Rabu, 31 Mei 2017

PENGEMBANGAN MAQASHID SYARIAH

PENGEMBANGAN MAQASHID SYARIAH SEBAGAI ALAT ANALISIS DATA DALAM PENELITIAN EKONOMI ISLAM
 Disusun Oleh:
Dr. Abdurrahman Misno BP, MEI


A.  Latar Belakang
Analisis data dalam sebuah penelitian menjadi hal yang sangat urgen, bahkan ia menjadi jantungnya penelitian ilmiah. Analisis yang salah terhadap data yang ditemukan akan berhujung kepada kesalahan kesimpulan.Penelitian ekonomi Islam khususnya hukum ekonomi syariah yang menggunakan data kualitatif seringkali menggunakan analisis yang tidak tepat. Misalnya judul “Gadai Tanah dalam Perspektif Hukum Ekonomi Syariah”, analisis yang digunakan seringkali hany sepintas lalu dan tidak fokus pada satu tool (alat) yang dijadikan sebagai pisau analisis.
Banyaknya penelitian ekonomi Islam yang menggunakan perspektif maqashid syariah menjadi persoalan berikutnya.Analisis yang terlalu general seringkali terjadi karena ketidakpahaman peneliti terhadap hakikat dari maqashid syariah. Belum lag penggunaannya yang tidak sesuai dengan data yang dianalasisnya. Lebih parahnya adalah teori maqashid yang sering digunakan adalah gabungan dari berbagai teori yang selalu disandarkan kepada Al-Ghazali atau Asy-Syathibi. Padahal apabila kita kaji lebih mendalam maka teori-teori mengenai maqashid syariah sangat banyak dan beragam, sehingga penggunaan yang tidak fokus akan menjadikan analisis data tidak valid.
Merujuk pada hal tersebut maka penelitian ini akan mengkaji mengenai pengembangan maqashid syariah sebagai alat analisis data dalam penelitian ekonomi Islam.

B.  Perumusan Masalah 
Berdasarkan latar belakang masalah, maka teridentifikasi beberapa permasalahan yang terkait dengan pengembangan maqashid syariah sebagai alat analisis data dalam penelitian ekonomi Islam. Adapun fokus penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
1.      Bagaimana perkembanganpemikiran Maqashid Syariah di dunia Islam? 
2.      Bagaimana karakter masing-masing teori Maqashid Syariah dan siapa saja tokoh-tokohnya? 
3.      Bagaimana penerapan maqashid syariah dalam analasis data pada penelitian ekonomi Islam?

C.  Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan penelitian, yaitu:
1.      Mengetahui perkembangan pemikiran Maqashid Syariah di dunia Islam.
2.      Menguraikan karakter masing-masing teori Maqashid Syariah dan tokoh-tokohnya.
3.      Menganalisis dan mengaplikasikan penerapan maqashid syariah dalam analasis data pada penelitian ekonomi Islam.

D.  Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu manfaat secara teoritis dan secara praktis.Secara teoritis penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan ilmu pengetahuan khususnya berkaitan dengan analisis data dalam penelitian ilmiah.
Adapun secara praktis maka penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi seluruh pihak, yaitu:
1.      Mahasiswa yang melakukan penelitian dengan pendekatan maqashid syariahakan terbantu dengan standard analisis yang benar.
2.      Para peneliti, sebagai acuan dalam analisis data kualitatif dengan pendekatan maqashis syariah.
3.      Masyarakat, memperoleh kesimpulan yang komprehensif mengenai satu permasalahan ekonomi dengan pendekatan maqashid syariah.
                              
E.  Signifikansi Penelitian
Penelitian ini memiliki signifikansi dalam penelitian yang bersifat fundamental, yaitu merumuskan gagasan maqashid syariah sebagai analisis data dalam penelitian ekonomi Islam. Secara spesifik signifikansi dari penelitian ini adalah:
1.      Memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya mengenai analasis data dalam penelitian ekonomi Islam.
2.      Menjawab permasalahan yang ada dalam analisis data penelitian menggunakan data kualitatif.

3.      Sebagai acuan dalam pengembangan ilmu-ilmu keislaman yang bersumber dari para pemikir Islam klasik dan kontemporer. 

Selasa, 30 Mei 2017

Pancasila Yang Kami Damba

Pancasila Yang Kami Damba
Oleh: Dr. Abdurrahman Misno BP, MEI
Pengajar Ilmu Politik Islam di STEI Tazkia Bogor dan Ketua Program Studi Islamic Business Law STEI Tazkia

Kita patut bersyukur kepada Allah Ta’ala atas seluruh nikmat yang telah dilimpahkanNya. Salah satu dari nikmat tersebut adalah kesempatan kita bisa lahir, tumbuh dan berada di negeri tercinta Indonesia. Syukur dan ucapan terima kasih tidak lupa juga kita sampaikan kepada para pendahulu negeri ini yang telah meninggalkan satu konstitusi dan dasar negara yaitu Pancasila. Kelahiran Pancasila sebagai hasil pemikiran mendalam dan daya kreatif founding father negeri ini haruslah sentiasa kita jaga. Salah satunya adalah dengan memahaminya sesuai dengan makna yang diharapkan dari mereka yang merumuskannya.
Merujuk pada sejarahnya, baik yang dirumuskan oleh Muhammad Yamin, Prof. Soepomo, dan Ir. Soekarno tertumpu pada kesejahteraan sosial yang berdasarkan pada asas Ketuhanan Yang Maha Esa. Maknanya bahwa cita-cita tertinggi Pancasila sebagai dasar negara ini adalah rakyat yang sejahtera baik secara material ataupun spiritual dengan berdasarkan keimanan kepada Allah Ta’ala.
Merujuk pada fakta ini maka menempatkan Pancasila sebagai dasar negara dan ideology bangsa Indonesia yang bersifat terbuka adalah sebuah sikap bijaksana. Maksudnya adalah bahwa Pancasila tidak bisa dipertentangkan dengan ideology atau agama lain yang memiliki cita-cita dan tujuan yang sama. Pertentangan yang dibuat-buat oleh segelintir orang sejatinya justru akan menghilangklan nilai esensi dari Pancasila itu sendiri. Pancasila yang universal dan syarat dengan nilai-nilai spiritual.
Kenyataan bahwa Islam dan Pancasila sentiasa berjalan seirama tanpa adanya pertentangan telah terbukti sejak masa kelahiran Pancasila. Bahkan para perumusnya sendiri adalah beragama Islam yang sangat memahami bagaimana mengimplementasikan Islam di tengah masyarakat plural dengan berbagai suku, agama, kepercayaan, ras dan golongan. Nilai-nilai fundamental Islam (Islamic Value) nampak jelas dalam setiap sila dalam Pancasila, sifat susunannya adalah hirarkhis dan mempunyai bentuk piramidal. Sila pada Pancasila saling menjiwai dan dijiwai. Sila yang di atasnya menjiwai sila yang di bawahnya, tetapi sila yang di atasnya tidak dijiwai oleh sila yang di bawahnya. Sila yang di bawahnya dijiwai oleh sila yang di atasnya, tetapi sila yang di bawahnya tidak menjiwai sila yang di atasnya. Sebagai contoh nilai-nilai Ketuhanan menjiwai nilai-nilai Kemanusiaan Persatuan Kerakyatan dan Keadilan, sebaliknya nilai Ketuhanan tidak dijiwai oleh nilai-nilai Kemanusiaan Persatuan Kerakyatan dan Keadilan, begitulah seterusnya.
Rumusan ini membantah sebagian orang yang menyatakan bahwa Pancasila bertentangan dengan Islam. Mereka berpendapat bahwa Pancasila memiliki sifat kebhinekaan sementara Islam bersifat tunggal. Pendapat ini tentu saja tidak tepat, karena Pancasila dan Islam bukanlah dua hal yang bisa dibandingkan, yang satu rumusan manusia yang satunya lag datang dari Allah Ta’ala. Pancasila adalah dasar bernegara, sedangkan Islam adalah dasar beragama dan menjalani kehidupan dunia.
Pancasila dalam satu sisi memiliki tiga fungsi; Pertama, Pancasila bukan agama dan tidak bisa menggantikan agama Islam. Kedua, Pancasila bisa menjadi wahana implementasi Syariat Islam. Ketiga, Pancasila dirumuskan oleh tokoh bangsa yang mayoritas beragama Islam. Baik Islam ataupun Pancasila pada satu sisinya memiliki sifat yang sama pada satu sisi yaitu bersifat terbuka, realis, idealis dan fleksibel.
Jika ada yang berpendapat bahwa Islam anti dengan kebhinekaan maka, cobalah pelajari lagi bagaimana umat Islam di Indonesia memberikan toleransinya yang tinggi terhadap agama lainnya. Toleransi yang didasari pada nilai-nilai Islam yangh universal, bukan toleransi yang selalu mereka dnegung-dengungkan yaitu untuk menghancurkan Islam. Ya… Islam memiliki toleransi yang sangat tinggi, tapi bukan toleransi yang kebablasan atau toleransi yang hanya mementingkan pihak sendiri.

Maka, Pancasila Yang Kami Damba adalah Pancasila dengan makna yang sebenarnya bukan hasil rekasayasa manusia yang digunakan untuk kepentingan politiknya saja. Bukan pula menafsirkan secara bebas hingga kemudian diseret bertentangan dan seolah-olah bertentangan dengan Islam. Pancasila yang didamba oleh umat Islam adalah dasar negara yang memiliki nilai-nilai Islam dengan semangat syariah Ilahi. Syariat ini sendiri menjadi rahmat dan menebarkan kebaikan kepada seluruh warga negara tanpa melihat suku, bangsa, agama dan kepercayaanya. Wallahu A’lam (ambp). 

Bara 212: Refleksi Jiwa Mengharap RidhaNya... Bag. 04

Keterharuan saya semakin memuncak ketika Ust. Arifin Ilham naik ke Panggung, dzikir-dzikir yang terdengar begitu menghujam dalam dada, merasuk ke dalam sendi-sendi jasad dan mengalir bersama aliran darah “Astaghfirullah… astaghfirullah…” Alunan suci itu telah menggetarkan jiwa saya, mempengaruhi raga dan tak terasa air mata ini mengalir dengan derasnya. Saya tak mau orang lain mengetahui hal ini, saya tutup sebagian muka saya dengan sorban. Namun, alunan tahlil, tasbih dan tahmid dan takbir itu telah merasuk ke alam bawah sadar, hingga tangisan itu tak kuasa lagi saya tahan. Semoga air mat ain imenjadi saksi di akhirat sana…  
Setelah mencari tempat yang paling dekat dengan panggung saya dan Abang Diki duduk di bagian depan jamaah lainnya, tepatnya di baris ketiga. Alunan tahlil, tasbih dan tahmid dan takbir masih terdengar dengan jelas dan mengaduk-aduk perasaan saya. Air mata ini terus mengalir hingga tak terasa beberapa jam berlalu. Hujan rintik-rintik yang perlahan turun memberikan nuansa haru yang sangat terasa. Saya betul-betul tenggelam dalam haru-biru aksi itu.
Tausiah dari asatidzah di aksi 212 telah kembali menge-charge semangat saya, saya masih tenggelam dalam keharuan luar biasa. Perasaan bangga menjadi saksi sejarah, merasa kecil di hadapanNya dan berjuta rasa dalam jiwa. Semua menyatu bersama dengan insan-insan mulia di lapangan Monas Jakarta.
Hujan semakin deras ketika pelaksanaan shalat Jumat akan dimulai. “Kita sudah siap dengan semuanya, jangankan hujan air hujan anak panahpun saya sudah siap” itulah kata-kata dari Abang Diki yang menambah motivasi saya. Benar, saya benar-benar dengan siap dengan segala yang ada.  Basah pakain dengan air belum seberapa dibandingkan dengan mujahid Badr yang basah dengan darah syuhada.
Hujan semakin deras, namun semangat kami telah menghilangkan rasa dingin dan basahnya pakaian kami, sebaliknya yang muncul adalah rasa penuh spirit perjuangan, bara 212 hingga air yang membasahi pakaian dan tubuh kami menjadi guyuran rahmatNya. Tanah yang kami pijak seolah bertasbih kepadaNya bersama kami yang sedang melaksanakan shalat jumat. Bahkan, ketika kening ini menyentuh bumi untuk bersujud, aroma bumi menghangatkan sekujur tubuh kami. Benar, ketika sujud berlangsung, kami betul-betul merasakan kehangatan bumi, seolah ia meyelimuti kami dalam satu peribadahan kepada Allah Ta’ala. Kami menyatu dengan jutaan umat Islam, hujan, matahari, bumi dan semesta alam, semuanya bertasbih mengagungkan kuasa Ar-Rahman.
Selesainya shalat Jumat dan sambutan dari kepala negara mengakhiri aksi kami, secara rapi kami dan jutaan umat Islam bergerak menuju tempat masing-masing. Saya keluar mengikuti arus umat Islam yang bergerak keluar dari lapangan Monas. Lagi-lagi sebuah pengalaman yang tidak pernah saya saksikan, puluhan umat Islam terutama ibu-ibu dan akhwat berdiri di samping jalan keluar lapangan Monas dengan menjajakan berbagai jenis makanan dan minuman. Mereka membagikan secara gratis semua jenis makanan dan minuman, saya sendiri sempat mengambil dua nasi bungkus dan beberapa roti. Tak ada yang memanfaatkan keadaan, atau mencari kesempatan dalam kesempitan. Mengambil seperlunya sebatas yang dibutuhkan, bahkan sebagian umat Islam tidak mengambilnya karena merasa cukup dengan bekal yang ada. Sementara para pemberi sedekah bukan hanya diam menunggu umat Islam yang mengambil makanan atau minuman, tapi mereka bergerak menyodorkan kepada para peserta aksi. Subhanallah, Luar biasa… kata-kata itu yang keluar dari mulut saya.
Saya sempat keluar dari lapangan Monas dan menuju Bunderan HI, melihat beberapa aparat keamanan yang berbaris rapi, namun tak berfungsi karena melihat aksi umat Islam yang damai tanpa anarki. Beberapa kelompok umat Islam masih melanjutkan orasi di beberapa tempat, sementara sebagian yang lain bergerak sebagai pasukan semut yang membersihkan sampah-sampah yang ada. Walaupun tidak banyak sampah yang berserakan karena setiap sampah yang ada sudah dibersihkan sedemikian rupa oleh umat Islam yang berada di dekatnya. Saya menyaksikan dengan mata kepala, seorang ibu dengan jilbab panjang mengambil dengan tangannya sendiri beberapa potong sampah yang di permukaan aspal yang tergenangi air berwarna kecoklatan. Sementara melalui media saya membaca bahwa setelah aksi berakhir segerombolan santri dan relwan langsung membersihakan lapangam Monas hingga lebih bersih dari keadaan sebelumnya.
Inilah Bara 212, sebuah hari penuh keajaiaban menjadi penyemangat iman bagi umat Islam. Saksi sejarah bagi Indonesia dan dunia bahwa umat Islam masih dan selalu peduli dengan agamanya. Siapa saja yang menghina umat Islam dan kitabNya maka akan berhadapan dengan para pemeluknya. Bara 212 adalah awal yang akan terus memberikan energy kepada seluruh umat Islam khususnya mereka menjadi saksi sejarah dalam aksi ini. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah dan inayahNya sehingga umat Islam akan senantiasa terjaga, hingga akhir masa. Wallahua’lam.

Ujungmanik, 30 Desember 2016


Abdurrahman Misno Bambang Prawiro
Abu Aisyah As-Silasafi

                  

Bara 212: Refleksi Jiwa Mengharap RidhaNya... Bag. 03


Oleh: Abu Aisyah As-Silasafi

Sebuah keajaiban datang menyapa, seseorang dengan peci putih, baju putih dan tas di belakang punggung menyapa dengan hangat “Assalamualaikum, mau ke Monas juga mas” katanya pelan. “Waalaikumsalam, Iya” jawabku. Setelah berbasa-basi sejenak akhirnya lekai-laki yang bernama Diki mengajak saya berjalan bersama. Turun dari dari jembatan penyeberangan kami bertemu kembali dengan serombongan umat Islam yang bergerak dengan penuh semangat menuju Monas. Kembali semnagat saya terpacu, desiran ruhul jihad semakin membara dalam dada. Akhirnya saya dengan Abang Diki sepakat untuk bergabung dengan rombongan dari wilayah Jakarta Timur.
Kami berjalan menyusuri Jl. Pramuka, kemudian di depan Pasar Burung kami berhenti sejenak untuk menunggu Pak Harry yang sedang berjalan di belakang kami. Sekitar 20 menit kami menunggu di sebuah rumah makan Padang. Pemandangan yang luar bisa kami saksikan di depan mata, berbagai elemen umat Islam berdatangan dari arah Jl. Pemuda menuju Monas. Ada yang berjalan kaki, menaiki motor, kendaraan pribadi, bus dan ada juga yang menggunakan bak terbuka dan truk. Setiap mereka lewat maka gema takbir bersautan di antara kami “Allahu Akbar”. Sebuah pemandangan yang menjadikan 212 semakin membara.
Setelah menunggu beberapa lama akhirnya Pak Harry sampai di tempat kami menunggu, kami bersalaman dan merasakan energy yang luar biasa dari beliau. “Orang setua ini saja masih semangat untk berjalan kaki ke Monas, masa saya yang muda tidak kuat”. Seteleh berbincang sejenak kami segera bergabung dengan salah satu rombongan dari wilayah Jakarta Timur. Kami bergerak dari Jl. Pramuka menuju Jl. Matraman, dan memasuki Jl, Salemba Raya menuju ke Senen. Sepanjang jalan, kami bertakibr membesarkan asmaNya. Senandung penyemangat jiwa aksi 212 dilantunkan membakar semangat umat Islam. 
Sebuah pemandangan tak biasa nampak di depan mata, beberapa elemen dari umat Islam berada di tepi jalan dan sebagian menghadang kami dengan memberikan minuman dan makanan. Sebuah pemandangan yang tidak pernah saya saksikan di ibukota Jakarta. Tanpa ada komando dan perintah, hanya keimanan mendalam dan ukhuwah Islamiyah yang menggerakan mereka, saya sangat terharu sekali dengan kejadian ini. scenario yang mahas empurna hingga hati-hati mereka tergerak untuk berinfak di jalanNya.
Namun keterharuan saya baru awal, karena saya ykin sekali ada banyak menakjubkan di hadapan sana. Kami terus bergerak ke arah kawasan Senen, hingga kami bersatu dalam satu rombongan yang lebih besar. Memasuki wilayah Taman Gunung Agung ternyata sudah banyak sekali umat Islam yang berada di sana, mereka bergerak rapi secara perlahan menuju wilayah Monas yang sejatinya masih berjarak kurang lebih 5 KM. kerumunan umat Islam yang menyemut telah memenuhi wilayah Tugu Tani menuju ke Monas, sebuah pemandangan yang menggetarkan iman bagi orang-orang yang melihatnya. Bagaimana tidak, jutaan umat Islam bergerak dengan rapi dan diiringi pekikan takbir dan shalawat kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam.
Lagi-lagi saya terharu dengan pemandangan yang ada di depan mata, kerumunan umat Islam yang bersama dalam satu ikatan ukhuwah. Mereka bergerak dengan rapi, tidak ada saling dorong, tidak ada satu rumputpun yang terinjak, tidak ada satu manusiapun yang didzalimi. Berbagai elemen umat Islam saling mengisi ruang kosong yang selama ini menjadi kelemahan utama umat Islam. Sebagian mereka bergerak perlahan menuju Monas, sebagian lainnya di pinggir jalan dengan membawa berbagai jenis makanan dan minuman. Bukan untuk dijual, tapi diberikan secara sukarela kepada seluruh lapisan umat Islam. Ada layanan charger hp gratis, nasi padang gratis, roti gratis, aqua gratis dan berbagai hal gratis yang hanya Allah ta’ala yang mampu untuk menggerakannya.
Saya dengan Abang Diki terus bergerak menuju Monas, kami bertekad akan menuju ke tempat paling dekat dengan panggung utama. Setelah memasuki kawasan Monas kami berjalan menuju pintu gerbang yang telah terbuka.
Saya sempat terpikir dengan provokasi seorang anggota Whatssapp yang menyatakan “Monas itu punya delapan pintu, jika umat Islam sudah masuk ke dalam kemudian semua pintu dikunci dan umat Islam yang berada di dalam dibanjiri dengan gas air mata atau sejenisnya maka umat Islam pasti akan habis” itulah ucapannya. Namun semangat jihad yang telah membara segera mengapuskan kekhawatiran tersebut, saya terus bergerak bersama dengan jutaan umat Islam lainnya menuju bagian dalam Monas.
Sebelum memasuki lapangan saya dengan Abang Diki bergantian mengambil air wudhu, sebuah pengalaman spiritual yang jarang sekali ditemukan. Teman yang baru pertama kenal, kemudian dengan sukarela bergantian berwudhu dengan hanya sebotol air mineral. Ingin sekali saya mengabadikan momen itu, namun tidak bisa karena kami bergantian menuangkan air untuk berwudhu. Namun Allah Ta’ala pasti sudah mencatat perbuatan kami tersebut, sebuah ikatan ukhuwah yang lagi-lagi digerakkan oleh Allah Ta’ala.

Setelah selesai berwudhu kami segera memasuki bagian dalam lapangan Monas, jutaan manusia yang telah duduk dengan rapi memunculkan keterharuan yang luar biasa, tidak ada anarki, tidak ada kata-kata kasar dan tidak ada tindakan-tindakan tidak sopan. Semua berjalan seiring nafas-nafas kehidupan. Saya bergerak mengikuti pergerakan umat Islam yang terus berjalan ke bagian dalam lapangan Monas. Suara dari pengeras suara yang berada di beberapa sudut lapangan memberikan gambaran secara jelas jalannya aksi. Sambil berjalan saya menyaksikan jutaan umat Islam duduk rapi dengan melantunkan takbir, tasbih dan tahmid. 

Bara 212: Refleksi Jiwa Mengharap RidhaNya Bag. 02

Oleh: 
Abu Aisyah As-Silasafi... 

Sesampai di Stasiun Bogor, semakin membara semangat untuk memperjuangkan Islam ini, ternyata sudah banyak sekali berbagai elemen dari umat Islam yang akan menuju ke Jakarta. Sempat bersalaman dengan beberapa orang yang saya kenal, saya bersama dengan Abu Hani langsung menuju kereta. Saya terpisah dengan teman-teman karena mengikuti arah perjalanan Abu Hani yang akan bekerja di wilayah Jakarta Utara. Rencananya ia akan turun di Stasiun Tebet, sehingga saya berpikir keras untuk mencari jalan bagaimana cara menuju Stasiun Juanda agar mudah menuju Monas.  
Namun perbincangan yang kami lakukan di dalam kereta memunculkan solusi baru yaitu saya tetap turun di Stasiun Tebet dan ikut kendaraannya menuju Jl. Matraman Jakarta. Saya akan turun di perempatan Matraman atau Perpustakaan Nasional dan mencari mobil menuju ke Monas.
Sampai di Stasiun Tebet, saya mengikuti Abu Hani dan naik kendaraannya menuju Sunter, Jakarta Utara. Masih sempat terpikir untuk turun di Matraman karena saya anggap itu adalah hal yang paling mudah untk menuju Monas. Di tengah perjalanan saya terfikir untuk menghubungi seorang teman di Jakarta, Pak Harry namanya, ia pada aksi sebelumnya ikut serta. Alhamdulillah, beliau menjawab dan menyatakan juga dalam perjalanan menuju ke Monas. Rencana awal untuk turun di Jl. Matraman saya batalkan, karena perjalanan Pak Harry kebetulan lewat Jl. Pramuka.
Saya turun di depan Hotel Sentral Jl. Pramuka Jakarta Timur, setelah mengucapkan terima kasih, Abu Hani segera meluncur ke tempat kerjanya. Saya berhenti sejenak untuk melihat sekeliling, ternyata spirit hari ini benar-benar telah tampak di seluruh sudut Jakarta. Beberapa kelompok kecil dari umat Islam mulai bergerak dari arah Jl. Pemuda menuju Monas. Sekelompok anak usia sekolah berjalan dengan tertib menuju arah Monas, suara takbir mereka memberikan tambahan spirit 212 ke dalam jiwa saya.

Posisi saya berada di seberang jalan yang menuju ke Monas mengharuskan saya menyeberang jalan melalui jembatan penyeberangan. Saya sempat berdiri sejenak di atas jembatan penyeberangan. Lagi-lagi sekelompok kecil umat Islam dari arah Jl. Pemuda bergerak dengan penuh semangat melalui Jl. Pramuka, menuju arah Jl. Matraman dan wilayah Senen untuk menuju Monas. Kembali semangat ini menyala, beberapa kali saya menghubungi Pak Harry, beliau mengatakan bahwa sedang di perjalanan menuju Jl. Pramuka. Sambil mengabadikan beberapa kelompok umat Islam yang berjalan di sepanjang Jl. Pramuka saya berdiri di atas jembatan penyeberangan. 

Bara 212: Refleksi Jiwa Mengharap RidhaNya... Bag. 01

Bara 212: Refleksi Jiwa Mengharap RidhaNya
Oleh: Abu Aisyah As-Silasafi



Bara 212, Jum’at 02 Desember 2016. hari bersejarah untuk saya, sebuah hari yang penuh dengan cerita semangat dan perjuangan. Bagaimana tidak? Sebuah hari yang penuh dengan keistimewaan, dan momen untuk menge-charge kembali rasa keimanan, keislaman dan ukhuwah antar umat Islam. Sebuah hari yang saya yakin sekali akan menjadi sejarah besar khususnya bagi umat Islam di Indonesia dan juga dunia. Hari yang akan menjadi saksi di akhi nanti, tentang apa yang telah kita lakukan untuk kemuliaan Islam dan umatnya.
Kisah ini saya mulai dari cerita sehari sebelumnya, kordinasi dengan beberapa komunitas mahasiswa menghasilkan satu kesepakatan bahwa saya akan ikut rombongan kampus, saya sudah terdaftar sebagai peserta dan siap untuk berangkat. Namun menjelang malam muncul rencana lain, saya akan ikut dengan komunitas Asatidzah dari kampus atau dengan para pengajar di Yayasan. Kembali kordinasi dengan beberapa pihak itu saya lakukan, namun hingga menjelang malam tiba belum ada kesepakatan yang dijadikan pegangan. Saya berpindah ke rencana lainnya, berangkat sendiri dengan kereta dan turun di Stasiun Juanda Jakarta. Inilah pilihan terakhir setelah tidak ada titik temu berangkat dengan asatidzah di kampus dan membatalkan berangkat bersama dengan mahasiswa.
Bersama dengan Abu Hani, seorang teman yang bekerja di Astra Internasional Jakarta Utara, kami berangkat sebelum shubuh, tepat pukul 04.00 kami meluncur dari kaki gunung Salak Bogor. Dinginnya udara Bogor yang menusuk tulang tak menggetarkan saya untuk melangkahkan kaki menuju Jakarta. Sebuah awal perjalanan yang sangat bersejarah untuk saya.   

Saya dan Abu Hani shalat berjamaah masjid di Masjid Baitussalam wilayah Kota Batu, Kec. Ciomas, Bogor. Selesai shalat kami langsung meluncur ke arah stasiun Bogor. Satu rencana saya mengikuti aksi dan menjadi bagian dari sejarah umat Islam untuk memperjuangkan Izzul Islam wal Muslimin