Selasa, 26 Februari 2013

Presiden Indonesia VS Islam

Konsep Pemilihan Presiden di Indonesia dalam Perspektif Islam

Indonesia adalah negara di Asia Tenggara yang terletak di antara benua Asia dan benua Australia, serta antara samudra Pasifik dan samudra Hindia. Indonesia terdiri dari 10.508 pulau, sehingga menempatkan negara ini sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia tercatat sebagai negara berpenduduk terbanyak ke-empat di dunia dengan jumlah penduduk sekitar 237,641,326 jiwa.[1] Di samping itu, Indonesia juga merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia dengan jumlah penduduk muslim sekitar 217,346,140 jiwa.[2]

Walaupun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, tetapi Indonesia bukanlah sebuah negara Islam. Sistem pemerintahan negara ini adalah republik presidensial yang berasaskan Pancasila, dengan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan politiknya. Oleh karena itu, kekuasaan dipegang oleh rakyat dengan menempatkan para wakilnya untuk menjalankan pemerintahan, rakyat secara langsung menunjuk Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.

Presiden dan wakilnya dipiih dan ditunjuk langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum yang dilakukan setiap lima tahun sekali. Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan hanya untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam proses pemilu.

Dalam pemilihan presiden dan wakilnya, rakyat secara merata memilih langsung pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.[3] Pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung ini telah dilakukan dua kali, pada pemilihan umum tahun 2004 dan tahun 2009. Dalam perkembangannya, tata cara pemilihan secara langsung ini dilakukan untuk memilih kepala daerah dan wakilnya.[4]

Dari konsep pemilihan secara langsung ini, Indonesia mendapatkan pujian dari beberapa pihak. Wakil ketua DPR Drs. Priyo Budi Santoso mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia jauh lebih baik dari Amerika Serikat.[5] Duta besar Amerika untuk Indonesia pun mengatakan hal yang hampir sama, ia mengatakan bahwa perkembangan demokrasi di Indonesia lebih maju.[6] Hillary Clinton pun tanpa sungkan memberikan pujian kepada pemerintah, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat itu mengatakan bahwa Indonesia adalah model bagaimana Islam, demokrasi, modernitas, dan hak-hak wanita bisa tumbuh bersamaan dan harmonis dalam satu negara.[7] Lebih jauh lagi Din Syamsuddin menyatakan keberhasilan Indonesia dalam mengusung demokrasi, menjadi rujukan bagi sejumlah negara di Timur Tengah yang sedang dilanda konflik seperti Mesir, Tunisia dan Libya.[8]

Sebagai seorang muslim dan sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk pemeluk agama Islam terbesar di dunia, maka wajar apabila kita melihat segala sesuatu di negara ini dari sudut pandang Islam. Oleh karena itu, marilah kita mengkaji ulang konsep pemilihan presiden sebagai kepala negara dan pemimpin masyarakat, apakah telah sesuai dengan prinsip-prinsip dalam Islam, atau malah sebaliknya, melenceng jauh dari apa yang dicontohkan oleh Rasulullah dan para Khalifah.

Pemimpin umat Islam dalam menjalankan pemerintahan disebut dengan istilah khalifah, imam, atau imaratul mu’minin. Walaupun berbeda pengertian dan tugas antara seorang khalifah dan presiden, tetapi keduanya merupakan pemimpin dan kepala negara yang diserahkan amanat dari masyarakat untuk menjalankan negara dan memimpin mereka. Oleh karena itu sebagai pembanding, penulis akan mengangkat prinsip-prinsip dasar yang dikemukakan oleh para mayoritas ulama dalam memilih khalifah.

Pada dasarnya dalam konsep pemerintahan Islam, semua anggota masyarakat  harus ikut berperan serta dalam memilih khalifah. Tetapi dalam perkembangan sejarah, seiring dengan meluasnya wilayah Islam, mengumpulkan semua orang dalam satu waktu dan dalam satu tempat untuk bermusyawarah menjadi hal yang tidak mungkin. Oleh karena itu, seluruh anggota masyarakat diwajibkan untuk memilih wakil mereka dalam memilih khalifah sebagai pemimpin,[9] wakil dari umat ini dinamakan dengan Ahlul Hal wal Aqd. Wakil-wakil rakyat ini terdiri dari utusan dari berbagai golongan masyarakat dan harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi.[10] Syarat-syarat tersebut antara lain adil,[11] mengenal dengan baik para calon khalifah yang akan dipilih, dan kemampuan serta kebijaksanaan mereka dalam mengambil keputusan dan menentukan siapa yang pantas untuk menjadi pemimpin umat.

Dalam musyawarah pemilihan khlaifah, para anggota Ahlul Hal wal Aqd memilih khalifah dengan dengan proses yang panjang. Para wakil rakyat ini harus mencari tahu dan mengenal betul setiap calon khalifah, kemudian memilah dan memilih mana yang tepat untuk memimpin dan sesuai dengan kebutuhan negara pada waktu itu. Misalnya ketika negara mengalami masa peperangan, maka yang lebih diutamakan adalah pemimpin yang kuat dan berani, walaupun memiliki kekurangan di bidang lain.[12] Begitu pula dalam memilih wakil, para anggota Ahlul Hal wal Aqd harus memilih wakil yang dapat mendukung dan menutupi kekurangan khalifah yang dipilih, sehingga terciptalah pemerintahan yang seimbang. Apabila terdapat beberapa calon yang mempunyai kemampuan yang sama dan dianggap pantas, barulah dilakukan pemilihan dengan jalan voting atau pengambilan keputusan dengan suara terbanyak.[13]

Dari penjelasan diatas dapat kita lihat dalam konsep pemerintahan Islam seorang khalifah benar-benar diseleksi dan dipilih oleh orang-orang yang telah diseleksi dan dipilih oleh seluruh anggota masyarakat. Seorang khalifah dipilih oleh orang-orang yang mengenal dia, baik itu kelebihan maupun kekurangannya. Ia pun dipilih berdasarkan musyawarah dan berdasarkan kebutuhan negara pada masa Ia menjabat. Disamping itu pula seorang khalifah mempunyai seorang wakil yang dapat saling melengkapi antara satu sama lain.

Di Indonesia, pasangan presiden dan wakilnya diajukan oleh gabungan partai politik dan dipilih secara langsung oleh masyarakat. Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang menjadi acuan masyarakat dalam memilih, bagaimana masyarakat dapat menilai dan menimbang pasangan manakah yang akan mereka pilih dalam pemilihan umum, dan apakah pengenalan para capres dan cawapres cukup hanya ketika masa kampanye saja. Disamping itu, masyarakat Indonesia tersebar diseluruh wilayah Indonesia yang sangat luas dan terdiri dari beberapa agama, suku, ras dan golongan. Dapat dipastikan mayoritas masyarakat dalam memilih presiden lebih mengutamakan kebutuhan di sekitarnya, tanpa melihat dan mengetahui apa yang menjadi kebutuhan negara pada umumnya. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa presiden Indonesia dipilih secara langsung oleh masyarakat yang dipaksa utnuk mengenal beliau.

Pasangan capres dan cawapres yang akan dipilih diajukan oleh gabungan partai politik. Pada kenyataannya mayoritas partai hanya menunjuk seseorang yang mempunyai kekuatan tertentu untuk diajukan sebagai presiden tanpa mempertimbangkan kebutuhan negara. Wakil presiden yang diajukan pun cenderung dipilih dari golongan tertentu dengan tujuan hanya untuk menarik simpati masyarakat, sehingga pada akhirnya partai ataupun gabungan partai tersebut memenangkan pertarungan di pemilihan umum.

Pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa presiden dan wakil presiden di Indonesia tidak benar-benar diseleksi dengan baik, baik itu oleh masyarakat secara luas maupun oleh partai politik yang mengusungnya. Tidak terseleksi oleh masyarakat karena sebagian besar dari mereka tidak mengenal calon presiden dan calon wakil presiden yang diajukan oleh partai-partai politk. Kemudian tidak terseleksi oleh partai pengusung karena mayoritas partai hanya untuk kepentingan golongan  dan sekelompok orang tertentu saja.

Daftar Pustaka
Al_Mawardi. al_Ahkam as_Sulthaniyah wa al_Wilayat ad_Diniyah. Kuwait: Daar Ibnu Qutaibah, 1989
Badan Pusat Statistik - Sensus penduduk tahun 2010
Batamtoday, Senin 25 Juli 2011
Data Kementerian Agama tahun 2009
Kompas, 25 Februari 2009
Ridho, Muhammad Rasyid. Tafsir Al_Qur’an al_Hakim al_Masyhur bi Tafsir al_Manar, jilid ke-5. Beirut: Daar el_Kutub, 2005
Taimiyah, Ibnu. as_Siyasah asy_Syar’iah fi Islahir Raa’I war Raa’iyah. Beirut: Darul Ifqaq, 1403
UU No. 22 Tahun 2007
UUD 1945 Pasal 6A
Voice of Amerika, 13 April 2011
Wartapedia, 7 Oktober 2010


[1] Sensus penduduk tahun 2010
[2] Data Kementerian Agama tahun 2009
[3] Pasal 6A UUD 1945
[4] UU No. 22 Tahun 2007
[5] Batamtoday, Senin 25 Juli 2011
[6] Wartapedia, 7 Oktober 2010
[7] Kompas, 25 Februari 2009
[8] Voice of Amerika, 13 April 2011
[9] Muhammad Rasyid Ridho, Tafsir Al_Qur’an al_Hakim al_Masyhur bi Tafsir al_Manar, jilid ke-5, (Beirut: Daar el_Kutub, 2005), hal. 153
[10] Al_Mawardi, al_Ahkam as_Sulthaniyah wa al_Wilayat ad_Diniyah, (Kuwait: Daar Ibnu Qutaibah, 1989), hal. 4
[11] adil di sini diartikan dengan istiqamah dan amanah
[12] Ibnu Taimiyah, as_Siyasah asy_Syar’iah fi Islahir Raa’I war Raa’iyah, (Beirut: Darul Ifqaq, 1403), hal. 17
[13] Ibid, hal. 25


Minggu, 24 Februari 2013

Pemilihan Presiden Langsung dalam Islam

Oleh : Drs. H. Ahmad Supardi Hasibuan, MA.
Pendahuluan
Persoalan pimpinan dalam hukum Islam adalah merupakan sesuatu hal yang sangat mendasar sebab pimpinan adalah merupakan seorang kepala negara dan kepala pemerintahan yang akan mengatur, menertibkan dan menjalankan hukum secara baik dan benar dalam masyarakatnya. Oleh karena itulah maka di dalam al-Quran Allah SWTmemerintahkan untuk mentaati segala Perintah Allah, Perintah Rasul dan Perintah Pemimpinnya sesuai dengan firmanNya :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, kepada Rasul dan kepada pemimpin kamu.
Dengan demikian maka tidak perlu heran manakala Nabi Muhammad SAW wafat, ummat Islam Madinah baik kaum Anshar maupun kaum Muhajirin langsung disibukkan untuk mencari dan menetapkan figur pimpinan yang akan menjadi pimpinan dan Kepala Negara ataupun Kepala Pemerintahan bagi ummat Islam. Dan fakta menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW belum dikuburkan sebelum pimpinan ummat Islam diangkat dan ditetapkan, sebab apabila Nabi Muhammad SAW dikubur, sedangkan pimpinan yang akan mengatur ummat tidak ada, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi chaos dan pertikaian di kalangan ummat Islam.
Selain hal tersebut di atas, persoalan pimpinan bagi ummat Islam ini, hampir menimbulkan perpecahan dan pertumpahan darah, sebab pada diri seorang pemimpin tercermin aspirasi dan visi masyarakat yang harus diwujudkan dalam rangka mensejahterakan rakyat. Persoalan pimpinan pasca wafatnya Nabi ini kelak menjadi salah satu akar pemicu timbulnya perpecahan di kalangan ummat Islam, khususnya bagi kelompok Sunni dan kelompok Syii, apalagi kelompok Syii berpendapat bahwa yang paling berhak untuk menjadi pimpinan pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW adalah Ali Bin Abi Thalib, dengan pertimbangan bahwa Ali Bin Abi Thalib adalah seorang yang wajahnya bersih dari menyembah berhala sehingga ia diberi istilah dengan Karromallohu Wajhahu (Allah memuliakan wajahnya dari menyembah berhala).
Selain itu Ali Bin Abi Thalib ditinggalkan atau tidak diikutsertakan dalam musyawarah pemilihan pimpinan pengganti Nabi Muhammad sebab pada saat itu ia sedang sibuk mengurusi jenazah Nabi Muhammad SAW, dan kalaupun ia diikutkan tentu ia akan merasa sangat tidak etis ikut bersaing menjadi calon pengganti Nabi Muhammad SAW jadi pimpinan ummat Islam, sementara jasad Rasulullah SAW yang nota bene mertuanya masih terbujur di hadapannya. Alipun tidak menolak hasil musyawarah pemilihan pimpinan ummat Islam yang menetapkan Abu Bakar Shiddiq sebagai Khalifah, namun fakta menyatakan bahwa baru enam bulan kemudian Ali Bin Abi Thalib membaiat Abu Bakar Shiddiq sebagai Khalifah.
Perpecahan ummat Islam pasca wafat Nabi sebagai akibat dari penetapan pimpinan ummat Islam itu, akhirnya merembes kepada masalah theologi yang tidak dapat diselesaikan dan pengaruhnya sangat kuat hingga kini, yaitu antara aliran Sunni dan aliran Syiah. Aliran Sunni berpegang pada pendapat kebanyakan para sahabat, sedangkan aliran Syiah adalah aliran yang mengusung ahlul bait dalam hal ini Ali Bin Abi Thalib sebagai satu-satunya figur yang pantas menggantikan posisi Nabi Muhammad SAW sebagai pimpinan ummat Islam.
Selain fakta tersebut di atas, sejarah juga mencatat bahwa persoalan pimpinan bagi ummat Islam pada masa Khulafaurrasyidin dan sesudahnya baik pada masa Bani Umayyah maupun pada masa Bani Abbasiyah, bahkan masa-masa sesudahnya, persoalan pimpinan adalah merupakan persoalan yang sangat dominan dalam sejarah ummat islam, sebab seorang pimpinan adalah merupakan seorang figur bagi masyarakat yang memiliki visi dan misi untuk membawa mereka mencapai kebahagian, baik kebahagiaan di dunia maupun kebahagiaan di akhirat. Saking pentingnya persoalan pimpinan ini, maka ada yang menyebutkan seorang pimpinan yang zhalim jauh lebih baik daripada tidak ada pimpinan sama sekali.
Dengan demikian maka sesungguhnya seorang pimpinan atau kepala negara atau kepala pemerintahan dalam islam itu adalah juga merangkap sebagai pemimpin agama sebagaimana yang difigurkan oleh Nabi Muhammad SAW dan juga oleh para khulafaurrasyidin. Dan baru pada masa pemerintahan Bani Umayyah dan pemerintahan-pemerintahan sesudahnyalah adanya pemisahan antara pimpinan pemerintahan atau pimpinan negara dengan pimpinan agama. Padahal sebelumnya kedua pimpinan ini berada pada satu kekuasaan.
Atas dasar hal-hal tersebut di atas, maka penulis memandang penting untuk membahas persoalan pimpinan ini khususnya dalam hal tata cara pemilihannya, dengan judul, Pemilihan Pimpinan Secara Langsung dalam Perspektif Hukum Islam.
Pentingnya Mengangkat Pemimpin
Mengangkat seorang pemimpin adalah merupakan kewajiban bagi ummat Islam sebab keberadaan seorang pemimpin akan dapat mengarahkan, membentengi dan melindungi ummat dari hal-hal yang dilarang oleh Allah SAW. Kepemimpinan dalam Islam lebih dikenal dengan istilah khilafah yang berarti kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke segenap penjuru dunia. Kata lain dari khalifah adalah imamah. Imamah dan Khilafah mempunyai makna yang sama. Bentuk inilah yang dinyatakan oleh hukum Islam, agar dengan bentuk tersebut daulah Islam bisa berdiri di atasnya. Bahkan banyak hadis sohih yang menunjukkan bahwa dua kata ini memiliki konotasi yang sama.Dan tidak satu nash hukum Islampun yang menunjukkan adanya konotasi yang berbeda. Baik di dalam al-Kitab maupun as-Sunnah, sebab nash hukum Islam hanya ada dua ini. Begitu pula tidak harus terikat dengan lafadz, baik khilafah maupun imamah. Namun yang wajib, hanyalah terikat dari segi maknanya saja.
Adapun dalil kewajiban mengangkat seorang pemimpin ini adalah para shabat telah bersepakat untuk mengangkat seorang pengganti Rasulullah SAW sebagai seorang pemimpin setelah beliau wafat. Mereka juga bersepakat untuk mengangkat seorang khalifah, sepeninggal Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Ijma sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan khalifah nampak jelas dalam kejadian bahwa mereka menunda kewajiban mengebumikan jenazah Rasulullah SAW dan mendahulukan pengangkatan seorang khalifah, pengganti beliau. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah merupakan suatu keharusan dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah tersebut melakukan kesibukan lain sebelum jenazah tersebut dikebumikan. Namun sebahagian sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah SAW, yang salah satunya adalah Ali bin Abi Thalib, ternyata justru mendahlukan upaya-upaya untuk mengangkat khalifah. Sedangkan sebahagian sahabat lain, yang tidak ikut sibuk mengangkat khalifah ternyata ikut pula menunda kewajiban mengebumikan jenazah Nabi Muhammad SAW, sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal itu kemudian mengebumikan jenazah Nabi secepatnya.
Fakta ini menunjukkan bahwa adanya kesepakatan mereka secara diam-diam untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat khalifah daripada menguburkan jenazah Nabi. Hal itu tidak akan terjadi, kecuali jika status hukum mengangkat seorang khalifah lebih wajib daripada menguburkan jenazah. Atas dasar hal ini maka sesungguhnya mengangkat seorang pemimpin adalah merupakan sebuah kewajiban yang tak bisa dihindari oleh siapapun juga, sebab ternyata persoalan kepemimpinan mempengaruhi terhadap semua sektor kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk di dalamnya persoalan agama, ekonomi, sosial budaya dan lain sebagainya.
Hal ini terasa sangat penting lagi, mengingat bahwa tugas pemimpin itu salah satunya adalah mewujudkan pemerintahan yang amanah sebagaimana dikonsepsikan oleh Failosof Al-Farabi, atau Madinatul Fadhilah, atau Negara Utama dalam konsepsi Zainal Abidin Ahmad seorang Masyumi dari Indonesia. Apabila hal ini dapat diwujudkan maka akan tercapailah kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh, baik lahir maupun bathin, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Tata Cara Pemilihan Khulafaurrasyidin
Apabila kita berkaca pada masa lalu khususnya dalam hal memilih pemimpin pada masa Khulafaurrasyidin, maka akan ditemukan perbedaan-perbedaan dalam memilih Pemimpin ataupun Khalifah ataupun Amirul Mukminin. Perbedaan ini terjadi sebagai salah satu akibat langsung dari tidak adanya aturan yang jelas dalam memilih dan mengangkat pimpinan baik dalam al-Quran maupun dalam al-Hadis Rasulullah SAW. Pada masa Rasulullah SAW,karena yang menjadi pemimpin itu adalah beliau sendiri dengan pengangkatan sebagai Rasul dari Allah SWT, maka tidak ada yang protes di antara kaum muslimin. Akan tetapi karena Nabi Muhammad SAW sendiri tidak menentukan siapa penggantinya sebagai pimpinan ummat islam dan bagaimana tata cara pemilihannya. maka terjadilah perbedaan di kalangan ummat islam.
Apabila kita berkaca pada masa Khulafaurrasyidin sebagai sebuah masa yang paling ideal pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW dan figur-figurnya adalah figur ideal karena mereka adalah merupakan sahabat Nabi yang paling setia, paling banyak berkorban dan berbakti bagi kepentingan ummat, dan individunya adalah orang-orang yang dijamin oleh Nabi masuk syurga, selama masa khulafaurrasyidin ini terdapat bermacam-macam bentuk pemilihan yang dilakukan, artinya pemilihan satu khulafaurrasyidin dengan khulafaurrasyidin yang lainnya adalah berbeda-beda sebagai berikut :
1. Pengangkatan Abu Bakar Shiddiq sebagai Khalifah I adalah melalui pemilihan secara musyawarah yang dilakukan oleh ummat Islam di Tsaqifah Bani Saidah setelah wafatnya Rasulullah SAW. Pemilihan secara musyawarah ini dilakukan dengan sangat alot dan melalui perdebatan yang sengit antara golongan Anshor dengan golongan Muhajirin yang diwakili oleh Abu Bakar Shiddiq dan Umar Bin Khaththab. Golongan Muhajirin hanya diwakili oleh kedua tokoh tersebut sebab yang melakukan prakarsa untuk memilih pemimpin pengganti Rasulullah SAW adalah kaum Anshor, sedangkan kaum Muhajirin termasuk di dalamnya Ali Bin Abi Thalib (dari barisan keluarga Nabi) sedang sibuk mengurusi jenazah Nabi. Akibatnya golongan Muhajirin hanya diwakili oleh Abu Bakar Shiddiq dan Umar Bin Khaththab. Musyawarah ini menghasilkan terpilihnya Abu Bakar Shiddiq sebagai Khalifah pertama pengganti Rasulullah SAW. Pemilihan Khalifah pertama ini dilakukan secara musyawarah melalui sebuah rapat yang alot dan sengit oleh para tokoh dan masyarakat, sekalipun masih banyak orang lain yang tidak ikut melakukan pemilihan di dalamnya.
2. Pengangkatan Umar Bin Khaththab sebagai Khalifah Kedua berbeda dengan pengangkatan Abu Bakar Shiddiq sebagai Khalifah Pertama. Kalau pengangkatan Abu Bakar Shiddiq melalui musyawarah, sekalipun tidak diikuti oleh semua ummat islam, maka pengangkatan Umar Bin Khaththab sebagai Khalifah Kedua adalah melalui penunjukan dari Khalifah Pertama dalam hal ini penunjukan dari Abu Bakar Shiddiq. Penunjukan dari Khalifah pertama ini disambut baik oleh semua kaum muslimin, karena memang Khalifah pertama menunjuk penggantinya bukan hanya sekedar menunjuk atas dasar like and dislike, tetapi beliau menunjuk orang yang tepat di tempat yang tepat dan pada masa yang tepat (the right man and the right place). Selain itu penunjukan ini ditengarai setelah terlebih dahulu melakukan konsultasi dan diskusi dari para pembesar-pembesar sahabat, sehingga surat penunjukan dari Abu Bakar Shiddiq itu tidak mendapat protes sedikitpun dari para sahabat dan Umar diterima menjadi Khalifah kedua menggantikan Abu Bakar Shiddiq. Pengangkatan Khalifah Kedua ini adalah melalui penunjukan dan surat sakti dari Sang Khalifah sebelumnya.
3. Pengangkatan Usman Bin Affan sebagai Khalifah ketiga berbeda dengan dua pendahulunya. Kalau yang pertama dengan pemilihan secara musyawarah, yang kedua dengan penunjukan dari khalifah sebelumnya, maka pengangkatan Usman Bin Affan sebagai Khalifah ketiga adalah melalui Satu Tim yang ditunjuk oleh Umar Bin Khaththab yang beranggotakan enam orang ditambah satu orang (yang ketujuh) anaknya Abdullah Bin Umar dengan catatan anaknya tidak berhak untuk dipilih dan kalau terjadi suara berimbang di antara anggota enam orang itu, maka keputusannya ditanyakan kepada anaknya, tetapi kalau yang enam orang itu telah bersepakatn untuk menentukan khalifah maka tidak perlu ditanyakan kepada anaknya. Oleh Tim ini maka dipilihlah Usman Bin Affan sebagai Khalifah Ketiga. Dengan demikian maka pemilihan Khalifah Ketiga ini melalui sebuah tim yang dalam istilah sekarang ini dikenal dengan istilah Tim Formateur.
4. Pemilihan Ali Bin Abi Thalib sebagai Khulafaurrasyidin yang keempat berbeda pula dengan tiga pendahulunya, yaitu Ali Bin Abi Thalib dipilih dalam suasana ummat Islam sedang dalam kekacauan dan penuh fitnah sebagai akibat dari terbunuhnya Khalifah Usman Bin Affan. Pemilihannya dilakukan oleh ummat Islam Madinah, namun mendapat protes dari Gubernur Damaskus yaitu Muawiyah Bin Abi Sufyan yang kelak mendirikan Khalifah Bani umayyah. Protes Muawiyah tersebut bukan karena tidak setuju dengan diri peribadi Ali Bin Abi Thalib sebagai khalifah, akan tetapi Muawiyah meminta diusut terlebuh dahulu siapa pembunuh khalifah Usman Bin Affan, barulah kemudian dipilih dan diangkat khalifah. Hal ini menjadi pemicu konflik berkepanjangan antara pendukung Ali Bin Abi Thalib dengan pendukung Muawiyah Bin Abi Sufyan.
Dari keempat model pemilihan pimpinan atau kepala negara tersebut di atas, tidak ada satupun di antaranya yang berdasar langsung dari Al-Quran dan Al-Hadis, namun demikian semuanya telah diakui dan diterima oleh ummat Islam sebagai sebuah fakta dan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun juga. Dan satu hal yang pasti bahwa keempat model pemilihan khalifah tersebut, tidak ada satupun di antaranya yang bertentangan dengan Al-Quran dan Al-Hadis, apalagi hal ini dilakukan oleh orang-orang yang memang betul-betul dekat dengan Nabi Muhammad SAW dan memahami subsatnsi ajaran-ajaran Islam, sebab mereka adalah Assabiqunal Awwalun, Ashabi Rasulillah dan murid-murid langsung dari Rasulullah SAW.
Adapun pemilihan pimpinan yang dilakukan sesudah khulafaurrasyidin tersebut di atas adalah dilakukan melalui turun temurun sebab sistem pemerintahan yang diterapkan adalah sistem kerajaan. Sistem kerajaan ini pertama kali diterapkan oleh Muawiyyah yang mendirikan Bani Ummayah dengan pusat ibukotanya di Damaskus, yang kemudian dilanjutkan oleh Bani Abbasiyah dengan pusat ibukotanya di Bagdad. Sistem ini berjalan ratusan tahun secara silih berganti sampai dengan berakhirnya kerajaan Islam yaitu dengan berakhirnya Kerajaan Turki Usmani dengan terbentuknya Pemerintahan Republik Turki.
Model-Model Pemilihan Pimpinan
Ada banyak bentuk, model dan tata cara pemilihan pimpinan ataupun Kepala Negara yang berlangsung di dunia ini, yang kesemua itu dapat dijadikan rujukan dan pedoman. Tata cara dan model tersebut antara lain adalah :
1. Pemilihan secara langsung.
Pemilihan pimpinan secara langsung berlangsung pada negara-negara maju dan demokratis seperti di Amerika Serikat dan sekarang ini juga berlaku di Indonesia dan di negara-negara lainnya. Pemilihan pimpinan di negeri ini dilakukan secara langsung oleh masyarakat dengan satu orang satu suara (one man one fote). Hanya saja pemilihan seperti ini masih terdapat kelemahan-kelemahan yang salah satunya adalah disamakannya kualitas dan kuantitas suara antara seorang yang memiliki ilmu banyak seperti seorang profesor dengan seorang tukang becak. Padahal secara logika sehat kualitas dan pengaruh antara seorang profesor dengan seorang tukang becak adalah berbeda dan semua orang sepakat bahwa seorang profesor jauh lebih hebat daripada seorang tukang becak. Oleh karena seorang profesor berbeda jauh dengan tukang becak dalam segala hal, maka seharusnya suara seorang profesor tidak bisa sama dengan suara seorang tukang becak. Hal inilah yang menjadi kelamahan pada sistem pemilihan langsung dengan menggunakan one man one fote ini. Oleh karena itu maka perlu dicarikan solusinya sehingga terjadi keadilan dalam hal suara antara seorang profesor dengan seorang tukang becak. Hal yang sama berlaku bagi yang lainnya dalam semua profesi yang ditekuni oleh masyarakat secara proforsional. Apabila hal ini tidak dilakukan maka tetap saja model pemilihan seperti ini tidak akan menghasilkan pemimpin yang ideal, yang dikehendaki oleh masyarakat, termasuk di dalamnya masyarakat yang menekuni bidang keilmuan.
2. Pemilihan Melalui Perwakilan.
Pemilihan melalui perwakilan adalah merupakan salah satu bentuk dari pemilihan pimpinan. Pemilihan secara perwakilan ini seperti di Indonesia sebelum masa reformasi dilakukan oleh Majelis Perwakilan Rakayat (MPR) dan merekalah yang memilih Pimpinan baik Presiden maupun Wakil Pressiden. Hanya saja pemilihan melalui perwakilan inipun menunai kritikan dari berbagai pihak, sebab terkadang pimpinan yang dipilih oleh MPR itu tidak sesuai dengan keinginan rakyat, padahal mereka sesungguhnya adalah wakil rakyat. Pilihan MPR itu tidak sesuai dengan keinginan rakyat terkadang adalah disebabkan antara lain adalah MPR itu tidak mau mendengarkan suara dan aspirasi rakyat yang diwakilinya. Selain itu, MPR itu telah terkooptasi oleh kekuasaan tertentu, sehingga para anggota MPR itu tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus memilih figur tertentu yang sudah diatur sedemikian rupa. Oleha kerena itu pulalah maka sistem seperti ini di Indonesia dirubah melalui program reformasi menyeluruh terhadap kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi pemilihan pimpinan secara langsung dengan sistem one man one fote, sekalipun harus diakui bahwa sistem ini penuh dengan kelemahan sebagaimana kami sebutkan di atas.
3. Pemilihan secara turun temurun.
Selain kita mengenal istilah pemilihan secara langsung, pemilihan melalui perwakilan sebagaimana kami bahas tersebut di atas, kita juga mengenal istilah pemilihan pimpinan secara turun temurun yang diterapkan pada negara-negara yang menganut sistem keerajaan seperti Saudi Arabia dan lain sebagainya. Pada negara-negara yang berbentuk kerajaan ini, para raja sebagai Kepala Negara ditetapkan secara turun temurun dan bersifat seumur hidup. Seorang kepala negara tidak bisa diganti selama kepala negara itu masih hidup, sekalipun ia telah uzur dalam melaksanakan tugas. Kalaupun Sang Raja mau mendelegasikan kekuasaannya maka itu didelegasikan secara sementara kepada putra mahkota yang memang kelak akan menjadi penggantinya setelah Sang Raja meninggal dunia. Dalam pemerintahan sistem kerajaan ini, pada umumnya kepala negara mengangkat Perdana Menteri yang tugasnya adalah memimpin pemerintahan sehari-hari, namun kekuasaan sebagai kepala negara tetap ada pada Sang Raja. Untuk itulah maka Perdana Menteri mempunyai kewajiban untuk melakukan konsultasi dengan pihak kerajaan mengenai kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diambilnya, sehingga kebijaksanaannya tidak bertentangan dengan kebijaksanaan Kepala Negara. Kelemahan dari sistem kerajaan ini adalah masyarakat lain yang berkualitas dan berkemampuan untuk menjadi kepala negara, tidak mempunyai kesempatan untuk menjadi kepala negara sebab sudah menjadi hak keluarga kerajaan. Selain itu, kepala negara dan keluarganya tidak menutup kemungkinan berbuat sewenang-wenang kepada rakyatnya tanpa bisa dilahakan oleh siapapun juga.
Pandangan Hukum Islam
Berbicara tentang memilih pimpinan secara langsung, maka satu hal yang adalah Hukum Islam baik secara terang-terangan maupun secara terperinci tidak mengatur tentang tata cara pemilihan pimpinan, apakah pemilihan pimpinan itu dilakukan secara langsung sebagaimana di negara-negara demokratis, ataukah dilakukan melalui perwakilan sebagaimana yang pernah berlangsung di Indonesia dan ataukah melalui warisan secara turun temurun sebagaimana pada negara dengan sistem kerajaan. Islam hanya mengatur tentang adanya larangan mengangkat pimpinan dari kalangan Nasrani dan Yahudi dan mewajibkan pimpinan itu berasal dari ummat Islam. Sedangkan bagaimana tata cara untuk memilih dan mengangkat pimpinan itu tidaklah diatur secara terperinci. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah menjadi pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.
Pada ayat yang lain juga hanya menjelaskan tentang adanya kewajiban untuk mengikuti perintah pimpinan sebagaimana wajibnya mengikuti perintah Allah dan perintah RasulNya. Ayat tersebut adalah :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, kepada Rasul dan kepada pemimpin kamu.
Selain tidak adanya diatur secara terperinci tentang tata cara pemilihan pimpinan baik dalam al-Quran maupun dalam al-Hadis Rasulullah SAW, sejarah juga mencatat adanya beberapa bentuk model tentang tata cara pemilihan khulafaurrasyidin (pimpinan ummat Islam) yang berbeda-beda antara satu sama yang lain sebagaimana penulis jelaskan secara panjang lebar di muka.
Pemilihan sebagaimana bentuk dan model yang dilakukan pada pemilihan Khulafaurrasyidin ini adalah merupakan bentuk dan model yang paling ideal dan paling mendekati dengan ketentuan hukum Islam sebab orang-orang yang memilih, mengangkat dan membaiat mereka adalah orang-orang yang paling dekat dengan Rasulullah SAW,orang-orang yang paling memahami isi kandungan al-Quran sebab mereka mendapat penjelasan secara langsung dari Nabi, sebahagian di antara mereka adalah orang-orang yang dijamin oleh Rasul masuk syurga, orang-orang yang sangat tawadhu dan tidak ambisi kekuasaan, dan lain-lain sebagainya. Sehingga tidak salah apabila disebutkan bahwa keempat bentuk pemilihan itulah yang paling mendekati ketentuan hukum Islam.
Persoalannya sekarang adalah pemilihan pimpinan secara langsung sebagaimana yang dimaksud dalam pembahasan dalam makalah ini tidak ada yang sama dengan apa yang diterapkan pada masa khulafaurrasyidin. Pemilihan pimpinan secara langsung ini hanyalah mendekati dengan pemilihan Abu Bakar Shiddiq sebagai khulafaurrasyidin pertama, sebab pemilihannya dilakukan secara langsung, hanya saja dalam pemilihan langsung sekarang ini tidak ada unsur musyawarahnya sebagaimana diperintahkan dalam firman Allah :
Artinya : Dan urusan mereka diputuskan secara musyawarah di antara mereka.
Dalam pemilihan langsung berlaku siapa yang paling banyak perolehan suaranya, maka secara otomatis dia ditetapkan menjadi pimpinan, sekalipun secara individu dia memiliki kelemahan dibanding dengan calon lainnya. Berbeda apabila melalui musyawarah, maka akan dipertimbangkan kelebihan dan kelemahan di antara para calon pemimpin dan yang paling berkualitaslah yang akan ditunjuk menjadi pimpinan.
Namun mengingat bahwa sistem dan tata cara pemilihan itu tidak diatur secara pasti dan rinci dalam hukum Islam, maka pemilihan secara langsungpun dapat dibenarkan dalam Islam sebab tidak ada larangan dalam ajaran Islam untuk melakukan pemilihan secara langsung, dengan catatan bahwa masyarakat ataupun rakyatnya melalui musyawarah sepakat untuk melakukan pemilihan langsung. Kesepakatan untuk melakukan pemilihan langsung itu secara musyawarah telah memenuhi ketentuan hukum Islam sesuai dengan Al-Quran Surat Asy-Syura ayat 38 tersebut di atas. Hal ini didukung oleh hadis Nabi yang menyebutkan :
Artinya : Kamu lebih mengetahui tentang urusan dunia kamu.
Hanya saja menurut penulis pemilihan pimpinan secara langsung yang berlangsung pada saat ini perlu mendapat sentuhan-sentuhan khusus secara proforsional dengan memperhatikan kualitas keilmuan seseorang, sebab dalam kenyataan yang berlangsung pada sistem ini adalah satu orang satu suara (one man one fote), padahal kualitas mereka berbeda. Oleh karena kualitas mereka (masyarakat) berbeda antara satu sama yang lain, maka nilai suaranyapun haruslah berbeda, dan tidak dapat disamakan.
Sebagai contoh dalam masalah ini adalah disamakannya suara antara seorang profesor yang menghabiskan hidupnya dengan dunia ilmu pengetahuan, penelitian dan pengembangan masyarakat, disamakan kuantitas dan kualitas suaranya dengan seorang peminta-minta di jalan yang malas bekerja dan relatif tidak punya perhatian sedikitpun dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Penyamaan kuantitas dan kualitas suara ini dirasakan tidak adil dan tidak seimbang, padahal keadilan dan keseimbangan adalah dua hal yang juga menjadi prinsip-prinsip umum dalam melakukan muamalah dalam hukum Islam.
Dengan demikian seharusnya kuantitas dan kualitas suara antara seorang profesor dengan peminta-minta di pinggir jalan tadi harus dibedakan. Sebagai contoh dalam hal ini, suara seorang profesor setidaknya berbanding lima dengan seorang peminta-minta. Sehingga dengan demikian suara seorang profesor sama dengan suara lima orang peminta-minta, dan seperti inilah diqiaskan dengan profesi-profesi lainnya.
Salah satu persoalan yang sangat rawan dalam masalah ini adalah adanya money politic yang dilakukan oleh figur-fugur yang mencalonkan dirinya sebagai pimpinan, akibatnya pemilihan secara langsung tidak menghasilkan figur seorang pimpinan yang ideal. Hal ini sangat mungkin terjadi khususnya di daearh-daerah yang kondisi ekonominya sangat lemah, kemiskinan menyeleimuti warganya, masyarakatnya sangat membutuhkan makanan, akibatnya asalkan si calon pemimpin mau memberikan uang, mereka akan ramai-ramai memilihnya, sekalipun dalam pertimbangan objektif yang bersangkutan tidak layak ataupun masih ada yang lebih layak lagi untuk memimpin.
Hal seperti ini sangat berbahaya bagi suatu masyarakat sebab apabila seseorang mengeluarkan uang untuk menjadi pimpinan suatu negara atau daerah, maka setelah seseorang itu menjadi pimpinan, maka tidak mustahil hal pertama yang dilakukannya adalah bagaimana mengembalikan modal yang telah dikeluarkannya itu secepat mungkin, walau dengan cara apapun, termasuk dengan cara yang tidak halal. Dia hampir tidak sempat untuk berpikir, bagaimana mensejahterakan rakyatnya. Hal ini sangat logis dan masuk akal, serta sudah banyak kejadian yang terjadi dalam masyarakat. Akibatnya waktu yang seharusnya dia pergunakan untuk memikirkan masa depan rakyatnya, dia hanya sibuk untuk mencari dan mengembalikan dana yang telah dikeluarkannya.
Namun demikian sistem pemilihan langsung ini adalah merupakan sistem yang paling ideal untuk diterapkan saat ini sebab dalam pemilihan langsung ini transparansi, kejujuran dan keadilan akan terlihat secara nyata. Selain itu pimpinan yang akan terpilih adalah benar-benar merupakan pilihan rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Apabila pimpinan ini baik, maka pimpinan ini otomatis akan dipilih lagi oleh rakyatnya pada priode berikutnya dan sebaliknya apabila pemimpin itu tidak baik, maka tidak akan dipilih oleh rakyat lagi pada priode berikutnya. Dalam hal ini maka kualitas dan ketokohan individu seseorang dipertaruhkan di hadapan rakyat pemilihnya. Dan untuk itu maka diperlukan kesiapan mental dan spritual dalam menghadapinya.
Kesimpulan
1. Hukum Islam tidak mengatur secara jelas dan terperinci tentang tata cara pemilihan pimpinan, apakah dilakukan secara langsung, melalui penunjukan, melalui musyawarah, ataukah dengan sitem turun temurun.
2. Pemilihan seorang pemimpin dalam sejarah perdaban ummat Islam berbagai bentuk ada yang melalui musyawarah, ada yang melalui surat wasiat, ada yang melalui tim formateur ada yang melalui pemilihan dan ada yang bersifat turun temurun.
3. Pemilihan pemimpin secara langsung adalah sesuatu yang tidak dilarang dalam ajaran agama Islam atau dalam kata lain sesuatu yang dibolehkan. Pemilihan model ini untuk saat ini dirasakan bentuk pemilihan paling ideal untuk seorang pemimpin sebab dilakukan secara transparan, jujur, adil dan langsung, tanpa mendapat intimidasi dari orang lain.
4. Dalam pemilihan langsung ini hedaknya kualitas dan pengaruh seseorang harus diperhitungan dalam besaran suaranya, jangan sampai antara seorang profesor sama kuantitas dan kualitas suaranya dengan seorang peminta-minta dipinggir jalan.***

Sumber: http://riau1.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=434 

Sabtu, 23 Februari 2013

Pendidikan Berakarater Islami di PYIT

Oleh: Abdurrahman MBP

Sebagaimana namanya Pesantren Yatim Ibnu Taimiyah Bogor menerapkan model pendidikan berasrama (boarding) bagi anak yatim. Model pendidikan yang ada dimulai dari taman kanak-kanak, madrasah ibtidaiyyah, madrasaha tsanawiyah, madrasah aliyah dan pesantren salafiyah. Pesantren ini mengkhususkan diri untuk mendidik anak yatim. Dengan moto “Mendidik Anak Yatim Menjadi Sholeh dan Mandiri” pesantren ini menerapkan kurikullum dari kementerian agama dan kurikullum lokal.
Persentasi kurikullum yaitu 60% untuk ilmu agama dan 40% untuk ilmu-ilmu umum. Model pembelajarannya sendiri menginduk kepada kementerian agama dalam hal ini sebagai bentuk legalitas dan muatan lokal yang mengarahkan yatim menjadi manusia yang bertakwa kepada Allah ta’ala. Menurut Direktur PYIT Ust. Suryana Abdullah, pendidikan adalah proses mewariskan  nilai-nilai Islamy kepada anak melalui setiap aktifitas yang dilakukan orang dewasa, karena itu menurutnya pendidikan tidak hanya ada di sekolah, namun ia ada di dapur,  kamar, lapangan,  hamam dan di segala tempat. Inilah model pendidikan yang menjadi asas bagi PYIT, sehingga semboyan untuk mewujudkan anak yatim yang sholeh dan mandiri dapat tercapai.  Dari sini model pendidikan berakarakter Islami sudah sangat kentara yaitu pendidikan yang tidak hanya tersekat pada ruang-ruang kelas, melainkan lebih dari itu bahwa setiap aktifitas yang dilakukan oleh anak yatim adalah merupakan bagian dari proses pendidikan.  
Kemandirian dan kecakapan hidup juga menjadi prioritas pesantren ini, terlihat dari aktifitas yatim yang sangat padat yang mencakup bagaimana seorang yatim dapat memiliki kecakapan hidup. Dimulai dari pagi hari harus bangun pukul 04.00 lalu mandi dan sholat shubuh, sebelumnya membersihkan badan dan sholat malam. Dilanjutkan aktifitas pembelajaran Al-Qur’an hingga pukul 06.00 WIB. Setelah itu pelaksanaan kerja bakti bagi siswa MTs dan MA yaitu dengan membersihkan seluruh kawasan pesantren, aktifitas ini berlangsung hingga 06.30. selanjutnya makan pagi dan persiapan masuk kelas.
Pembelajaran di kelas dimulai dari pukul 07.00 hingga 14.30 WIB. Setelah istrihat dan shalat ashar dilanjutkan dengan kegiatan ekstra kurikuler atau olah raga. Kegiatan bela diri juga diadakan setiap kamis dan sabtu. Pada tingkat MI diberikan mata pelajaran kemandirian yang meliputi belajar mencuci pakaian, membersihkan tempat tidur, kamar mandi dan pembelajaran kemandirian lainnya. Pesantren Yatim Ibnu Taimiyah telah menerapkan model pendidikan yatim berbasis kecakapan hidup dan memiliki karate Islami, walaupun dalam pelaksanaannya masih ada beberapa hal yang harus diperbaiki.
Secara umum model pendidikan yang dilaksanakan oleh Pesantren Yatim Ibnu Taimiyah didasarkan kepada kebutuhan dasar dari peserta didik, dalam hal ini anak-anak yatim. Selain itu ia juga menerapkan pendidikan berbasis kecakapan hidup, yang menjadi tujuan kedua lembaga yaitu untuk mewujudkan anak yatim yang dapat mandiri dengan menguasai berbagai kecakapan hidup (life skill). PYIT mendidik setiap anak yatim untuk dapat memenuhi kebutuhannya sendiri dan mengurus kehidupannya sendiri dari hal-hal kecil yang harus dikuasainya.  


B.       Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai model pendidikan berkarakter Islami bagi anak yatim yang  berbasis kecakapan hidup dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.    Secara psikologi anak-anak yatim merasa kehilangan dengan meninggalnya salah satu orang tua mereka yaitu ayah.
2.    Hilangnya figur ayah dalam kehidupan mereka mengakibatkan mereka merasa kurang terlindungi sehingga kepribadian mereka cenderung lebih bebas
3.    Diperlukan adanya model pendidikan yang mengarahkan dan membimbing mereka untuk menjadi manusia yang mandiri baik pada saat proses pembelajarannya ataupun hasil dari pembelajaran tersebut.
4.    Pendidikan berkarakter Islami yang memberikan pola pembelajaran yang disesuaikan dengan tingkatan umur dan kematangan spiritual menjadi sesuatu yang harus ada bagi pendidikan mereka. 
5.    Kurikulum berbasis kecakapan hidup yang dimaksud di sini adalah bahwa dalam proses pendidikan anak yatim, terutama di pesantren hendaknya memperhatikan kondisi kejiwaan anak yatim. Hal ini meliputi kurikulum yang menciptakan kondisi normal sebuah keluarga sehingga seorang anak ytatim akan mendapatkan figure seorang ayah dari para pembimbingnya.
6.    Model pendidikan yang dikembangkan oleh Pesantren Yatim Ibnu Taimiyah telah mengarah kepada model pendidikan berkarakter Islami dan berbasis kecakapan hidup, namun ada beberapa kekurangan. Di antara kekurangan tersebut adalah masih kurangnya pemahaman kejiwaan anak sehingga model pendidikan yang dilaksanakan cenderung bersifat umum untuk seluruh anak.
7.    Pesantren Yatim Ibnu Taimiyah Bogor saat ini telah melaksanakan pendidikan berkarakter Islami dengan penggunaan kurikullum yang dititik beratkan pada nilai-nilai Islam. Pola-pola yang dilaksanakan juga mengarah kepada keshalehan peserta didik secara kaffah.

C.  Saran-saran
Dengan penemuan-penemuan yang ada dalam penelitian ini, penulis sedikit memberikan saran-saran yang mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi seluruh komponen masyarakat. Adapaun secara rinci saran-saran tersebut adalah :
1.    Kepada masayarakat umum : anak yatim adalah warga Negara yang menjadi tanggungjawab Negara untuk memeliharanyanya dan memberikan perlindungan dan pendidikan. Dalam Islam keutamaan dari memeuliakan dan mengasuh anak yatim begitu besar pahalanya. Maka mengasuh mereka dan memberikan pendidikan yang wajar adalah salah satu ibadah yang diperintahkan oleh Allah dan rasulNya.
2.    Kepada Negara Republik Indonesia : anak-anak yatim adalah warga negara yang kebutuhan hidupnya menjadi tanggung jawab Negara, karena itu diharapkan Negara membuat kebijakan-kebijakan yang dapat mencakup kebutuhan-kebutuhan hidup anak yatim, dalam hal ini tentu saja tidak hanya kebutuhann fisik saja namun juga kebutuhan mental spiritualnya.
3.    Kepada pengelola Pesantren Yatim Ibnu Taimiyah Bogor : implementasi dari semboyan pesantren ini sepertinya harus tertuang secara tersurat dalam model pendidikan yang diterapkannya. Kemandirian yang dimaksud juga bukan hanya kemandirian di bidang spiritual saja melainkan juga kemandirian di bidang financial.
4.    Bagi anak-anak yatim : semua yang menimpa kita adalah sudah menjadi takdirNya, maka tidak ada kata menyesal atau meratapi nasib sebagai yatim. Jadikan keyatiman kita adalah kekuatan kita, bukankah Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam .
5.    Pendidikan berkarater Islami sudah selayaknya terus dikembangkan di Pesantren yatim Ibnu Taimiyah, adapun pelaksanaannya bisa dilakukan secara bertahap.

PENDIDIKAN BERKARAKTER ISLAMI BAGI ANAK YATIM

Oleh : Abdurrahman Misno Bambang Prawiro

A.  Pendahuluan
Pendidikan adalah hak setiap warga Negara Indonesia, sehingga pemerintah wajib menyediakan kesempatan seluas-luasnya kepada rakyatnya agar dapat memperoleh pendidikan yang berkualitas. Pembukaan UUD 1945 alinea 4 menyatakan bahwa Negara bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa[1]. Selanjutnya dalam pasal 31 ayat 1 UUD 1945 disebutkan bahwa untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka setiap warga Negara memiliki hak untuk mendapatkan pengajaran. Secara operasional, bentuk dukungan pendidikan termaktub dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional pasal 5 yang menyatakan bahwa setiap warga Negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu[2]. Hak atas pendidikan ini berarti untuk semua warga negara baik yang kaya ataupun yang miskin, yang normal ataupun yang memiliki kebutuhan khusus.
Anak yatim adalah satu di antara anak-anak yang memerlukan pendidikan dengan kurikulum kebutuhan khusus (special need), hal ini karena anak yatim sejak awal ayahnya meninggal dunia telah kehilangan sosok/figure pengayom baginya. Sehingga kebanyakan dari anak yatim memiliki karakter dan pembawaan yang berbeda dengan anak-anak normal pada umumnya. Dari sini model pendidikan yang diterapkan bagi mereka seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan khusus mereka tersebut[3]. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Joice dan Weil (1972) bahwa penerapan strategi pembelajaran harus sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan harus mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut :
1.    Semakin kecil upaya yang dilakukan guru akan semakin besar aktivitas belajar peserta didik.
2.    Semakin sedikit waktu yang diperlukan guru mengaktifkan peserta didik akan semakin banyak waktu untuk belajar peserta didik
3.    Sesuai dengan cara belajar peserta didik
4.    Dapat dilaksanakan dengan baik oleh guru.
Keberhasilan suatu  proses belajar sangat ditentukan oleh kondisi berbagai komponen seperti tujuan, bahan, peralatan serta suasana tempat pengajar dan peserta didik bertemu dan berinteraksi dalam proses belajar. Semua Itu disusun dalam satu lingkup kurikulum yang diberlakukan di lingkungan pendidikan. Jika komponen berada dalam kondisi prima, maka proses belajar akan berlangsung baik dan efektif. Secara lebih spesifik suatu program pembelajaran dikatakan sangat efektif apabila 80% peserta didik mencapai 80% tujuan pembelajaran, serta semakin sedikit tingkat kesalahan untuk kerja yang dilakukannya[4].
Efektifitas suatu proses pembelajaran secara umum ditentukan oleh kurikulum dan system pendidikan yang diterapkan pada lingkungan  pendidikan tersebut, berkaitan dengan pendidikan yang diterapkan terhadap anak yatim maka diperlukan adanya kurikulum khusus yang dapat menjawab dan mengakomodir kebutuhan seorang anak yatim, baik secara fisik maupun secara spiritual. Bila kita melihat model pendidikan yang dilakukan beberapa lembaga pengasuhan anak yatim semisal pesantren yatim atau panti asuhan maka kita melihat model pendidikan yang diterapkan tidak jauh berbeda dengan yang diterapkan pada anak-anak normal. Padahal anak yatim secara kejiwaan mereka memiliki kepribadian yang tidak sempurna dikarenakan figur ayah telah hilang dalam kehidupannya. Mereka cenderung mudah marah, bersikap masa bodoh, kurang respect, merasa bebas dan terkadang kurang ada rasa hormat pada orang di sekitarnya[5].
Singkatnya dibutuhkan adanya model pendidikan berkarakter Islami yang mengarahkan anak yatim pada kesiapan mental dan spiritual untuk menjadi seorang manusia yang matang baik secara fisik maupun secara mental. Dengan model ini diharapkan anak yatim akan dapat melewati masa anak-anak mereka secara normal untuk menyiapkan diri menuju kedewasaan. Dan makalah ini akan mengkaji lebih jauh mengenai model pendidikan ini. Dengan mengambil studi kasus di Pesantren Yatim Ibnu Taimiyah diharapkan dapat dirumuskan bagaimana sebenarnya kurikulum dan model pendidikan yang selaras dengan kebutuhan anak-anak yatim.  

B.      Pendidikan Berkarakter Islami bagi Anak Yatim
Secara bahasa “yatim” berasal dari bahasa arab, yang merupakan bentuk isim fa’il (subyek). Bentuk kata kerja lampau (fi’il madly)-nya adalah “yatama”, sedangkan kata kerja bentuk sekarang/akan datang (mudlori’) “yaitamu”. Adapun bentuk mashdarnya yatmu” yang berarti : sedih, kata yatmu bermakna pula “sendiri”.[6] Kata yatim juga bermakna anak binatang semisal sapi yang ditinggal mati induknya, atau terpisah darinya.
Adapun menurut istilah syara’ yang dimaksud dengan anak yatim adalah anak yang ditinggal mati oleh ayahnya sebelum dia baligh. Dalam Qamus Al-Munjid disebutkan bahwa yatim adalah seorang bayi atau seorang anak yang ayahnya meninggal ketika dia belum dewasa (baligh).[7] Semua ahli bahasa telah sepakat bahwa anak yatim adalah setiap anak yang ditinggal meninggal oleh ayahnya ketika dia belum baligh.
Adapun jika ditinggal oleh ibu maka tidak disebut sebagai yatim. Batas seorang anak disebut yatim adalah ketika anak tersebut telah baligh dan dewasa, berdasarkan sebuah hadits yang menceritakan bahwa Ibnu Abbas r.a. pernah menerima surat dari Najdah bin Amir yang berisi beberapa pertanyaan, salah satunya tentang batasan seorang disebut yatim, Ibnu Abbas menjawab:
وكتبت تسألنى عن اليتيم متى ينقطع عنه اسم اليتم ، وإنه لا ينقطع عنه اسم اليتم حتى يبلغ ويؤنس منه رشد  رواه مسلم
Dan kamu bertanya kepada saya tentang anak yatim, kapan terputus predikat yatim itu, sesungguhnya predikat itu putus bila ia sudah baligh dan menjadi dewasa. HR Muslim.
Anak yatim mendapatkan tempat yang mulia dalam Islam, hal ini tercermin dari perhatian Islam terhadap mereka. Diantaranya adalah firman Allah ta’ala :
فِي الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاَحُُلَّهُمْ خَيْرُُ وَإِن تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ وَلَوْ شَآءَ اللهُ لأَعْنَتَكُمْ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمُُ
….tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. QS Al-Baqarah : 220
Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan mengisahkan tentang para shahabat Nabi yang merasa berat karena harus memisahkan makanan mereka dengan makanan anak yatim yang menjadi tanggungannya demikian pula masalah minumannya. Maka turunlah ayat ini yang membolehkan untuk berbuat ma’ruf  kepada mereka. Termasuk di dalamnya mendidik mereka (anak yatim) adalah salah satu dari bentuk ibadah kepadaNya[8]. Ayat ini juga memberikan petunjuk untuk memuliakan anak yatim dan larangan untuk berbuat aniaya,  sewenang-wenang dan menyusahkan mereka.[9]
Intinya adalah bahwa dalam Islam anak yatim sangat diperhatikan baik kebutuhan fisiknya maupun kebutuhan mentalnya. Hal ini diperkuat oleh sabda Nabi Shalala Alaihi Wasalam  dalam salah satu haditsnya :
 عن أبى أمامة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال من مسح رأس يتيم أو يتيمة لم يمسحه إلا لله كان له بكل شعرة مرت عليها يده حسنات ومن أحسن إلى يتيمة أو يتيم عنده كنت أنا وهو فى الجنة كهاتين وقرن بين أصبعيه (رواه أحمد )
Dari Abu Umamah dari Nabi SAW  berkata: barangsiapa yang mengusap kepala anak yatim laki-laki atau perempuan karena Allah, adalah baginya setiap rambut yang diusap dengan  tangannya itu terdapat banyak kebaikan, dan barang siapa berbuat baik kepada anak yatim perempuan atau laki-laki yang dia asuh, adalah aku bersama dia di surga seperti ini, beliau menyejajarkan dua jari-nya. HR Ahmad
Dalam hadits yang lainnya disebutkan secara tegas bahwa beliau akan bersama orang-orang yang mengasuk anak yatim :
أنا وكافل اليتيم فى الجنة هكذا وأشار بالسبابة والوسطى وفرج بينهما شيئا (رواه البخاري ، كتاب الطلاق ، باب اللعان )
Aku dan pengasuh anak yatim berada di surga seperti ini, Beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah-nya dan beliau sedikit  merenggangkan kedua jarinya. HR Bukhari.
Ketika mendidik anak yatim adalah sebuah bentuk amal mulia, maka menyia-nyiakan mereka adalah suatu bentuk dosa. Allah ta’ala berfirman :
كَلاَّ بَل لاَّتُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim. QS Al-Fajr : 17
Di antara bentuk tidak memuliakan anak yatim adalah menyia-nyiakan mereka sehingga kehidupan mereka menjadi kekurangan dan diliputi penderitaan. Namun menurut hemat penulis merupakan bentuk tidak memuliakan anak yatim yaitu memberikan kepada mereka model pendidikan yang tidak sesuai dengan karakternya tapi metode pendidikan yang membebani mereka bisa disebut sebagai bentuk tidak memuliakan anak yatim. Dalam ayat yang lainnya disebutkan :
فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلاَتَقْهَرْ
Maka terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. QS Adh-Dhuha : 09
Larangan berlaku sewenang-wenang adalah memakan hartanya dengan jalan haram. Selain itu berlaku sewenang-wenang dalam ayat ini juga bermakna memberikan beban pendidikan yang membuat anak yatim tidak nyaman dengannya. Ini adalah bentuk kedzaliman yang nyata, walaupun niatnya adalah untuk membuat anak yatim pintar, namun model pendidikan yang diterapkan justru membebani mereka. Maka telah menjadi kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk memuliakan mereka, dan  di antara bentuk pemuliaan terhadap mereka adalah memberikan model pendidikan yang selaras dengan kebutuhan dasar mereka. Bagaimana kebutuhan dasar anak-anak yatim? 
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Imam (2009)[10] menunjukan bahwa kebutuhan dasar anak yatim meliputi : Kebutuhan akan figur seorang ayah, Kebutuhan pendidikan kemandirian dan kecakapan hidup dan Model pembinaan yang mengarahkan anak yatim pada kematangan mental dan spiritual. Maka pendidikan yang memiliki karakter Islami dengan memfokuskan kepada kebutuhan mereka menjadi sebuah keniscayaan.
Penelitian ini dilakukan di Pesantren Yatim Ibnu Taimiyah Bogor dengan audience santri-santri yatim dari jenjang Madrasah Ibtidaiyyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA). Hal ini menunjukan bahwa anak yatim memiliki kebutuhan dasar yang berbeda dengan anak pada umumnya, karena penelitian ini dilakukan di pesantren maka tingkat kemandirian anak yatim cenderung lebih tinggi dari pada anak yatim yang tidak tinggal di pesantren. Penelitian kedua dilakukan oleh Abdurrahman (2010) yang melakukan wawancara terhadap beberapa anak yatim di PYIT, hasil yang ditemukan adalah bahwa anak yatim yang ditinggal oleh ayahnya pada umur 0-10 tahun cenderung mendambakan sosok ayah yang dapat dijadikan pengayomnya, sedangkan pada 10-12 tahun cenderung lebih berkurang[11]. Sementara pendidikan anak yatim yang dilakukan oleh masyarakat secara umum lebih mengarahkan pada pembinaan di luar sekolah, yaitu dengan cara menitipkan anak-anak yatim kepada orang tua asuhnya. Walaupun pada beberapa tempat tetap dilaksanakan pembinaan dengan model boarding, namun lagi-lagi kebutuhan dasar yang menjadi karakteristik anak yatim kurang terpenuhi. Karena itu sangat diperlukan sebuah model pendidikan, dalam hal ini kurikulum yang mengarahkan setiap anak yatim untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu kebutuhan akan sosok pelindung (ayah).
Dari sini urgensi pendidikan anak yatim berbasis kecakapan hidup sangat diperlukan, ia menjadi model yang diharapkan memberikan yang terbaik bagi anak-anak yatim. Inilah salah satu bentuk dari memuliakan mereka sebagaimana yang diperintahkan Allah ta’ala dalam kalamNya yang mulia.


[1] Undang-undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat 1. Perubahan keempat, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tahun 2009
[2] UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[3] Masitoh dkk, Pendekatan Belajar Aktif di taman Kanak-Kanak, Jakarta, Depdiknas, hal. 157.
[4] Dewi Suhartini, Disertasi : Pemanfaatan E-Learning dalam Meningkatkan Minat Siswa pada Pembelajaran Sejarah Terhadap Siswa SMA Negeri di Kota Bogor, Bandung UPI, hal. 11.
[5] Hasil angket yang dilakukan di Pesantren Yatim Ibnu Taimiyah tahun 2009 dan 2010. Secara umum anak yatim cenderung bersikap semaunya dan susah untuk diatur.
[6] Al-Mu’jam Lisan Al-Arab, Maktabah Syuruq Ad-Dauliyah, Mesir. Cet. IV tahun 1425 H/2004 M
[7] Al-Qamus Al-Munjid, Syihabuddin Abu Amr ,  Darul Fikri : , cet. I. 1423 H / 2003 M.
[8] Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adhim, Imam Abu Al-Fida’ bin Katsir, Jumiyyah Ihya At-Turats : Kuwait.
[9] Tafsir Fi Dzilal Al-Qur’an , Sayyid Sabiq.
[10] Imam Wahyudi, Motivasi Anak Yatim masuk ke PYIT , 2009.
[11] Quesioner dibagikan pada Oktober 2010.