Selasa, 29 November 2011

Hukum Talak Tiga Sekaligus


Oleh : Al-Faqir Ilallah



Di antara masalah-masalah yang menjadi ganjalan dalam kehidupan, yang berakhir dengan pecahnya keluarga dan putusnya silaturahmi di banyak negara adalah masa1ah disahkannya talak tiga sekaligus: Seseorang mengatakan, “Engkau kucerai dengan ta1ak tiga." Atau ia mengu1ang-ulang tiga kali berturut-turut dalam satu majelis ucapan, “Engkau kuceraikan." Kemudian hal itu di pandang sebagai talak tiga yang sebenarnya dan perempuan yang dicerai menjadi haram dinikahi bekas suaminya sebelum dinikahi laki-1aki lain (lalu menceraikannya) .
Dalam talak, menurut kebanyakan pengikut Ahlusunah, tidak disyaratkan dengan satu syarat pun yang dapat menghalangi segera jatuhnya talak, seperti perempuan tidak sedang dalam masa haid, tidak suci setelah bercampur, atau keharusan hadimya dua orang saksi yang adil. Kadang-kadang kebencian dan kemarahan telah menguasai diri suami. Kemudian ia menceraikan istrinya dengan ta1ak tiga sekaligus. Sete1ah itu, ia menyesali perbuatannya dengan penyesalan yang sedemikian rupa sehingga seakan-akan bumi ini telah menjadi sempit baginya. Maka ia mencari jalan keluar dari akibat buruk ini. Namun, dari para .imam mazhab yang empat dan para pandakwahnya, ia tidak menemukan jalan keluar. Akhimya, ia hanya duduk dalam penyesalan. Pertanyaan baginya hanya membuat ia lari dari fiqih dan fatwa.
Kita tahu dengan pasti bahwa Islam adalah agama yang mudah dan toleran. Di dalamnya tidak ada kesulitan. Inilah yang mendorong para pendakwah yang ikhlas terus menerus mengkaji  masalah ini dengan kajian yang terbebas dari pengaruh pikiran orang-orang yang terbelakang yang menutup pintu ijtihad dalam hukum-hukum syariat; yang jauh dari pengaruh kajian orang- orang yang menuruti hawa nafsu yang ingin menjauhkan umat dari Islam, serta mencegah mereka untuk mengkaji masalah ini dan mencari hukumnya dalam Al-Qur'an dan sunah. Sehingga mereka terasing dari pemikiran yang benar. Padahal, boleh jadi setelah itu Allah menjadikan sesuatu yang baru. Barangkali setelah itu ikatan akan terurai dan mufti (pemberi fatwa) menemukan jalan keluar dari kesempitan yang disebabkan oleh taklid mazhab.
Berikut ini kami kutipkan kepada Anda beberapa pendapat berkenaan dengan masalah tersebut.
Ibn Rusyd berkata, "Mayoritas fukaha berpendapat bahwa talak dengan mengucapkan kata ‘tiga’’ , hukumnya sama dengan talak tiga. Sedangkan ahlu zahir dan jamaah mengatakan bahwa hukumnya sama dengan hukum talak satu, dan ucapan kata ‘tiga’ , itu tidak memiliki konsekuensi apapun."l
Asy-Syekh ath- Thusi berkata, jika seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak tiga dengan satu lafaz, hal itu merupakan bid'ah dan jatuh talak satu Apabila terpenuhi syarat-syaratnya. Demikian menurut sahabat-sahabat kami. Tetapi di antara mereka ada yang berpendapat bahwa ha1itu sama sekali tidak menimbulkan konsekuensi apa pun. Pendapat itu dianut oleh 'Ali as dan ahlu zahir. Ath-Thahawi meriwayatkan hadis dari Muhammad bin Ishaq bahwa ia memandang dengan lafaz jatuh talak satu, seperti telah kami katakan. Juga diriwayatkan bahwa Ibn 'Abbas dan Thawus berpendapat seperti pendapat yang dianut mazhab Imamiyah."
Asy-Syafi'i berkata, "Jika seorang 1aki-1aki menceraikan istrinya dengan talak dua atau talak tiga dalam keadaan suci dan tidak dicampuri, baik dilakukan sekaligus (satu kalimat dengan menyebutkan bi1angan) maupun secara terpisah (satu kalirnat diulang-ulang) , hal itu mubah, tidak dilarang, dan talak tersebut sah. Di kalangan sahabat yang berpendapat demikian adalah 'Abdurrahman bin 'Auf, Mereka meriwayatkan hadis ini dari al-Hasan bin 'Ali as. Di kalangan tabi'in yang berpendapat seperti ini adalah Ibn Sirin. Sedangkan di kalangan fukaha yang mengikuti pendapat ini adalah Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsawr."
Kaum berkata, " Apabila seorang laki-laki menceraikan istrinya dalam keadaan suci dengan talak dua atau talak tiga, baik sekaligus maupun secara terpisah, ia telah melakukan perbuatan haram, maksiat, dan dosa. Di kalangan sahabat yang berpendapat demikian adalah ‘Ali as, ‘Umar, Ibn ‘Umar, dan Ibn ‘Abbas. Di kalangan fukaha yang berpendapat seperti ini adalah Abu Hanifah beserta para sahabatnya dan Malik. Tetapi mereka mengatakan bahwa talak itu sah."
Abu al-Qasim al-Khurqi dalam Mukhtasar-nya mengatakan, " Apabila seorang laki-laki berkata kepada istri yang telah dicampurinya, ‘Engkau ditalak. Engkau ditalak,’ maka jatuh talak dua. Tetapi jika dengan kalimat kedua itu ia bermaksud memahamkan kepada istrinya bahwa telah jatuh talak dengan kalilriat pertama, maka jatuh talak satu. Apabila perempuan itu belum dicampuri, maka dengan kalimat pertama itu ia menjadi ba'in. Kalimat se- sudahnya tidak memiliki konsekuensi apa pun karena yang berlaku adalah ucapan pertama."
Ibn Qudamah dalam Syarh ‘ala Mukhtasar al-Khurqi mengatakan, “Apabila seorang laki-laki mengatakan kepada istrinya yang telah dicampuri, ‘Engkau ditalak' (dua kali) dan ia bemiat bahwa dengan ucapan kedua itu jatuh talak dua, maka bagi perempuan itu jatuh talak dua. Tetapi jika dengan ucapan kedua itu ia bemiat untuk memahamkan bahwa dengan ucapan pertama itu telah jatuh talak atau hanya untuk menegaskan, maka jatuh talak satu. Apabila ia tidak bemiat deh1ikian, maka ja.tuh talak dua. Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah dan Malik. Hal itu sahih menurut dua qawl asy-syafi’i. Tetapi dalam qawl terakhir ia mengatakan bahwa dengan cara itu jatuh talak satu."
Al-Khurqi juga dalam Mukhtasar-nya mengatakan, “Kepada istri yang telah dicampuri jatuh talak tiga Apabila suami mengatakan kepadanya kalimat-kalimat seperti, “Engkau ditalak, lalu ditalak, lalu ditalak.” Atau, ‘Engkau ditalak, kemudian ditalak, kemudian ditalak.’ Atau, ‘Engkau ditalak, kemudian ditalak dan ditalak.' Atau, Engkau ditalak, kemudian di talak, lalu ditalak.’
Ibn Qudamah dalam Syarh-nya mengatakan, “Menjatuhkan talak tiga dengan satu lafaz menuntut jatuhnya talak tersebut sekaligus, seperti kalau suami mengatakan (kepada istrinya) 'Engkau kucerai dengan talak tiga.'
‘Abdurrahman al-Jaziri berkata, "Laki-laki merdeka memiliki tiga talak. Apabila laki-laki itu menceraikan istrinya dengan talak tiga sekaligus dengan mengucapkan, 'Engkau kuceraikan dengan talak tiga,' maka menurut mazhab yang empat (Ahlusunah) bilangan yang diucapkannya itu berlaku. Itulah pendapat mayoritas ulama. Tetapi pendapat itu ditentang oleh sebagian mujtahid, seperti Thawus, 'Ikrimah, Ishaq, dan yang terkemuka di antara mereka adalah Ibn ' Abbas ra."
Masih banyak ucapan-ucapan seperti itu yang menunjukkan kesepakatan mayoritas fukaha setelah generasi tabi'in tentang berlakunya talak tersebut. Mereka berhujah dengan apa yang didengar. Orang yang terkemuka di antara mereka yang memberlakukan talak tersebut adalah 'Umar bin al-Khaththab. Talak tiga itu berdasarkan apa yang dilihat dan didengar dari para sahabat. Akan tetapi, kalau Al-Qur'an dan sunah menunjukkan sebaliknya, tentu itulah yang harus diambil.

Kajian terhadap Ayat-ayat tentang Hal itu
Allah swt berfirman:
Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang telah diciptakan Allah dalam rahimnya jika mereka beriman kepada Allah dan. hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu jika mereka (para suami itu ) menghendaki ishlah. Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Mahaperkasa dan Mahabijaksana. (QS. al-Baqarah [2]: 228)
Talak (yang dapat dirujuki) itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya ( suami-istri itu) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum- hukum Allah, maka janganlah kamu melanggamya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang lalim. (QS. al-Baqarah [2] : 229)
Kemudian jika suami menceraikannya ( setelah talak kedua ), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang ( mau ) mengetahui.   ( QS. al- Baqarah [2]: 230)
Apabila kamu menceraikan istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir masa iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula ). Janganlah kamu merujuki mereka untuk memberikan kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah sebagai permainan. Dan ingatlah nikmat Allah kepadamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al-kitab (Al-Qur'an) danal-Hikmah (sunah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
(QS. al-Baqarah [2]:-.230)
Kami kutip empat ayat di atas-walaupun yang menjadi dalil adalah ayat kedua-untuk dibahas. Tetapi sebelum membahasnya, kami tunjukkan beberapa butir dalam ayat-ayat tersebut.
I. Firman Allah SWT: Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf adalah kalimat yang universal. Kalimat itu tidak dapat dipahami kecuali dengan penjelasan yang panjang lebar. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa hak-hak di antara suami-istri itu bersifat imbal-balik. Perbuatan apa pun yang dilakukan istri kepada suami, maka suami pun harus mengerjakan perbuatan yang sama kepada istri. Mereka-dalam pergaulan-adalah sama dalam hak-hak dan perbuatan. Kehidupan tidak akan menjadi bahagia kecuali masing-masing dari kedua pasangan itu menghormati yang lain dan melaksanakan setiap kewajibannya terhadap yang lain. Istri berkewajiban mengatur rumah dan menjalankan pekerjaan-pekerjaan berkenaan dengannya. Sedangkan suami wajib berusaha dan bermata pencaharian di luar rumah. Inilah prinsip mendasar dalam kehidupan suami-istri yang dikukuhkan dengan fitrah. Nabi saw telah membagi hal itu di antara putrinya Fathimah as; dan suami putrinya 'Ali as. Maka urusan di dalam rumah menjadi tanggung jawab putrinya, sedangkan urusan di luar rumah menjadi tanggungjawab suami putrinya.
2. AI-Marrah berarti satu kali, untuk menunjukkan perbuatan satu kali. AI-Imsak (menahan) adalah kebalikan dari al-ithlaq (menceraikan). Adapun at-tasrih berasa1 dari kata as-sarh (melepaskan) berarti al-ithlaq. Karena itu sering dikatakan, saraha al- masyiyah fi al-mar'a (melepaskan binatang temak di padang rumput). Yang dimaksud dengan al-imsak adalah merujuknya untuk memelihara pernikahan. Sedangkan yang dimaksud dengan at-tasrih adalah tidak kembali kepadanya (istri) setelah berakhir masa iddahnya pada setiap ta1ak atau pada talak tiga yang juga merupakan satu bentuk tasrih hanya ada perbedaan da1am makna ka1imat. Tetapi yang paling kuat adalah yang pertama karena secara lahiriah menunjukkan tidak adanya rujuk kepadanya setelah dilakukan talak. Sebab, sebelum berakhirnya masa iddah, istri itu masih berada dalam ikatan dengan suami. Tetapi ketika suami membiarkannya dan tidak merujuknya maka istri itu keluar dari ikatan tersebut.
3. Disyaratkan bahwa imsak (menahan) itu dilakukan dengan baik (ma.ruf) dan tasrih (menceraikan) dilakukan dengan ihsan. Maksudnya, dalam imsak itu cukuplah dengan bertujuan tidak memberikan kemudharatan dengan melakukan rujuk. Adapun memberikan kemudharatan adalah seperti menceraikannya. Setelah berakhir masa iddahnya, suami itu merujuknya lagi. Kemudian iamenceraikannya dan merujuknya lagi. Demikian seterusnya. Dengan cara itu ia bermaksud untuk memberikan kemudharatan. Berdasarkan hal itu, maka imsak harus disertai sikap baik (ma.ruf). Ketika itu, ka1au setelah rujuk ia menuntut kembali apa yang telah diberikannya, hal itu tidak dihitung sebagai perbuatan mungkar yang tidak ma’ruf. Sebab, hal itu bukan berarti memberikan kemudharatan.
Ini berbeda. dengan tasrih. Dalam tasrih tidak cukup dilakukan dengan cara tersebut, melainkan harus disertai sikap ihsan kepada istri itu. Kemudian suami tidak boleh menuntut kembali harta yang telah diberikan kepadanya. Oleh karena itu, Allah swt berfirman, "Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka. "Yakni, tidak halal dalam talak apa pun mengarnbil kembali mahar yang telah kamu berikan kepada mereka kecuali kalau talak itu dilakukan karena khulu '. Maka ketika itu tidak ada salahnya istri menebus dirinya dengan mengembalikan mahar itu kepada suaminya.
Allah swt berfirman: Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya menunjukkan adanya keputusan dari pihak istri yang khawatir tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah. Maka dengan mahar itu dan sebagainya ia memberikan tebusan untuk membebaskan dirinya.
4. Pada zaman jahiliah tidak ada ketentuan talak dan rujuk dalam masa iddah baik batas maupun hitungan (jumlah)nya. Karenanya suami sering mempermainkan istri-istrinya dengan talak dan rujuk sekehendak hatinya. Kemudian datang Islam membawa aturan-aturan yang terperinci dan membatasi talak dua kali. Apabila talak kedua itu telah terlewati dan sampai pada talak ketiga, diharamkan bagi suami untuk merujuknya sebelum bekas istrinya itu dinikahi oleh laki-laki lain (kemudian menceraikannya) .
At-Tirmidzi meriwayatkan: Di tengah masyarakat, laki-laki menceraikan istrinya sehendak hati. Perempuan itu menjadi istrinya kalau suami merujuknya pada masa iddahnya walau- pun ia menceraikannya seratus kali atau lebih. Sehingga seorang laki-laki berkata kepada istrinya, "Demi Allah, aku tidak menceraikanmu sehingga kamu menjadi ba 'in bagiku. Aku tidak akan menyayangimu untuk selama-lamanya." Istrinya bertanya, "Mengapa demikian?" Laki-laki itu menjawab, " Aku menceraikanmu. Setiap kali masa iddahmu akan berakhir, aku merujukmu." Kemudian perempuan itu memberitahukan peristiwa itu kepada Nabi saw. Tetapi Nabi saw tidak memberikan jawaban hingga turun ayat Al-Qur’an, “Talak (yang dapat dirujuki) itu dua kali. "
5. Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah swt, "Talak (yang dapat dirujuki) itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. " Sehingga terdapat dua pendapat sebagai berikut:
a. Talak itu dua kali. Pada setiap satu talak dapat dilakukan imsak (menahan) dengan ma'ruf atau tasrih (melepaskan) dengan ihsan.Setelah jatuh talak pertama, laki-laki dapat memilih antara merujuknya setelah memilih untuk menceraikannya, laIu menahannya dan mempergaulinya dengan ihsan atau membiarkan istrinya tanpa dirujuk hingga berakhir masa iddahnya.
Inilah pendapat yang dinukil ath-Thabari dari as-Saddi dan adh-Dhahhak. Kedua orang itu berpendapat bahwa kalimat ath-thalaq marratayn (talak itu dua kali), lalu pada setiap talak itu suami dapat menahannya dengan ma'ruf atau melepasnya dengail ihsan. Kemudian ath-thabari berkata, "Inilah pendapat yang didasarkan pada lahiriah ayat kalau tidak ada hadis yang diriwayatkan Isma 'il bin Sami' dari Abu Razin”
Catatan:
Penafsiran ini dinafikan dengan digunakannya huruf fa' di antara kalimat marratayn dan fa imsakun bi ma'rufin. Itu artinya ditempuh salah satu dari dua perbuatan itu setelah dilakukan dua kali talak, bukan di antara kedua talak tersebut. Karenanya, masing-masing dari imsak dan tasrih itu merupakan perbuatan yang dilakukan setelah berlalu dua kali talak.
Benar. Dipahami keharusan melakukan salah satu dari dua perbuatan itu setelah setiap satu talak dari ayat lain. Yakni, firman Allah swt, " Apabila kamu menceraikan istri- istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (juga ). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. " (QS. al-Baqarah [2]: 231)7
Agar tidak mengulangi pengertian yang sama dalam masalah itu, maka firman Allah swt: Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik ditafsirkan dengan penafsiran yang lain. Akan dijelaskan kepada Anda kemudian.
b. Setelah menceraikan istrinya dengan talak dua, suami harus lebih banyak memikirkan ihwal istrinya itu daripada yang waktu-waktu sebelumnya. Setelah jatuh talak dua itu, ia akan mengambil sa1ah satu dari dua tindakan, yaitu merujuknya dengan ma'ruf dan hidup bersamanya untuk selama-lamanya atau menceraikannya dengan ihsan melalui ta1ak tiga yang tidak ada rujuk lagi setelah itu untuk selamanya kecua1i da1am kondisi tertentu.
Maka firman Allah SWT: atau menceraikan dengan cara yang baik menunjukkan talak tiga yang tidak ada lagi rujuk sesudahnya dan dengan demikian tasrih itu berlaku. Di sini ada dua pertanyaan yang dikutip al-Jashshash da1am tafsirnya:
1. Bagaimana menafsirkan firman Allah SWT: Atau menceraikan dengan cara yang baik dengan talak tiga. Padahal, maksud firman-Nya dalam ayat keempat (ayat 231) di atas: Atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula) ada1ah meninggalkan rujuk. Demikian pula maksud firman-Nya, " Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik" (QS. ath-Tha1aq [65]: 2) adalah meninggalkannya hingga berakhir masa iddahnya. Jelaslah bahwa maksud firman-Nya: aw sarrihuhunna bi ma'uif atau firman-Nya: aw fariquhunna bi ma'ruf adalah menceraikannya lagi.
Catatan: Pertanyaan atau sanggahan itu muncul dari kekeliruan pemahaman terhadap substansi. Lafaz itu dalam kedua ayat tersebut digunakan arti sarh (melepaskan) dan ithlaq (menceraikan). Padahal, da1am satu kalimat kata itu berarti talak dan da1am kalimat lain berarti meningga1kan rujuk. Ini tidak dipandang sebagai membedakan makna satu lafaz itu da1am dua kalimat tersebut. Substansinya dalam ayat 229 adalah talak sedangkan da1am ayat 231 ada1ah.meningga1kan rujuk. Perbedaan substansi itu tidak menyebabkan perbedaan pengertian.
2. Ta1ak tiga disebutkan da1am urutan berikutnya dalam firman- Nya, "Kemudian jika suami menceraikannya (setelah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal  baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. " Ketika itu, firman-Nya: aw tasrihun bi ihsan yang disebutkan sebelumnya harus diartikan dengan pengertian baru, yaitu berlakunya ba 'in dengan dua talak setelah ber-akhimya masa iddah.
Kalau tasrihun bi ihsan itu diartikan talak tiga, maka firman-Nya: fa in thallaqaha yang disebutkan sesudahnya berarti talak keempat. Sebab, huruf fa' litta 'qib itu menuntut pengertian talak tersendiri setelah talak yang disebutkan sebelumnya.
Jawaban terhadap sanggahan ini jelas sekali. Sebab, pertama tidak ada halangan untuk mcngungkapkannya secara garis besar, dan kedua kemudian menjelaskannya secara terperinci. Maka firman-Nya: fa in thallaqaha adalah penjelasan secara terperinci terhadap kata tasrih setelah menjelaskannya secara garis besar. Penjelasan terperinci itu mencakup hal-hal yang tidak disinggung dalam penjelasan secara garis besar tentang haramnya perempuan itu bagi mantan suamiriya hingga ia dinikahi oleh laki-laki lain. Kalau suami kedua itu menceraikannya atas kehendaknya sendiri, maka tidak ada halangan bagi mereka berdua (perempuan itu dan mantan suaminya yang pertama) untuk melakukan rujuk dengan akad yang baru jika mereka yakin dapat menegakkan hukum-hukum Allah. Inilah penjelasan terperinci atas firman-Nya: aw tasrihun bi ihsan (atau lepaskanlah ia dengan cara yang baik).
Dengan demikian diketahui bahwa firman-Nya fa in thallaqahii tidak merupakan talak keempat.
Ath-Thabari telah meriwayatkan dari Abu Razin: Seorang laki- laki datang kepada Nabi saw. Laki-laki itu berkata, "Wahai Rasulullah, Anda telah membaca firman Allah swt, "Talak (yang dapat dirujuki) itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. " Lalu, di manakah talak ketiga?"Rasulullah saw menjawab, "Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau: ceraikan dengan cara yang baik " merupakan talak ketiga.
Benar. Hadis diatas adalah hadis mursal, dan Abu Razin bukan sahabat, melainkan seorang tabi'in.
Akan tetapi, begitu banyak riwayat dari para imam ahlulbait as bahwa yang dimaksud dengan firman Allah swt: aw tasrihun bi ihsan adalah talak ketiga.
Sampai di sini, selesailah penafsiran ayat tersebut. Tampaklah bahwa makna kedua disisipkannya huruf fa' sangat jelas, bahkan pasti mengingat banyaknya riwayat dari para imam ahlulbait as.
Kini akan dibahas penunjukkan ayat itu terhadap batalnya talak tiga dalam arti talak itu tidak sah dengan disebutkannya bilangan "tiga". Ada pun jatuhnya menjadi talak satu, itu perkara lain.

Dalil Batalnya Talak Tiga Sekaligus

Apabila Anda telah memahami makna ayat di atas, ketahuilah bahwa Al-Qur'an dan sunah menunjukkan batalnya talak tiga itu. Sebab, talak itu harus dilakukan satu per satu. Di antara dua talak harus diselingi dengan rujuk atau pernikahan. Kalau talak tiga itu dilakukan sekaligus atau kalimat talak itu diulang-ulang tiga kali, maka tidak jatuh talak tiga. Adapun memandangnya sebagai talak satu, kalaupun benar, itu berbeda di luar pembahasan kita. Berikut ini dalil-dalilnya dari Al-Qur'an dan sunah.

I.                   Dalil dari AI-Qur'an

1. Firman Allah swt, "Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. "
Telah dijelaskan di atas bahwa terdapat dua pendapat dalam menafsirkan kalimat ini. Di antara mufasir ada yang mengatakan bahwa kalimat itu menjelaskan kalimat sebelumnya yakni Talak itu dua kali dan ada pula yang memandang bahwa kalimat itu merupakan talak tiga yang dijelaskan dalam ayat berikutnya. Anda telah mengetahui mana yang benar. Kalimat itu menunjukkan batalnya talak tiga sekaligus berdasarkan dua alasan berikut.
Alasan pertama, ini jelas. Sebab, arti kalirnat itu adalah bahwa setiap satu talak harus diikuti salah satu dari dua tindakan, yaitu menahannya dengan ma’ruf atau melepasnya dengan ihsan.
Ibn Katsir berkata, "Yakni, jika Anda menceraikannya dengan talak satu atau talak dua, dalam hal itu Anda boleh memilih selama dalam masa iddahnya apakah akan merujuknya dengan niat melakukan perbaikan ( ishlah) dan kebaikan ( ihsan) atau membiarkannya hingga berakhir masa iddahnya. Kemudian ia menjadi ba'in bagi Anda. Anda menceraikannya dengan cara yang baik serta tidak melalimi haknya sedikit pun dan tidak menimpakan kemudharatan kepadanya."
Lalu, di mana talak tiga yang tidak dapat diselingi dengan salah satu dari dua tindakan-menahannya atau meninggalkannya hingga berakhir masa iddahnya-baik menceraikannya dengan kalimat: "Engkau kuceraikan dengan talak tiga sekaligus" atau dengan kalimat: "Engkau kuceraikan, engkau kuceraikan, engkau kuceraikan".
Alasan kedua, walaupun potongan ayat itu menjelaskan talak tiga dan tidak menyinggung dua talak sebelumnya, tetapi kami katakan bahwa ada beberapa ayat yang menunjukkan bahwa kandungannya menjelaskan talak secara mutlak tanpa membedakan antara dua talak pertama dan talak ketiga. Karena kemutlakan itu, talaknya harus diikuti dengan salah satu dari dua tindakan berikut:
  1. menahannya dengan ma’ruf;
b. melepaskannya dengan ihsan. Tidak adanya penunjukkan ayat pertama pada dua talak pertama tidak menafikan dipahaminya dua talak tersebut dari dua ayat sebelumnya.
Barangkali kedua ayat itu menjadi satu jalinan karena bertemunya karakteristik dari potongan ayat: fa imsakum bi ma'ruf aw tasrihun bi ihsan dan mengembalikan kandungari kalimat tersebut pada talak secara mutlak. Oleh karena itu kami katakan bahwa, potongan ayat itu menunjukkan keharusan menyertai talak dengan salah satu dari dua tindakan berdasarkan kedua alasan di atas dan dalam keadaan apa pun baik yang menunjukkannya itu potongan ayat tersebut maupun ayat yang lain--seperti yang telah kami jelaskan. Kesimpulan dari semua itu adalah bahwa talak itu harus diikuti dengan salah satu dari dua tindakan merupakan sifat dasar talak yang membolehkan dilakukannya rujuk.
Hal itu akan tampak jelas Apabila kita mengetahui bahwa firman-Nya: fa balaghna ajalahunna (lalu mereka mendekati masa iddahnya) merupakan syarat utama. Jika tidak, sejak suami menceraikan istrinya, yang wajib dilakukan adalah menempuh salah satu dari dua tindakan itu. Akan tetapi, hal itu dibatasi dengan jangka waktu tertentu, yaitu ketika hampir mendekati masa iddahnya. Hal itu karena suami yang dikuasai kebencian dan kemarahan, yang kemarahannya tidak dapat padam kecuali dalam jangka waktu lama, dapat merenungkan ihwal istrinya dan menempuh salah satu dari dua tindakan itu.
Jika tidak, maka sifat dasar hukum syariat fa imsakun bi ma'ruf aw tasrihun bi ihsan menuntut hukum itu berlaku pada segala waktu tanpa mengucapkan redaksi talak tertentu hingga akhir masa itu yang juga berarti berakhirnya masa iddah.
Berdasarkan penjelasan tersebut, potongan ayat itu menunjukkan batalnya talak tiga dan hal itu bertentangan dengan tata cara yang sah dalam talak. Padahal, potongan ayat itu me- nunjukkan pendapat pertama dengan sendirinya dan pendapat kedua dengan dukungan ayat-ayat yang lain.
2. Firman Allah swt: Talak itu dua kali Firman Allah swt: Talak itu dua kali menyatakan jatuhnya talak satu per satu, tidak sekaligus. Oleh karena itu, Allah swt mengungkapkannya dengan lafaz al-marrah untuk menunjukkan tata cara perbuatan itu dilakukan satu per satu. Selain itu, kata ad-daf’ah, al-karrah, dan an-nazlah adalah seperti al-marrah baik dalam pola (wazan) , makna, maupun ungkapan.
Berdasarkan penjelasan kami ini, kalau suami mengatakan kepada istrinya, "Engkau kuceraikan dengan talak tiga sekaligus," ia tidak menceraikan istrinya satu talak demi satu talak. la juga tidak menceraikannya dengan dua talak. Melainkan ia menceraikannya dengan talak satu. Adapun kata "tiga " yang diucapkannya tidak berarti pengulangan kalimat itu tiga kali. Hal itu ditunjukkan furu ' fiqih, bahwa tidak seorang ahli fiqih pun yang mengatakan bahwa pengulangan itu sama dengan menyebutkan bilangaiilebih dari satu. Misalnya, di da1am li'an disyaratkan mengulangi sumpah (kesaksian) sebanyak 4 kali, karenanya, tidaklah memadai dengan hanya mengucapkan 1 sumpah, lalu digenapkan dengan mengucapkan bilangan "empat". Kalimat-kalimat dalam azan dibaca dua kali-dua kali. Karenanya tidak boleh seseorang membacanya satu kali dengan menambahkan kata "dua kali". Kalau orang yang bersumpah mengatakan, " Aku bersumpah demi Allah, dengan lima puluh kali sumpah, bahwa orang inilah pembunuhnya," sumpahnya dihitung sebagai satu sumpah. Kalau orang yang mengaku berzina mengatakan, " Aku mengaku empat kali bahwa aku telah berzina," pengakuannya dihitung sebagai satu pengakuan. Dan seterusnya dalam kasus-kasus yang memerlukan pengulangan, tidak cukup dengan menyebutkan bilangan.
Al-Jashshash berkata, "Talak itu dua kali. Sudah tentu, hal itu menuntut pemisahan. Sebab, kalau seseorang menceraikan istrinya dengan talak dua sekaligus, tidak cukup dengan me- ngatakan, 'Engkau kuceraikan dua kali.' Seperti itu pula seseorang yang membayarkan uang dua dirham kepada orang lain, tidak cukup dengan mengatakan, Aku bayarkan kepada- mu dua kali.' Melainkan ia harus menjelaskan pembayaran itu. Kalau demikian halnya, kalau hukum yang dimaksud dalam lafaz itu adalah yang berkaitan dengan dua talak dengan ada- nya kesempatan rujuk, tentu hal itu menyebabkan gugurnya faedah penyebutan kata marratayn ( dua kali) .Sehingga hukum itu berlaku dalam satu kali walaupun ia mentalak dua kali sekaligus. Dengan demikian ditegaskan bahwa penyebutan marratayn adalah perintah menjatuhkan talak itu dua kali dan larangan menggabungkannya sekaligus."
Ini semua jika talak tiga itu dilakukan dengan satu redaksi sekaligus. Adapun jika redaksi itu diulang seperti yang Anda ketahui, kadang-kadang orang-orang awam tertipu. Mereka mengatakan bahwa pengulangan redaksi itu sesuai dengan ayat tersebut padahal, dari sisi lain hal itu tertolak.
Redaksi kedua dan ketiga yang diucapkan adalah batal, karena hal itu tidak berkaitan dengan talak. Sebab, talak itu adalah untuk memutuskan hubungan suami-istri. Tidak ada lagi hubungan suami-istri setelah diucapkan redaksi pertama dan tidak ada lagi ikatan yang sah.
Dengan kata lain, talak itu adalah suami memutuskan hubungan suami-istri, hal itu tidak akan terwujud tanpa ada hubungan yang diakui masyarakat. Jelaslah bahwa perempuan yang ditalak-dengan redaksi kedua dan ketiga-tidaklah dipandang telah ditalak.
Kadang-kadang dikatakan bahwa perempuan yang ditalak itu masih berada dalam ikatan dengan mantan suaminya, dan hukumnya seperti hukum suami-istri. Ketika itu, redaksi kedua dan redaksi ketiga berpengaruh terdapat hukum tersebut. Akan tetapi, jawaban atas sanggahan ini jelas sekali. Hal itu karena redaksi kedua merupakan permainan saja, dan setelah itu istri tersebut masih dipandang sebagai istri. la akan keluar dari ikatan itu jika talak itu menjadi talak ba 'in, yang terwujud melalui talak tiga.
Alhasil, jenis talak tiga seperti ini tidak dapat dilakukan dengan menyebutkan bilangan tertentu yang merupakan tema ayat berikutnya, yakni Firman-Nya, "Kemudian jika suami menceraikannya (setelah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. " Bagaimana tidak? Rasulullah saw pemah bersabda, "Tidak ada talak kecuali setelah pernikahan." Di tempat lain beliau bersabda, "Tidak ada talak sebelum pernikahan."
Berbilangnya talak merupakan jaminan untuk melaksanakan akad pernikahan di antara dua talak walaupun dengan rujuk. Kalau hal itu tidak dilakukan di antara dua talak itu, tentu mengatakan talak itu menyerupai perrnainan.
As-Sammak berkata, "Pernikahan itu adalah ikatan yang diikatkan. Sedangkan talak adalah yang menguraikannya. Bagaimana dapat menguraikan ikatan kalau ikatan tersebut belum diikatkan?
3. Firman Allah SWT, "Maka hendaklah kamu menceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi )iddahnya. "
Firman Allah SWT: Talak itu dua kali berkenaan dengan talak yang membolehkan adanya rujuk. Di sisi lain, firman-Nya, "jika kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu menceraikan mereka pada waktu mereka dapat ( menghadapi) iddah- nya"  ( ath- Thalaq [65] : I) Padahal, yang wajib berkenaan dengan mereka adalah menghitung masa iddah tanpa rnembedakan huruf lam dalam kalimat li'iddatihinna itu bermakna zharfiyyah (keterangan waktu/tempat) sehingga menjadi fi 'iddatihinna atau bermakna ghayah. Yang dimaksud dengan li ghayah adalah "mereka menghitung iddah". Bagaimanapun, hal itu menunjukkan bahwa di antara karakteristik-karakteristik talak yang membolehkan adanya rujuk adalah menghitung masa iddah. Hal itu tidak akan terwujud kecuali dengan memisahkan antara talak yang pertama dan talak kedua. Jika tidak, talak pertama itu tanpa iddah kalau dilakukan dua talak sekaligus. Ka1au dilakukan talak tiga sekaligus maka talak pertarna dan talak kedua pun seperti itu.
Sebagian imam ahlulbait as berargumen dengan ayat ini dalam membatalkan talak tiga sekaligus.
Shafwan al-Jammal meriwayatkan hadis dari Abu. Abdillah as: Seseorang bertanya kepada Imam Abu. Abdillah as, “Aku telah menceraikan istriku dengan talak tiga sekaligus. Bagai- mana pendapat Anda?" Imam Abu. Abdillah as menjawab, "Bukan apa-apa (talak itu tidak sah)." Kemudian Imam as berkata, “Tidakkah engkau membaca Kitab Allah, "Hai Nabi, Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah. Dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah maka sesungguhnya dia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. Kami tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. " (QS. ath-Thalaq [65]: I)
Selanjutnya ia menambahkan, "Setiap hal yang menyimpang dari Kitab Allah dan sunah dikembalikan kepada Kitab Allah dan sunah."
Selain itu, kalau talak tiga sekaligus itu dipandang sah maka firman Al1ah: barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru tidak lagi punya arti. Sebab, perempuan itu telah menjadi ba 'in dan masalah itu berakhir pada kesudahan yang tidak terpuji. Ikatan kembali tidak halal kecuali perempuan itu menikah dengan laki-laki lain lalu bercerai. Padahal, yang dimaksud di sini ada1ah menyelesaikan masalah itu melalui rujuk atau menunggu dalam masa iddah.

II. Dalil dari Sunah
Anda telah mengetahui ketentuan dalam Al-Qur.an tentang masalah ini. Adapun hukumnya dalam sunah dinyatakan bahwa Rasulullah saw menganggap talak seperti ini sebagai mempermainkan Al-Qur. an.
I. An-Nasa'i meriwayatkan hadis dari Mahmud bin Labid: Rasulullah saw diberitahu tentang seorang laki-laki yang menceraikan istrinya dengan talak tiga sekaligus. Maka beliau berdiri sambil marah, kemudian bersabda. " Apakah dia akan mempermainkan Kitab Allah padahal aku masih ada di tengah kalian?. Kemudian seorang laki-laki berdiri dan berkata, "Wahai Rasulullah, bolehkah aku membunuhnya?"
Mahmud bin Labid adalah sahabat yang masih kanak-kanak tetapi ia mendengar hadis itu dari sahabat yang lain. Ahmad meriwayatkan hadis darinya dengan sanad yang sahih: Rasulullah saw datang kepada kami. Kemudian beliau mengimami kami salat Magrib di masjid k~mi. Setelah membaca salam. 
Kalau kita terima bahwa ia tidak mendengar dari sahabat yang lain, seperti yang dikatakan Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, ia adalah sahabat. Sedangkan hadis mursal shahabi, menurut para fukaha, dapat dijadikan hujah karena berpegang pada prinsip keadillan mereka semua.
2. Ibn Ishaq meriwayatkan hadis dari 'Ikrimah dari Ibn ' Abbas: Rukanah menceraikan istrinya dengan talak tiga sekaligus. Karenanya-setelah itu-ia sangat bersedih. Kemudian Rasulullah saw bertanya kepadanya, "Bagaimana kamu menceraikan istrimu?" la menjawab, " Aku menceraikannya dengan talak tiga sekaligus. " Maka Rasulullah saw bersabda, "Dengan cara itu hanya jatuh talak satu. Karenanya, rujuklah dengannya."
Orang yang bertanya itu adalah Rukanah bin' Abd Yazid. Imam Ahmad meriwayatkan hadis dengan sanad yang sahih dari Ibn ' Abbas: Rukanah bin' Abd Yazid menceraikan istrinya dengan talak tiga sekaligus. Karenanya ia menjadi sangat bersedih. Kemudian Rasulullah saw bertanya kepadanya, "Bagaimana kamu mepceraikan istrimu?" la menjawab, " Aku men- ceraikannya dengan talak riga." Beliau bertanya lagi, "Dalam satu majelis (sekaligus)?" la menjawab, "Benar." Kemudian beliau bersabda, "Itu adalah talak satu, maka rujuklah dengannya kalau kamu mau." Maka ia merujuk istrinya. Ibn ' Abbas berpandangan bahwa talak itu hanya boleh dilakukan pada setiap kali suci.

Ijtihad Melawan Nas

Setelah Nabi saw kembali ke rahmatullah, di tengah kaum Muslim terjadi berbagai perselisihan dan pergulatan pemikiran. Maka .Ali dan para imam ahlulbait berusaha memperkenalkan hukum syariat melalui nas syariat baik berupa ayat Al-Qur'an maupun hadis. Sama sekalimereka tidak mengamalkan pendapat sendiri ( ra‘y . Di pihak lain, terdapat sejumlah sahabat yang menggunakan pendapat sendiri da1am memperkenalkan hukum syariat dengan memperkenalkan kemaslahatan dan menetapkan hukum berdasarkan tuntutannya.
Penggunaan pendapat sendiri dalam masalah yang tidak ada nasnya dan menetapkan hukum sesuai kemaslahatan merupakan  sesuatu yang perlu dikaji dan didiskusikan. Pembahasan ini hanyalah tentang penggunaan pendapat sendiri dalam masalah yang sudah diatur oleh nas syariat. Kelompok kedua menggunakan pendapatnya melawan nas, tidak khusus dalam masalah yang tidak ada nasnya dari Al-Qur'an atau sunah, bahkan dalam masalah yang sudah diatur dengan nas syariat.
Ahmad Amin al-Mishri berkata, "Tampaklah kepadaku bahwa ‘Umar bin al-Khaththab pernah menggunakan pendapatnya sendiri dalam arti yang lebih luas daripada yang kami sebutkan, yang kami sebutkan adalah penggunaan pendapat sendiri dalam hal-har yang tidak ada nasnya dari Al-Qur'an dan sunah. Akan tetapi, kami lihat Khalifah bertindak lebih jauh dari itu. ia ber- ijtihad dalam memperkeIialkan kemaslahatan yang sudah diatur oleh ayat Al-Qur'an atau hadis. Kemudian dengan kemaslahatan itu ia mengambil petunjuk dalam hukum-hukumnya. Hal itu lebih dekat pada apa yang saat ini disebut mengambil petunjuk dengan kandungan konstitusi (istisyad bi ruh al-qanun) bukan dengan arti harfiahnya.’
Mengambil petunjuk dengan kandungan konstitusi yang dikatakan Ahmad Amin adalah satu hal. 'Sedangkan mengesampingkan nas dan mengarna1kan pendapat sendiri adalah hal lain. Akan tetapi, kelompok kedua itu, mengesampingkan has dan mengamalkan pendapat sendiri” Apa yang diriwayatkan dari Khalifah dalam masalah ini termasuk dalam pengertian tersebut. kalau Anda merasa ragu tentang hal itu, kami bacakan kepada Anda apa yang kami ketahui:
I. Muslim meriwayatkan hadis dari Ibn 'Abbas: Talak pada zaman Rasulullah saw, Abu Bakar, dan dua tahun pertama kekhalifahan 'Umar adalah talak tiga pada satu majelis dianggap satu talak. Kemudian 'Umar bin al-Khaththab berkata, "Orang-orang telah tergesa-gesa dalam dalam satu hal yang di dalamnya terdapat tenggang waktu bagi mereka. Alangkah baiknya kalau kami menetapkan hal itu." Kemudian ia menetapkan talak tiga sekaligus itu bagi mereka.
2. Diriwayatkan dari Ibn Thawus dari bapaknya: Abu ash-Shahba' berkata kepada Ibn ' Abbas, "Tahukah Anda bahwa talak tiga pada satu majelis itu dihitung sebagai talak satu pada zaman Rasulullah saw dan Abu Bakar, tetapi hal itu dihitung sebagai talak tiga pada (kekhalifahan) 'Umar?" Ibn ' Abbas menjawab, "Benar."
3. Darinya juga diriwayatkan: Abu Ash-Shahba' berkata kepada Ibn ' Abbas, "Semoga dijauhkan bencana darimu. Bukankah talak tiga sekaligus pada zaman Nabi saw dan Abu Bakar dipandang sebagai talak satu?" Ibn ' Abbas menjawab, "Memang begitu. Tetapi pada zaman kekhalifahan 'Umar. banyak orang melakukan talak. Kemudian ia memperkenankan talak tiga sekaligus itu bagi mereka."
4. Al-Baihaqi meriwayatkan: Abu Ash-Shahba' banyak bertanya kepada Ibn ' Abbas. la pernah berkata, "Tahukah kamu bahwa Apabila seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak tiga sebelum mencampurinya, mereka menetapkannya sebagai talak satu pada zaman Nabi saw, Abu Bakar ra, dan pada tahun-tahun pertama kekhalifahan 'Umar ra. Ketika ia melihat banyak orang melakukannya, ia berkata, " Aku perkenankan ha1 itu bagi kalian."
5. Ath- Thahawi meriwayatkan hadis me1alui Ibn ' Abbas: Pada rnasa kekhalifahannya, 'Umar ra berkata, "Wahai manusia, dalam talak terdapat tenggang waktu untukmu. Karena itu, siapa yang tergesa-gesa dalam tenggang waktu yang diberikan Allah da1am talak, kami wajibkan hal itu kepadanya."
6. Diriwayatkan dari Thawus: 'Umar bin al-Khaththab berkata, "Di dalam talak terdapat tenggang waktu bagi kalian. Kemudian kalian tergesa-gesa dalam tenggang waktu itu. Karenanya telah kami perkenankan kepada kalian apa yang kalian lakukan dengan tergesa-gesa itu."
7. Diriwayatkan dari al-Hasan: 'Umar bin al-Khaththab mengirim surat kepada Abu Musa al-Asy'ari: "Jika ada laki-laki yang menceraikan istrinya dengan talak tiga sekaligus, aku ingin sekali menetapkannya sebagai talak satu. Akan tetapi, orang-orang menetapkan untuk diri sendiri ( talak tiga itu) .Maka aku serahkan kepada setiap orang untuk menetapkan hal itu bagi dirinya. Siapa yang mengatakan kepada istrinya, 'Engkau haram bagiku,' maka ia haram baginya. Siapa yang mengatakan kepada istrinya, 'Engkau menjadi ba'in bagiku,' maka ia menjadi ba 'in baginya. Siapa yang mengatakan kepada istrinya, Engkau kuceraikan dengan talak tiga sekaligus,' makajatuh talak tiga."
Hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa tindakan Khalifah itu tidak merupakan ijtihad dalam masalah yang tidak ada ketentuan nasnya. la juga tidak mengambil kandungan konstitusi yang ditunjukkan dengan memperbaiki syarat dan menjalankan hukum syariat pada tema-tema yang bersekutu di dalamnya masalah yang telah ditetapkan dengan nas. Tindakannya itu merupakan bentuk ketiga, yaitu ijtihad melawan nas, mengesampingkan dalil syariat, dan berjalan mengikuti pendapatnya sendiri.

Pembenaran terhadap Tindakan Khalifah

Ketika hukum yang bersumber dari Khalifah itu bertentangan dengan nas atau lahiriah Al-Qur'an, sebagian muhaqqiq berusaha membenarkan tindakan Khalifah itu dengan berbagai alasan. Bahkan mereka membenarkan hukum yang ditetapkannya, membenarkannya, dan mengeluarkannya dari lingkup ijtihad melawan nas, bahkan menjadi bersumber dari dalil syariat.
1. Naskh Al-Qur'an dengan ljma
Talak yang disebutkan dalam Al-Qur'an ifu telah di-mansukh. Kalau Anda bertanya, "Apa alasan naskh itu, padahal ‘Umar ra tidak melakukan naskh? Bagaimana dapat terjadi naskh.sepeninggal Nabi saw?  Sayajawab:  Ketika 'Umar mengatakan hal itu, tidak ada yang mengingkarinya. Maka jadilah ucapannya sebagai ijma. Naskh dengan ijma dibolehkan oleh sebagian syekh kami. Sebab, ijma itu dihasilkan dari 'ilmul yaqin, seperti nas. Maka boleh melakukan naskh dengannya. Ijma dalam kapasitasnya sebagai hujah adalah lebih kuat daripada khabar masyhur.
Jika Anda katakan: Ini adalah ijma untuk menaskh dari diri mereka sendiri. Hal itu tidak boleh dilakukan. Saya jawab: kemungkinan tampak pada mereka nas yang mengharuskan naskh tetapi tidak sampai kepada kita.
Catatan:
Pertama, dalam masalah ini, ketika difatwakan Khalifah, terdapat dua pendapat di kalangan sahabat. Bagaimana ijma itu tunduk pada satu pendapat saja di antara dua pendapat itu? Pada- hal Anda telah mengetahui pendapat-pendapat berkenaan dengan masalah ini. Oleh karena itu, kami melihat sebagian lain menolak untuk tunduk pada ijma tersebut. la mengatakan, “Para sahabat telah sepakat hingga tahun kedua kekhalifahan ‘Umar bahwa talak tiga dengan satu lafaz jatuh satu. Tidak ada pendapat lain yang membatalkan ijma ini. Melainkan umat senantiasa memfatwakannya generasi demi generasi hingga hari ini."
Kedua, penjelasan ini bertentangan dengan perbuatan yang dibenarkan oleh Khalifah di dalam perkataannya: “Sesungguhnya orang-orang terlalu tergesa-gesa dalam satu hal (menjatuhkan talak tiga dalam satu majelis--pent. ) yang sebenarnya ada tenggang waktu bagi mereka. Alangkah baiknya kalau kita menetapkannya bagi mereka." Maka ia pun menetapkannya bagi mereka. Kalau Khalifah bersandar pada nas, tentu pembenaran itu dapat diterima.
Akhirnya, kami katakan, bagaimana dengan penjelasan dari pengarang kitab al-Umdah, tentang Syekh Shalih bin Muhammad al-‘Umari (w. 1298) yang mengatakan, "Yang dikenal di kalangan sahabat dan tabi'in-kebaikan semoga tercurah kepada mereka hingga hari kebangkitan-serta para ulama kaum Muslim yang lain, bahwa hukum dari pemimpin yang mujtahid Apabila menyimpang dari nas Kitab Allah swt dan sunah Rasulullah saw wajib dibatalkan dan jangan dilaksanakan. Nas Al-Qur'an dan sunah tidak dapat dibandingkan dengan kecenderungan-kecenderungan aka1, khayalan-khayalan jiwa, dan fanatisrne setan dengan mengatakan, “Barangkali mujtahid ini telah menelaah dan meninggalkannya karena illat yang tampak kepadanya. Atau, ia menelaah dalil lain, dan sebagairiya. Inilah yang biasanya dikemukakan kelompok-kelompok fukaha yang fanatik dan menutupi kebodohan para muqalid. “
2. Sanksi terhadap Mereka karena MelanggaT Hukum Allah
Tujuan dilaksanakannya talak tiga seka1igus hanyalah untuk memberikan sanksi kepada mereka atas perbuatan mereka dan peringatan kepada mereka karena telah melanggar hukum Allah. Kemudian ia bermusyawarah dengan para ulama. la berkata, “Orang-orang minta disegerakan da1am satu hal yang di dalamnya terdapat tenggang waktu bagi mereka. Alangkah baiknya kalau kita menetapkannya bagi mereka. Ketika para ulama itu menye- tujuinya, ia menetapkannya bagi mereka. la berkata. Hai manusia, di dalam talak terdapat tenggang waktu bagi ka1ian. Barangsiapa yang tergesa-gesa dalam tenggang waktu yang diberikan Allah, kami wajibkan hal itu kepadanya” Saya tidak menemukan nas dalam referensi yang saya kaji tentang musyawarah ‘Umar dengan para ulama kecuali surat yang ia tulis kepada Abu Musa al-Asy’ari yang bunyinya: “Apabila seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak tiga dalam satu majelis (sekaligus). saya ingin sekali untuk menetapkannya sebagai talak satu “ la memberitahukan keinginannya, bukan mengajaknya untuk bermusyawarah. Kalau memang ia melakukan musyawarah, tentu ia harus bermusyawarah dengan para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar yang tinggal di Madinah. Orang yang terkemuka di antara mereka adalah ‘Ali bin Abi Thalib. ‘Umar pernah mengajaknya bermusyawarah da1am masalah-maasalah penting dan meminta fatwa darinya.
Ketergesa-gesaan orang-orang tidak dapat dijadikan sebagai pembenaran terdapat sesuatu yang bertentangan dengan Al- Qur’an dan sunah. Bahkan seharusnya ia mencegah orang-orang melakukan perbuatan buruk itu dengan segala kekuatan. Bagaimana mungkin dibenarkan menghukum mereka dengan perbuatan yang dinamakan oleh Rasulullah saw sebagai mempermainkan Kitab Allah?
Ibn Qayim berkata, "Pendapat ini didasarkan pada Al-Qur.an, sunah, qiyas, dan ijma. Setelah itu tidak ada ijma yang membatalkannya. Akan tetapi, Arnirul Mukminin ra memandang bahwa orang-orang telah tergesa-gesa dalam urusan talak dan banyak melakukannya sekaligus. Maka ia memandang bahwa merupakan suatu kemaslahatan memberikan sanksi kepada mereka dengan menetapkannya bagi mereka. Hal ini dimaksudkan agar mereka mengetahui bahwa siapa saja yang menjatuhkan talak tiga sekaligus maka perempuan itu menjadi ba'in baginya dan haram dinikahi sebelum dinikahi oleh laki-laki lain atas kehendaknya sendiri dengan maksud melakukan pernikahan permanen, bukan pernikahan penghalal ( tahlil) . Jika mereka telah mengetahui hal itu, tentu mereka akan menahan diri dari talak yang diharamkan itu. 'Umar beIpendapat bahwa ini merupakan kemasalahatan bagi mereka pada zamannya. la juga berpendapat bahwa apa yang berlaku pada zaman Nabi saw, Abu Bakar, dan tahun-tahun pertama kekhalifahannya adalah lebih cocok bagi masyarakat ketika itu. Sebab, ketika itu masyarakat tidak banyak melakukan talak dan takut kepada Allah dalam masalah tersebut. Allah telah memberikan jalan keluar bagi setiap orang yang bertakwa kepada-Nya. Ketika mereka meninggalkan ketakwaan kepada Allah, mempermainkan Kitab Allah, dan melakukan talak dengan cara yang tidak disyariatkan Allah, maka ia .mewajibkan kepada mereka apa yang biasa mereka kerjakan itu sebagai hukuman. Sebab, Allah SWT telah mensyariatkan talak satu demi satu, tidak mensyariatkannya sekaligus."

Catatan:
Pembenaran terhadap tindakan Khalifah yang disebutkan di atas tidaklah benar. Sebab, kalau kemaslahatan sementara itu dapat membenarkan perubahan hukum, lalu apa artinya hadis: "Apa yang dihalalkan Muhammad adalah halal hingga hari kiamat dan apa yang diharamkannya adalah haram hingga hari kiamat." Kalau benar apa yang disebutkan itu untuk memasukkan perubahan ke dalam syariat maka Islam menjadi ajang permainan di tangan kekuasaan. Kemudian datang seorang penguasa, lalu mengharamkan puasa bagi para buruh agar mereka tetap bertenaga di tempat kerja.
Akhimya, kami sebutkan perhatian sebagian ulama Ahlusunah generasi sekarang terhadap praktik talak jenis ini. Oleh karena itu, undang-undang kehakiman syariah Mesir diulang dan bertentang dengan mazhab Hanafi setelah kemerdekaan negara itu dari Kesultanan Daulah 'Utsmaniyah.
Namun, sayang sekali, banyak mufti Ahlusunah yang memberikan fatwa bolehnya mempraktikkan talak jenis ini. Oleh karena itu, penulis tafsir al-Manar, setelah melakukan penelitian yang saksama, mengatakan, "Yang dimaksud bukanlah untuk berdebat dengan para muqalid atau memalingkan para qadhi dan mufti dari mazhab mereka. Sebab, kebanyakan mereka menelaah nas-nas ini dari kitab-kitab hadis dan lain-lain tetapi mereka tidak mempedulikannya karena yang mereka amalkan ada1ah yang bersumber dari pendapat mazhab mereka, bukan dari Kitab Allah dan sunah Rasul-Nya."

Perubahan Hukum dengan Kemaslahatan

lbn Qayim membahas secara panjang lebar dalam menganalisis ketetapan 'Umat tentang talak tiga. Berikut ini rangkumannya. ia bersandar pada perubahan hukum dengan kemaslahatan dan menca:mpurkan antara yang sahih dan yang cacat. Berikut ini penjelasannya: Hukum-hukum itu dikelompokkan ke dalam dua kategori. Pertama, jenis hukum yang tidak dapat diubah dengan keadaan apa pun; tidak karena perubahan zaman, tempat, atau ijtihad para imam. Yang termasuk ke dalam kategori ini seperti wajibnya semua kewajiban, haramnya semua perbuatan haram, dan hukuman-hukuman yang ditetapkan syariat atas tindakan kriminal.
Kedua, jenis hukum Yang dapat berubah karena tuntutan kemaslahatan, baik karena waktu, tempat, maupun keadaan. Yang termasuk dalam kategori ini di antaranya adalah kadar sanksi ( ta'zir) serta jenis-jenis dan sifat-sifatnya-kemudiali ia memberikan beberapa contoh bentuk ta'zir. Selanjutnya ia berkata: Oleh karena itu, ia-maksudnya 'Umar bin al-Khaththab-ketika melihat masyarakat banyak melakukan talak berpendapat bahwa mereka tidak dapat dicegah keruali dengan memberikan hukuman. Karenanya ia berpendapat untuk mewajibkannya kepada mereka sebagai hukuman agar mereka menahan diri dari perbuatan tersebut. Hukuman itu berupa:
I. Ta 'zir 'aridh yang dilakukan ketika diperlukan, seperti bagi peminum khamar dihukum cambuk 80 kali dan digunduli kepalanya;
2. Menetapkan bahwa talak tiga sekaligus itu sebagai talak satu yang sah dengan syarat talak itu telah dijatuhkan;
3. Memberlakukan larangan. Pada zamannya berlaku larangan dengan menetapkan talak tiga sekaligus itu sebagai talak satu. Selanjutnya ia mengatakan: Ketika Amirul Mukminin (‘Umar) memandang bahwa Allah SWT memberikan hukuman kepada laki-laki yang melakukan talak tiga sekaligus dengan mengharamkan bekas istrinya itu dinikahinya sebelum dinikahi oleh laki-laki lain, tahulah ia bahwa hal itu karena kebencian pada talak yang diharamkan itu. Kemudian Amirul Mukminin bertekad untuk memberikan hukuman kepada orang yang melakukan talak tiga sekaligus dengan menetapkan dan mewajibkan ha1 itu kepadanya.
Jika ada orang mengatakan bahwa bukankah lebih mudah melarang orang-orang menjatuhkan talak tiga sekaligus, serta mengharamkannya dan menghukumnya dengan cambukan agar tidak melakukan perbuatan yang dilarang itu.
Jawab: Benar. Demi Allah, ia dapat melakukan ha1 itu. Oleh karena itu, pada akhir hayatnya ia menyesalinya. Al-Hafizh Abu Bakar al-lsma’il dalam Musnad 'Umar berkata: Mengabarkan kepada kami Abu Ya’la; menyampaikan kepada kami Shalih bin Malik; menyampaikan kepada kami Khalid bin Yazid bin Abu Malik dari bapaknya: ‘Umar bin al-Khaththab ra berkata, "Aku tidak pemah menyesali sesuatu seperti penyesa1anku atas tiga ha1, yaitu mengharamkan talak, menikahkan maula, dan membunuh orang yang meratap. Yang dimaksud dengan talak yang diharamkannya ada1ah talak raj’i (talak yang masih dimungkinkan rujuk). Yang dihalalkan Allah SWT. la pun mengetahui kehalalannya dari agama Rasulullah saw talak yang diharamkannya itu bukan talak yang disepakati kaum Muslim tentang keharamannya, seperti talak da1am masa haid dan suci setelah dicampuri, bukan talak sebelum dicampuri ( dukhul) . Maka jelaslah bahwa ia ingin mengharamkan talak tiga sekaligus.
'Umar ra berpendapat bahwa kerusakan itu dapat dicegah dengan mengharuskan mereka melaksanakannya ( talak tiga sekaligus-pent.). Ketika diketahui bahwa kerusakan itu tidak dapat dicegah dengan cara itu, dan justru bertambah besar, ia memberitahukan bahwa yang utama adalah kembali mengharamkan talak tiga sekaligus. Kerusakan ini dapat dicegah dengan memberlakukan kembali apa yang pernah berlaku pada masa Rasulullah saw, Abu Bakar, dan tahun-tahun pertama kekhalifahan ‘Umar-ra.
Catatan:
Apa yang dijelaskan Ibn Qayim tentang pengklasifikasian hukum-hukum ke dalam dua kategori adalah benar. Akan tetapi, dari mana diketahui bahwa hukum talak tiga sekaligus tennasuk kategori kedua. Apa perbedaan antara hukum segala kewajiban serta segala yang haram dan firman Allah swt: Talak itu dua kali? Bagaimana hukum yang dikatakan Rasulullah saw bahwa menentangnya sebagai mempennainkan agama itu dapat berubah?
Ibn Qayim menyebutkan tiga kemungkinan. Kemungkinan pertama dapat diterima dan sesuai dengan ucapan Khalifah itu sendiri. Sedangkan dua kemungkinan terakhir, yaitu menetapkan ta1ak tiga sekaligus sebagai talak satu dengan Syarat talak itu telah dijatuhkan atau menetapkan larangan pemberlakuannya, ia tidak bersandar padanya, motif dikemukakannya dua kemungkinan itu adalah karena tunduk pada perasaan dan pembenaran terhadap tindakan Khalifah dengan cara apa pun.

Perubahan Hukum karena Tuntutan Zaman

Hukum-hukum yang dapat berubah karena perubahan zaman dan pergantian situasi adalah hukum-hukum yang substansinya ditetapkan dengan melihat kemaslahatan. Karakteristik dan bentuknya diserahkan pada pendapat pemirnpin Islam. Hukum-hukum jenis ini dapat berubah. Pembuat syariat tidak menetapkan substansi, bentuk, dan tata caranya, bukan terhadap hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh pembuat syariat substansi, bentuk dan tatacaranya. Tidak diperkenankan campur tangan pemimpin Islam dalam masalah ini dan dalam hukum-hukum berkenaan dengan ahwal syakhshiyyah. Pemimpin Islam tidak boleh ikut campur tangan dalam hukum-hukum nasab, mushaharah (persaudaraan melalui pernikahan), penyusuan, dan iddah (al-‘adad). la tidak boleh mengharamkan apa yang dihalalkan Allah kendatipun sebagai hukuman bagi orang yang berbuat kesalahan. Sebaliknya, hal itu merupakan hukum-hukum yang rigid (tetap), tidak tunduk pada pertimbangan pemimpin dan lain-Iain.
Adapun hukum-hukum yang membolehkan adanya campur tangan pemimpin di dalamnya adalah hukum-hukum yang dalam menentukan karakteristik dan bentuknya diserahkan kepada pemimpin untuk memelihara kepentingan Islam dan kaum Muslim. Hal itu disesuaikan dengan tuntutan situasi yang berlaku. Berikut ini beberapa contoh di antaranya agar tidak bercampur satu dengan yang lain.
I. Dalam hubungan diplomasi antar negara. Negara Islam wajib memelihara kepentingan Islam dan kaum Muslim. Ini merupakan prinsip yang rigid dan kaidah umum. Adapun caranya, hal itu berbeda-beda bergantung pada situasi dan tempat. Kadang- kadang kemaslahatan menuntut dilakukannya hubungan baik dan perdarnaian dengan musuh, tetapi di waktu lain menuntut hal seba1iknya.
Demikianlah, ketentuan dan hukum khusus berlainan da1am hal ini karena perbedaan situasi. Akan tetapi, ha1 itu tidak keluar dari lingkup kaidah umum, yaitu memelihara kepentingan kaum Muslim, seperti firman Allah SWT:
Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir itu untuk memusnahkan orang-orang  yang beriman. (QS. an-Nisa' [4]: 141)
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Se- sungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu ( Orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang lalim. (QS. al-Mumtahanah [60]: 8-9)

2. Hubungan perdagangan antamegara. Kemaslahatan menuntut dibuatnya kesepakatan-kesepakatan ekonomi dan pembentukan perusahaan-perusahaan dagang atau lembaga-lembaga perindustrian yang menuntut kaum Muslim bergabung dengan kaum yang lain. Kemaslahatan juga menuntut selain itu. Termasuk dalam kategori ini, ketentuan dari Imam-semoga Allah mengampuninya-seorang pembaharu, Sayyid asy-syirazi yang telah mengharamkan merokok untuk menghambat pelaksanaan kesepakatan ekonomi yang dibuat ketika itu antara Iran dan Inggris. Kesepakatan itu akan menghilangkan hak- hak umat Islam Iran, karena memberikan hak monopoli tembakau Iran kepada Inggris.
3. Membela kemurnian Islam, memelihara kemerdekaannya, dan menjaga batas-batasnya dari serangan musuh merupakan ketentuan yang rigid, tidak dapat diubah. Tujuan utama disyariatkannya Islam adalah untuk memelihara kedaulatan Islam dari serangan dan gangguan musuh. Oleh karena itu, diwajibkan kepada kaum Muslim untuk membentuk kekuatan dan angkatan bersenjata yang kuat untuk menghadapi musuh. Hal itu diungkapkan dalam firman-Nya, "Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi" (QS. al-Anfal [8]: 60). Ini merupakan prinsip yang rigid dalam Islam yang ditegaskan oleh akal dan fitrah. Adapun, bagaimana cara melakukan pembelaan, strategi, dan jenis persenjataan, atau harus dan tidaknya dibentuk milisi, semuanya terserah tuntunan zaman. Hal itu dapat berubah karena perubahan zaman, tetapi dilaku- kan dalam lingkup kaidah umum. Dalam hal itu, dalam Islam, tidak ada prinsip yang rigid, bahkan dalam pembentukan wajib militer yang merupakan masalah mendasar di banyak negara.
Apa yang kita lihat dalam kitab-kitab fiqih berupa bab-bab atau kitab-kitab khusus tentang hukum-hukum perlombaan balap kuda, melempar tombak, dan berbagai jenis kegiatan ketentaraan lainnya yang dikenal pada waktu-waktu yang lalu. Dalam, bab itu dinukil hadis-hadis dari Rasulullah saw dan para imam Islam. Hukum-hukumnya tidak rigid dalam Islam yang diserukan Pembuat syariat dengan bentuk yang kaku. Bahkan hal itu merupakan implementasi hukum tersebut. Tujuannya adalah untuk membentuk kekuatanyang memadai dalam menghadapi musuh pada masa itu. Adapun hukum-hukum yang harus diterapkan pada masa kini harus mengikuti tuntutan masa kini.
Pemimpin Islam berkewajiban membentuk angkatan bersenjata yang kuat dan persenjataan yang lengkap yang memungkinkan untuk memelihara Islam dan para penganutnya dari segala bahaya dan menghalangi setiap persekongkolan musuh. semua itu disesuaikan dengan kemajuan zaman.
Pembuat konstitusi yang menghendaki konstitusinya tetap berlaku dan abadi tidak perlu mencantumkan hal-hal yang terperinci dan parsial. Tetapi yang harus dilakukannya adalah menetapkan hal-hal universal dan prinsip-prinsipnya agar konstitusinya tetap berlaku dalam segala zaman yang berbeda- beda. Kalau ia tidak melakukan hal ini, tentu konstitusinya itu akan berlaku sebentar saja.
4. Penyebaran dan penyempumaan ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang menjamin kedaulatan masyarakat secara material dan spiritual terungkap dari fardu-fardu Islam. Adapun menentukan jenisnya dan jenis perangkatnya tidak ditentukan dengan ketentuan khusus, melainkan diserahkan kepada pemimpin Islam. Ketentuannya dibuat berdasarkan kemampuan yang ada dalam lingkup undang-undang yang berlaku.
Pendek kata, Islam telah mewajibkan kepada para pemimpin kaum Msu1im untuk menyebarkan ilmu pengetahuan di tengah rakyat dan memerangi segala bentuk buta huruf. Adapun, bagaimana jenis ilmu pengetahuan itu dan karakteristiknya diserahkan pada pandangan pemimpin Islam, karena ia lebih mengetahui kebutuhan pada zamannya.
Betapa banyak ilmu pengetahuan yang tidak lazim karena tidak dibutuhkan pada masa-masa yang lau. Akan tetapi, kini ilmu pengetahuan tersebut menjadi ilmu-ilmu yang lazim yang mengandung kemaslahatan bagi masyarakat, seperti ekonomi dan politik.
5. Memelihara sistem, mengatur urusan-urusan dalam negeri, meningkatkan perekonomian, dan kepentingan-kepentingan tempat memerintahkannya karena di dalamnya terdapat faedah tersebut. Hal itu merupakan faedah keagamaan terpenting karena hasil yang diperolehnya berupa mengalahkan musuh dalam berijihad melawan musuh-musuh Allah swt yang merupakan pilar Islam paling utama. Oleh karena itu. faedah tersebut terlepas dari main-main dan kelalaian yang dilarang dilakukan”.
Apabila tujuan pensyariatannya adalah untuk persiapan menghadapi peperangan dan melatih jihad maka ketika itu tidak ada perbedaan antara yang berlaku pada zaman Nabi saw dan zaman-zaman lainnya berdasarkan kemampuan yang diyakini lainnya. Itu semua mengikuti tuntutan situasi. Dalam hal ini Islam tidak memiliki aturan khusus yang harus diikuti. Tetapi yang dikehendaki Islam adalah tercapainya tujuan-tujuan tersebut dengan perangkat-perangkat yang memungkinkan. Islam tidak menentukan dan menetapkan jenis perangkat-pe- rangkat ini. Hal itu diserahkan pada kemajuan zaman yang dilalui manusia. Namun, semuanya harus berada dalam lingkup kaidah-kaidah umum.
6. Islam nenetapkan prinsip yang rigid dalam masalah harta, yaitu firman Allah swt, "]anganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan cara yang batil " Dari prinsip ini, para fukaha memhuat perincian sehagai syarat dalam sahnya akad jual beli atau muamalah. Mereka mengatakan, "Agar muamalah itu sah disyaratkan adanya manfaat yang sah. Jika tidak, muamalat itu tidak sah." Dari sini, mereka mengharamkan jual beli darah.
Tetapi, mengharamkan jual-beli darah hukanlah hukum yang rigid dalam Islam. Melainkan pengharaman itu berlaku pada zaman yang lalu sehagai implementasi makna ayat yang mengharamkan memakan harta dengan cara yang haul. Jual- beli darah yang berlaku pada waktu itu merupakan substansinya. Hukum itu berlaku karena adanya faedah-yang mengeluarkan muamalah itu dari substansinya sehagai memakan harta dengan cara batil, dan tidak diperolehnya faedah-yang mengeluarkan muamalah dari substansinya sehagai memakan harta dengan cara batil: Kalau dari jual-beli darah itu diperoleh faedah yang masuk akal, tentu hukum yang mengharamkannya beruhah menjadi menghalalkannya. Hukum yang berlaku tetap dalam hal ini adalah firman Allah swt, "]anganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan cara yang batil "
Berkenaan dengan masalah ini, diriwayatkan hadis: 'Ali as pernah ditanya tentang sabda Rasulullah saw: "Semirlah uhan tetapi jangan menyerupai orang-orangYahudi." Kemudian 'Ali as herkata, "Rasulullah saw bersabda demikian karena ketika itu pengikut agama ini masih sedikit. Adapun kini agama ini telah tersebar ke berbagai pelosok dan dapat menaklukkan musuh-musuhnya. Karenanya setiap orang dapat memilih (warna semir ramhut itu) yang disukainya."
Demikianlah, karena hukum tentang sahnya talak tiga sekaligus itu menyebabkan timbulnya kerusakan sepanjang sejarah maka Ibn Qayim-sambil membenarkan tindakan Khalifah ‘Umar memberikan penjelasan tentang dampaknya yang menjadikan musuh-musuh Islam merasa senang. Berikut ini kami kutipkan penjelasannya.

Sanksi atas Penyimpangan dari Jalan yang Luas

Ibn Qayim-sebagai telah Anda ketahui-termasuk orang- orang yang fanatik membela fatwa Khalifah. la membenarkan hukum yang ditetapkan Khalifah itu dengan mengatakan bahwa kemaslahatan ketika itu menuntut keharusan ditetapkannya talak tiga sekaligus. Hal itu dilakukan atas inisiatifnya sendiri. Anda telah mengetahui lemahnya pembelaan itu. Akan tetapi, pada akhir penjelasannya ia menyebutkan bahwa kemaslahatan pada zarnan kita sekarang adalah kebalikan dari kemaslahatan yang ada pada zarnan Khalifah. Sebab, mengesahkan talak tiga sekaligus akan mendatangkan kerusakan bagi kaum Muslim dalam lingkungan kita dan menyebabkan celaan dari para musuh terhadap agama ini dan para penganutnya. Karenanya, pada zarnan sekarang kita wajib kembali pada Al-Qur'an dan sunah, yaitu tidak menjatuhkan talak kecuali satu demi satu.
Namun, ia lupa terhadap kebenaran dalam masalah ini. Yaitu, bahwa kemaslahatan pada sepanjang zaman adalah sama. Hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah swt sesuai dengan kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Cacian dan ejekan yang disebutkan Ibn Qayim muncul karena penyimpangan dari jalan yang luas ini dan ijtihad melawan nas tanpa ada kepentingan yang mendesak melakukan itu. Oleh karena itu, kami mengutip penjelasannya agar menjadi pelajaran bagi orang-orang yang-pada zaman sekarang-ingin mempemainkan hukum-hukum syariat dengan kemaslahatan yang dikira-kira. Berikut ini teks penjelasannya.
Masalah ini termasuk fatwa yang dapat berubah sesuai perkembangan zaman. Adapun zaman-zarnan ketika farji mengadu kepada Tuhannya tentang kerusakan penghalalan itu dan kejelekan yang diakibatkan orang-orang yang menghalalkannya sebagai kebutaan pada mata agama dan duri dalam kerongkongan kaum Mukmin termasuk kejelekan-kejelekan yang melegakan musuh-musuh agama dan menghalangi orang-orang yang ingin menganutnya, karena Al-Qur'an tidak memberikan perincian dan pembatasannya. Seluruh kaum Mukmin memandangnya sebagai kejelekan dan aib paling besar. Aturan dan namanya telah berubah dari agama ini. Domba kiasan itu melumuri perempuan yang ditalak dengan najis penghalalan. Tetapi ia mengatakan bahwa ia telah memberikan wewangian kepadanya untuk suaminya. Sungguh mengherankan. Wewangian apa yang dikiaskan domba tercela ini? Kemaslahatan apa yang diperoleh perempuan itu dan orang yang melakukan talak dari perbuatan rendah ini?
Tidakkah Anda lihat berdirinya suami yang melakukan talak atau walinya di depan pintu, dan domba terlaknat itu telah menanggalkan sarung dan kain cadamya. Demikianlah ia menjadi- kannya padang rumput. Suami atau wali itu memanggilnya, "Makanan ini tidak dibawakan kepadamu agar kamu kenyang. Engkau, istri, kami, para saksi, para hadirin, para malaikat pencatat, dan Tuhan alam semesta mengetahui bahwa engkau tidak dianggap sebagai suami. Perempuan itu dan walinya, juga farji dan kecantikan, tidak ridha kepadamu. Engkau hanyalah seperti domba yang kalau tidak ada ujian ini tentu kami tidak merelakan kamu berdiri di depan pintu. Orang-orang menampakkan pernikahan dan menunjukkan kebahagiaan dan kegembiraan. Kami saling berwasiat agar menyembunyikan penyakit tak terobati ini dan nienjadikannya sesuatu yang tertutup tanpa nyanyian dan dan tanpa rebana, serta tanpa hidangan dan tanpa pengumuman. Melainkan diwasiatkan dengan berbisik-bisik, sentuhan, dan kerahasiaan. Perempuan itu dinikahi karena agama, hasab, harta, dan kecantikannya.
Domba itu tidak ditanya sedikit pun tentang semua itu. Keterpeliharaannya tidak dipercayai. Melainkan ia masuk ke dalam kebinasaan. Allah SWT telah menjadikan masing-masing dari suami- istri sebagai tempat ketenangan bagi yang lainnya, dan menjadikan cinta dan kasih sayang di tengah mereka agar dengan demikian diperoleh tujuan akad yang agung ini. Dengan dernikian, sempurnalah kemaslahatan yang disyariatkan oleh Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Bijaksana.
Tanyalah domba itu, apakah ia memiliki bagian seperti itu? Atau, apakah hikmah, maksud, dan kemaslahatan akad ini merupakan sesuatu yang asing dan aneh? Tanyalah ia, apakah ia mengambil istri sebagai pendamping? Apakah ia meridhainya sebagai suami yang dapat dimintai tolong ketika ia mendapat musibah? Tanyalah orang-orang berakal, apakah kamu menikahkan si fulanah dengan si fulan? Apakah ini dipandang sebagai pernikahan menurut syariat, akal, atau fitrah manusia? Mengapa Rasulullah saw melaknat seorang laki-laki dari umatnya yang menikah secara syariat dan sah dan dalam akadnya tidak melakukan yang haram dan tercela? Mengapa beliau mengumpamakannya dengan domba padahal ia termasuk orang-orang baik dan berbuat kebajikan? Mengapa sepanjang hidupnya perempuan itu menjelek-jelekkannya di tengah keluarga dan tetangganya, dan ia menundukkan kepalanya ketika domba itu disebutkan di tengah kaum perempuan? Tanyalah domba itu, apakah ketika dilakukan akad ini yang merupakan sisi lain dari kemunafikan, ia bemiat akan memberikan nafkah, pakaian, dan mas kawin? Apakah istrinya makan dari pemberian itu? Ataukah ia meniatkan sesuatu yang lain? Apakah ia menuntut dari istrinya seorang anak yang saleh dan istri menjadikannya sebagai kekasih?
Tanyalah orang-orang berakal di seluruh dunia. apakah orang terbaik dari umat ini adalah yang paling banyak melakukan penghalalan, dan apakah penghalal yang dilaknat Allah dan Rasul-Nya adalah orang yang paling lurus jalannya? Tanyalah domba itu dan wanita yang diuji dengannya, apakah salah satu dari keduanya mempercantik diri untuk sahabatnya seperti laki-laki mempercantik diri untuk perempuan dan perempuan mempercantik diri untuk laki-laki, atau salah satu dari keduanya mencintai sahabatnya karena hasab, harta, dan kecantikan? Tanyalah perempuan itu, apakah ia tidak mau dimadu atau dijadikan gundik oleh domba ini, atau apakah ia tidak mau kalau di sampingnya ada perempuan lain, atau ia bertanya kepadanya tentang harta dan pekerjaan. atau kemuliaan kerabat-dan besar belanjanya? Tanyalah domba itu, apakah ia bertanya tentang apa-apa yang ditanyakan oleh orang yang bermaksud melakukan pernikahan hakiki atau ia memohon kepada mertuanya hadiah. sekedup, dan uang yang biasa diminta oleh peminang yang ganteng? Tanyalah ia, apakah ia "pengambil" atau "pemberi"? Apakah ucapannya ketika Abu Jad membaca akad ini, "ambillah biaya pernikahan pengantin lelaki ini atau letakkanlah "? Tanyalah ia, apakah menanggung beban akad ini dengan "ambillah biaya pernikahan ini atau letakkanlah"?
Tanyalah ia tentang pesta pernikahannya, apakah ia akan melakukan pesta pernikahan walaupun dengan seeekor kambing? Apakah ia mengundang sahabatnya ke pesta pernikahan itu, lalu memenuhi hak dan mendatanginya? Tanyalah ia. apakah ia menanggung beban akadnya ini seperti yang biasa dipikul orang- orang yang menikah, atau-seperti berlaku di tengah masyarakat pada umumnya - teman-teman dan penggembira mendatanginya? Apakah dikatakan kepadanya, "semoga Allah memberikan berkah kepada kalian dan mengumpulkan kalian dalam kebaikan dan perlindungan" atau "semoga Allah melaknat muhallil itu dan muhallal dengan sebesar-besar laknat"?

Catatan: Aib yang-menurut dugaannya-masuk ke dalam ajaran Islam sebagai akibat disahkannya talak tiga sekaligus. Talak satu pada dasarnya dipandang sebagai talak tiga. Adapun yang disyariatkan Al-Qur.an bergantungnya keabsahan pernikahan setelah talak tiga pada muhallil merupakan aturannya yang paling utama dan paling teguh. Aib tidak masuk ke dalam ajaran Islam dari sisi ini. selama-lamanya. Hal itu karena “
Pertama suami menghindari talak tiga sekaligus karena mengetahui bahwa pernikahan sesudahnya bergantung pada tahlil yang tidak dapat ditanggung oleh kebanyakan laki-laki.
Kedua. ia tidak akan melakukannya kecuali apabila berputus asa untuk menikah lagi. Sebab. pengalaman membuktikan bahwa suami-istri itu tidak dalam tingkatan yang sama dalam hal akhlak dan keruhanian. la tidak akan melakukan talak kecuali Apabila telah berputus asa menikah lagi. Jarang sekali ada kecenderungan untuk menikah kembali dengan perempuan yang telah dicerainya dengan talak tiga, kalaupun tidak dikatakan tidak ada. Ketika itu. sedikit sekali kebutuhan kepada muhallil/ Ini berbeda dengan mensahkan talak satu sebagai talak tiga. Banyak suami yang menyesali perceraian itu dan ingin membina kembali rumah tangga yang telah dihancurkan dengan talak-berdasarkan keharusan bergantung pada muhallil yang mendatangkan aib dan memunculkan apa yang disebutkan Ibn Qayim dalam penjelasannya.
Atas penje1asannya itu masih terdapat catatan-catatan lain yang yang kami abaikan, khususnya berkenaan dengan anggapannya bahwa muhallil itu dapat diupah untuk melakukan tahli1 Menikah untuk tujuan itu merupakan anggapan yang sangat keliru. bahkan dengan tujuan yang sama ia menikahi perempuan lain. Padahal, kalau ia menceraikan istrinya atas dasar kehendaknya sendiri maka perempuan itu menjadi halal bagi mantan suaminya yang pertama.