itu memang dilarang namun mereka terutama generasi mudanya sudah mulai suka menonton TV atau layar tancap di luar wilayah Baduy. Sehingga saat ini ada pemandangan menarik apabila terdapat layar tancap di sekitar wilayah Baduy maka akan terdapat beberapa orang Baduy baik luar ataupun dalam yang ikut menyaksikannya.[8]


[1] Judistira K Garna, Orang Baduy, (Bangi: Penerbit University Kebangsaan Malaysia) tahun 1987, hlm. 85.
[2] Jacobs dan Maijer, 1891: hlm. 13.
[3] Yudistira Garna, hlm. 75.
[4] R.Cecep Eka Permana, Kesetaraan gender dalam Adat Inti Jagad Baduy, (Jakarta: Wedatama Widya Sastra), hlm. 67.
[5] Koentjaraningrat, dkk. 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia
[6] Wawancara Jaro Sami dan Jaro Alim pada April 2013
[7] Wawancara dengan Ayah Mursyid wakil Jaro Cibeo pada Mei 2013.
[8] Wawancara dengan Nurdin, warga Ciboleger Lebak dan disaksikan penulis sendiri pada saat ada layar tancap di Ciboleger pada 15 Agustus 2013.  

Disertasi: Agama Baduy

Oleh: Abdurrahman Misno Bambang Prawiro 

Agama sebagai satu system kepercayaan diyakini oleh masyarakat Baduy sebagai sesuatu yang sangat pribadi. Masyarakat Baduy hingga saat ini “belum” beragama Islam, hal ini didasarkan pada pola kepercayaannya yang masih memegang teguh agama Slam Sunda Wiwitan.[1] Sistem kepercayaan dasar religi orang Baduy ialah penghormatan kepada ruh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa yaitu Batara Tunggal. Keyakinan mereka itu disebut Sunda Wiwitan atau agama Sunda Wiwitan. Orientasi, konsep-konsep dan kegiatan-kegiatan keagamaan ditujukan kepada pikukuh agar orang hidup menurut alur itu dalam menyejahterakan kehidupan Baduy dan dunia ramai (orang Baduy dari hirarki tua dan dunia ramai keturunan yang lebih muda). Mereka bertugas menyejahterakan dunia melalui tapa (perbuatan, bekerja) dan pikukuh apabila Kanekes sebagai inti jagat selalu terpelihara baik, maka seluruh kehidupan akan aman sejahtera.
Gangguan terhadap inti bumi ini berakibat fatal bagi seluruh kehidupan manusia di dunia. Konsep keagamaan dan adat terpenting yang menjadi inti pikukuh Baduy tanpa perubahan apa pun, seperti dikemukakan oleh peribahasa “Lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung” (panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung). Konsep-konsep itu tidak berada dalam diri orang Baduy sendiri yang kekuatannya tergantung dari tindakan atau perbuatan seseorang. Konsep pikukuh merupakan pengejawantahan dari adat dan keagamaan yang ditentukan oleh intensitas konsep mengenai karya dan keagamaan. Dengan melaksanakan semuanya itu orang akan dilindungi oleh kuasa tertinggi, Batara Tunggal, melalui para guriang yang dikirim oleh karuhun dan Batara Tunggal karena orang tidak patuh kepada pikukuh, hakikat agama Sunda Wiwitan.
Para puun itu bukan hanya pemimpin tertinggi tetapi keturunan karuhun, yang langsung mewakili mereka di dunia. Ada beberapa konsep yang merupakan kewajiban puun dalam rangka pikukuh, yaitu memelihara Sasaka Pusaka Buana; memelihara Sasaka Domas atau Parahyang; mengasuh dan memelihara para bangsawan/pejabat; bertapa bagi kesejahteraan dunia; berbakti kepada Dewi Padi dengan berpuasa pada upacara, memuja nenek-moyang, dan membuat laksa untuk bahan pokok Seba.[2]



[1] Wawancara dengan Jaro Sami Maret 2013
[2] Judistira K Garna, Orang Badui, hlm. 86. 

Belajar Bersabar dari Sakit

Oleh: Abdurrahman
  

Sakit, mungkin setiap orang tidak akan mau untuk merasakannya. Apalagi jika sakit itu mengakibatkan aktifitas yang seharusnya bisa dilaksanakan ternyata tertunda atau bahkan dibatalkan. Sakit menjadi momok yang menakutkan bagi setiap orang, ia seolah-olah makhluk yang tidak diharapkan. Sakit, sejatinya adalah respon dari tubuh yang terlalu lelah karena diporsir setiap hari. Ia memerlukan waktu untuk beristirahat agar bisa kembali melaksanakan kewajibannya. Maka, sakit adalah masa di mana seluruh anggota badan bisa beristirahat dan memberikan respon kepada pemiliknya. Respon tersebut bisa dalam bentuk panas-dingin, badan pegal-pegal atau sekadar flu dan pusing.
Sakit panas yang saya derita selama dua hari inilah yang mengguga saya untuk menuliskan artikel ini. Benar-benar dalam keadaan sakit, saya ingin berbagi tentang bagaimana ternyata tubuh kita bukanlah milik kita. Ia bisa memberikan respon dengan cara yang tidak biasa, kebetulan respon tersebut dalam bentuk rasa sakit di kepala dan panas di seluruh badan. Panas dan dingin itu saya rasakan dan saya coba untuk menikmatinya, mungkin inilah waktunya untuk tubuh saya bisa beristirahat lebih lama setelah beberapa hari ini diporsir. Tentu saja banyak kegiatan yang tertunda bahkan dibatalkan, namun saya yakin sekali bahwa sakit yang saya derita adalah respon tubuh yang terlalu lelah dan juga sakit ini mudah-mudahan menjadi sarana untuk saya agar lebih bisa bersabar dalam menikmatinya.
Belajar bersabar dari sakit, itulah yang saat ini saya lakukan. Saya paham sekali bahwa sakit itu datang dari Allah ta’ala sebagai pencipta manusia, saya juga tahu bahwa sakit ini adalah karena tubuh saya yang terlalu capek beraktifitas sehingga mencapai batas yang melebihi kapasitasnya. Walaupun beberapa kali saya mengeluh juga karena ada banyak hal yang tidak bisa dilakukan padahal sudah dead line. Namun saya kembali ingat, bahwa sakit adalah cobaan dari Allah ta’ala dan respon tubuh. Maka sakit ini mudah-mudahan menjadi sarana bagi saya untuk terus bisa belajar bersabar…. Semoga saya lulus dalam ujian ini. Amin…  27 Nopember 2013. 

Selasa, 26 November 2013

Disertasi: Sejarah Asal-usul Baduy

Oleh: 
Abdurrahman Misno Bambang Prawiro

Istilah “Baduy” sebagai sebutan bagi komunitas adat yang saat ini mendiami kampung-kampung di Desa Kanekes memiliki beberapa sumber pendapat. Pertama, istilah Baduy berasal dari bahasa Arab yaitu kata بدء bada’a yang berarti memulai dan membuka.[1] Kata البدو (al-badwu) berarti orang baduy yang tinggal di padang sahara Arabia. Kedua, istilah Baduy berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang menyebut mereka dengan agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat berpindah-pindah (nomaden). Ketiga, istilah Baduy berasal dari adanya Sungai Baduy (Cibaduy) dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut sehingga penamaan Baduy dinisbatkan kepada keduanya.
Mereka sendiri lebih suka menyebut dirinya sebagai Urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka. Sebagaimana setiap mereka menisbatkan diri kepada nama kampung masing-masing, misalnya orang dari Cikeusik akan menyebut dirinya urang Cikeusik, orang dari Cikertawana menyebut dirinya urang Cikertawana demikian pula orang dari Cibeo akan menyebut Urang Cibeo.[2] Penisbatan semacam ini sudah umum terjadi pada kebudayaan mereka hingga saat ini.
Pleyte seperti dikutip oleh Garna menyebutkan bahwa istilah Baduy itu berkaitan dengan budaya mereka sendiri yaitu berasal dari kata Cibaduy yang merupakan nama sungai di sebelah utara Desa Kanekes. Sehingga istilah Baduy bukanlah sebuah hinaan bagi mereka. Memberikan nama dengan asal daerah sudah menjadi tradisi pada masyarakat Sunda, bahkan menjadi sebuah kebanggaan tersendiri.[3] Oleh karena itu tidak heran mereka juga menyebut diri mereka dengan urang Kanekes.  
Informasi yang penulis dapatkan, saat ini mereka lebih senang menyebut dirinya suku Baduy daripada Kanekes, hal ini sebagaimana disebutkan oleh Jaro Dainah selaku Jaro Pamarintah Baduy: "Kanekes ngaran Desa, Baduy ngaran masyarakatna. Lian ti eta ber-arti sebutan nu diciptakeun ku urang luar Baduy" Artinya: "Kanekes nama Desa, Baduy nama masyarakatnya. Selain dari itu berarti sebutan yang diciptakan oleh orang luar Baduy.[4]
Penjelasan dari Ayah Mursyid memberikan gambaran asal-usul istilah Baduy yang diterima oleh mereka:
"Sabenerna istilah kanekes keur masyarakat kami hiji sebutan anu kaitung anyar, nyaeta keur nyambut atawa mere ngaran Jaro Pamarentahan anu ditugaskeun pikeun panyambung urusan atawa acara-acara ti Baduy ka luar Baduy/ka nagara, anu waktu harita mah masih dipusatkeun di Cibeo kabeneran harita aya tokoh adat terkenal ngarana Ki Kanekes. Kusabab aya kajadian nu kurang merenah pas keur acara Kawalu, maka Jaro Pamarentahan dibentuk ku Ki Kanekes ka Baduy Luar, tah tidinya Pamarentahan Desa dibere ngaran Kanekes. Mun aya nu nyebutkeun istilah kanekes asalna tina hiji ngaran walungan, memang bener di kami aya ngaran walungan leutik Cikanekes anu aya di kampung Kaduketer perbatasan Baduy Dalam. Tah keur ngalu-ruskeun nu benerna mah kitu."

Sebenarnya istilah Kanekes buat masyarakat kami adalah satu sebutan yang terhitung baru, yaitu untuk menyambut atau memberi nama Jaro Pemerintahan yang ditugaskan sebagai penyam-bung urusan atau acara, atau kegiatan-kegiatan dari Baduy ke luar Baduy atau ke pemerintahan negara, yang pada saat itu masih dipu-satkan di Cibeo, kebetulan waktu itu ada salah seorang tokoh adat terkenal namanya Ki Kanekes. Karena ada kejadian yang tidak sesuai atau mengganggu saat acara adat kawalu, maka Jaro Pemerintahan dibentuk ke Baduy Luar, nah dari situ Pemerintahan Desa diberi nama Kanekes. Kalau ada yang menyebutkan istilah Kanekes berasal dari satu nama sungai, memang benar di kami (wilayah mereka) ada nama sungai kecil Cikanekes yang berada di kampung Kaduketer perbatasan Baduy Dalam. Nah untuk meluruskan yang benarnya begitu.[5]



[1] Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir, Surabaya: Pustaka Progresif, tahun cet: XIV tahun 1997, hlm.63.
[2]  Garna, 1993.
[3] Judistira K Garna, Orang Baduy, (Bangi: Penerbit University Kebangsaan Malaysia), tahun 1987,  hlm. 37.
[4] Wawancara dengan Jaro Dainah pada Februari  2013
[5] Wawancara dengan Ayah Mursyid sebagai wakil dari Jaro Cibeo Baduy Dalam. 

Senin, 25 November 2013

Islam dan Baduy dalam Harmoni

ISLAM PEDALAMAN
(Mengurai Harmoni Islam Dan Agama Slam Sunda Wiwitan
Pada Komunitas Suku Baduy Banten)

Kiki Muhamad Hakiki[1]

Abstrak: Fokus penelitian ini adalah mengungkap bagaimana relasi Islam dan agama lokal sunda wiwitan di komunitas Baduy. Tema ini penting diungkap karena sampai saat ini belum pernah terjadi adanya konflik atas nama agama pada komunitas Suku Baduy. Dari pengamatan dengan pendekatan historis dan fenomenologis ditemukan beberapa temuan; Pertama, Prilaku santun dan jujur yang dimiliki oleh Orang Baduy semata-mata disebabkan oleh kuatnya mereka dalam mematuhi adat kepercayaan yang diajarkan oleh agama mereka. Inti kepercayaan tersebut dapat ditunjukkan dengan adanya pikukuh yang dijadikan ”sabda suci” dan panutan hidup orang Baduy. Isi terpenting dari konsep pikukuh (kepatuhan) masyarakat Baduy adalah konsep ketentuan "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin. Kedua, Meskipun masyarkat Baduy dikenal sebagai komunitas yang taat dan selalu memegang teguh adat kepercayaannya dengan konsep ajaran hidup "tanpa perubahan apapun", akan tetapi faktanya saat ini banyak Orang Baduy yang sudah mengalami perubahan. Ketiga, Sampai saat ini, tidak ditemukan sedikikitpun data terkait adanya konflik antara Orang Baduy dan Baduy Muslim yang dilatarbelakangi oleh motif agama. Harmonisasi beragama yang ada diwilayah Baduy disebabkan oleh kuatnya mereka dalam memegang prinsip bahwa mereka berawal dari satu keturunan atau keluarga. Keempat, Banyaknya fenomena pindah agama yang terjadi pada komunitas Baduy disebabkan beberapa faktor, diantaranya; Pertama, faktor sejarah, faktor perubahan status dan faktor sosial.

Kata Kunci: Islam Pedalaman, Islam, Slam Sunda Wiwitan, Suku Baduy



[1] Staf Pengajar Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung. Menyelesaikan studi S3 Program Religious Studies  di UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Minggu, 17 November 2013

The Strategy of Islamic Tourism Development in West Java Part. 3

The Strategy of Islamic Tourism Development in West Java
(Study at Kampung Dukuh and Kampung Naga)
By: Abdurrahman MBP

D. Analysis of Sharia Potentcies Tourism in Kampung Dukuh and Kampung Naga.
Based on the explanation of the tradition and culture of Kampung Dukuh and Kampung Naga earlier, illustrated that both the villages have a rich tradition and culture very much and potentially become a sharia tourist attraction. But unfortunately, this potentcy has not been explored and has not made a superior tourism to attract more tourists to visit the both tourist sites. Therefore, it needs a strategy to develope sharia tourism. And that large potentcy will not be utilized without any development strategy.
Indonesian dictionary says that strategy is a careful plan of the activities to achieve specific objectives.[1] While according to Amirullah,[2] strategy is a plan of a broad base of organizational actions to achieve a goal. Plan to achieve these goals in accordance with the company's external and internal environment. At the company's environmental, strategy is a means to achieve the company's objectives in relation to long-term goals, follow-up programs, and resource allocation priorities.[3] So the strategy is undertaken measures to optimize the resources internally and externally to achieve certain goals. Related to the development of sharia Tourism is that the strategy was to design an action by optimizing the existing potentcies for advancement in the sharia tourism in Kampung Dukuh and Kampung Naga. While "Development" is a process, method, and work to develop something for more better, perfect, advanced, and useful.[4] So the strategy of sharia tourism development is formulated as measures to preserve, promote, and make sharia tourist attraction more interesting and more developed in accordance with the principles of Islamic Sharia.
Refers to Butler`s opinion cited by Cooper and Jackson[5] on Tourism Life Cycle with the stages: Stage of exploration, involvement phase, development phase, and the consolidation phase of constitutionalism, which was followed by stagnation phase institutionalism, and the decline phase, so Kampung Dukuh and Kampung Naga are at the early stages of the exploration phase in which both sites have a variety of other potential tourist attraction that is still relatively new and existing visitors are only limited surrounding communities. Therefore, the support of all parties, especially the government, indigenous elders, and the community are expected for sharia tourism development at these two locations.
Sharia Tourism as a new term defined as tourism activities are supported by a variety of facilities and services provided by the public, businessman, and sharia compliant government.[6] The definition of "Sharia" is more on the service; and the product of travel itself becomes the point. While Malaysia's Islamic Tourism defines with any activity, event, experience, or indulgence, undertaken in a state of travel that is in accorance with Islam.[7] If it is formulated, there are four standards as syaria tourism: First, the issue of halal food (halal food), second, Qibla direction, the third, the provision of the scriptures of the holy Qur'an, and the fouth, sharia guidance to the communities around tourist sites. In addition, each treats a tourist attraction should not conflict with Islamic values, such as pornography, immorality, shirk, and so on. According to the criteria of the sharia tourism and cultural traditions as well as a tourist attraction in Kampung Dukuh and Kampung Naga is very suitable as a prior sharia tourist attraction in West Java. Before setting development strategy, it first has described the strengths and weaknesses of each location. Here are the results of the analysis:
1.    SWOT Analysis of Sharia Tourism in Kampung Dukuh:
Internal / External
Strength (S)
1.   The entire population is Muslim
2.   Indigenous head is a scholar
3.   Local tradition-based on Islam
4.   Indigenous Villages Islamic slogans
5.   Tomb of Shaykh Abdul Jalil as a place of pilgrimage
6.   Local arts-based on Islam
7.   Architectural homes, mosques and Islamic settlement pattern
8.   Islamic mores
9.   Natural scenic beauty
Weaknesses (W)
1.  Remote location in the interior
2.  Public transport is very limited
3.  The path to the location is not good
4.  Inadequate parking space
5.  Lack of tourism facilities
6.  There are no toilet facilities for public
7.  Promotion has not been done with maximal
8.  No Tourist Information Center (TIC)
9.  There is no tour guide who can explain the uniqueness of Kampung Dukuh
Opportunities (O)
1.    Global economic conditions
2.    National economic conditions
3.    Increased public interest in the city against the traditional village
4.    Community participation in preserving the culture of Sundanese
5.    Global political conditions
6.    National political conditions
7.    Security Garut
8.    Advances in technology of information
9.    Competitiveness with similar tourist attraction
SO Strategies
Strategies that use strengths and take advantage of opportunities


Strategy of product development
WO Strategies
Strategies that minimize weaknesses to exploit opportunities


Strategy of development Promotion
Threats (T)
1.    Global Warming
2.    Lack of public awareness in preserving the environment
3.    Government policy on tourism development strategy

ST Strategy
Strategy to address the threat to use force.


Strategy of Sustainable tourism development
WT strategies
Strategies that minimize weaknesses and avoid threats


strategy of Human resource development

2. SWOT Analysis of Sharia Tourism in Kampung Naga:
Internal / External
Strength (S)
1.   The entire community is Muslim
2.   Mosque as a center of cultural and religious activities
3.   In non-formal governance structures, there is Lebe who takes care of the religious.
4.   Local tradition is based on Islam
5.   Architectural homes, mosques and unique settlement patterns
6.   Strategic location and easy accessible parking.
7.   Existing Tourist Information Center (TIC) and guides
8.   The natural beauty around the site
9.   Ciwulan river
Weaknesses (W)
1.  No-maximal promotion
2.  Still lack of closed-toilet facilities for public
3.  Less well-organized existence of stalls and street vendors
4.  Traditional image of Islam that still linger strongly in the surrounding community
5.  There is no standard schedule for the traditional activities that can be promoted
6.  The attitude of people who do not want to expose the activities of indigenous
7.  Most people have not been able to feel the positive impact of tourist
Opportunities (O)
1.    Global economic conditions
2.    National economic conditions
3.    Increased public interest in the old city with Sundanese culture
4.    Community participation in preserving cultural
5.    Global political conditions
6.    National political conditions
7.    Security in Tasikmalaya
8.    Advances in information and  technology
9.    Competitiveness with similar tourist attraction
SO Strategies
Strategies that use strengths and take advantage of opportunities

Strategy of product development


WO Strategies
Strategies that minimize weaknesses to exploit opportunities

Strategy of Promotion  development
Threats (T)
1.    Global Warming
2.    Began to decrease public awareness in preserving the environment
3.    Government policy on sharia tourism development
ST Strategy
Strategies that use the force to address the threats


Strategies of Sustainable tourism development
WT Strategies
Strategies that minimize weaknesses then avoid threats


Strategies of Human resource development


Based on this table it is seen the strengths and weaknesses for the development of Sharia Tourism in Kampung Dukuh and Kampung Naga. The strengths of both these villages are:
1.     The community of both these villages is Muslim.
2.     Tradition and culture are evolving based on Islamic values.
3.     Visitors who come mainly are from Muslim.
4.     Art that developed in both these villages is in Islamic culture
5.     Prevailing customs is in a harmony with universal-Islamic values ​​
Those Forces are the basis for the development of Islamic Tourism. While the weakness of both these villages are:
1.    The awareness of tourism  from both citizens is low
2.    Traditions and customs that still believed is in the taboo that applies or should not do something at a certain time and place.
3.    Understanding of Islamic values ​​is not equaly distributed in the community
4.    Kampung Dukuh is still difficult to reach, very minimal transportation, and tourism development patterns that have not been developed.
5.    Local government policies are still lacking in disseminating the Sharia Tourism Program.
6.    Sharia tourism product developments that have not varied
7.    HRD who understand sharia is still very limited
8.    Strengths and weaknesses are mentioned to be the basis for determining the development strategy of sharia tourism in Kampung Dukuh and Kampung Naga.

E. Strategy of Sharia Tourism Development in Kampung Dukuh and Kampung Naga.
Based on the analysis of the strengths and weaknesses above can be formulated development strategies that could be implemented for the development of Sharia Tourism Program as follows:

Strategy
Strategies of Development
Strategic Steps
SO
Strategy of Sharia Tourism Product Development
1.     Regions arrangement and enhancement of Islamic sharia-based tourism facilities
2.     Implementation based on religious and cultural traditions and local sociocultural
ST
Sustainable Tourism Development Strategy
1.     Improvement of environmental quality
2.     Improving the quality of religious life and social culture Kampung Dukuh and Kampung Naga
3.     Economic development for local communities
WO
Promotion Development Strategy
1.     Promotion by the Tourism Office of Tasikmalaya and Garut
2.     Cooperation with Sharia-based Travel Bureau
3.     Procurement Tourist Information Center in the village of Hamlet
WT
Human Resource Development Strategy
1.     Increased sharia-based Human Resources
2.     Improved understanding of the values ​​of the Islamic Sharia

Development program of the SO Strategies (Strengths Opportunities) is the regional arrangement and enhancement of tourism facilities-based Islamic sharia. In addition to the implementation of the development will be conducted based on religious and cultural traditions and local social culture as a sharia tourist attraction.
Further development program of the ST strategies (Strengths Threats) is effort to improve environmental quality, enhance the quality of life of religious and social culture in Kampung Dukuh and Kampung Naga, and increase the local community's economy. The existence of tourism activities in the area should be able to improve the economy and welfare of income surrounding community.
Development program of WO strategies (Weakness Opportunities) is a more vigorous promotion by both the Department of Tourism of Garut and Tasikmalaya regency or Culture and Tourism Department of West Java province. Moreover it is should be explored in cooperation with Sharia-based Travel Agency and Procurement Tourist Information Center in Kampung Dukuh to provide services for the visitors.
Improvement of Human Resources conducted with Sharia-based human resource (HR) as well as an improved understanding of sharia-based values of the Islamic Sharia. This work can be done by making training, workshops, and deepening the Islamic materials on an ongoing basis to the tour guide specially and citizens generally.

F. Conclusions and Recommendations
Kampung Dukuh and Kampung Naga are two indigenous villages occupied by indigenous communities which until today still adhere to religious beliefs and faith. They have different traditions in the form of religious ceremonies and rituals that are conducted regularly, in addition to the architecture of houses and buildings as well as their settlement patterns are the core of tourist destinations that are sold over the years. Strategy of sharia tourism development sets out by looking at the consideration of the strengths and weaknesses in both sites.
The strength in Kampung Dukuh includes the condition that all of the religious community is Muslim; their traditions are based on Islamic values and environmental conditions favorable for the implementation of sharia-based tourism. While the weaknesses of Kampung Dukuh are located at the far inland location; so the access to the site is difficult, damaged road conditions, has not been optimized as a tourist attraction, the means of supporting such as touris information center also does not exist, and similarly, services such as tourist guides have not been held by the community or village elders.
The strength in Kampung Naga is home architecture and settlement patterns that have been recognized by the world, while the whole populations are Muslims who carry out customs in harmony with the values ​​of Islamic sharia. Its easy location to access, many traditions and customs that perfomed regularly make Kampung Naga as a place that frequented by the public at home and abroad. Its disadvantage is not optimal promotion by the related department mainly deals with Sharia Travel Program.
Development strategy that can be done for the development of Islamic Tourism Program is the development strategy based on sharia tourism product, sustainable tourism development strategy, strategy development and the promotion of human resource development (HRD) based on Islamic values.
Recommendations and suggestions from author to the West Java Provincial Government specially the Department of Tourism in Tasikmalaya and Garut are the district needs to immediately develop Sharia Travel Program in Kampung Dukuh and Kampung Naga, considering both these locations have great potential in sharia tourism industry. Sharia tourism development in Kampung Dukuh and Kampung Naga are performed as a form of protection of their religion and beliefs of local communities as well as market demand on sharia-based tourism. in its development of Sharia tourism program at Kampung Dukuh and Kampung Naga should give a positive impact on the entire community in the area of research both moral (religious values espoused) and material (increase income and well-being).

Daftar Pustaka
Amirullah, 2004. Manajemen Strategik, Yogyakarta : Graha Ilmu.
Anonimous, 2012, Panduan Wisata Syariah, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia. 
Cooper, C. And Jackson, S. L. 1997. Destination Life Cycle: The Isle of The man Case Study. (ed. Lesly, France) dalam The Earthscan Reader in Sustainable Tourism. UK : Earthscan Publication Limited.
Didik Wihardi dkk, 2010. Sistem Konversi Hak Atas Tanah Adat Kampung Naga, (Bandung: Jurnal Sosioteknologi Edisi 20 Tahun 9, Agustus 2010.
Elis Suryani dan Anton Charliyan, 2010. Menguak Tabir Kampung Naga, Tasikmalaya: Danan Jaya.
Haq, F. dan Jackson, J. 2006. Exploring Consumer Segments and Typologies of Relevance to Spiritual Tourism. Queensland: Central Queensland University. [ cited 25 September 2008]. Available from: http://smib.vuw.ac.nz:808/www.ANZMAC2006/documents/Haq Farooq.pdf.
Her Suganda, 2005. Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, Bandung: PT. Kiblat Buku Utama.
Ismet Belgawan Harun dkk, Arsitektur Rumah dan Permukiman Tradisional di Jawa Barat. Hasil Pengamatan dan Dokumentasi. Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, Tahun 2011.  
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan
Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Kusmayadi dan Sugiarto, E. 2000. Metodologi Penelitian Dalam Bidang Kepariwisataan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Marpaung, H. 2002. Pengetahuan Kepariwisataan. Bandung: Alfabeta.
McIntosh, Robert W dan Charles R goeldner. 1986. Tourism Principle, Practices and Philosophies. L John Wiley & Sons. New York.
Moleong, Lexy, J., 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Nazir, Moh. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Newsletter “Pariwisata Indonesia” Edisi 37 Januari 2013, Direktorat Jenderal Pemasaran Pariwisata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.
Poerwadarminton, 2002. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Rangkuti, F. 2005. Analisis SWOT, Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Riduwan. 2006. Belajar Mudah Penelitian. Bandung : Alfabeta
Rostiyati, Ani dkk. 2004. Potensi Wisata Di Daerah Pameungpeuk Kabupaten Garut. Bandung: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.
Tarigan, R. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Yoeti, O. A. 2006. Pariwisata Budaya Masalah dan Solusinya. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.


[1] Poerwadarminton, 2002. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta Balai Pustaka.
[2]  Amirullah, 2004. Manajemen Strategik, Yogyakarta : Graha Ilmu, page 4
[3] Rangkuti, F. 2005. Analisis SWOT, Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, page. 3.
[4] Rangkuti, F. 2005. Analisis SWOT, Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, page 3.
[5] Cooper, C. And Jackson, S. L. 1997. Destination Life Cycle: The Isle of The man Case Study. (ed. Lesly, France) dalam The Earthscan Reader in Sustainable Tourism. UK : Earthscan Publication Limited.
[6] Anonimous, 2012, Panduan Wisata Syariah, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia. 
[7] http://www.itc.gov.my/content.cfm accessed on July 12, 2013.