Jumat, 14 September 2012

Berkawan Dengan Kekurangan

Oleh : Abdurrahman



Bersyukur, itulah satu hal yang selalu harus kita lakukan. Bersyukur dengan segala kenikmatan yang telah dianugerahkan kepada kita dengan segala bentuknya. Kenikmatan yang setiap hari dan bahkan setiap detik kita lakukan adalah kenikmatan yang ada pada tubuh kita. Ya, bersyukur dengan segala yang ada dalam bentuk tubuh kita adalah sebuah kenikmatan yang tidak bisa kita lupakan. Tentu saja bersyukur di sini memiliki tiga tingkatan yaitu :
1.      Meyakini bahwa segala kenikmatan tersebut adalah bersumber dari Allah ta’ala bukan dari diri kita dan dari orang lain.
2.      Melafadzkan dan mengucapkan “Al-Hamdulillah” yaitu pujian kepada Allah ta’ala
3.      Menggunakan kenikmatan tersebut di jalan Allah ta’ala.
Dari ketiga tingkatan ini sudah selayaknya harus kita laksanakan secara bersama-sama dan tidak bisa dipisahkan.
Kemudian, muncul pertanyaan bagaimana jika ternyata kenikmatan tubuh yang “sempurna” ini ternyata tidak dianugerahkan kepada kita? Maksudnya adalah bahwa anugerah tubuh ini ternyata tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Misalnya saja wajah kita tidak cantik atau tidak ganteng, kulit kita tidak putih mulus, tubuh kita tidak ideal, atau tubuh kita tidak seperti orang lain. Maka dalam hal ini tentu saja kewajiban bersykur tetap harus dilaksanakan, misalnya saya yang memiliki kulit hitam atau sawo matang sudah selayaknya juga bersyukur walaupun dalam pikiran saya bahwa saya ingin memiliki kulit yang putih dan tubuh ideal.
Bagaimana cara mudah agar kita selalu bersyukur? Caranya mudah saja, lihatlah orangf-orang yang tidak memiliki “kesempurnaan” tubuh. Mereka yang mungkin mukanya lebih “jelek” dari kita, atau mereka yang kulitnya lebih hitam dari kita. Saya sendiri memiliki teman yang secara fisik jelas tidak sempurna ada yang mukanya cacat, matanya cacat, kulitya berbintik merah dan lain sebagainya. Dengan melihat mereka saya kembali bersyukur bahwa ternyata walaupun tubuh saya “tidak ideal” menurut ukuran manusia namun masih banyak orang lain yang memiliki kekurangan lebih dari saya. Karena itu saya selalu bersyukur, bagaimana dengan anda? Mari mensyukuri apa yang ada pada kita? Dan saya ulang lagi caranya adalah berkawan dengan orang yang memiliki kekurangan…      

Jenis-jenis Penelitian Kualitatif

Oleh : Toriqul Chaer
 
Penelitian kualitatif memiliki 5 jenis penelitian, yaitu:
1.  Biografi
Penelitian biografi adalah studi tentang individu dan pengalamannya yang dituliskan kembali dengan mengumpulkan dokumen dan arsip-arsip. Tujuan penelitian ini adalah mengungkap turning point moment atau epipani yaitu pengalaman menarik yang sangat mempengaruhi atau mengubah hidup seseorang. Peneliti menginterpretasi subjek seperti subjek tersebut memposisikan dirinya sendiri.

2.  Fenomenologi
Penelitian fenomenologi mencoba menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji. Menurut Creswell (1998:54), Pendekatan fenomenologi menunda semua penilaian tentang sikap yang alami sampai ditemukan dasar tertentu. Penundaan ini biasa disebut epoche (jangka waktu). Konsep epoche adalah membedakan wilayah data (subjek) dengan interpretasi peneliti. Konsep epoche menjadi pusat dimana peneliti menyusun dan mengelompokkan dugaan awal tentang fenomena untuk mengerti tentang apa yang dikatakan oleh responden.

3.  Grounded theory
Walaupun suatu studi pendekatan menekankan arti dari suatu pengalaman untuk sejumlah individu, tujuan pendekatan grounded theory adalah untuk menghasilkan atau menemukan suatu teori yang berhubungan dengan situasi tertentu . Situasi di mana individu saling berhubungan, bertindak, atau terlibat dalam suatu proses sebagai respon terhadap suatu peristiwa. Inti dari pendekatan grounded theory adalah pengembangan suatu teori yang berhubungan erat kepada konteks peristiwa dipelajari.

4.  Etnografi
Etnografi adalah uraian dan penafsiran suatu budaya atau sistem kelompok sosial. peneliti menguji kelompok tersebut dan mempelajari pola perilaku, kebiasaan, dan cara hidup. Etnografi adalah sebuah proses dan hasil dari sebuah penelitian. Sebagai proses, etnografi melibatkan pengamatan yang cukup panjang terhadap suatu kelompok, dimana dalam pengamatan tersebut peneliti terlibat dalam keseharian hidup responden atau melalui wawancara satu per satu dengan anggota kelompok tersebut. Peneliti mempelajari arti atau makna dari setiap perilaku, bahasa, dan interaksi dalam kelompok.

5.  Studi kasus
Penelitian studi kasus adalah studi yang mengeksplorasi suatu masalah dengan batasan terperinci, memiliki pengambilan data yang mendalam, dan menyertakan berbagai sumber informasi. Penelitian ini dibatasi oleh waktu dan tempat, dan kasus yang dipelajari berupa program, peristiwa, aktivitas, atau individu.

Penelitian Kualitatif, Mengapa Tidak ???

Oleh : Moh. Toriqul Chaer



  1. Pengantar
Dalam penelitian sosial, masalah penelitian, tema, topik, dan judul penelitian berbeda secara kualitatif maupun kuantitatif. Baik substansial maupun materil kedua penelitian itu berbeda berdasarkan filosofis dan metodologis. Masalah kuantitatif lebih umum memiliki wilayah yang luas, tingkat variasi yang kompleks namun berlokasi dipermukaan. Akan tetapi masalah-masalah kualitatif berwilayah pada ruang yang sempit dengan tingkat variasi yang rendah namun memiliki kedalaman bahasan yang tak terbatas.
Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami (Creswell, 1998:15). Bogdan dan Taylor (Moleong, 2007:3) mengemukakan bahwa metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.
Penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan. Dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah instrumen kunci. Oleh karena itu, peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas jadi bisa bertanya, menganalisis, dan mengkonstruksi obyek yang diteliti menjadi lebih jelas. Penelitian ini lebih menekankan pada makna dan terikat nilai. Penelitian kualitatif digunakan jika masalah belum jelas, untuk mengetahui makna yang tersembunyi, untuk memahami interaksi sosial, untuk mengembangkan teori, untuk memastikan kebenaran data, dan meneliti sejarah perkembangan. 

  1. Sistematika Penelitian Kualitatif
Judul
Abstrak
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Gambar
Bab I Pendahuluan
Konteks Penelitian
Fokus Kajian Penelitian
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Bab II Perspektif Teoritis dan Kajian Pustaka
Bab III Metode Penelitian
Pendekatan
Batasan Istilah
Unit Analisis
Deskripsi Setting Penelitian
Pengumpulan Data
Analisis Data
Keabsahan data
Bab IV Hasil dan Pembahasan
Bab VI Kesimpulan dan Saran
Daftar pustaka
Lampiran

Penjelasan secara ringkas keseluruhan unsur yang ada dalam penelitian kualitatif, yaitu:

                      1.      Judul, singkat dan jelas serta mengisyaratkan fenomena dan fokus kajian penelitian. Penulisan judul sedapat mungkin menghindari berbagai tafsiran yang bermacam-macam dan tidak bias makna.

                      2.      Abstrak, ditulis sesingkat mungkin tetapi mencakup keseluruhan apa yang tertulis di dalam laporan penelitian. Abstrak penelitian selain sangat berguna untuk membantu pembaca memahami dengan cepat hasil penelitian, juga dapat merangsang minat dan selera orang lain untuk membacanya.

                      3.      Perspektif teoritis dan kajian pustaka, perspektif teori menyajikan tentang teori yang digunakan sebagai perpektif baik dalam membantumerumuskan fokus kajian penelitian maupun dalam melakukan analisis data atau membahas temuan-temuan penelitian. Sementara kajian pustaka menyajikan tentang studi-studi terdahulu dalam konteks fenomena dan masalah yang sama atau serupa.

                      4.      Metode yang digunakan, menyajikan secara rinci metode yang digunakan dalam proses penelitian.

                      5.      Temuan–temauan penelitian, menyajikan seluruh temuan penelitian yang diorganisasikan secara rinci dan sistematis sesuai urutan pokok masalah atau fokus kajian penelitian. Temuan-temuan penelitian yang disajikan dalam laporan penelitian merupakan serangkaian fakta yang sudah direduksi secara cermat dan sistematis, dan bukan kesan selintas peneliti apalagi hasil karangan atau manipulasi peneliti itu sendiri.

                      6.      Analisis temuan– temuan penelitian. Hasil temuan memerlukan pembahasan lebih lanjut dan penafsiran lebih dalam untuk menemukan makna di balik fakta. Dalam melakukan pembahasan terhadap temuan-temuan penelitian, peneliti harus kembali mencermati secara kritis dan hati-hati terhadap perspektif teoritis yang digunakan.

Rabu, 12 September 2012

Pendekatan Etnografi

Oleh : Sri Fitri Ana


Ethnography  Agar (1980) dan Fetterman (1989)
Etnografi adalah sebuah seni dan ilmu yang mengambarkan sebuah kelompok dalam kebudayaan. Gambaran dapat berupa sebuah kelompok kecil pada beberapa wilayah yang asing atau masyarakat pada kelas pinggiran. Hal ini seperti seseorang yang menjadi seorang investigative reporter yang mewawancarai orang-orang yang bersangkutan, meringkas apa yang telah direkam, mempertimbangkan kebenaran opini dari satu orang dan pertentangannya dengan pendapat orang lain, mencari hubungan kepentingan-kepentingan khusus dan organisasi, dan menuliskannya. Kunci dari perbedaan diantara investigative reporter dan etnografer adalah jurnalis bertindak dalam menggali sesuatu yang tidak biasa, misalnya pembunuhan, tabrakan pesawat, perampokan bank, sedangkan etnografer menulis kebiasaan sehari-hari, misalnya tentang pikiran dan tingkah laku manusia.
Sebelum terjun ke lapangan etnografer mulai dengan sebuah masalah, teori atau model, sebuah desain penelitian, teknik pengumpulan data spesifik, alat untuk analisis, dan gaya penulisan yang spesifik. Etnografer mulai dengan prasangka dan mempertimbangkan ide tentang bagaimana orang bertindak dan bagaimana mereka berpikir. Prasangka menyajikan  fungsi positif dan negatif. Tidak terkontrolnya prasangka bisa mempengaruhi kualitas penelitian etnografi. Merujuk pada efek negatif dari prasangka, etnografer harus membuat prasangka yang spesifik dan jelas. Sebuah rentetan dari pengawasan kualitas khusus seperti triangulasi, kontekstualisasi, dan nonjudgmental merupakan hal yang berorientasi pada pemeriksaan pengaruh negatif dari prasangka. Etnografer harus terbuka dalam penelitiannya. Etnografer tertarik pada pemahaman dan penggambaran sebuah adegan sosial dan budaya dari emic, atau insider’s perspective. Ethnografer adalah storyteller dan scientist.
Theory & hypothesis testing
Pokok masalah pada ilmu sosial yakni pada bagian hipotesis. Hipotesis merupakan dugaan sementara dari beberapa teori yang dipakai. Teori sendiri memiliki beberapa definisi, tetapi pada intinya teori merupakan sesuatu yang empiris. Hipotesis adalah pernyataan dari beberapa prediksi yang diyakini kebenarannya dari asumsi-asumsi yang ada. Asumsi-asumsi dihubungkan dengan teori yang ada apakah relevan atau tidak. Hipotesis merupakan hubungan antar variabel. Variabel dapat dijabarkan dalam bentuk pertanyaan yang diberikan pada informan melalui kuesioner, tes psikologi, sensus, atau games yang dilakukan dalam laboratorium. Kelompok atau grup yang akan diteliti harus diidentifikasi terlebih dahulu sebagai subjek penelitian. Dalam memilih subjek penelitian, menentukan sampel dapat dilakukan dengan teknik random atau bukan random.
Fieldwork & participant observation
Penelitian lapangan, dimana peneliti ikut terjun ke lingkungan masyarakat yang diteliti dan ikut merasakan bagaimana kehidupan sehari-hari masyarakat tersebut. Dalam field work data yang terkumpul lebih valid karena peneliti mendapatkan data secara langsung daripada hanya sekadar kumpulan dari literatur yang masih perlu dibuktikan kebenarannya kembali. Peneliti sebagai participant observation, ikut terlibat dalam masyarakat yang di telitinya, menjadi bagian dari kehidupan mereka. Hal ini bertujuan agar peneliti lebih peka dan tanggap terhadap situasi yang muncul.
Holistic perspective
Seorang Etnografer mempelajari sesuatu yang baru dan kemudian mencoba untuk mengerti bagaimana itu terhubung dengan berbagai aspek dalam situasi dengan hal yang baru terjadi. Mencari hubungan-hubungan ini secara lebih luas dinamakan holistic perspective. Bersifat menyeluruh antar berbagai aspek-aspeknya.
Intinya, seorang etnografer dalam melakukan penelitian etnografi melihat masyarakat dan membandingkannya dengan konteks tertentu, kemudian membuat hipotesis berdasarkan teori yang dipakai dengan sebelumnya mengujicobakan hipotesis tersebut, apakah sesuai atau tidak, dan kemudian terjun lapangan dengan ikut terlibat sebagai bagian dari partisipan penelitian, serta dalam penulisannya dengan menggunakan analisis holistic perspective yang bersifat menyeluruh. (Sri Fitri Ana, Antropologi, Universitas Indonesia)
How to Read Ethnography
Blasco
Dalam bukunya “How to Read Ethnography”,  Blasco menyebutkan bahwa antropologi fokus pada bagaimana antropolog menggambarkan pengalaman hidup dan bagaimana mereka membentuk gambaran etnografi dari berbagai argumen Selain itu, antropolog juga membandingkan perilaku, bahasa, ide kehidupan, Mengetahui makna perilaku dan tindakan juga diperlukan karena cenderung memberikan konteks sosial dan budaya mereka. Seorang etnografer harus membandingkan dalam rangka menangkap tujuan dan makna dari sebuah tindakan
Henrietta Moore, misalnya, meneliti hubungan antara laki-laki dan perempuan di Kenya. Pada pagi hari dia melihat perempuan membersihkan abu di perapian dan membuang ke tempat pembuangan abu, dan dalam perjalanan berpapasan dengan laki-laki sambil menunjukkan abu yang Ia bawa. Lalu keduanya tertawa. Dalam hal ini dapat terlihat bagaimana perlakuan terhadap benda yang dianggap kotor. Sebuah identitas wanita yang dekat dengan dapur, rumah, dan memasak. Dalam masyarakat Kenya, abu tidak mungkin dibersihkan oleh laki-laki karen berhubungan dengan kepercayaan kemandulan. Selain itu, apabila seorang perempuan menolak untuk dinikahlan maka akan menyelubungi dirinya dengan abu, yang berarti berserah diri kematian.
Antropolog dalam menyusun pengalaman melalui tulisan dalam bentuk narasi. Hal inilah yang menyebabkan karya etnografi seperti sebuah novel. Elaborasi dunia etnografi melibatkan proses diferensiasi, misalnya kontrastif yang menyoroti peran atau status. Belajar membaca etnografi kita akan melihat bagaimana menulis etnografi tentang hubungan dalam hal pola atau kerangka kerja yang luas, bagaimana gambaran hubungan yang dibangun dan terpadu dalam sebuah entnografi, dan bagaimana pola abstrak hubungan menjadi dasar untuk perbandingan. Karena etnografi ditulis dari berbagai pengalaman dengan perspektif tertentu, maka kita akan melihat perbedaan dalam analisis masing-masing etnograf.
Etnografi bertujuan untuk memahami arti dari hubungan sosial tertentu, menganalisisnya untuk membangun logika di antara hubungan relasi tersebut. Logika dalam  hal ini memberikan dasar dalam berpikir tentang konsep. (Sri Fitri Ana, Antropologi, Universitas Indonesia)
…cultural comparison, contextualization and analysis of relationships…are what makes ethnographic writing distinctive…
Dalam bukunya How to Read Ethnography, Blasco menyebutkan bahwa antropologi fokus pada bagaimana antropolog menggambarkan pengalaman hidup dan bagaimana mereka membentuk gambaran etnografi dari berbagai argumen. Selain itu, antropolog juga membandingkan perilaku, bahasa, dan ide kehidupan, Mengetahui makna perilaku dan tindakan juga diperlukan karena cenderung memberikan konteks sosial dan budaya mereka. Seorang etnografer harus membandingkan dalam rangka menangkap tujuan dan makna dari sebuah tindakan
Henrietta Moore, misalnya, meneliti hubungan antara laki-laki dan perempuan di Kenya. Pada pagi hari dia melihat perempuan membersihkan abu di perapian dan membuang ke tempat pembuangan abu, dan dalam perjalanan berpapasan dengan laki-laki sambil menunjukkan abu yang Ia bawa. Lalu keduanya tertawa. Dalam hal ini dapat terlihat bagaimana perlakuan terhadap benda yang dianggap kotor. Sebuah identitas wanita yang dekat dengan dapur, rumah, dan memasak. Dalam masyarakat Kenya, abu tidak mungkin dibersihkan oleh laki-laki karen berhubungan dengan kepercayaan kemandulan. Selain itu, apabila seorang perempuan menolak untuk dinikahkan maka Ia akan menyelubungi dirinya dengan abu, yang berarti berserah diri pada kematian.
Antropolog dalam menyusun pengalaman melalui tulisan dalam bentuk narasi. Hal inilah yang menyebabkan karya etnografi seperti sebuah novel. Elaborasi dunia etnografi melibatkan proses diferensiasi, misalnya kontrastif yang menyoroti peran atau status. Belajar membaca etnografi kita akan melihat bagaimana menulis etnografi tentang hubungan dalam hal pola atau kerangka kerja yang luas, bagaimana gambaran hubungan yang dibangun dan terpadu dalam sebuah entnografi, dan bagaimana pola abstrak hubungan menjadi dasar untuk perbandingan. Karena etnografi ditulis dari berbagai pengalaman dengan perspektif tertentu, maka kita akan melihat perbedaan dalam analisis masing-masing etnograf.
Etnografi bertujuan untuk memahami arti dari hubungan sosial tertentu, menganalisisnya untuk membangun logika di antara hubungan relasi tersebut. Logika dalam hal ini memberikan dasar dalam berpikir tentang konsep. (Sri Fitri Ana, Antropologi, Universitas Indonesia)
Ethnography: Principles in practice, Third Edition
&
 Qualitative Research Methods: The Search For Meanings
Dalam sebuah penelitian, peneliti hendaknya membuat catatan agar data yang terkumpul dapat diingat dan tidak terlupakan. Selan itu, peneliti juga harus tahu perannya sebagai pewawancara. Dalam melakukan wawancara di dalam penelitian etnografi, peneliti menyeleksi informan agar data yang terkumpul relevan dan dapat menggambarkan permasalahan penelitian, yaitu informan yang peka terhadap lingkungan tersebut atau informan yang dengan sukarela mau menjadi informan dalam penelitian.
Peneliti dalam melakukan wawancara juga beperan sebagai pengamat terlibat dalam penelitian tersebut. Tipe-tipe pertanyaan yang diajukan dalam wawancara juga harus diperhatikan, yaitu bagaimana peneliti mengajukan pertanyaan yang nantinya akan menghasilkan jawaban yang relatif banyak, dan diperhatikan juga bagaimana respon terhadap suatu pertanyaan jika peneliti ajukan. Kadang informan dalam memberikan informasi bersifat perspektif menurut informan itu sendiri dan seringkali tidak bersambungan satu sama lain. Oleh karena itu, keahlian seorang peneliti dalam memilih informan akan berpengaruh nantinya terhadap hasil penelitian.
Tipe-tipe wawancara harus dikuasai oleh seorang peneliti, yakni bersifat fleksibel dan  dinamis. Peneliti juga harus melakukan pendekatan terhadap informan. Dalam memulai wawancara, peneliti harus mengetahui deskripsi dari pertanyaan yang diajukan. Panduan wawancara juga perlu dikuasai oleh seorang peneliti. Saat wawancara berlangsung peneliti hendaknya tidak menghakimi, mendahulukan orang untuk berbicara, memberikan sesuatu kepada informan dan peka terhadap keadaan. Dalam hal proses wawancara dapat pula direkam, dengan terlebih dahulu meminta izin. Penyelidikan dilakukan agar apa yang disampaikan informan sesuai dengan kondisi lapangan. Membangun relasi dengan informan juga perlu dilakukan agar tercipta suatu kondisi yang mendukung peneliti dalam mengumpulkan data. Dan setelah proses wawancara selesai ada baiknya membuat catatan agar informasi yang sudah diperoleh tidak terlupakan. (Sri Fitri Ana, Antropologi, Universitas Indonesia)

Selasa, 11 September 2012

Etnografi: Sebuah Metode Penelitian Kualitatif

Etnografi: Sebuah Metode Penelitian Kualitatif
(Tinjauan Ringkas Etnografi Sebagai Metode Penelitian Kualitatif dari Berbagai Referensi)

Perkembangan media dalam konteks sosial dan praktik budaya yang kian beragam semakin mengukuhkan eksistensi paradigma kualitatif. Kemampuannya menghasilkan produk analisis yang mendalam selaras dengan settingnya, diakui sebagai paradigma yang patut diperhitungkan dalam rangka menghadirkan refleksi bagi kajian ilmu komunikasi. Beberapa metode penelitian berbasis paradigma kualitatif ini– analisis wacana, studi kasus, semiotik dan etnografi – kini mulai dilirik para ilmuwan maupun peneliti.
Etnografi – yang akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini – merupakan salah satu metode penelitian kualitatif. Dalam kajian komunikasi, Etnografi digunakan untuk meneliti perilaku-perilaku manusia berkaitan dengan perkembangan teknologi komunikasi dalam setting sosial dan budaya tertentu, misalnya penelitian mengenai perilaku penggunaan mobile phone oleh remaja di Norwegia (Rich, Ling, ___). Metode penelitian etnografi dianggap mampu menggali informasi secara mendalam dengan sumber-sumber yang luas. Dengan teknik “observatory participant”, etnografi menjadi sebuah metode penelitian yang unik karena mengharuskan partisipasi peneliti secara langsung dalam sebuah masyarakat atau komunitas sosial tertentu. Yang lebih menarik, sejatinya metode ini merupakan akar dari lahirnya ilmu antropologi yang kental dengan kajian masyaraktnya itu.
Tidak seberuntung analisis wacana, studi kasus dan semiotik, selama ini belum banyak buku-buku khusus yang membahas metode penelitian etnografi dalam komunikasi, khususnya di Indonesia. Pun metode ini juga belum terlalu banyak diadaptasi oleh para peneliti dalam kajian komunikasi – walaupun diakui sumbangsihnya dalam menyediakan refleksi mengenai masyarakat dan perkembangan teknologi komunikasi terhitung tidak sedikit. Beberapa keunikan dan fenomena yang mengikuti eksistensi metode penelitian etnografi dalam komunikasi ini membuat penulis meliriknya sebagai salah satu metode yang laik dikenalkan, dikembangkan dan dirujuk dalam penelitian komunikasi. Untuk itu, dengan mengacu pada beberapa referensi buku, penulis akan memetakan secara ringkas metode penelitian etnografi.

“Metode Etnografi” – James Spradley
Secara harafiah, etnografi berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa yang ditulis oleh seorang antropolog atas hasil penelitian lapangan (field work) selama sekian bulan atau sekian tahun. Etnografi, baik sebagai laporan penelitian maupun sebagai metode penelitian, dianggap sebagai asal-ususl ilmu antropologi. Margareth Mead menegaskan, “Anthropology as a science is entirely dependent upon field work records made by individuals within living societies. Dalam buku “Metode Etnografi” ini, James Spardley mengungkap perjalanan etnografi dari mula-mula sampai pada bentuk etnografi baru. Kemudian dia sendiri juga memberikan langkah-langkah praktis untuk mengadakan penelitian etnografi yang disebutnya sebagai etnografi baru ini.
Etnografi mula-mula (akhir abad ke-19). Etnografi mula-mula dilakukan untuk membangun tingkat-tingkat perkembangan evolusi budaya manusia dari masa manusia mulai muncul di permukaan bumi sampai ke masa terkini. Tak ubahnya analisis wacana, mereka – ilmuwan antropologi pada waktu itu – melakukan kajian etnografi melalui tulisan-tulisan dan referensi dari perpustakaan yang telah ada tanpa terjun ke lapangan. Namun, pada akhir abad ke-19, legalitas penelitian semacam ini mulai dipertanyakan karena tidak ada fakta yang mendukung interpretasi para peneliti. Akhirnya, muncul pemikiran baru bahwa seorang antropolog harus melihat sendiri alias berada dalam kelompok masyarakat yang menjadi obyek kajiannya.
Etnografi Modern (1915-1925). Dipelopori oleh antropolog sosial Inggris, Radclifffe-Brown dan B. Malinowski, etnografi modern dibedakan dengan etnografi mula-mula berdasarkan ciri penting, yakni mereka tidak terlalu mamandang hal-ikhwal yang berhubungan dengan sejarah kebudayaan suatu kelompok masyarakat (Spradley, 1997). Perhatian utama mereka adalah pada kehidupan masa kini, yaitu tentang the way of life masayarakat tersebut. Menurut pandangan dua antropolog ini tujuan etnografi adalah untuk mendeskripsikan dan membangun struktur sosial dan budaya suatu masyarakat. Untuk itu peneliti tidak cukup hanya melakukan wawancara, namun hendaknya berada bersama informan sambil melakukan observasi.
Ethnografi Baru Generasi Pertama (1960-an). Berakar dari ranah antropologi kognitif, “etnografi baru” memusatkan usahanya untuk menemukan bagaimana masyarakat mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran mereka dan kemudian menggunakan budaya tersebut dalam kehidupan. Analisis dalam penelitian ini tidak didasarkan semata-mata pada interpretasi peneliti tetapi merupakan susunan pikiran dari anggota masyarakat yang dikorek keluar oleh peneliti. Karena tujuannya adalah untuk menemukan dan menggambarkan organisasi pikiran dari suatu masyarakat, maka pemahaman peneliti akan studi bahasa menjadi sangat penting dalam metode penelitian ini. “Pengumpulan riwayat hidup atau suatu strategi campuran, bahasa akan muncul dalam setiap fase dalam proses penelitian ini.
Ethnografi Baru Generasi Kedua. Inilah metode penelitian hasil sintesis pemikiran Spardley yang dipaparkan dalam buku “Metode Etnografi” ini. Secara lebih spesifik, Spardley mendefinisikan budaya – sebagai yang diamati dalam etnografi – sebagai proses belajar yang mereka gunakan untuk megintepretasikan dunia sekeliling mereka dan menyusun strategi perilaku untuk menghadapinya. Dalam pandangannya ini, Spardley tidak lagi menganggap etnografi sebagai metode untuk meneliti “Other culture”, masyarakat kecil yang terisolasi, namun juga masyarakat kita sendiri, masyarakat multicultural di seluruh dunia. Pemikiran ini kemudian dia rangkum dalam “Alur Penelitian Maju Bertahap” yang terdiri atas lima ,prinsip, yakni: Peneliti dianjurkan hanya menggunakan satu teknik pengumpulan data; mengenali langkah-langkah pokok dalam teknik tersebut., misalnya 12 langkah pokok dalam wawancara etnografi dari Spardley.; setiap langkah pokok dijalankakn secra berurutan; praktik dan latihan harus selalu dilakukan; memberikan problem solving sebagia tanggung jawab sosialnya, bukan lagi ilmu untuk ilmu.
Inti dari “Etnografi Baru” Spardley ini adalah upaya memperhatikan makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami melalui kebudayaan mereka. Dalam melakukan kerja lapangan, etnografer membuat kesimpulan budaya manusia dari tiga sumber: (1) dari hal yang dikatakan orang, (2) dari cara orang bertidak, (3) dari berbagai artefak yang digunakan. Namun, dalam buku ini, Spradley memfokuskan secara khusus pembuatan keksimpulan dari apa yang dikatakan orang. Wawancara etnografik dianggap lebih mampu menjelajah susunan pemikiran masyarakat yang sedang diamati.
Sebagai metode penelitian kualitatif, etnografi dilakukan untuk tujuan-tujuan tertentu. Spradley mengungkapkan beberapa tujuan penelitian etnografi, sbb: pertama, untuk memahami rumpun manusia. Dalam hal ini, etnografi berperan dalam menginformasikan teori-teori ikatan budaya; menawarkan suatu strategi yang baik sekali untuk menemukan teori grounded. Sebagaii contoh, etnografi mengenai anak-anak dari lingkungan kebudayaan minoritas di Amerika Serikat yang berhasil di sekolah dapat mengembangkan teori grounded mengenai penyelenggaraan sekolah; etnografi juga berperan untuk membantu memahami masyarakat yang kompleks. Kedua, etnografi ditujukan guna melayani manusia. Tujuan ini berkaitan dengan prinsip ke lima yang dikemukakan Spradley di atas, yakni meyuguhkan problem solving bagi permasalahan di masyarakat, bukan hanya sekadar ilmu untuk ilmu.
Ada beberapa konsep yang menjadi fondasi bagi metode penelitian etnografi ini. Pertama, Spradley mengungkapkan pentingnya membahas konsep bahasa, baik dalam melakukan proses penelitian maupun saat menuliskan hasilnya – dalam bentuk verbal. Sesungguhnya adalah penting bagi peneliti untuk mempelajari bahasa setempat, namun, Spredley telah menawarkan sebuah cara, yakni dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan etnografis. Konsep kedua adalah informan. Etnografer bekerja sama dengan informan untuk menghasilkan sebuah deskripsi kebudayaan. Informan merupakan sumber informasi; secara harafiah, mereka menjadi guru bagi etnografer (Spradley, 1997: 35).
Sisa dari buku yang ditulis Spradley ini mengungkap tentang langkah-langkah melakukan wawancara etnografis – sebagai penyari kesimpulan penelitian dengan metode etnografi. Langkah pertama adalah menetapkan seorang informan. Ada lima syarat yang disarankan Spradley untuk memilih informan yang baik, yaitu: (1) enkulturasi penuh, (2) keterlibatan langsung, (3) suasana budaya yang tidak dikenal, (4) waktu yang cukup, (5) non-analitis. Langkah kedua adalah melakukan wawancara etnografis. Wawancara etnografis merupakan jenis peristiwa percakapan (speech event) yang khusus (ibid, hal. 71). Tiga unsur yang penting dalam wawancara etnografis adalah tujuan yang eksplisit, penjelasan dan pertanyaannya yang bersifat etnografis. Langkah selanjutnya adalah membuat catatan etnografis. Sebuah catatan etnografis meliputi catatan lapangan, alat perekam gambar, artefak dan benda lain yang mendokumentasikan suasana budaya yang dipelajari. Langkah ke empat adalah mengajukan pertayaan deskriptif. Pertanyaan deskriptif mengambil “keuntungan dari kekuatan bahasa untuk menafsirkan setting” (frake 1964a: 143 dalam Spradley, 1991: 108). Etnografer perlu untuk mengetahui paling tidak satu setting yang di dalamnya informan melakukan aktivitas rutinnya. Langkah ke lima adalah melakukan analisis wawancara etnografis. Analisis ini merupakan penyelidikan berbagai bagian sebagaimana yang dikonseptualisasikan oleh informan. Langkah ke enam, yakni membuat analisis domain. Analisis ini dilakukan untuk mencari domain awal yang memfokuskan pada domain-domain yang merupakan nama-nama benda. Langkah ketujuh ditempuh dengan mengajukan pertanyaan struktural yang merupakan tahap lanjut setelah mengidentifikasi domain. Langkah selanjutnya adalah membuat analisis taksonomik. Langkah ke sembilan yakni mengajukan pertanyaan kontras dimana makna sebuah simbol diyakini daoat ditemukan dengan menemukan bagaimana sebuah simbol berbeda dari simbol-simbol yang lain. Langkah ke sepuluh membuat analisis komponen. Analisis komponen merupakan suatu pencarian sistematik berbagai atribut (komponen makna) yang berhubungan dengan simbol-simbol budaya. Langkah ke sebelas menemukan tema-tema budaya. Langkah terakhirnya yakni menulis sebuah etnografi.
Pemikiran Spradley ini memberi pemetaan historis yang jelas mengenai metode penelitian etnografi selain mamberi gambaran mengenai langkah-langkahnya. Dengan cerdas, Spradley memaparkan bahwa etnografi baru bukan hanya dapat diadaptasi sebagai metode penelitian dalam antropologi melainkan dapat digunakan secara luas pada ranah ilmu yang lain. Penulis meletakkan pemikiran Spradley ini di bagian awal dengan maksud agar kita memperoleh pemahaman awal mengenai metode etnografi yang masih murni, umum, yang berasal dari akarnya, yakni ilmu antropologi. Berikut, penulis akan menyajikan pemikiran-pemikiran lain mengenai metode penelitian etnografi dalam ranah kajian ilmu yang lebih spesifik, ilmu komunikasi.
“Metodologi Penelitian Kualitatif” – Deddy Mulyana
Istilah Etnografi berasal dari kata ethno (bangsa) dan graphy (menguraikan). Etnografi yang akarnya adalah ilmu antropologi pada dasarnya adalah kegiatan penelitian untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena teramati kehidupan sehari-hari. Menurut pemikiran yang dirangkum oleh Deddy Mulyana ini, etnografi bertujuan menguraikan suatau budaya secara menyeluruh, yakni semua aspek budaya baik yang bersifat material, seperti artefak budaya dan yang bersifat abstrak, seperti pengalaman, kepervcayaan norma, dan system nilai kelompok yang diteliti. Sedang Frey et al., (1992: 7 dalam Mulyana, 2001: 161) mengatakan bahwa etnografi berguna untuk meneliti perilaku manusia dalam lingkungan spesifik alamiah. Uraian tebal (thick description ) berdasarkan pengamatan yang terlibat (Observatory participant) merupakan ciri utama etnografi (ibid: 161-162).
Pengamatan yang terlibat menekankan logika penemuan (logic of discovery), suatu proses yang bertujuan menyarankan konsep-konsep atau membangun teori berdasarkan realitas nyata manusia. Metode ini mematahkan keagungan metode eksprimen dan survei dengan asumsi bahwa mengamati manusia tidak dapat dalam sebuah laboratorium karena akan membiaskan perilaku mereka. Pengamatan hendaknya dilakukan secara langsung dalam habitat hidup mereka yang alami.
Denzin menkategorikan jenis pengamat, sbb: participant as observer, complete participant, observer as participant serta complete observer (I bid: 176). Etnografer harus pandai memainkan peranan dalam berbagai situasi karena hubungan baik antara peneliti dengan informaan merupakan kunci penting keberhasilan penelitian. Untuk mewujudkan hubungan baik ini diperlukan ketrampilan, kepekaan dan seni. Selain ketrampilan menulis, beberapa taktik yang disarankan adalah taktik “mencuri-dengar” (eavesdropping) dan taktik “pelacak” (tracer), yakni mengikuti seseorang dalam melakukan serangkaian kegiatan normalnya selama periode waktu tertentu.
Hampir sama dengan pemikiran sebelumnya, tulisan Deddy Mulyana ini mengukuhkan wawancara secara mendalam dan tak terstruktur sebagai teknik pengumpulan data dalam penelitian etnografi ini. Kedua jenis wawancara ini adalah metode yang selaras dengan perspektif interaksionisme simbolik, karena memungkinkan pihak yang diteliti untuk mendefinisikan dirinya sendiri dan lingkungannya, tidak sekadar manjawab pertanyaan peneliti. Pada tahap ini, wawancara hendaknya dilakukan secara santai dan informal dengan tetap berpengang pada pedoman wawancara yang telah dibuat peneliti.
Walaupun pemaparannya tidak jauh berbeda dengan Spradley di atas, namun Deddy Mulyana lebih menekankan pendekatan interaksionisme simbolik untuk membaca sebuah fenomena menggunakan metode etnografi ini. Menurut perspektif interaksionisme simbolik, transformasi identitas menyangkut perubahan psikologis. Pelakunya menjadi individu yang berbeda dari sebelumnya (Ibid: 230). Hal ini menjadi perhatian dalam penggunaan metode penelitian etnografi. Peneliti disarankan untuk mampu merunut riwayat sejarah informan sebelum melakukan penelitian, atau yang sering dikenal dengan analisis dokumen.
“A Hand Book of Methodologies For Mass Communication research” – Jensen and Jankowski
Dalam bukunya “A Hand Book of Methodologies For Mass Communication Research”, Jensen dan Jankowski menempatkan etnografi sebagai sebuah pendekatan. Etnografi tidak dilihat sebagai alat untuk mengumpulkan data, tetapi sebuah cara untuk mendekati data dalam meneliti fenomena komunikasi. Menurut Hammersley dan Atkinson (1983: 2 dalam Jansen and jankowski, 1991: 153), etnografi dapat dipahami sebagai
Simply one social research method, albeit an unusual one, drawing on a wide range of sources information. The erhnographer participates in people’s lives for an extended period of time, watching what happens, listeninf to what is said, asking questions, collecting whatever data are available to throw light on issues with which he or she concerned.
Etnografi secara alami dipandang sebagai penyelidikan mengenai aktivitas hidup manusia. Oleh Greetz disebut sebagai “informal logic of actual life”. Berbasis pandangan ini, seharusnya etnografi mampu menghasilkan deskripsi secara detail dari pengalaman kongkrit dengan latar budaya dan aturan sosial tertentu, pola-pola yang ada di dalamnya bukan berpatokan pada hukum yang universal (ibid: 8). Namun kenyataannya, etnografi menjadi istilah yang totemic. Misalnya, dalam kajian mengenai audiens akhir-akhir ini, tiba-tiba semua orang menjadi seorang etnografer.
Hal ini menggugah Lull untuk meneriakkan kembali tanggung jawab sebagai seorang peneliti etnografi, yakni; pengamatan dan pencatatan secara langsung tingkah laku yang rutin dari seluruh karakteristik individu yang dipelajari; pengamatan harus dilakukan secara langsung dalam setting masyarakat yang diteliti – sebagai laboratorium alaminya; Kesimpulan digambarkan secara hati-hati, tidak gegabah, perlu juga memberikan perlakuan spesial terhadap hasil pengamatan dalam konteks yang berbeda-beda.
Strategi penelitian kualitatif, seperti Etnografi ini dirancang untuk memasuki ceruk-ceruk wilayah kehidupan alami serta aktivitas tertentu yang menjadi karakter masyarakat yang akan diteliti. Kekuatan utama etnografi adalah contextual understanding yang timbul dari hubungan antaraspek yang berbeda dari fenomena yang diamati. Namun, yang masih dianggap sebagai kelemahannya ialah interpretasi peneliti dalam menggambarkan hasil pengamatan. Karena peneliti barada bersama dengan para informan, maka peneliti dituntut untuk reflektif dan mampu menjauhkan diri dari kekerdilan interpretasi, ketidaklengkapan observasi dan dan gap- gap yang ada dalam struktur yang diamati.
Sedang penelitian etnografi mulai dikembangkan, debat mengenai etnografi postmodern terpusat di USA pun masih berlangsung. Perdebatan itu bermuara pada hubungan antara siapa yang megnamati serta siapa yang diamati, dan kewenangan dasar seorang etnografer untuk membuktikan sebuah pengalaman kultural orang lain. Sesungguhnya ini adalah perdebatan klasik dalam kajian etnografi selama bertahun-tahun, namun memang segala pendekatan yang berpangkal pada paradigma subyektivis harus menemukan jalannya sendiri. Menanggapi perdebatan tersebut, Greetz dengan bijak mengatakan bahwa being there as the founding authority of the ethnographic account.. Walaupun mendapat cercaan dari penganut positivis, etnografi toh telah membantu kita dalam memahami praktik-praktik menonton televisi dan pengkonsumsian media lainnya yang tidak dapat dihindari selalu terjadi dalam konteks kehidupan tsehari-hari.

SEBUAH TINJAUAN
Etnografi, yang akarnya adalah ilmu antropologi pada dasarnya adalah kegiatan penelitian untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena teramati kehidupan sehari-hari. Seperti layaknya penelitian kualitatif lainnya, etnografi saat ini sudah mampu mengambil hati para ilmuwan komunikasi terutama berkaitan dengan penelitian yang mengungkap praktik-praktik pengkonsumsian media, perilaku dalam perkembangan teknologi komunikasi, dll. Metode penelitian etnografi menyuguhkan refleksi yang mendalam bagi kajian-kajian semacam itu.
Metode etnografi memiliki ciri unik yang membedakannya dengan metode penelitian kualitatif lainnya, yakni: observatory participant—sebagai teknik pengumpulan data, jangka waktu penelitian yang relatif lama, berada dalam setting tertentu, wawancara yang mendalam dan tak terstruktur serta mengikutsertakan interpretasi penelitinya. Yang terakhir ini sepertinya masih menjadi perdebatan dengan penganut positivis. Untuk kasus-kasus tertentu, kemampuan interpretasi peneliti diragukan – tanpa mereka sadari, sejatinya interpretasi ilmuwan-ilmuwan etnografi berperan besar dalam menyajikan kesadaran-kesadaran kritis atas perilaku bermedia masyarakat.
Ketidakberuntungan merode etnografi dibanding analisis wacana, semiotik serta studi kasus adalah karena penelitian ini memerlukan waktu yang sangat lama, tenaga yang besar – karena peneliti harus bergabung dengan informan, ketrampilan berkomunikasi yang terlatih, serta kemampuan menuliskan interpretasi dengan baik. Di sisi lain, metode etnografi telah membuktikan bahwa sebagai metode penelitian kualitatif, ia mampu melaklukan analisis yang lebih mendalam serta menyajikan refleksi kritis secara detil dalam lingkup mikro sebuah kehidupan manusia.
Bagaimanapun juga, metode penelitian etnografi hanyalah sebuah cara yang dalam aplikasinya tentu tidak dapat meninggalkan metode penelitian lainnya, bahkan metode penelitian kuantitatif sekalipun. Sebagai calon ilmuwan komunikasi, ada baiknya kita mempelajari metode ini, karena di masa yang akan datang, ketika kultur mikro mulai tereduksi oleh globalisasi makro, tentu refleksi-refleksi kritis sangat diperlukan. Dan etnografi akan hadir sebagai metode penelitian kulaitatif yang akan menyelesaikannya.

REFERENSI
Jensen, Klaus Bruhn and Nicholas W. Jankowski. 1991. A Hand Book of Methodologies For Mass Communication research.
Mulyana, Deddy. 2001. metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT remaja Rosdakarya
Spradley, james P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: PT tiara Wacana

Senin, 10 September 2012

Mahasiswa Baru Apa Yang Kau Cari?

Oleh : Toriqul Chaer



Jika ditanyakan bagaimana gambaran dunia pendidikan kita saat ini?, maka sungguh miris jika melihat kenyataan bahwa pendidikan di negeri ini berjalan tertatih-tatih, terseok-seok tanpa arah tujuan yang jelas. Pada setiap diskursus, kajian intensif, seminar yang mengangkat tema-tema pendidikan selalunya hadir justifikasi bagaimana gambaran lemahnya mutu, kualitas dan pengelolaan manajemen pendidikan di Indonesia.
Gambaran nyata dunia pendidikan seperti diatas banyak menuai pro dan kontra, ada yang menyanggah, membantah walaupun ada juga sebagian yang membela mati-matian, bahkan ada yang dengan sekuat tenaga dan segenap daya upaya serta terang-terangan berupaya mengkondisikan status quo, carut- marutnya pendidikan di Indonesia hanya untuk kepentingan pribadi yang ujung-ujungnya duit!
Menggagas idealita pendidikan Indonesia kita bagaikan menyanyikan lagu paduan suara yang merdu, syahdu dan mendayu-dayu, tetapi jika bicara fakta atawa berbicara kongkrit pendidikan di Indonesia maka suara yang keluar tergagap-gagap dan cenderung falseto. Keadaan ini akan semakin menjadi-jadi apabila melihat banyaknya kasus perilaku pelaku pendidikan yang gamang, perilaku amoral dan terjangkit sirosis krisis identitas -bahkan sebagian sudah kehilangan identitas- bagaimana filosofi pendidikan harus diterjemahkan dengan arif dan bijaksana.
Sebagai contoh ketika bicara tentang Ujian Nasional (UN), masih banyak dijumpai pelaku dunia pendidikan yang terjebak paradigma grade-minded; pemutlakan angka sebagai representasi mutu dan kualitas dari peserta didik. Memang tak bisa dipungkiri pada setiap kegiatan perlu dievaluasi termasuk proses pembelajaran.
Dalam kegiatan belajar- mengajar, salah satu evaluasi itu berupa ujian. Ujian diperlukan karena hasil yang diperoleh dipergunakan sebagai alat ukur untuk mengetahui apa yang telah dicapai peserta didik.
Pada sisi lain ujian dapat digunakan sebagai cambuk atau alat pacu belajar bagi peserta didik disamping sebagai need assesment bagi guru dan sekolah dalam pengambilan kebijakan tindakan pembelajaran. Namun sekali lagi pemutlakan realitas ujian sebagai alat satu-satunya masih terlalu superior sebagai alat satu-satunya yang paling sahih untuk mengetahui kualitas pendidikan di negeri ini. Perlu disadari bahwa ujian adalah alat untuk mengetahui kemampuan dan perkembangan intelektual (kognitif) belaka, masih banyak spektrum kemampuan/kompetensi lain yang bisa dan perlu dikembangkan dalam pendidikan, yaitu diantaranya sikap dan kepribadian.
Menurut survei yang diterbitkan National Association of Colleges and Employers (NACE) pada tahun 2002, Indeks Prestasi sebagai representasi kecerdasan seseorang hanya menduduki peringkat 17 dari 20 kriteria yang dianggap penting bagi seorang lulusan universitas atau perguruan tinggi. Berikut Tabel Indeks skor kualitas seseorang.
*Skor Kualitas/Sukses Seseorang (Hasil Survei NACE, 2002)

No.         Kualitas                Skor
1.            Kemampuan berkomunikasi       4,69
2.            Kejujuran/Integritas       4,59
3.            Kemampuan bekerja sama          4,54
4.            Kemampuan interpersonal          4,50
5.            Etos kerja yang baik        4,46
6.            Memiliki motivasi/berinisiatif     4,42
7.            Mampu beradaptasi       4,41
8.            Kemampuan analitikal   4,36
9.            Kemampuan komputer 4,05
10.          Kemampuan berorganisasi          4,05
11.          Berorientasi pada detail                4,00
12.          Kemampuan untuk memimpin  3,97
13.          Percaya diri         3,95
14.          Berkepribadian ramah   3,85
15.          Sopan/beretika                3,82
16.          Bijaksana             3,75
17.          Indeks Prestasi 3,0 keatas            3,68
18.          Kreatif  3,59
19.          Humoris               3,25
20.          Kemampuan Entrepreneurship 3,23

(Suara Merdeka, 12 Mei 2009)

Data yang tersebut diatas bisa jadi telah usang, yaitu data survei tahun 2002 tapi bila kita mau mencermati apa yang diungkap pada survei tersebut kita akan mendapati bahwa data- data yang terekam memiliki relevansi dan tingkat signifikasi cukup kuat dalam konteks kekinian. Jika melihat peringkat yang berada diatas kita akan mendapati bahwa seringkali hal- hal kecil, sepele yang seringkali dianggap sekedar basa-basi ketika tertulis di iklan lowongan pekerjaan. Sebagai contoh misalnya kemampuan berkomunikasi, integritas, etos kerja yang baik, interpersonal dan team-work. Kualitas–kualitas yang bertengger diperingkat atas memang tidak terlihat wujudnya, namun keberadaannya sangat diperlukan ini disebut dengan soft skills.

Entrepreunership; Antara Cita dan Idealita
Menjadi seorang pemimpin atau wirausaha sudah seharusnya menjadi idaman setiap mahasiswa. Jika melihat kecenderungan kondisi bangsa ini maka ke depan sangat dibutuhkan sosok- sosok pemimpin yang mampu membawa bangsa ini menuju kemajuan, karena tanpa pemimpin cita- cita bangsa hanyalah sebatas impian dan angan-angan, “where there is no vision people shall perish”.
Untuk menjadi pemimpin yang efektif dan kompeten ada cara untuk mewujudkannya, perlu dipelajari dan dipraktekkan. Dan mahasiswa sebagai penerus generasi bangsa sudah sewajarnya diberikan wahana untuk praktik, baik melalui kurikulum maupun non kurikulum. Sayangnya selama ini pendidikan kita –terutama pada Perguruan Tinggi- masih terjebak pemahaman bahwa seorang wirausaha adalah hanya sekedar “bakul”.
Sesungguhnya wira usaha adalah ghirah, semangat dan sikap yang mampu melihat sesuatu pekerjaan dari sudut pandang inovatif, kreatif, sinergik, efisien dan profesional. Bagi seorang wirausahawan Muslim spirit wirausaha ini berkelindan, bertransformasi dan teraktualisasi dalam tujuan mencapai kemaslahatan dan keberkahan bersama. Dan untuk itu maka diperlukan kemampuan yang invisible seperti; amanah, komitmen, loyalitas, mampu bekerjasama, komunikatif dan inovatif serta sikap profesional.
Masalahnya dari sejumlah kriteria yang tertera pada tabel, manakah yang dilatih dan dikembangkan mahasiswa pada masa- masa kuliah? Seharusnya momentum ini bagi mahasiswa bisa menjadi pilihan untuk menentukan dan memilih perguruan tinggi mana yang bisa memungkinkan jiwa pemimpin/entrepeneurship dapat berkembang dengan baik.
ITB, IPB, UGM merupakan jajaran Perguruan Tinggi “Umum” yang telah memanfaatkan keluasan kampusnya untuk memberi wahana bagi mahasiswa mengembangkan konsep soft skills. ITB menggembleng kepribadian mahasiswanya dengan konsep mentoring pada setiap hari Sabtu, UGM dengan konsep leadership-nya dan IPB mengembangkannya pada setiap proses perkuliahan.
Untuk mengasah berbagai kemampuan soft skills idealnya mahasiswa memiliki kehidupan yang seimbang antara aktivitas akademik dan non akademik. Dengan begitu, ketika lulus yang diperoleh bukan hanya sekedar justifikasi gelar dan ijazah legal formal melainkan juga mutu dan kualitas diri yang terjaga sehingga mampu bersaing ketika terjun ke dunia kerja dan dunia nyata.

Dare To Be Different !
Sebagai kemampuan invicible, soft skill kadang memerlukan bukti otentik. Sebagai contoh mana yang lebih meyakinkan dari peryataan berikut ini; mengklaim diri sebagai komunikator yang baik atau mencantumkan sejumlah pengalaman presentasi dan penghargaan, baik skala nasional maupun internasional? atau mana yang lebih penting antara datang, duduk, mendengarkan lalu pulang dengan kemampuan berimprovisasi, berkreasi untuk selalu menjadi pribadi yang terbaik? Maka, urusan untuk memilih perguruan tinggi yang memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk aktif di berbagai organisasi, kajian- kajian intensif, kelompok- kelompok studi disamping itu berpartisipasi aktif dalam mendorong peningkatan mutu dan kualitas mahasiswa adalah fardhu ain!
Hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana untuk memulai perubahan paradigma berpikir “to be different” dimulai dari diri sendiri karena hal ini merupakan tahap awal yang terkadang para mahasiswa lupa bagaimana untuk memulainya , “first step is difficult”.
Dirjen Dikti telah mengembangkan materi soft skills sebagai ikon perguruan tinggi ke depan, yang penerapannya disesuaikan dengan visi, misi dan nilai perguruan tinggi masing- masing. Mahasiswa sebagai calon pemimpin bangsa harus dibekali nilai kepemimpinan, termasuk didalamnya spiritual leadership; yang mampu mengilhami, menginspirasi dan membangkitkan serta memberdayakan semua elemen yang dipimpin. Cara untuk mempengaruhi yang dipimpin tidak dengan melulu dengan pendekatan materi, tetapi intensitas mixing antara spirit iman dan kasih sayang.
Target kepemimpinan adalah membangun persaudaraan, kasih sayang, menebar kebajikan dan kemaslahatan sebagai pembagi rahmat Tuhan di dunia, integritas dan komitmen pada kejujuran, termasuk dunia pendidikan yang telah dipilih sebagai jalan pengabdian hidup.

Ngawi, 11 April 2011