Jumat, 22 Februari 2013

Tujuan dan Pentingnya Pembentukan Karakter

Oleh: Abu Fikri

Diakui atau tidak saat ini terjadi krisis moral yang nyata dan mengkhawatirkan dalam masyarakat dan melibatkan harta milik kita yang paling berharga, yaitu anak-anak. Krisis itu antara lain berupa meningkatnya pergaulan bebas, bahkan seks bebas, maraknya angka kekerasan antar anak-anak dan juga remaja, kejahatan terhadap teman, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan obat-obatan, pornografi, perkosaan, perampasan dan pengrusakan milik orang lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas. Perilaku remaja kita juga diwarnai dengan gemar menyontek, kebiasaan bullying di sekolah dan tawuran antar pelajar makin merebak. Begitu pula perilaku orang dewasa, setali tiga uang, senang dengan konflik dan kekerasan, tindakan main hakim sendiri, perselingkuhan, bahkan perilaku korupsi di kalangan pejabat semakin merajalela.
Krisis tersebut tidak dapat dianggap sebagai suatu persoalan sederhana karena tindakan ini telah menjurus kepada tindakan kriminal dan makin menjauhkan kehidupan masyarakat yang beradab, berkarakter, dan berkhlak mulia. Menurut tinjauan ESQ, terdapat tujuh krisis moral yang melanda di tengah-tengah masyarakat, antara lain; krisis kejujuran, krisis tanggungjawab, tidak visioner, krisis disiplin, krisis kebersamaan dan krisis keadilan, serta dekadensi moral. Kondisi krisis dan dekadensi moral ini menandakan bahwa seluruh pengetahuan agama dan moral yang didapatkan di bangku sekolah, seakan tidak berdampak terhadap perubahan perilaku. Bahkan yang terlihat begitu banyaknya manusia Indonesia yang tidak konsisten, yang dibicarakan berbeda dengan tindakannya.  Zubaedi mengatakan, praktik pendidikan yang semestinya memperkuat aspek karakter atau nilai-nilai kebaikan, sejauh ini hanya mampu menghasilkan berbagai sikap dan perilaku manusia yang nyata-nyata malah bertolak belakang dengan apa yang diajarkan. Pendidikan seharusnya memberikan kontribusi besar terhadap situasi ini. Dalam konteks pendidikan formal di sekolah, bisa jadi salah satu penyebabnya karena pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau kognitif semata, sedangkan aspek soft skils atau non akademik sebagai unsur utama pendidikan karakter belum diperhatikan secara oPerguruan Tinggiimal bahkan cenderung diabaikan. [1]
Kita maklumi, bahwa persoalan karakter atau akhlak di kalangan pelajar (usia anak dan remaja) memang tidak sepenuhnya terabaikan oleh lembaga pendidikan. Akan tetapi, dengan fakta-fakta seputar kemorosotan karakter pada sekitar kita menunjukkan bahwa ada kegagalan pada institusi pendidikan dalam menumbuhkan manusia Indonesia yang berkarakter atau berakhlak mulia. Hal ini karena apa yang diajarkan di sekolah tentang pengetahuan agama dan pendidikan akhlak belum berhasil membentuk manusia yang berkarakter.
Selain itu, dalam masa-masa yang penuh persoalan seperti sekarang ini, orang tua perlu berusaha keras dalam mendidik dan membentuk karakter ataupun akhlak anak-anaknya agar mereka bisa berfikir, bersikap dan bertindak sesuai dengan norma-norma/aturan hidup agama maupun aturan darigama. Maka pembentukan karakter perlu dimulai dengan penanaman pengetahuan dan kesadaran kepada anak akan bagaimana bertindak sesuai nilai-nilai Islam sebagai sumber utama pendidikan karakter.
Berbicara tentang karakter, maka ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu definisinya, agar difahami tentang pentingnya pembentukan karakter pada anak.  Karakter berasal dari bahasa latin “charassein”, “kharax”, dalam bahasa inggris “character”, Yunani “charactere dari kata “charassein” yang artinya mengukir, membuat tajam, atau membuat dalam”, dan dalam bahasa Indonesia”Karakter”.  Menurut Abdul Majid, karakter adalah sifat, watak, tabiat, budi pekerti atau akhlak yang dimiliki oleh seseorang yang merupakan ciri khas yang dapat membedakan perilaku, tindakan dan perbuatan antara yang satu dengan yang lain.[2] Sedangkan, Djaali mendefinisikan karakter sebagai kecenderungan tingkah laku yang konsisten secara lahiriah dan bathiniah. Karakter adalah hasil kegiatan yang sangat mendalam dan kekal yang nantinya akan membawa ke arah pertumbuhan sosial.[3]
Imam al-Ghazali berpendapat bahwa karakter lebih dekat dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap atau perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tanpa perlu dipikirkan atau direncanakan sebelumnya.[4]  Kata akhlak berasal dari kata khalaqa, bahasa arab—jamak dari bentuk mufrodnya “khuluqun” yang berarti perangai, tabiat dan adat istiadat. Dari sudut pandang kebahasaan, definisi akhlak dalam pengertian sehari-hari disamakan dengan “budi pekerti”, kesusilaan, sopan santun, tata karma (versi bahasa Indonesia) sedang dalam bahasa inggrisnya disamakan dengan istilah moral atau ethic.[5] Dalam pandangan Islam, akhlak adalah sifat yang berada dalam jiwa yang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan secara tidak sadar dan tanpa melalui pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu. Menurut Anis Matta, akhlak adalah nilai yang telah menjadi sikap mental yang mengakar pada jiwa, lalu tampak dalam bentuk tindakan dan perilaku yang bersifat tetap, natural dan refleks.[6]  
Dari beberapa pendapat di atas, dapat difahami bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi positif, bukan netral. Jadi orang yang berkarakter adalah orang yang mempunyai kualitas moral positif atau akhlak yang baik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan yang mendasar antara akhlak dan karakter/budi pekerti. Keduanya bisa dikatakan sama, kendati pun tidak dimungkiri ada sebagian pemikir yang tidak sependapat dengan mempersamakan kedua istilah tersebut. Pemaparan pandangan tokoh-tokoh itu menunjukkan bahwa pendidikan memiliki tujuan pokok yang disepakati di setiap zaman, pada setiap kawasan dan dalam semua pikiran, dengan bahasa sederhana. Tujuan yang disepakati itu adalah merubah manusia menjadi baik, matang dalam pengetahuan, sikap dan keterampilan (cognitive, affectif, spiritual and psikomotoric). 
Begitu pun tujuan pendidikan melalui pembentukan karakter pada anak perlu diarahkan kepada pematangan kejiwaan yang bertitik akhir pada oPerguruan Tinggiimalisasi perkembangan atau pertumbuhan, melalui proses demi proses sesuai perkembangan dan pertumbuhannya.
Imam al-Ghazali mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam yang paling utama ialah beribadah dan taqarrub kepada Alloh dan kesempurnaan insani yang tujuannya adalah kebahagiaan dunia—akhirat.[7] Sedangkan al-Abrasyi merumuskan tujuan pendidikan Islam adalah mencapai akhlak yang sempurna dengan menanamkan keutamaan (fadhilah), membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan suatu kehidupan yang suci, seluruhnya ikhlas dan jujur.[8] Begitu juga pendapat E.Mulyasa, tujuan pendidikan karakter adalah untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan yang mengarah pada pembentukan karakter dan akhlak mulia secara utuh, terpadu dan seimbang.[9]
Dengan demikian, pendidikan dan pembentukan karakter, anak diharapkan meyakini Islam sebagai pedoman hidup, melaksanakan nilai-nilai kebaikan, menjauhi hal-hal yang dilarang agama, mampu hidup secara mandiri, meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya serta dapat menginternalisasikan nilai-nilai karakter/akhlak mulia dalam perilaku sehari-hari.


[1]     Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 2-3
[2]     Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Persfektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2011), hlm.11
[3]     Prof. Dr. Djaali, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hlm.48-49
[4]     Al-Ghazali, Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia, (Bandung: Kharisma,1994), hlm.31
[5]     Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Rajawali, 2004), hlm.1-2
[6]     M. Anis Matta, Membentuk Karakter Cara Islam, (Jakarta : ‘Itishom, 2006), hlm.14
[7]     Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), hlm.71-72
[8]     Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm.1
[9]     E. Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm.9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...