Sabtu, 30 Juli 2011

Sejenak Bersama Pemuda...




Wahai pemuda Islam! Jalanmu penuh rintangan, laut jiwamu dalam tak berhingga.Puasa bagimu merupakan benteng penahan. Tidak seorang pun yang mampu kecuali mereka yang perkasa, terpercaya, penuh waspada serta mawas diri, serius, tangkas, dan rela berkorban. Peliharalah lidahmu, karena tidak ada sesuatu pun yang dapat membuat manusia tersungkur ke dalam api neraka kecuali karena buah mulut mereka sendiri. Jangan berghibah, kendalikanlah matamu dari pandangan was-was al-khonnas Bukankah kamu tahu bahwa Rasul Saw pernah bersabda: "Siapa yang berpuasa, hendaklah mengendalikan pendengaran dan penglihatannya".
Oleh karena itu, jadikanlah ucapanmu berupa dakwah ilallah, pendengaranmu hanya untuk mengingat Allah. Dengan begitu di dalam dirimu terhimpunlah kesenangan dunia dan kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat.
Sesungguhnya puasa zhohir ditandai dengan berakhirnya siang, yaitu ketika mulai tenggelamnya matahari di tempat istirahnya. Shoum kembali ke keadaan semula dengan rasa gembira tatkala berbuka. Ini dialami semua orang yang shoum. Akan tetapi puasa orang-orang yang muttaqin yang penuh keikhlasan, tidak berujung. Tidak berakhir dengan ghurub dan tidak dimulai dengan syuruq. Tidak dapat dihitung dengan bilangan jam dan tidak pula mempunyai batas waktu.
Engkaulah pengendali yang terpercaya atas dirimu dan atas diri saudara-saudaramu. Itulah 'amanah' dari ujian itu. Bagaimana seandainya engkau melalaikannya, terlepas dari ceruk hatimu di tengah-tengah bersliwerannya berbagai godaan dan pemikatpemikat?
Apakah akan kau biarkan berlalu dan bahkan terlepas dari dirimu? Tidakkah kau merasa perlu kembali memperhatikan janjimu kepada Allah, yang mendatangkan pahala begitu besar? Ialah amanah puasa yang sebenar-benarnya. Wahai pemuda yang amil! Kita berpuasa jika telah melihat bulan. Tetapi sesungguhnya yang kuinginkan darimu wahai pemuda, lebih dari sekadar itu, sedikit atau banyak di atas mustawa (level) itu tadi jika memang kamu mampu. Mintalah tolong kepada Maha Pemberi Kemampuan, yang memberi apa saja kepada orang yang dikehendakiNya.
Aku mengharap agar engkau sebelum melihat bulan, melihat pencipta dari bulan itu. Sungguh, alangkah tingginya martabat ini, dimana banyak orang yang tak kuasa untuk meraihnya. Tetapi dengan izin Allahjugalah mereka berhasil melampauinya. Jika memang engkau telah berazam (bertekad), maka tawakkallah.
Engkau, wahai pemuda! Jika berpuasa karena melihat bulan, memang akan mendapatkan pahala sebagaimana halnya kebanyakan orang. Akan tetapi, engkau mempersiapkan dirimu dengan shoum itu untuk beramal (bekerja) fi sabilillah, menyebarkan misi(risalah)Nya, mengemban dakwah, serta jihad yang begitu malah lagi mulia. Tempatkanlah segala sesuatunya di jalan Allah, pasti segala kesulitan yang ada akan menjadi ringan, dan agar kau selalu berada di dalam barisanNya.
Aturlah barisan. Pemuda di samping pemuda, pemudi beriringan dengan pemudi, orang tua dengan orang tua. Aku menginginkan sekali agar engkau tidak sampai hanya sekedar melihat bulan, akan tetapi terus dan teruslah melangkah lebih jauh. Bersihkanlah hati dan sinarilah keyakinanmu itu, agar kau dapat menyaksikan pencipta dari bulan itu. Inilah rencana dan tujuan, awal dari akhir. KepadaNya jugalah kita kembalikan segala urusan.
Sesungguhnya berpuasa karena melihat bulan memang betul menurut ibadah. Tetapi berpuasa dengan hati yang bersinar, ruh yang tenang, dan nurani yang cemerlang adalah puncak kekuatan ibadah yang dituntut dari dirimu. Yaitu irodah yang apabila disertai tekad dan ketulusan tujuan, sesaat pun tidak akan pernah menjadi lemah dan pudar. Tak sedetik pun mundur dari kewajiban-kewajiban yang sulit diukur dengan bilangan waktu itu. Irodah yang senantiasa beriringan dengan amal untuk menanggung kesulitan dengan hati yang penuh, bersama melakukan jihad di tengah beragamnya medan-medan jihad; jihadun-nafs, jihad melawan musuh yang zholim.
Dengan melalui jenjang-jenjang jihad tersebut, dengan tangan bila mampu dan dengan lisan bila sanggup, berarti dirimu telah berhasil menjaga keutuhan imanmu. Hingga tak sesuatu pun yang bisa mengikisnya. Adalah sesuatu yang begitu menggembirakan saat kita berbuka, lapar telah terobati, haus telah pergi. Tetapi ada yang lebih dari sekedar itu, lebih menyenangkan dan menggembirakan, yaitu bertemunya diri kita dengan Allah pada hari perhitungan (Yaumul Hisab) kelak. Tidak mungkin dicapai tingkatan ini kecuali oleh orang-orang yang berpuasa karena Allah dan hanya untuk Allah. Sungguh, aku tidak berbicara dengan telinga kasatmu, tapi aku bicara dengan hati sanubarimu. Dengan persamaanmu yang paling dalam agar rela berkorban di jalan Allah, tanpa mengharap upah dan pamrih. Puasalah, karena Allah menghendakimu untuk berpuasa, hanya itu. Beban ini sungguh berat bagimu, tanggung jawab ini begitu besar, dan hambatannya penuh ranjau serta tingkat kesulitannya begitu tinggi. Tidak akan berhasil dan tidak akan menang terkecuali hatimu telah tergetar untuk hanya mengharap ridho Allah, serta perasaanmu telah terdorong untuk mendapatkan husnul khotimah.
Aku menginginkan pengorbanan yang cukup mahal darimu, di mana kemenangan bagi dienmu tidak akan tercapai tanpa melalui jalan ini. Sungguh, sesungguhnya musuhmusuh Islam akan dengan segala daya upaya ingin menghancurkan segala yang berharga yang ada pada dirimu. Dan aku ingin sekali melihat dirimu berada pada posisi As-Shiddiqie, Syuhada dan Sholihin. Sungguh, apakah ada nilai yang lebih tinggi dari itu? Allah Yang Maha Pemurah mengetahui betul bahwa puasa itu sulit, tidak mungkin dapat dilakukan kecuali oleh orang-orang yang jiwanya bersih dari kotoran-kotoran dan virus.
Karena rahmatNya jugalah Allah memberikan rukhshoh kepada orang yang sakit, orang yang bepergian dan orang yang haidh agar berbuka. Tetapi dengan syarat untuk mengqodhonya bila telah memungkinkan. Demikian alternatif daripada dispensasi yang diberikan Allah, seperti yang tertulis dari firmanNya:"Dan puasa kamu itu lebih baik untuk kamu, jika kamu mengetahui". Berbukalah kamu dengan rukhshohKU, tidak mengapa, karena AKU senang. Manfaatkanlah rukhsohKU sebagaimana engkau melaksanakan azimahKU. Tetapi yang Kuinginkan darimu itu adalah yang lebih baik, lebih utama, lebih mulia dan lebih bermanfaat bagi kamu. Yaitu berpuasa, walaupun syarat-syarat rukhsoh itu telah terpenuhi, terkecuali orang yang haidh, tanpa ada penyakit yang menimbulkan bahaya.
Diprioritaskannya ibadah puasa karena itu lebih baik bagi kita. Di mana letaknya kelebihan-kelebihannya itu? Hanya Allahlah yang tahu, ketika Dia mengakhiri ayat tersebut dengan firmanNya: "Jika kamu mengetahuinya". Yang jelas dan pasti, kita mengakui bahwa yang terbaik itu adalah apa-apa yang dipilihkan Allah untuk kita. Karena hanya Dialah Yang Maha Mengetahui. Tidak ada satu pun yang dapat menyamai dan menyaingiNya. Maka untuk dirimu, pilihlah yang terbaik dan terindah, karena Allah tidak menjadikan kesulitan bagi kita di dalam beribadah kepadaNya. Kewajiban-kewajiban itu dibebankan sesuai dengan kemampuan yang ada pada diri masing-masing. Nah, di sinilah medan uji coba itu.
Di depan kita terbentang beberapa tingkatan-tingkatan kemuliaan beserta rangkingrangking penghargaanNya. Silahkan kita akan memilih yang mana, dan dimana kita mau menempatkan diri. Nun di sana ada Syurga Na'im, siapa saja yang memasukinya pasti merasa aman dan nyaman. Ada pula Al-Firdaus, Al-A'la. Dan ada pula syurga yang tak mungkin dapat dilukiskan oleh hanya sekedar pena. Kita saat ini hanya bisa menyebutkan nama-namanya saja, tidak lebih. Ada pun hakekat dari nama-nama yang begitu indah itu masih ada di dalam impian dan harapan. Sejenak saja, aku ingin selalu bersamamu wahai pemuda, di dunia ini banyak sekali hiasan pemikat yang berkaitan dengan tuntutan hidup. Tuntutan mencari popularitas, jabatan, harta dan kesenangan duniawi yang begitu semu dan melenakan. Maka dengan puasa, kuharapkan dirimu mampu untuk menahan semua pemikat-pemikat semu itu. Kembali bersama-sama menegakkan Islam.

Larangan Menyerupai Laki-Laki



Amr bin Abdul Mun'im

Dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhu, dia menceritakan.
"Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat orang laki-laki yang bersikap seperti wanita dan wanita seperti laki-laki".
Sedangkan dalam riwayat yang lain disebutkan.
"Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat orang laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki". (Hadits Riwayat Bukhari)
Hadist di atas menunjukkan kepada kita larangan bagi laki-laki untuk menyerupai wanita, baik itu dengan cara melembutkan suara maupun dengan menirukan gerakan, pakaian, perhiasan, dan lain sebagainya dari karakter kewanitaan. Dan menunjukkan larangan bagi wanita untuk menyerupai laki-laki, baik itu dengan cara mengkasarkan suaranya maupun dengan cara meniru gerakan dan pakaian mereka.
Musuh-musuh Islam telah berusaha menggunakan cara yang sangat buruk untuk merusak Islam dan menghancurkan akidah yang bersemayam dalam diri para pemeluknya dengan cara menyebarluaskan pakaian-pakaian wanita yang menyerupai pakaian laki-laki, misalnya celana, kemeja, jaket dan bahkan sepatu. Padahal mereka semua mengetahui bahwa Islam melarang wanita menyerupai laki-laki. Penyerupaan wanita seperti orang laki-laki merupakan awal dari cara perusakan agama Islam dalam diri wanita Muslimah.
Mengapa wanita dilarang melakukan itu ??
Karena mereka mempunyai kedudukan sebagai isteri, saudara dan sekaligus ibu rumah tangga.
Tidak diragukan lagi, sebagai seorang istri, wanita akan memberikan pengaruh terhadap suaminya, saudara dan putera-puterinya. Apabila wanita itu baik, maka akan memberikan pengaruh positif, dan apabila rusak maka akan memberikan pengaruh negatif. Wanita merupakan tiang umat, apabila dia baik maka seluruh umat akan baik dan sebaliknya apabila rusak maka akan rusak pula seluruh umat.
Sedangkan alasan penyerupaan itu, karena penyerupaan wanita seperti orang laki-laki merupakan tindakan yang keluar dari fitrahnya sebagai wanita yang telah diciptakan oleh Allah Azza wa Jalla. Penyerupaan ini termasuk dosa besar, karena adanya laknat bagi pelakunya.
Yang paling selamat bagi setiap wanita Muslimah adalah memelihara fitrah yang telah diciptakan Allah Subhanahu wa Ta'ala baginya, tidak menyerupai laki-laki dalam segala hal, meski dalam hal memakai sandal sekalipun.
Dari Ibnu Abi Malikah, dia berkata : Dikatakan kepada Aisyah Radhiyallahu Anha, "Ada seorang wanita yang memakai sandal". Maka Aisyah berkata. "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat wanita yang menyerupai laki-laki". (Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud (4099) melalui Ibnu Juraij, dari Abu Abi Malikah)

Larangan Memasuki Tempat Pemandian Umum


Amr bin Abdul Mun'im


Yang dimaksud dengan tempat pemandian disini adalah tempat bersih dari yang sekarang banyak dikenal dengan sebutan rumah kecantikan, sauna, tempat pemandian uap, panti pijat dan lain sebagainya.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang kaum wanita meletakkan pakaiannya tidak pada tempatnya. Aisyah Radhiyallahu anha mendasarkan larangan itu pada ketidaksukaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap masuknya wanita ke tempat pemandian umum.
Dari Abu Al-Malih bin Usamah, dia bercerita.
"Ada beberapa wanita Syam yang masuk ke rumah Aisyah Radhiyallahu anha, lalu dia bertanya. "Dari mana kalian ?" Mereka menjawab. "Kami dari penduduk Syam". Aisyah berkata. "Apakah kalian dari kampung di mana wanita-wanitanya sering memasuki tempat pemandian umum ?" Mereka menjawab. "Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata.
"Artinya : Tidaklah seorang wanita yang menanggalkan pakaiannya di tempat selain rumahnya melainkan akan dikoyak tabir antara dirinya dengan Allah Ta'ala". (Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud (4010), Imam Tirmidzi (2803), Imam Ibnu Majah (3750) melalui Salim bin Abi Al-Ja'ad, dari Abu Mulih dengan sanad shahih)
Tetapi banyak wanita pada zaman sekarang ini yang pergi ke tempat-tempat pemandian uap atau sauna. Para penyelenggara tempat pemandian itu tidak memelihara kehormatan kaum wanita dan bahkan tidak menjaga aurat mereka. Lebih dari itu, kebanyakan dari penyelenggara ini adalah orang-orang pengabdi hawa nafsu dan memiliki tujuan-tujuan keji.
Tidak tertutup bagi Anda, wahai wanita Muslimah, pada saat mandi atau singgah di tempat-tempat seperti itu akan melihat para wanita saling melihat aurat mereka satu dengan yang lainnya, bahkan tidak jarang banyak orang laki-laki khususnya penyelenggara tempat-tempat itu yang melihat aurat para wanita yang ada di sana.
Bahkan tidak sedikit dari kaum wanita yang tidak memelihara kehormatan mereka di hadapan Allah Azza wa Jalla, dimana mereka meminta orang laki-laki untuk memijat badan mereka. Semuanya itu merupakan awal dari perbuatan zina. Semoga Allah melindungi kita semua dari perbuatan hina tersebut.
Dalam sebuah hadits disebutkan.
"Artinya : Tempat mandi (umum) haram bagi para wanita umatku". (Diriwayatkan Al-Hakim, isnadnya shahih)
Dari Abu Ayyub Al-Anshary dalam suatu hadits yang panjang yang dimarfu'kan, didalamnya disebutkan.
"Artinya : Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat dari wanita-wanita kau, maka janganlah dia memasuki pemandian (umum)". (Diriwayatkan Ath-Thabrany di dalam Al-Kabir dan Al-Ausath)
Yang harus Anda lakukan, wahai wanita Muslimah adalah menjauhi tempat-tempat mesum tersebut, di mana aurat wanita dan juga laki-laki terbuka lebar, kehormatan pun tidak lagi dihargai. Dan juga Anda harus memperingatkan para wanita yang sering mendatangi tempat-tempat tersebut, karena yang demikian itu merupakan kewajiban amar ma'ruf nahi munkar.

Jumat, 29 Juli 2011

Pendidikan Islam Persepsi Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah


KONSEP  PENDIDIKAN ISLAM
MENURUT IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH
Oleh :  Zainal Arif

A.    BIOGRAFI TOKOH
1.      Biografi Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
Nama  lengkapnya Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’ad bin Haris Az-Zar’I Ad-Damasqy. Laqab-nya adalah Syamsudin. Kunyahnya adalah Abu Abdillah. Beliau lebih terkenal dengan panggilan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.1
Beliau adalah  putra seorang ulama pendiri Madrasah “Al-Jauziat “ (Qayyim Al-Jauziat) di Damaskus. Dari situlah beliau terkenal dengan sebutan Ibnu Qayyim Al-Jauziat.2
Al-Jauziyyah adalah nama sebuah sekolah di Damaskus, yang diambil dari nama pendirinya, yaitu Muhyiddin Abu Mahasin Yusuf bin ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin al-Jauzi. Beliau wafat pada tahun 656 H. Madrasah al-Jauziyyah selesai dibangun pada tahun 652 H, dan sekarang menjadi kompleks perdagangan. Di atasnya terdapat sebuah masjid kecil untuk shalat berjamaah bagi penghuni dan pengunjung pasar al-Bazuriyah saat ini. Ayah beliau bernama Abu Bakar. Dia menduduki posisi yang sangat penting, sebagai pengatur dan penanggung jawab kompleks tersebut, yang mencakup masalah perlengkapan, penyiraman taman, kebersihan, service  lampu dan sebagainya. Ayah Ibnu Qayyim adalah seorang  yang  rajin  beribadah dan  tidak banyak bicara. Beliau wafat pada  bulan  Dzulhijjah tahun 723 H. dan beliau mempunyai andil besar dalam ilmu faraidh, yaitu ilmu pembagian harta warisan.3
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dilahirkan pada tanggal 7 Shafar 691 H atau 4 februari 1292 M di sebuah desa pertanian yang disebut Hauran. Desa ini berada sekitar 55 mil, sebelah tenggara kota Damaskus, Suriah. Kemudian ia merantau ke Damaskus untuk mencari ilmu di sana.4
Dalam menimba ilmu pengetahuan Ibnu Qayyim belajar kepada Ali al-Syihab al-Nablisi al-Qabir, Abi Bakar bin Abd al-Daim al-Qadhi al-Din Salman, Isa al-Mat’am. Ibnu Asakir dan gurunya yang paling berpengaruh baginya yaitu Ibnu Taimiyyah. Justru Ibnu Qayyim menempuh jalan yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyyah dalam memerangi orang yang menyimpang dari agama. Ibnu Qayyim bahkan menyebarkan Ilmu Ibnu Taimiyyah, tetapi ia tidak jarang berbeda pendapat dengan gurunya itu, bila menurutnya sesuatu itu benar dan jelas dalilnya.5
Ibnu Qayyim adalah murabbi yang mulia, telah bekerja di medan tarbiyah dengan seluruh tenaga dan ilmunya. Mak tak heran jika murid-muridnya tersebar dimana-mana. Dan muridnya yang paling terkenal adalah Ibnu Katsir (pengarang Kitab Al-Bidayah wan Nihayah), kemudian Ibnu Rajab (pengarang kitab Ad-Dhail Al-Madzahibil Hanabilah), kemudian Ibnu Abdul Hadi dan anaknya yang bernama Abdullah. Juga termasuk  murid beliau adalah Syamsuddin Muhammad bin Abdul Qadir An-Nabilisy ( pengarang kitab Mukhtasar Thabaqat Hanabilah).6
Ibnu Qayyim  wafat di Damaskus pada 13 Rajab tahun 751 H/1350 M, sepertiga terakhir malam Kamis. Jamaah  yang datang untuk berta’ziyah  sangat banyak, sehingga  prosesi  shalat  jenazah dimulai dari pagi hingga menjelang Zuhur di masjid Jami’ Jarrah. Beliau dimakamkan di pemakaman al-Bab al-Shaghir  dengan diiringi oleh ribuan orang pengantar  jenazah. Banyak orang yang bermimpi beliau dengan mimpi yang baik. Saat menjelang wafat, beliau bercerita bermimpi bertemu dengan Syaikh Ibnu Taimiyah (gurunya). Dia bertanya tentang tempat gurunya di alam kubur, maka Ibnu Taimiyah menjawab bahwa dirinya ditempatkan pada derajat seperti si fulan, dia menyebutkan nama beberapa orang besar, seraya mengatakan, “ Engkau hampir bergabung dengan mereka, akan tetapi engkau berada dalam  satu tingkatan bersama dengan Ibnu Khuzaimah.” Makam Ibnu Qayyim dikenal hingga sekarang. Letaknya di samping Madrasah al-Shabuniyah disisi kiri jalan masuk menuju  pemakamn  al-Bab as-Shaghir  dari arah pintu baru yang diperluas sejak 40 tahun yang lalu.7
2.      Karya-Karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
Salah  satu unsur penting yang umum dijadikan dasar pertimbangan dalam menilai bobot keilmuan seseorang, terutama masa-masa terakhir ini ialah berapa banyak dan sejauh mana kualitas karya ilmiah yang telah dihasilkannya. Dilihat dari perspektif ini, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah  tergolong sebagai seorang penulis yang produktif, disamping seorang pemikir. Berikut ini karya-karya ilmiah Ibnu  Qayyim Al-Jauziyyah, diantaranya:
- Tuhfat al-Maudud bi Ahkami al-Maulud, (Jeddah:Maktabah, tth).
- Miftah Daris Sa’adah, (Kairo: al-Sa’adah, 1323 H).
- A’lam al-Muwaqqi’in ‘An Rabbi al-‘Alamin, (Dar al Kutub al-Ilmiyah, Lebanon, 1313 H).
- al-Jawab al-Kafi Liman Sa’ala ‘an ad-Dawa’I as-Syafi, (Kairo: tp, 1904 M).
- Ighatsat al-Lahafan min Mashayidi asy-Syaithan, (Kairo: tp, 1320 H).
-‘Uddatu ash-Shabirin wa Dzakhiratu as-Syakirin, al-Salafiyah, (Kairo: al-Salafiyah, 1341 H).
- Raudhatu al-Muhibbin wa Nuzhatu al-Musytaqin, (Kairo: tp,1375 H)
- Madarijus Salikin, (Kairo: al-Manas, 1331 H).
- At-Thibbun Nabawi,  (Beirut:Maktabar Al-Manar Al-Islamiyah, 1982 M).
-Ahkamu Ahli Adz-Dzimmah, (Beirut: Darul ‘Ilmi li Malayih, 1961M).
- Amtsal al-Qur’an, (Beirut: Darul Ma’rifah, 1963 M).
- Bada-I’ al-Fawa’id,(Kairo: tp, tth).

B.     KONSEP PENDIDIKAN ISLAM PERSPEKTIF IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH
1.      Pengertian Pendidikan Islam
Sekarang  tibalah  saatnya kita mengkaji pemikiran Ibnu Qayyim mengenai tarbiyah  yang Insya Allah dengan menelaah pandangan beliau akan kita temukan perbandingan antara pemikiran beliau dengan pemikiran pakar tarbiyah lainnya baik segi kesamaan maupun perbedaannya.
Beliau memaparkan pemikirannya mengenai tarbiyah ini, ketika sedang mengomentari tafsiran Ibnu Abbas Ra terhadap kata Rabbani yang ditafsirkan dengan makna tarbiyah, beliau berkata, “ Tafsiran Ibnu Abbas Ra ini dikarenakan bahwa kata Rabbani itu pecahan dari kata tarbiyah yang artinya mendidik manusia dengan ilmu sebagaimana seorang bapak mendidik anaknya. “ kemudian setelah itu beliau menukil pendapat Al-Mubarrad Ra yang  mengatakan, “ bahwa Rabbani adalah seorang  yang mengajarkan ilmu dan mendidik manusia dengan ilmu tersebut. “ Selanjutnya beliau berkata, “Kata Rabbani diartikan dengan makna seperti itu dikarenakan ia adalah pecahan dari kata kerja (fi’il) Rabba-Yarubbu-Rabban yang artinya adalah seorang pendidik (perawat) yaitu seorang yang merawat ilmunya sendiri agar menjadi  sempurna sebagaimana orang yang mempunyai harta merawat hartanya agar bertambah dan merawat manusia dengan ilmu tersebut sebagaimana seorang bapak merawat anak-anaknya.8
Jika kita perhatikan dengan seksama pemikiran  Ibnu Qayyim Rahimahullah mengenai tarbiyah ini, maka bisa kita simpulkan bahwa pemikiran beliau tidak jauh dari makna tarbiyah secara bahasa dan tidak pula berbeda dengan apa yang diistilahkan oleh sebaginan pakar tarbiyah ini, hal sedemikian tidak terlalu mengherankan karena beliau adalah seorang murabbi sejati yang benar-benar paham tentang hakekat tarbiyah dan mengerti bagaimana seharusnya tarbiyah itu dipraktekkan.9
Tarbiyah menurut beliau, mencakup tarbiyah qalb (pendidikan hati) dan tarbiyah badan secara sekaligus. Dan beliau menjelaskan kaifiyah  (cara) mentarbiyah hati dan badan tersebut. Beliau berkata “ Antara hati dan badan sama-sama membutuhkan kepada tarbiyah. Keduanya harus ditumbuhkembangkan dan ditambah gizinya sehingga mampu tumbuh dengan sempurna dan lebih baik dari sebelumnya.10
Definisi tarbiyah yang dinyatakan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah ini mencakup dua makna, yaitu: tarbiyah yang berkaitan dengan ilmu seorang murabbi, yakni sebuah tarbiyah yang dilakukan oleh seorang murabbi terhadap ilmunya agar ilmu tersebut menjadi sempurna dan menyatu dalam dirinya di samping itu pula agar ilmu tersebut terus bertambah. Tarbiyah  seperti  ini diibaratkan sebagai seorang yang berharta merawat hartanya agar menjadi bertambah. Kedua, tarbiyah yang berkaitan dengan orang lain, yakni kerja tarbiyah yang dilakukan oleh seorang murabbi dalam  mendidik manusia dengan ilmu yang dimilikinya dan dengan ketekunannya menyertai mereka agar mereka menguasai ilmu yang diberikan kepadanya secara bertahap. Tarbiyah seperti ini diibaratkan seperti orang tua yang mendidik dan merawat anak-anaknya. 11
2.      Tujuan Pendidikan Islam
Dalam pandangan Ibnu Qayyim Rahimahullah bahwa tujuan tarbiyah yang utama adalah menjaga (kesucian) fitrah manusia dan melindunginya agar tidak  jatuh ke dalam penyimpangan serta mewujudkan dalam dirinya ubudiyah (penghambaan) kepada Allah Ta’ala. Yang demikian itu dikarenakan bahwa Allah Ta’ala  tidak menciptakan hamba-Nya kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Jadi ibadah kepada Allah  adalah  tujuan  utama diciptakannya seorang hamba. Allah Ta’ala  berfirman,
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ  
Dan saya tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariat:56).12 
Demikianlah beberapa tujuan tarbiyah menurut pandangan Ibnu Qayyim Rahimullah yang secara umum dapat kita simpulkan dan kita klasifikasikan menjadi beberapa kelompok, sebagai berikut ini:
a.             Ahdaf Jismiyah ( tujuan yang berkaitan dengan badan)
Maksudnya diadakan tarbiyah adalah untuk menjaga kesehatan badan anak didik, sebagaimana yang diwasiatkan oleh Ibnu Qayyim Rahimahullah kepada orang tua,13
“ Hendaklah bayi yang baru dilahirkan itu disusukan kepada orang lain, karena air susu ibu di hari pertama melahirkan sampai hari ketiga masih bercampur dan kurang bersih serta masih terlalu kasar bagi sang bayi yang hal ini akan membahayakan sang bayi.”
Termasuk dari ahdaf jismiyah  yang  hendak diwujudkan oleh kerja tarbiyah  adalah  selalu memperhatikan anak dan mengawasinya dalam  hal  makan dan minumnya, sebagiman yang diwasiatkan oleh Ibnu Qayyim Rahimullah berikut ini, 14
“Hendaklah para orang tua itu tidak membiarkan  anak-anaknya mengkonsumsi makanan dan minuman yang berlebihan, hal itu demi menjaga terbentuknya pencernaannya dan keteraturan cara kerjanya, yang sudah diketahui bahwa sehatnya badan itu tergantung pada tepatnya (teraturnya) kerja pencernaan tersebut. Dengan tidak terlalu banyak mengkonsumsi makanan dan minuman akan mengurangi penyakit, karena dalam tubuh tidak terdapat timbunan sisa-sisa makanan.”
b.            Ahdaf Akhlakiyah (tujuan yang berkaitan dengan pembinaan akhlak)
Menurut  Ibnu  Qayyim Rahimullah, kebahgiaan akan bisa diraih dengan terhiasinya diri dengan akhlak mulia dan terjauhkannya dari akhlak  buruk. Oleh  karena itu beliau sangat wanti-wanti menasehati para murabbi (pendidik) agar tidak memberi kesempatan kepada anak didiknya untuk berkhianat dan berbohong, sebab khianat dan kebohongan akan merusak bangunan kebahagiaan jiwanya, sebagaimana pernyataan beliau kepada orang tua berikut ini, 15
Jika sekali saja terbuka kesempatan bagi seorang anak untuk berbuat bohong dan khianat, maka akan hancurlah kebahagiaannya, baik di dunia maupun di akhirat, dan anak tersebut akan terhalangi untuk mendapatkan seluruh kebaikan yang semestinya dapat diraihnya, jika ia tidak berbohong dan berkhianat.”
c.             Ahdaf  Fikriyah (tujuan yang berkaitan dengan pembinaan akal)
Tarbiyah yang baik ialah yang bertujuan untuk membina dan menjaga anak dan pemikiran anak didiknya. Ibnu Qayyim Rahimullah menyebutkan masalah ini dalam sebuah pernyataan berikut ini, 16 “Yang perlu diperhatikan oleh para murabbi adalah agar mereka sama sekali tidak memberi kesempatan kepada anak didiknya untuk berinteraksi dengan sesuatu yang membahayakan dan merusak akalnya, seperti; minum-minuma yang memabukkan atau narkoba, dan hendaknya anak didik dijauhkan dari pergaulan denganorang-orang yang dikhawatirkan akan merusak jiwanya, dan dijauhkan dari melakukan pembicaraan dan memegang sesuatu yang akan merusak jiwanya, sebab semua itu akan menjatuhkannya ke lembah kehancuran.”
Ketahuilah, jika sekali saja terbuka kesempatan bagi sang anak untuk melakukan perbuatan tersebut, maka akan terbiasa melakukan perbuatan yang hina dan kotor (seperti; zina, mucikari, dan sebagainya), padahal tidaka akan masuk surga orang-orang yang berbuat zina.”17
d.            Ahdaf Maslakiyah (tujuan yang berkaitan dengan skill)
Dalam pandangan Ibnu Qayyim Rahimullah, tarbiyah harus memiliki tujuan menyingkap bakat dan keahlian (skill) yang tersimpan dalam diri seorang anak. Kemudian setelah diketahui bakat anak didiknya, maka segera diadakan pembinaan dan pengarahan kepada bidang-bidang yang sesuai dan baik yang akan mewujudkan kemaslahatan diri dan umat manusia secara keseluruhan.18 Apa yang menjadi pemikiran beliau ini bisa kita lihat dalam sebuah pernyataanya berikut ini, beliau berkata, “Di antara hal yang seharusnya diperhatikan adalah potensi dan bakat  yang dimiliki oleh masing-masing anak. Sebab ia dilahirkan dengan membawa bakat masing-masing. Asal jangan menggiring anak kepada sesuatu yang diharamkan syariat. Jika anak dipaksa melakukan atau menekuni sesuatu yang tidak menjadi bakat atau kecenderungannya, maka ia tidak akan berhasil, bahkan bias kehilangan bakatnya.”19
3.      Sasaran Pendidikan Islam
Adapun sasaran tarbiyah atau yang lebih tepat dikatakan sisi-sisi yang  hendak digarap oleh tarbiyah menurut murabbi yang agung ini sangat banyak macamnya, diantaranya adalah: tarbiyah imaniyyah, tarbiyah  ruhyiyah, tarbiyah fikriyyah, tarbiyah ‘athifiyyah (perasaan), tarbiyah khulukiyyah (akhlak), tarbiyah ijtimaiyyah, tarbiyah iradiyyah (kehendak), tarbiyah badaniyyah dan tarbiyah jinsinyyah.
a.            Tarbiyah Imaniyyah
Tarbiyah imaniyah itu ialah sejumlah kegiatan dan pekerjaan yang dilakukan oleh murabbi terhadap anak didiknya dalam menjaga iman mereka, meningkatkan kualitas dan menyempurnakannya. Hal ini berdasarkan pernyataan Ibnu Qayyim berikut ini, 20
“Hati dan badan manusia sangat butuh kepada pendidikan agar keduanya mampu berkembang dan bertambah hingga meraih kesempurnaan dan kebaikan.”
Jadi, tarbiyah imaniyah ialah usaha untuk menjadikan anak didik sebagai seorang yang patuh mengerjakan seluruh perintah Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah SAW. 21
Berangkat dari pengertian tarbiyah imaniyah di atas, maka kita dapat menentukan ghayah (tujuan) dari tarbiyah imaniyah, yaitu sebagai berikut:
1.      Menghambakan manusia hanya kepada Allah SWT, karena Allah tidak menciptakan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya.
2.      Mewujudkan pribadi-pribadi shalih yang hanya beriman kepada Allah Ta’ala  dan memiliki seperangkat ilmu yang bermanfaat, kemudian ilmu tersebut dibuktikan dengan amal shalih.
3.      Mengakui bahwa ubudiyah yang dilakukan dengan ketundukan dan rendah diri yang sempurna dengan kecintaan yang sempurna pula adalah salah satu tuntutan uluhiyah Allah Ta’ala. 22
4.      Menjaga dan melindungi lisan, anggota badan dan detak hati dari setiap sesuatu yang mendatangkan kemarahan Allah Ta’ala .
5.      Menjadikan seluruh gerak dan aktivitas seseorang selaras dengan ridha Allah SWT.23 
Sedangkan sarana-sarana dalam mendidik iman menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah adalah sebagai berikut:
a)      Mentadaburi tanda-tanda kekuasaan Allah dan Dzat Pencipta serta luasnya Rahmat dan Hikmah perbuatan-Nya.
b)      Mengingat kematian.
c)      Mendalami makna ibadah, bahwa ibadah adalah salah satu sarana tarbiyah imaniyah.24
b.      Tarbiyah Ruhiyyah
Ibnu Qayyim  Rahimullah  memiliki perhatian  yang besar pada tarbiyah  ruhiyah. Hal ini terbukti dari beberapa kitab  karangannya ada yang berjudul “Ar-Ruh” yang khusus membahas seluk beluk ruh atau dari lembaran-lembaran kitab karangannya yang lain beliau menyelipkan di dalamnya bahasan Ar-Ruh.
Ibnu Qayyim mendefinisikan ruh ini dengan berkata, 25 “Ruh adalah jism (dzat) yang bentuk dan hakekatnya berbeda dengan jism manusia yang bisa ditangkap indera, ia adalah jism yang bersifat cahaya (nurani) yangs angat tinggi, ringan, bergerak dan melebur di dalam badan dan seluruh anggotanya, ia mengalir di dalam badan, layaknya aliran air di sungai atau layaknya api di dalam bara
Jadi jelaslah bahwa ruh menurut Ibnu Qayyim adalah benda (jism) yang tercipta, yang memiliki bentuk dan dzat sendiri dan memiliki sifat dan kekhususan yang berbeda dengan badan, ia tidak bisa ditangkap panca indera hanya efek kerja dan atsarnya pada badan manusia yang bisa disaksikan.26
Ibnu Qayyim Rahimullah berpendapat bahwa kesempurnaan ruh (nafs) yang menjamin kebahagiaannya hanya ada pada makrifahnya tentang Allah, mencintai-Nya, lebih mementingkan keridhaan-Nya daripada kesenangan syahwat dan hawa nafsu. Beribadah kepada-Nya dan menaati seluruh perintah-Nya. Yang demikian itu adalah tujuan tertinggi dari tarbiyah ruhiyah menurut Ibnu Qayyim Rahimullah.27
Sarana-sarana dalam mendidik ruh adalah sebagai berikut:
1.   Memperdalam iman kepada hal-hal yang ghaib.
2.   Kembali kepada Allah dan sibuk dengan hal-hal yang diridhai-Nya.
3.   Mencintai Allah Dzat yang menciptakan seluruh jiwa dan makhluk yang ada. Bahkan kesempurnaan nikmat dan kebahagiaan ruh hambanya ada dalam mahabatullah.28
4.   Dzikir mengingat Allah dan mendirikan shalat.
5.   Melakukan munasabah (Introspeksi diri) setiap hari sebelum tidur.29
c.       Tarbiyah Fikriyah
Akal adalah alat yang menggerakkan badan dan seluruh anggota tubuh dan yang  menentukan baik dan  rusaknya badan, jika ia baik maka baiklah seluruh badan tetapi jika rusak maka rusaklah seluruh badan. Ibnu Qayyim mengatakan, “Akal adalah raja, sedang ruh, panca indera dan seluruh anggota badan adalah sebagai rakyatnya. Jika akal  rusak maka kehancuranlah yang akan dirasakan oleh seluruh rakyatnya”. 30
Sedangkan yang dimaksud dengan tarbiyah fikriyyah adalah mengerahkan daya dan kemampuan untuk mengembangkan akal (daya pikir), mendidik dan meluaskan wawasan dan cakrawala berpikir, baik kemampuan ini dikerahkan oleh murabbi dengan mentarbiyah orang lain atau dikerahkan oleh individu terhadap dirinya sendiridalam rangka mengembangkan dan mendidik akal pikirannya serta meluaskan cakrawala berpikirnya.31
Ibnu Qayyim Rahimullah banyak memiliki metode dan cara untuk mendidik pikiran. 32 Diantaranya adalah:
a)      Dengan mentadabburi dan memperhatikan makhluk-makhluk Allah dan tanda-tanda kekuasaan-Nya dengan mata bashirah untuk mengetahui keagungan-Nya, kebesaran kekuasaan-Nya dan kelembutan kebijaksanaan-Nya.
b)      Dengan mentadabburi ayat-ayat Allah Ta’ala yang terbaca, yaitu Al-Qur’an dan mentadabburi syari’at-Nya yang diturunkan kepada manusia.
c)      Dengan menjalani semua perintah Allah dan istiqamah di atas manhaj-Nya.
d)     Meningkatkan kewaspadaan terhadap adanya rintangan yang menghalangi perkembangan pikiran, dan mewaspadai bahaya maksiat.
e)      Bukti perhatian Ibnu Qayyim terhadap perkembangan akal manusia adalah celaan dan pengingkaran beliau terhadap budaya taklid, karena taklid ini akan membekukan akal dan pikiran dan mengosongkan dari aktivitas yang bermanfaat.
d.      Tarbiyah ‘Athifiyyah
Tarbiyah ‘athifiyyah adalah sebuah tarbiyah yang mengarahkan setiap perbuatan dan perkataan individu ke arah yang diridhai Allah, sebagai realisasi dari firman-Nya,
ö@è% ¨bÎ) ÎAŸx|¹ Å5Ý¡èSur y$uøtxCur ÎA$yJtBur ¬! Éb>u tûüÏHs>»yèø9$# ÇÊÏËÈ  
Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (Al-An’am: 162).
Demikian juga bahwa tarbiyah ‘athifiyah ini mendorong manusia agar mengarahkan perasaan cintanya hanya kepada Allah Azza Wajalla,  hingga ia mampu merangkak naik bersama perasaan dan instinknya ke derajat yang menjadikannya sebagai wali Allah Ta’ala.33
Ada beberapa metode dan cara untuk memperdalam cinta kepada Allah dan ubudiyah kepada-Nya di dalam hati, diantaranya adalah:
a)      Menanamkan perasaan bahwa seorang hamba sangat membutuhkan Allah, bukan yang lain..
b)      Beribadah kepada Allah dengan nama-Nya yang Mahaawal, Yang Mahaakhir, Yang Mahazhahir dan Mahabatin.
c)      Menanamkan perasaan bahwa dia sangat butuh kepada hidayah Allah dan menanamkan kefakiran kepada-Nya.
d)     Menanamkan pengetahuan dan kesadaran  atas nikmat-nikmat Allah kepada manusia.
e)      Menanamkan ilmu pengetahuan bahwa cinta kepada Allah adalah tuntutan iman. 34
e.       Tarbiyah Khulukiyah
Yang dimaksud dengan tarbiyah khulukiyah adalah melatih anak untuk berakhlak mulia dan memiliki kebiasaan yang terpuji, sehingga akhlak dan adat kebiasaan tersebut terbentuk menjadi karakter dan sifat yang tertancap kuat dalam diri anak tersebut, yang dengannya sang anak mampu meraih kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat dan terbebas dari jeratan akhlak yang buruk.35 Ketahuilah sesunguhnya seorang anak itu berkembang di atas apa yang dibiasakan oleh murabbi terhadapnya di masa kecilnya.36
Menurut Ibnu  Qayyim, sumber tarbiyah khulukiyah itu adalah: pertama, Kitabullah (Al-Qur’an), sebuah kitab yang menjadi panduan dalam pendidikan umat yang telah disifati Allah sebagai sebaik-baik umat,37 firman-Nya,
öNçGZä. uŽöyz >p¨Bé& ôMy_̍÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 ÇÊÊÉÈ  
Kalian adalah sebaik-baik umat yang yang dikeluarkan untuk manusia.” (Al-Imran: 110)
Kedua, sumber mata air yang menjadi penyiram bagi ladang tarbiyah khulukiyah adalah Sunnah Rasulullah sekaligus sirah perjalanan beliau yang merupakan praktek amali bagi ajaran Islam. Rasulullah Saw teladan dalam berakhlak mulia dan beliau adalah puncak semua akhlak mulia.38
Tujuan tarbiyah khulukiyah menurut Ibnu Qayyim adalah merealisasikan ubudiyah kepada Allah yang menjadi sebab utama bagi kebahagiaan manusia, yang karenanya Allah menciptakan manusia, memuliakan dan menjadikannya khalifah di muka bumi. Tiada kebahagiaan dan tiada keberuntungan bagi manusiakecuali dengan menjauhkan diri dari akhlak tercela dan menghiasi diri dengan akhlak yang utama, sesungguhnya orang yang mengotori dirinya dengan akhlak yang tercela dan rusak, sungguh dia telah membuang kebahagiaan dunia dan akhiratnya.39
Termasuk dari metode tarbiyah khulukiyah menurut Ibnu Qayyim adalah:
1.      Uslub takhliyah (pengosongan) dan tahalliyah (menghiasi diri)40
2.      Mengaktifkan dan menyertakan anak dalam berbuat baik dan al-birr
3.      Uslub pelatihan dan pembiasaan
4.      Memberi gambaran yang buruk tentang akhlak tercela
5.      Menunjukkan buah yang baik berkat akhlak yang baik.41

f.    Tarbiyah Ijtimaiyyah
Tarbiyah  ijtima’iyyah yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim ini bertujuan membangun hubungan yang kuat antara individu sebuah masyarakat dengan menerapkan sebuah ikatan yang terbangun di atas kecintaan sebagai realisasi sabda Nabi Saw.yang berbunyi,
لاَيُؤْمِنُ أَحَدَ كُمْ حَتَّى يُحِبُّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ .
“Tidaklah sempurna iman salah seorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya sbagaimana mencintai dirinya sendiri.” (Hadits Shahih diriwayatkan Bukhari). 42
Tarbiyah ijtima’iyyah yang baik, menurut Ibnu Qayyim, ialah yang selalu memperhatikan perasaan orang lain, mengajak mereka agar  ikut membahagiakan dan menyenangkan hati saudara-saudaranya.
Kemudian beliau menyebutkan tentang hak-hak bermasyarakat, di antaranya adalah bahwa orang yang sakit itu memiliki hak untuk diziarahi. Termasuk faedah  ziarah yan manfaatnya kembali kepada orang yang sakit adalah, ziarah mampu  mengembalikan kekuatannya, membangkitkan kebahagiaan jiwanya, menyenangkan hatinya dan mendatangkan sesuatu yang menggembirakan orang yang sakit.43
Ibnu Qayyim berwasiat kepada orang tua dan murabbi yang bertangung  jawab atas urusan seorang anak agar mereka menjauhkan anak-anaknya dari tempat-tempat yan tersebar di dalamnya kemungkaran dan kesesatan, karena sesunguhnya seorang anak itu dalam keadaan fitrahnya, suci jiwanya dan bersih hatinya ibarat lembaran  putih yang  bisa ditulisi apa saja di dalamnya.
Perlu diketahui bahwa pada dasarnya berinteraksi dengan masyarakat  itu  tidak  berbahaya, namun terlalu lama  membiarkan anak berinteraksi dengan masyarakat akan dapat mendatangkan kerugian yang besar kepadanya dan terhalangi untuk mendapatan kebaikan dunia dan akhirat.
Demikianlah dasar-dasar bermasyarakat yang agung, yang jika setiap individu masyarakat mau mempraktekkannya, niscaya akan tersebar kebersamaan dan persaudaraan serta keamanan di semua lini masyarakat tersebut, dan niscaya ikatan masyarakat tersebut terjalin kuat sebagaiannya menguatkan sebagian yang lain dan saling menopang antara sebagian yang lain.44
g.      Tarbiyah Iradiyyah (Kehendak)
Menurut Ibnu Qayyim Rahimullah, kedudukan iradah (kehendak)  bagi  jiwa manusia sangat agung  dan  menentukan,  karena iradah berperan sebagai  mesin  penggerak untuk beramal. Dan kebahagiaan itu terbangun di atas dua pondasi, yaitu: ilmu dan iradat.45
Ibnu  Qayyim  menjelaskan bahwa iradah itu bermacam-macam dan ada awalnya, sedang awal bagi iradah menurut beliau adalah al-ham (kecenderungan). Adapun tingkatan iradah dan macam-macamnya ini sesuai dengan variabel dan dorongannya,  jika sebab dan dorongannya adalah mahabbatullah dan keinginan untuk melaksanakan perintah-perintahNya, maka ia merupakan tingkatan iradah yang tertinggi, dan  jika dorongan  itu hanya sekedar  nafsu dan keinginan sang  pemiliknya (manusia) maka ia adalah iradah yang paling rendah.46
Tanda iradah yang sehat adalah ketika seseorang memasuki waktu pagi dan petang, sedang dalam ahlinya tidak terlintas selain kehendak untuk menghadap selain Allah Ta’ala. Sedangkan Iradah yang rusak akan  lahir dalam bentuk penyakit ilmu, pengetahuan, dan  keahlian  yang  berlawanan  dengan syari’at Allah.47
Adapun sarana tarbiyah iradiyyah ini banyak sekali macamnya, di antaranya mencintai sesuatu yang diridahi, karena cinta adalah pendorong yang kuat yang menghantarkan seseorang kepada kekasih yang diiradahi dan dicintai, tabah menghadapi penderitaan dan cobaan dalam meniti jalan menuju yang diiradahi serta sabar di dalamnya, melatih jiwa agar bersungguh-sungguh dalam beramal.48
h.      Tarbiyah Badaniyyah
Tarbiyah badaniyyah yaitu usaha dalam mentarbiyah badan dengan memberi gizi, pengobatan dan olah raga. Gizi harus diperhatikan macam dan jumlah yang dibutuhkan dan pengobatan bisa terjadi dari gizi yang diberikan atau dengan obat yang berdosis sedang, kemudian dengan yang berukuran tinggi, tetapi yang paling baik adalah yang pertama; yaitu dengan gizi, sedang yang paling berbahaya adalah yang ketiga yaitu obat yang berdosis tinggi. Olah raga adalah sarana yangtepat dalam tarbiyah badaniyyah, tetapi dengan syarat harus jauh dari unsur berlebih-lebihan, dan hendaknya dilakukan di waktu yang sesuai dengan badan dan kondisinya dan perlu diketahui bahwa olahraga adalah sarana untuk taat kepada Allah, jadi buka tujuan utama.
Dalam tarbiyah riyadhiyyah (olah raga) harus diperhatikan adab dan etikanya :
1.      Orang yang melakukan olah raga harus dalam keadaan bersyukur kepada Allah.
2.       Penuh ketenangan dan ketentraman.
3.      Memiliki akhlak Islami yang utama.
4.      Selalu memohon taufik dan kebenaran dalam setiap aktivitasnya.
5.      Tidak mendendam, menghina dan menertawakan lawan mainnya.49
Sarana yang tepat bagi tarbiyah riyadhiyah adalah syiar (bentuk) ta’abuddiyah yang telah diperintahkan Allah atas hamba-hamba-Nya, seperti: shalat, puasa, jihad dan haji. Jika semua ini dikerjakan dengan ikhlas karena Allah maka semua itu akan bermanfaat bagi ruh dan badan.
i.     Tarbiyah Jinsiyyah
Tarbiyah jinsiyyah (pendidikan sex) yaitu usaha untuk melindungi seorang Muslim dari penyimpangan sexual, hingga terjaga dari hal-hal yang diharamkan dan hanya cukup dengan apa yang dihalalkan.50
Adapun hal-hal yang mampu mengarahkan anak didik ke dalam penjagaan yang seperti itu adalah:
1)      Mengetahui nilai sperma, bahwa ia tidak boleh dikeluarkan kecuali dalam rangka mencari keturunan.
2)      Barang siapa yang tidak mampu menahan gejolak syahwatnya, sementara dia tidak mampu menikah, maka wajib atasnya puasa, karena puasa adalah obat yang terbaik baginya.
3)      Menjauhkan diri dari berlebih-lebihan dalam melakukan hubungan sexual karena hal itu akan membahayakan kesehatannya.
Sedang sarana tarbiyah jinsiyyah bayak macamnya. Sarana preventif berupa:
1)      Memberi peringatan dan penjelasan tentang bahaya dan kerusakan yang ditimbulkan oleh perbuatan liwath (homosexual).
2)      Menanamkan kenyakinan akan adanya muraqabatullah (pengawasan Allah).
3)      Memperhatikan dan senantiasa menjaga pandangan mata, pikiran, pembicaraan (lisannya) dan setiap langkahnya agar tidak tertuju sedikitpun ke arah yang diharamkan Allah Ta’ala.
4)      Menjauhkan anak-anaknya dari sifat malas, suka menganggur, dan tidak mau bekerja.sebaliknya hendaknya para orang tua senantiasa menyibukkan anaknya dengan sesuatu yang bermanfaat dalam mengisi waktunya.51
Sarana kuratif (penyembuhan), terdiri dari:
1)      Meredam gelora syhawat dengan mengurangi   makanan yang mengandung unsur pembangkit syahwat, dan meredam dorongan nafsu dengan puasa.
2)      Mengendalikan pandangan mata.
3)      Menghibur diri dengan hal-hal yang mubah sebagai pengganti dari hal-hal yang diharamkan.
4)      Memikirkan kerusakan-kerusakan yang akan terjadi di dunia, jika ia melampiaskan syahwatnya.
5)      Mengobati ruh dengan menjalankan ibadah dan menguatkan pendorong-pendorong dien.52
Demikianlah sebagian obat mujarab dan sarana kuratif bagi penyakit syahwat yang akan mematikan diri dan hati seseorang. Semua ini dengan jelas diterangkan dan dikupas oleh seorang murabbi yang piawai, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah Rahimahullah.


4.      Pendidik dan Peserta Didik
a.      Pendidik
1)         Pengertian Pendidik
Ibnu Qayyim menyebut pendidik dengan sebutan alim rabbani. Beliau mengadopsi dari pemikiran para sahabat Nabi dan para Ulama. Beliau menukil pendapat Ibnu Abbas bahwa alim rabbani adalah mu’allim yang menekuni dunia pendidikan atau yang berprofesi mendidik manusia dengan ilmu, sebagaimana seorang ayah mendidik anaknya.  Juga pendapat Al-Wahidi, bahwa kata rabbani dinisbatkan kepada Tuhan yang memiliki arti takhshish (pengkhususan) sebagai ilmu yang mengajarkan syariat  dan sifat-sifat Allah SWT. Beliau juga menukil pendapat Al-Mubarrad, rabbani adalah yang mengajarkan ilmu, mendidik manusia, dan memperbaiki mereka. Masih menurutnya, rabbani berasal dari kata rabba-yurabbi-rabban, artinya yurabbihi (mendidik) dinisbatkan pada kata tarbiyah (pendidikan) yang berarti mengembangkan ilmu supaya menjadi sempurna, seperti pemilik modal yang ingin mengembangkan hartanya dan orang-orang yang ingin mengembangkan anak-anaknya.
Jadi menurut Ibnu Qayyim, seorang alim tidak disifati akan dengan rabbani, kecuali benar-benar mengamalkan dan mengajarkan ilmunya.53
2)      Adab-adab Pendidik
1.      Pendidik itu harus zuhud.
2.      Memiliki pemahaman yang mendalam tentang agama.
3.      Mau mendakwai manusia kepada cahaya petunjuk, bersabar serta mau menghidupkan hati manusia dengan ilmu dan Al-Qur’an.
4.      Pendidik itu harus berhati-hati dalam memberi fatwa.
5.      Termasuk dari sifat-sifat  pendidik ialah tasabbut (hati-hati) dalam menjawab  sesuatu yang ditanyakan kepadanya, sebelum  ia menjawab atau membahasnya.
6.       Pendidik harus haus terhadap ilmu bahkan rela berpergian jauh dalam rangka mencari dan menambah ilmunya.
7.      Pendidik harus selalu mengamalkan  ilmunya.
8.      Pendidik harus memiliki sifat khasyatullah (takut kepada Allah)..
9.      Pendidik itu harus i rindu dan cinta kepada ilmu.
10.  Pendidik hendaknya senantiasa teratur dalam proses belajar dan mengajar.54
3)      Adab Murabbi Terhadap Murid
Sifat dan adab seorang murabbi terhadap anak didiknya antara lain:
1.Kasih sayang kepada yang kecil dan selalu menghibur mereka, menganggap mereka sebagai anaknya dan menjadikan dirinya sebagai bapaknya, yang demikian itu dalam rangka menanamkan kepercayaan mereka kepada dirinya dan untuk menanamkan kebahagiaan dalam diri anak kecil demi mencontoh Rasulullah Saw, seorang murabbi yang paling agung.
2.Seorang murabbi yang sukses ialah yang merealisasikan wasiat Rasulullah SAW mengenai perintah agar selalu memperhatikan anak didiknya.  Sesunggunya Nabi SAW mewasiatkan kepada para pencari ilmu dengan kebaikan dan keutamaan.
3.Pendidik  juga bertanggung jawab untuk mengawasi amaliah anak didiknya dan akhlak mereka di majlis ilmunya.
4.Seorang murabbi harus bersikap adil kepada anak didiknya sehingga dalam memberikan pelajaran kepada mereka.
5.Seorang murabbi hasrus mengenal karakter dan kecerdasan anak didiknya. Dan mau menerima pendapat dari muridnya jika itu menambah ilmu si murabbi.
6.Kasih sayang dan kelembutan seorang murabbi kepada anak didiknya, namun tidak berarti menghalanginya untuk memberi  hukuman kepada mereka jika memang hukuman itu diperlukan, tetapi dengan syarat hukuman itu harus sesuai dengan kesalahan dan kondisi anak, tidak sampai melampaui batas kewajaran.55
b.      Peserta Didik
1)      Pengertian Peserta Didik
Ibnu Qayyim menyebut peserta didik dengan sebutan  mu’allim. Menurut beliau mu’allim adalah orang-orang yang mencari ilmu demi mendapatkan keselamatan dirinya sendiri. Orang seperti ini ikhlas dalam mencari ilmu. Ia termasuk orang yang mempelajari hal-hal yang bermanfaat dan mengerjakan apa yang dipelajarinya karena memang harus demikian jika orang yang mencari ilmu mengharapkan keselamatan (keberhasilan).55
2)   Adab-adab Peserta Didik
a)      Akhlak Seorang Murid
1.      Hendaklah para pelajar menjauhi kemaksiatan dan senantiasa menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan untuk dipandang.
2.      Para pelajar hendaklah mewaspadai tempat-tempat yang menyebarkan lahwun (kesia-siaan) dan majlis-majlis keburukan.
3.      Hendaknya para pelajar menjauhi bid’ah.
4.      Hendaklah para pelajar senantiasa menjaga waktunya.
5.      Dan janganlah sekali-kali mengatakan sesuatu yang tidak memiliki ilmu tentangnya.
6.      Hendaklah mereka senantiasa menghiasi dirinya dengan kejujuran dan amanah ilmiah serta mengetahui kemampuan diri sendiri dan tidak membanggakan diri di depan orang lain dengan yang tidak dimilikinya.
7.      Hendaklah diketahui oleh setiap pelajar bahwa hanya dengan ilmu derajat seseorang tidak bisa terangkat kecuali jika ilmu tersebut diamalkan.
8.      Jika para pelajar menghendaki ilmunya selalu terjaga dan tidak mudah hilang, hendaklah ia segera mengamalkan ilmu yang dimilikinya.
9.      Wajib atas para pelajar untuk memiliki pemahaman yang baik dan niat yang lurus, supaya hatinya terjauhkan dari noda-noda bid’ah dan penyimpangan dalam pemikiran.
10.  Pelajar harus mempunyai sifat hikmah
11.  Sepatutnya para pelajar senantiasa mengingat pahala yang besar dalam mencari ilmu. Agar menjadi pendorong baginya untuk senantiasa giat mencari ilmu. 56
b)     Adab Murid kepada Gurunya
1.      Seorang murid hendaklah  selalu mulazamah (menyertai) gurunya berusaha mengambil faedah darinya, sebab ilmu itu adalah sunnah yang diikuti dan diambil dari lisan para ulama.
2.      Seorang murid jika sudah mulazamah kepada seorang guru, hendaklah ia senantiasa menuruti nasehat dan petunjuknya. 
3.      Wajib atas seorang pelajar untuk melembutkan suaranya ketika bertanya dan tidak sekali-kali mendebat gurunya dengan keras dan hendaklah senantiasa tekun mendengarkan keterangannya dan serius di dalamnya.
Demikian sikap dan adab seorang murid terhadap gurunya, yang semoga dengan adab dan kelemahlembutan seperti itu menjadikan sang guru rela mengajarkan ilmu yang dimilikinya. 57
  1. Lembaga Pendidikan Islam
Tarbiyah yang diserukan oleh Ibnu Qayyim adalah tarbiyah yang dijelaskan  rambu-rambu dan  manhajnya, bersandar kepada manhaj Allah yang suci dan bersumber dari mata air-Nya yang tiada pernah kering: kitabullah Al-Qur’an Al-Karim dan sunnah Nabi-Nya yang mulia. Ia adalah  tarbiyah yang dinamis, yang mendidik individu dan menjadikannya mampu berinteraksi dengan masyarakat Mukmin yang dia hidup di dalamnya, dan yang menjelaskan tanggung jawab setiap lembaga social kemasyarakatan terhadap pendidikan. Keluarga mempunyai peranan agung dalam tarbiyah, karena keluargalah yang membentuk dan mencetak kepribadian anggota masyarakat yang memiliki karakteristik khusus sebagai simbol dari akhlak dan perilaku kedua orang tuanya, saudara-saudaranya dan seluruh anggota keluarganya. Setiap individu dalam sebuah keluarga memiliki pengaruh dan bisa dipengaruhi, mengambil dan memberi.
Masjid juga memiliki peran agung dalam pendidikan masyarakat. Lembaga pendidikan ini lebih besar perannya dalam mendidik masyarakat dan memperluas wawasan keilmuwan mereka. Nabiyullah Muhammad telah memperkenalkan kepada kita tentang urgensi masjid dalam pendidikan umat. Sehingga pekerjaan pertama kali yang beliau kerjakan setelah hijrah ke Madinah adalah membangun Masjid, sebagai tempat ibadah, balai pertemuan untuk memusyawarahkan urusan umat, sekaligus sebagai tempat pendidikan. Baru setelah itu, beliau mempersaudarakan antara Kaum Muhajirin dengan Kaum Anshar.
Di masa kecermelangan umat Islam masjid juga memiliki peran aktif dan dinamis dalam dunia tarbiyah da ta’lim, di samping peran-perannya yang lain. Jika masjid telah kehilangan sebagian besar perannya, maka hilang pulalah risalah dan tujuan pembangunannya, da tinggallah ia sebagai tempat mendirikan shalat yang dibuka pintunya beberapa menit sebelum waktu shalat, kemudian dikunci lagi setelah shalat selesai. Ketika peran masjid hanya sebatas itu, maka setiap individu masyarakat menjadi laksana kawanan domba di tengah malam yang sedang diguyur  hujan deras. Kemudian di sisi lain kita mendengar suara-suara gamang dari seminar-seminar dan diskusi-diskusi yang bertemakan “Mengembalikan Peran  Masjid” yang digelar  di balik gedung-gedung tinggi. Kita tetap berharap agar seminar-seminar tersebut bukan hanya sekedar suara yang keluar dari lisan kemudian mampir di telinga tanpa ada pembuktiannnya.
Sekali-kali jangan mengharap datangnya izzzah  (kemuliaan)  di dunia. Kekuasaan di bumi dan kedududkan tinggi di sisi Allah, kecuali jika kita benar-benar tahu tentang peranan masjid dalam dunia tarbiyah dan ta’lim, kemudian kita fungsikan masjid tersebut dengan risalah pembangunannya dan kita buka peluang seluas-luasnya bagi masjid tersebut untuk menyampaikan dan melaksanakan perannya.
Jika keluarga, masjid, lembaga sosial kemasyarakatan memiliki peran yang sangat besar dalam dunia tarbiyah dan ta’lim, maka tak kalah besarnya peran para ulama, karena di tangan para ulamalah perjalanan tarbiyah dan ta’lim akan lancar.58


1 Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim,Teremahan Muzaidi Hasbullah, (Jakarta : Al-Kautsar, 2001), h.1.
2 A. Susanto M.Pd., Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta : Amzah, 2009), h.32.
3Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Al-Jawab Al-Kafi: Mengetuk Pintu Ampunan Meraih Berjuta Anugerah, terjemahan Futuhal Arifin, ( Jakarta : Gema Madinah Makkah Pustaka, 2007), h.395.
4 Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Kunci Surga: Mencari Kebahagiaan Dengan Ilmu, terjemahan Abdul Matin dan Salim Rusydi Cahyono,  ( Solo : Tiga Serangkai, 2009), 707.
5 Departemen Agama, Ensiklopedia Islam di Indonesia, (Jakarta : CV. Anda Utama, 1993), h.403.
6 Hasan bin Ali Hasan  Al-Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim,Terjemahan Muzaidi Hasbullah,( Jakarta : Al-Kautsar, 2001), h.11.
7 Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Al-Jawab Al-Kafi: Mengetuk Pintu Ampunan Meraih Berjuta Anugerah, terjemahan Futuhal Arifin, ( Jakarta : Gema Madinah Makkah Pustaka, 2007), h.405-406.
8 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Miftah Darus Sa’adah: Kunci Surga Mencari Kebahagiaan dengan Ilmu, terjemahan Abdul Matin dan Salim  Rusydi Cahyono, ( Solo: Tiga Serangkai, 2009), h.281.
9 Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim,Terjemahan Muzaidi Hasbullah, (Jakarta: Al-Kautsar, 2001), h.76.
10 Ibnu Qayim Al-Jauziyah, Ighatsanu Lahfan min Mushahidis Syetan, (Kairo: tp, 1320 H), Juz I, h.46.
11Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim,  terjemahan Muzaidi Hasbullah, (Jakarta: Al-Kautsar, 2001), h.77.
12Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Miftah Darus Sa’adah: Kunci Surga Mencari Kebahagiaan dengan Ilmu,terjemahan Abdul Matin dan Salim  Rusydi Cahyono,  ( Solo: Tiga Serangkai, 2009), h.8.
13Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul Maudud Bi Akmamil Maulud: Bingkisan Kasih Untuk si Buah Hati, terjemahan Abu Umar Basyir al-Maedani, (Solo: Pustaka Arafah, 2006), h.84.
14 Ibid, h.142.
15 Ibid, h.145.
16 Ibid,  h.146.
17 Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim, terjemahan Muzaidi Hasbullah,  (Jakarta: Al-Kautsar, 2001), h.87.
18 Ibid.
19 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul Maudud Bi Akmamil Maulud: Bingkisan Kasih Untuk si Buah Hati, terjemahan Abu Umar Basyir al-Maedani,  (Solo: Pustaka Arafah, 2006), h.147.
20 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ighasatul Lahfan min Mashidis Syaithan,( Kairo : Daar Ibnul Jauzi, 1320 H),  Jilid 1, h. 46.
21 Ibid, 110.
22 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Jawabul Kafie, terjemahan Futuhal Arifin, (Jakarta: Gema Madinah Makkah Pustaka, 2007), h.95.
23 Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy,  Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim,terjemahan Muzaidi Hasbullah, (Jakarta:Al-Kautsar, 2001), h.114.
24 Ibid.
25 Ibnu Qayyim A-Jauziyah, Roh, (Jakarta:Al-Kautsar, 2001), h.178.
26 Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim,terjemahan Muzaidi Hasbullah,  (Jakarta:Al-Kautsar, 2001), h.134.
27 Ibid, h.152-153.
28 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Mukhashar Raudhatul Muhibbin,terjemahan Tengku Azhar, (Solo:Pustaka Al-Arafah, 2005), h.174.
29 Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim,terjemahan Muzaidi Hasbullah, (Jakarta:Al-Kautsar, 2001), h.153-155.
30 Ibid, h.160.
31 Ibid, h.158.
32 Ibid, h.167-170.
33 Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim,terjemahan Muzaidi Hasbullah, (Jakarta:Al-Kautsar, 2001), h.174.
34 Ibid, h.196-202.
35 Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, terjemahan Muzaidi Hasbullah, (Jakarta: Al-Kautsar, 2001), h.203-204.
36 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Tuhfatul Maudud Bi Ahkamil Maulud, Abu Umar Basyir al-Maedani, (Solo: Pustaka Arafah, 2006), h.144.
37 Hasan bin Ali Hasan  Al-Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim, terjemahan Muzaidi Hasbullah, (Jakarta: Al-Kautsar, 2001), h.208.
38 Ibid.
39 Ibid, h.211.
40 Maksudnya adalah mengosongkan diri dari akhlak tercela kemudian mengisinya dengan akhlak mulia.
41 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Al-Fawaid Menuju Pribadi Takwa, terjemahan Munirul Abidin, (Jakarta: Al-Kautsar, 2008), h.79.
42 Hussein Bahresi, Al-Jamiush Shahih: Hadits Shahih Bukhari-Muslim Pilihan, (Surabaya: Karya Utama, tth),h.6.
43 Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj, h.224-225.
44 Ibid, h. 223-228.
45 Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Al-Fawaid: Menuju Pribadi Takwa, terjemahan Munirul Abidin, (Jakarta: Al-Kautsar, 2008), h.86.
46 Ibid, h.154.
47 Ibid, h.154.
48 Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim, terjemahan Muzaidi Hasbullah, (Jakarta: Al-Kautsar, 2001), h.234.
49 Ibid, h.24-246.
50 Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Thibbun Nabawy, (Beirut: Maktabah Al-Manar Al-Islamiyah, 1982), h. 194.
51 Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj, h.257-263.
52 Ibid, h.263-265.
53 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Miftah Daris Saadah: Kunci Surga, Penerjemah, Abdul Matin dan Salim Rusydi Cahyono, (Solo : Tiga Serangkai, 2009), h.281-282.
54 Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj, h.298-305.
55 Ibid, h.305-307.
55 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Miftah Dar As- Saadah: Kunci Surga, Penerjemah, Abdul Matin dan Salim Rusydi Cahyono, (Solo : Tiga Serangkai, 2009), h.283.
56 Hasan bin Ali Hasan al-Hijazy, Manhaj, h.312-314.
57 Hasan bin Ali Hasan al-Hijazy, Manhaj,  319-320.
58 Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj, 321-322.