Senin, 20 April 2015

Kompilasi Hukum Islam

A.     Pengertian Kompilasi Hukum Islam

Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah sekumpulan materi hukum Islam yang ditulis pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri atas tiga kelompok materi hukum, yaitu Hukum Perkawinan (170 pasal), Hukum Kewarisan termasuk wasiat dan hibah (44 pasal) dan Hukum Perwakafan (14 pasal), ditambah satu pasal ketentuan penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum tersebut. KHI disusun melalui jalan yang sangat panjang dan melelahkan karena pengaruh perubahan sosial politik terjadi di negeri ini dari masa ke masa.[1]

B.     Sosialisasi Kompilasi Hukum Islam

Inpres Nomor 1 Tahun 1991 pada dasarnya adalah perintah sosialisasi KHI untuk digunakan oleh instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya. Secara tegas dalam inpres tersebut disebutkan bahwa Presiden mengintruksikan kepada Menteri Agama untuk menyeberluaskan KHI. Dmikian pula kepetusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991, ada tiga butir penting disebutkan dalam dalam keputusan tersebut, yaitu pertama, seluruh intansi pemerintah lainnya yang terkait agar menyebarluaskan KHI di bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan untuk digunakan oleh intansi pemerintah dan masyarakat  yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah di bidang hukum tersebut. Kedua, seluruh lingkungan intansi tersebut dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum sedapat munkin menerapkan KHI di samping peraturan perundangan lainnya. Ketiga;  Dirjen Binbaga Islam dan Dirjen BIUH mengkoordinasikan pelaksanaan keputusan menteri ini dalam bidang tugasnya masing-masing.

Jika Impres Nomor 1 tahun 1991 dan Kepmenag Nomor 154 Tahun dillaksankan dengan baik, minimal oleh seluruh intansi di lingkungan Departemen Agama, disertai dengan penyediaan sarana Prasarananya maka penyebarluasan dan penerapan KHI akan lebih baik dari sekarang.

Sebetulnya sosialisasi KHI dapat dilakukan oleh berbagai unit kerja dengan diintregasikan bersama kegiatan lainnya. Sebagai contoh di lingkungan perguruan tinggi dan madrasah , serta pesantren, KHI dapat dimasukkan sebagai salah satu mata kuliah/mata pelajaran terkait .

Dalam kegiatan sosialisasi KHI di lingkungan peradilan agama, dari tahun ke tahun sampai sekarang, naskah KHI dan bahan-bahan penyuluhan lainnya terus dicetak dan digandakan sesuai kebutuhan dan dana yang tersedia. Untuk lapisan masyarakat tertentu , penyuluhan, dilakukan dengan metode seminar, sebagaimana yang telah dilakukan di berbagai  wilayah Indonesia.[2]


C.     Kompilasi Peradilan Agama dalam Bidang Perkara Waris[3]


Di dalam tata hukum Indonesia, berlakunya bidang hukum bagi orang Islam berlain-lainan. Orang Islam yang akan membagi warisan tidak harus tunduk pada ketentuan menurut Hukum Kewarisan Islam. Hal ini diantaranya di dasarkan pada Pasal 49 dan Penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Pasal 49 ini diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasal 49 menegaskan tentang kewenangan absolut Peradilan Agama. Pasal ini berbunyi :

Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a.      Perkawinan
b.      Waris
c.       Wasiat
d.      Hibah
e.       Wakaf
f.        Zakat
g.      Infaq
h.      Shadaqah
i.        Ekonomi  syari’ah

Di dalam penjelasan khususnya Pasal 49 huruf b ditegaskan bahwa bidang kewarisan adalah mengenai penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harga peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak dapat mempertimbangkan untuk memiliki hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan.
Kesimpulan dari penjelasan tersebut, yakni menurut hukum positif (tata hukum) Indonesia, orang Islam tidak harus tunduk pada hukum kewarisan Islam apabila mereka hendak membagi warisan. Orang Islam boleh menggunakan pranata hukum lain (misalnya, hukum kewarisan adat atau hukum kewarisan berdasrkan KUH perdata) apabila hendak membagi kewarisan.
Adanya kenyataan sebagaimana diuraikan di atas menyebabkan analisis yang mendalam mengenai hukum kewarisan Islam di Indonesia mempunyai urgensi yang amat menonjol.
Semakin diterima dan meluasnya pendapat bahwa baik Al-Qur’an dan As-Sunnah menghendaki sistem bilateral di bidang kewarisan, menyebabkan ada pembaruan yang cukup menonjol dalam Kompilasi Hukum Islam.

Silabus Hukum Acara Peradilan Agama

 Oleh: 
Abdurrahman MBP
Tujuan
Agar mahasiswa memahami hukum acara yang berlaku di pengadilan dalam lingkungan peradilan agama atau pengadilan umum dan mampu mengaplikasikannya dalam simulasi beracara.

Topik inti :
  1. Pengantar sumber dan hubungannnya dengan hukum acara perdata
  2. Bentuk, isi dan kelengkapan gugatan/pemohon
  3. Persiapan sidang : Penunjukan hakim, penetapan waktu sidang dan pemanggilan pihak-pihak yang berperkara
  4. Adab hakim dalam persidangan
  5. Cara pemeriksaan perkara di pengadilan tingkat pertama
  6. Tugas ketua majelis, anggota dan panitera pengganti
  7. Usaha perdamaian
  8. Hal-hal yang mempengaruhi sidang pertama
  9. Eksepsi dan reconvensi
  10. Pencabutan gugatan / permohonan dan meninggalkan pihak-pihak yang berperkara
  11. Alat-alat bukti dan tahapan pembuktian
  12. Musyawarah majlis hakim, pengambilan konklusi dan pengambilan keputusan
  13. Produk pengadilan (putusan dan penetapan)
  14. Upaya hukum, banding, kasasi dan peninjauan kembali
  15. cara-cara pemeriksaan di tingkat banding dan kasasi
  16. Verset dan peninjauan kembali keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap
  17. Eksekusi putusan pengadilan


Referensi :
M. Yahya Harahap : Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
Roihan A. Rasyid : Hukum Acara Peradilan Agama
Idris Ramulya : Beberapa masalah tentang hukum acara perdata peradilan agama dan hukum perkawinan Islam
Wirjono Prodjodikoro : Hukum Acara Perdata di Indonesia

Buku Anjuran :
Umar Mansyur : Hukum Acara Perdata Peradilan Agama menurut teori dan Praktek
Wirjono Prodjodikoro : Hukum Acara Perdata di Pengadilan Negeri
Soepomo :  Hukum Acara Perdata di Pengadilan Negeri
Soebakti : Hukum Pembuktian
Mahakamah Agung RI : Yurisprudensi Indonesia Putusan-putusan pengadilan agama
Abdul Ghani Abdullah : Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama. 

Asas-asas Hukum Acara Perdata Peradilan Agama



Sebagai landasan Hukum Acara Peradilan Agama, perlu dipedomani Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama sebagai berikut :

1.      Peradilan Agama adalah Peradilan Negara (pasal 3 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 2004, pasal 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-undang Nomor 3 tahun 2006.
2.      Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam (pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
3.      Peradilan Agama menetapkan dan menegakkan hukum berdasarkan keadilan berdasarkan Pancasila (pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
4.      Peradilan Agama memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara berdasarkan hukum Islam (pasal 2, 49 dan Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 3 tahun 2006).
5.      Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa (pasal 4 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 57 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 tahun 2006).
6.      Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan (pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 57 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
7.      Peradilan dilakukan menurut hukum dan tidak membeda-bedakan orang (pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 58 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
8.      Peradilan dilakukan bebas dari pengaruh dan campur tangan dari luar (pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
9.      Peradilan dilakukan dalam persidangan Majelis dengan sekurang-kurangnya tiga orang Hakim dan salah satunya sebagai Ketua, sedang yang lain sebagai anggota, dibantu oleh Panitera Sidang (pasal 17 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
10.  Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap Hakim yang mengadili (pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
11.  Beracara dikenakan biaya (pasal 121 ayat (1) HIR, pasal 145 ayat (4) RBg.).
12.  Hakim bersifat menunggu (pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006).
13.  Hakim pasif (pasal 118 ayat (1) HIR, pasal 142 ayat (1) RBg.)
14.  Persidangan bersifat terbuka untuk umum (pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
15.  Hakim mendengar kedua belah pihak (pasal 121 HIR,pasal 145 RBg., pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 58 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
16.  Tidak harus diwakilkan (pasal 123 HIR, pasal 147 RBg.).
17.  Hakim wajib mendamaikan para pihak (pasal 130 HIR, 154 RBg, pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974).
18.  Hakim membantu para pihak (pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 58 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
19.  Hakim wajib menghadili setiap perkara yang diajukan kepadanya (pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
20.  Putusan harus disertai alasan (pasal 25 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 62 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, pasal 184 ayat (1)dan pasal 195 RBg.).
21.  Tiap putusan dimulai dengan kalimat “Bismillahir rahmaanir rahiim” diikuti dengan “Demi Keadilan Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa” (pasal 57 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
22.  Semua putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 20 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
23.  Tiap-tiap pemeriksaan dan perbuatan hakim dalam penyelesaian perkara harus dibuat berita acara (pasal 186 HIR, pasa 96 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
24.  Terhadap setiap putusan diberikan jalan upaya hukum berupa banding, kasasi dan peninjauan kembali (pasal 21, 22 dan 23 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
25.  Pelaksanaan putusan Pengadilan wajib menjaga terpeliharanya peri kemanusiaan dan peri keadilan (pasal 36 ayat (4) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).


Asas-Asas Hukum Acara Perdata


1.      Hakim bersifat menunggu
Dalam perkara perdata, inisiatif untuk mengajukan perkara kepengadilan sepenuhnya terletak pada pihak yang berkepentingan.

2.      Hakim dilarang menolak perkara
Bila suatu perkara sudah masuk ke pengadilan hakim tidak boleh menolak untuk memeriksan dan mengadili perkara tersebut, dengan alasan hukumnya tidak atau kurang jelas.
Bila hakim tidak dapat menemukan hukum tertulis maka ia wajib menggali hukum yang hidup dalam masyarakat atau mencari dalam Yurisprudensi (Ps 14 ayat 1 UU No. 14/ 1970)

3.      Hakim bersifat aktif
Hakim membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya untuk mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

4.      Persidangan yang terbuka
Asas ini dimaksudkan agar ada kontrol sosial dari masyarakat atas jalannya sidang peradilan sehingga diperoleh keputusan hakim yang obyektif, tidak berat sebelah dan tidak memihak (Ps 17 dan 18 UU no 14/1970)

5.      Kedua belah pihak harus didengar
Dalam perkara perdata, para pihak harus diperlakukan sama dan didengar bersama-sama serta tidak memihak. Pengadilan mengadili dengan tidak membeda-bedakan orang, hal ini berarti bahwa didalam Hukum Acara Perdata hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak saja, pihak lawannya harus diberi kesempatan untuk memberikan keterangan dan pemeriksaan bukti harus dilakukan dimuka sidang yang dihadiri oleh keduabelah pihak.

6.      Putusan harus disertai alasan
Bila proses pemeriksaan perkara telah selesai, maka hakim memutuskan perkara tersebut. Keputusan hakim harus memuat alasan-alasan yang menjadi dasar untuk mengadilinya. Alasan-alasan yang dicantumkan tersebut merupakan pertanggungjawaban hakim atas keputusannya kepada pihak-pihak yang berperkara dan kepada masyarakat sehingga mempunyai nilai obyektif dan mempunyai wibawa

7.      Sederhana, cepat dan biaya ringan
Sederhana yaitu acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit.

Cepat menunjuk pada jalannya peradilan banyak formalitas merupakan hambatan bagi jalannya peradilan (mis. Perkara tertunda bertahun-tahun karena saksi tidak datang atau para pihak bergantian tidak datang bahkan perkara dilanjutkan oleh ahli waris)
Biaya ringan maksudnya agar tidak memakan biaya yang benyak.

8.      Obyektivitas
Hakim tidak boleh bersikap berat sebelah dan memihak. Para pihak dapat mengajukan keberatan, bila ternyata sikap hakim tidak obyektif.

9.      Hak menguji tidak dikenal
Hakim Indonesia tidak mempunyai hak menguji undang-undang. Hak ini tidak dikenal oleh UUD. Dalam pasal 26 ayat 1 UU tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (UU No. 14/1970) dinyatakan bahwa Hak menguji diberikan kepada mahkamah agung terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah dari UU dan dapat menyatakan peraturan perundang-undangan tersebut tidak sah.

ASAS – ASAS HUKUM ACARA PERDATA
Asas-Asas Hukum Acara perdata Asas Hukum adalah dasar-dasar filosofis yang menjadi dasar norma hukum yang mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis yang menjadi jembatan antara peraturan-peraturan hukum dan cita-cita sosial serta pandangan etis masyarakat
Hakim Bersifat Menunggu : maksudnya ialah hakim bersifat menunggu datangnya tuntutan hak di ajukan kepadanya, kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan maka tidak ada hakim. Jadi apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan di ajukan atau tidak, sepenuhnya di serahkan kepada pihak yang berkepentingan.(pasal 118 HIR, 142 Rbg.)
Hakim Pasif (Lijdelijkeheid Van De Rehter): hakim di dalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang di ajukan kepada hakim untuk di periksa pada asasnya di tentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim.
Sifat Terbukanya Persidangan(openbaar) : sidang pemeriksaan pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum, yang berarti bahwa setiap orang di bolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Tujuannya ialah untuk memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta untuk lebih menjamin objektifitas peradilan dengan mempertanggung jawabkan pemeriksaan yang fair (pasal 19 ayat 1 dan 20 UU no.4 tahun 2004). Apabila tidak di buka untuk umum maka putusan tidak sah dan batal demi hukum.
Mendengar Kedua Belah Pihak (Audio Et Alterampartem) : dalam pasal 5 ayat 1 UU no.4 tahun 2004 mengandung arti bahwa di dalam hokum acara perdata yang berperkara harus sama-sama di perhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus di beri kesempatan untuk memberikan pendapatnya.
Putusan Harus Di Sertai Alasan-alasan : semua putusan pengadilan harus memuat alas an-alasan putusan yang di jadikan dasar untuk mengadili ( pasal 25 UU no 4 tahun 2004,) 184 ayat 1, 319 HIR, 195, 618 Rbg). Alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggungan jawab hakim dari pada putusanya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hokum, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai objektif.
Beracara di Kenakan biaya : untuk beracara pada asasnya di kenakan biaya (pasal 3 ayat 2 UU no 4 tahun 2004, 121 ayat 4, 182,183 HIR, 145 ayat 4, 192-194 Rbg). Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan, dan biaya untuk pengadilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai.
Tidak ada keharusan mewakilkan : pasal 123 HIR, 147 Rbg tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang langsung berkepentingan.
Obyektivitas
Hakim tidak boleh bersikap berat sebelah dan memihak. Para pihak dapat mengajukan keberatan, bila ternyata sikap hakim tidak obyektif.


      9.   .Hak menguji tidak dikenal
Hakim Indonesia tidak mempunyai hak menguji undang-undang. Hak ini tidak dikenal oleh UUD. Dalam pasal 26 ayat 1 UU tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (UU No. 14/1970) dinyatakan bahwa Hak menguji diberikan kepada mahkamah agung terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah dari UU dan dapat menyatakan peraturan perundang-undangan tersebut tidak sah.
     10   .Ius Curia Novit Pengadilan atau hakim tidak boleh menolak untuk menerima,memeriksa ,mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan,sekalipun dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya ( Pasal 10 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 )----- Hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit).
11.   Putusan hakim Harus Disertai Alasan-alasan “ Segala putusan Pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut,memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili ( Pasal 50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 ).
 Perkara Prodeo Bagi pihak-pihak yang tidak mampu dapat mengajukan permohonan agar perkaranya diperiksa secara Cuma-Cuma (prodeo ) dengan disertai surat keterangan tidak mampu dari pemerintah setempat, biaya perkara ditanggung oleh negara ( Pasal 56 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 )
Bantuan Hukum Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum ( Pasal 56 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009
 Wakil /Kuasa berdasarkan undang-undang (wettelijke vertegenwoodig atau legal mandatory ) undang-undanglah yang telah menetapkan seseorang atau badan untuk dengan sendirinya menurut hukum bertindak sebagai wakil dari orang atau badan tanpa memerlukan surat kuasa. Contoh : Wali terhadap anak di bawah perwaliannya Orang tua terhadap anak-anaknya yang belum dewasa kurator terhadap orang-orang yang ada di bawah kuratelenya BHP, Orang atau Badan yang ditunjuk sebagi curator dalam kepailitan.
Wakil atau kuasa berdasarkan perjanjian Wakil atau kuasa berdasarkan adanya perjanjian pemberian kuasa untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu ,misalnya kuasa khusus untuk mengajukan gugatan ke pengadilan negeri antara seorang penggugat dengan pengacaranya
 Acara Kepailitan Dalam acara khusus permohonan pernyataan pailit ,ketentuan asas tidak ada keharusan untuk mewakilkan menjadi tidak berlaku dengan adanya ketentuan bahwa setiap permohonan yang berkaitan dengan kepailitan harus diajukan oleh seorang kuasa(Advokat) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU No37 Tahun 2004 tentang kepailitan.
Jaminan penerapan asas obyektifitas Sebagai jaminan penerapan asas obyektifitas ada beberapa asas yang terkait dan saling mendukung,misalnya adanya asas sidang terbuka untuk umum,asas mendengar kedua belah pihak,asas putusan disertai alasan-alasan,asas hakim majelis dan lain sebaginya,di samping itu untuk lebih menjamin asas obyektifitas pada para pihak diberikan adanya “hak ingkar (recusatie atau hak wraking)” “ Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang akan mengadili perkaranya ( Pasal 17 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009
 Hak Ingkar A dalah hak seorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya (Pasal 17 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009)
Dasar alasan pengajuan hak ingkar ( Pasal 17 ayat (3,4,5) UU No.48 Tahun 2009, Pasal 374 ayat (1) HIR) : Apabila seorang hakim terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga,atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai,dengan ketua,salah seorang hakim anggota,jaksa,advokat,atau panitera; A pabila ketua majelis,hakim anggota,jaksa,atau panitera terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat; A pabila hakim atau panitera mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa Hak Ingkar Berdasarkan alasan yang sama seorang hakim atau panitera wajib untuk mengundurkan diri baik atas keinginan sendiri maupun atas permintaan pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap alasan pada ayat (5) maka putusan hakim menjadi tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administrative atau pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku ( Pasal 17 ayat (6) UU No.48 Tahun 2009 ).
 Asas sistem majelis “ Semua pengadilan memeriksa,mengadili dan memutus dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 11 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009)
 Asas Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ( Pasal 2 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009) Setiap putusan pengadilan dalam kepala putusannya harus mencantumkan klausula Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,klausula ini merupakan klausula eksekutorial. Tidak dipenuhinya asas ini dalam putusan,berakibat putusan tidak dapat dilaksanakan dan putusan menjadi batal demi hukum
Asas peradilan yang sederhana,cepat dan biaya ringan( Pasal 2 ayat (4) UU No.48 Tahun 2009 ) Sederhana dalam pengertian bahwa peradilan dilaksanakan dengan cara-cara yang tidak formalistis,tidak memerlukan birokrasi yang sulit serta acaranya mudah difahami oleh masyarakat; Cepat,dalam pengertian bahwa proses peradilan dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu yang penyelesaiannya dapat diukur secara pasti dan jelas dalam waktu berapa lama suatu perkara dapat diselesaikan oleh hakim pada semua tingkat; Biaya ringan,proses peradilan tentu memerlukan biaya,hanya saja tentunya biaya yang dibebankan selaras dan sebanding dengan perkara yang diajukan dan dapat ditanggung oleh masyarakat


Eksistensi Peradilan Agama di Indonesia



Pendahuluan
Peradilan Agama sebagai salah satu lembaga hukum di Indonesia telah eksis seiring dengan perjalanan bangsa dari awal kemerdekaan hingga saat ini. Dalam rentang waktu tersebut, peradilan agama telah melewati rangkaian proses transformasi kelembagaan dalam rangka memperkuat eksistensinya dalam kerangka hukum di Indonesia.

Salah satu pijakan awal yang krusial dalam kemapanan peradilan agama secara kelembagaan adalah kodifikasi peraturan-peraturan tentang peradilan agama ke dalam UU No.7 tahun 1989 mengenai peradilan agama. Dengan kodifikasi tersebut, maka peradilan agama memperoleh pengakuan hukum yang luas sebagai lembaga hukum yang otoritatif dan independen.

Implikasi lebih jauh dari undang-undang tersebut adalah adanya transparansi mengenai yurisdiksi peradilan agama dalam dinamika hukum nasional, sehingga putusan atau ketetapan yang dikeluarkan oleh pengadilan agama memiliki kekuatan hukum yang tetap. Hal inilah yang sesungguhnya mengawali kiprah nyata peradilan agama dalam rangka penegakan supremasi hukum secara massif.

Dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan dinamika sosial-ekonomi masyarakat yang semakin kompleks dan dinamis, kebutuhan akan pemenuhan rasa keadilan semakin menguat, sehingga diperlukan adanya suatu peraturan perundang-undangan yang lebih komprehensif. Peradilan agama dituntut untuk mengambil peran yang lebih jauh dalam pemenuhan rasa keadilan di masyarakat.

Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Peradilan Nasional

Peradilan agama merupakan kekuasaan Negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan. Pengadilan Agama adalah pengadilan tingkat pertama dalam lingkungan peradilan agama. Adapun satuan penyelenggara peradilan pada tingkat kedua (banding) adalah pengadilan tinggi agama (PTA), sedangkan pengadilan pada tingkat kasasi adalah Mahkamah Agung.

Peradilan Agama mempunyai sejarah yang panjang dan berliku-liku. Sejarah panjang peradilan agama itu dicoraki oleh politik Islam pemerintah Hindia Belanda sebagai pemerintah kolonial maupun politik Islam pemerintah republik Indonesia. Roihan A. Rasyid berpendapat bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia, namun belum bisa diidentikkan dengan Peradilan Islam secara universal, di samping itu pula bahwa Peradilan Agama bersifat khusus. Kekhususannya pertama karena Peradilan Agama tidak berwenang dalam perkara perdata dan pidana, melainkan hanya perdata saja. Perdata itu pun hanya perdata Islam yang terbatas saja. Dan dipandang dari para pencari keadilan yang diurusnya juga tidak mencakup semua orang tetapi hanya orang-orang tertentu, yaitu yang termasuk kategori beragama Islam.

Sekarang Peradilan Agama ditetapkan melalui Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 10 disebutkan bahwa, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan:

a.Peradilan Umum;

b.Peradilan Agama;

c.Peradilan Militer;

d.Peradilan Tata Usaha Negara.

Dengan diundangkannya undang-undang No. 14 Tahun 1970 menjadikan badan peradilan agama sebagai bagian dari peradilan nasional Indonesia. Kemudian kedudukan Peradilan Agama semakin kuat setelah lahirnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 memuat beberapa perubahan yang signifikan, yaitu:

Pertama, sejak berlakunya UU No. 7 Tahun 1989 semua aturan perundang-undangan mengenai Peradilan Agama sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian, penyelenggaraan Peradilan Agama di Indonesia didasarkan kepada peraturan yang sama dan seragam.

Kedua, mengenai kedudukan pengadilan. Sebelum berlakunya UU No. 7 Tahun 1989 terdapat ketidaksejajaran antara pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dengan pengadilan lainnya, khususnya pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Hal ini sebelumnya tercermin adanya pengukuhan atas putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri. Maka dengan lahirnya Undang-undang ini, Pengadilan Agama memiliki kemandirian untuk melaksanakan putusannya sendiri yang dilaksanakan oleh jurusita. Kejurusitaan merupakan pranata baru dalam susunan organisasi Pengadilan Agama.

Ketiga, kedudukan hakim. Menurut ketentuan pasal 15 ayat (1), hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri Agama berdasarkan persetujuan Mahkamah Agung. Hal ini sama berlaku bagi hakim dalam lingkungan Peradilan Umum.

Keempat, tentang wewenang pengadilan. Menurut ketentuan pasal 49 ayat (1), “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama orang-orang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. wakaf dan shadaqah.”

Kelima, tentang hukum acara. Menurut pasal 54, hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.

Keenam, tentang penyelenggaraan administrasi peradilan yang meliputi administrasi peradilan dan administrasi umum.

Ketujuh, perlindungan terhadap wanita, yaitu bahwa gugatan perceraian tidak diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kediaman tergugat, tetapi ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.

Di dalam reformasi hukum tercakup agenda penataan kembali berbagai institusi hukum dan politik mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat pemerintahan desa; pembaruan berbagai perangkat peraturan perundang-undangan; pembaruan dalam sikap masyarakat; cara berpikir masyarakat dan pembenahan perilaku masyarakat ke arah kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.

Dengan perkataan lain, dalam agenda reformasi hukum itu tercakup pengertian reformasi kelembagaan, reformasi perundang-undangan dan reformasi budaya hukum. Eksistensi Hukum Islam yang sejak dulu dipahami sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kesadaran masyarakat Indonesia mengenai hukum dan keadilan yang memang jelas keberadaan atau eksistensinya dalam kerangka sistem hukum nasional.

Secara instrumental, banyak ketentuan perundangan Indonesia yang telah mengadopsi berbagai materi hukum Islam ke dalam pengertian hukum nasional. Secara institusional pun, eksistensi pengadilan agama juga terus dimantapkan keberadaannya. Apalagi dengan dibuatnya UU No. 7 Tahun 1989 menjadikan posisi pengadilan agama semakin kuat.

Dengan lahirnya undang – undang tersebut banyak perubahan dan kemajuan penting serta mendasar pada lingkungan peradilan agama, yakni, peradilan agama telah menjadi peradilan mandiri, kedudukannya telah benar-benar sejajar dan sederajat dengan peradilan militer, peradilan umum dan peradilan tata usaha negara. Nama, susunan, wewenang dan hukum acaranya telah sama dan seragam di seluruh Indonesia.

Terciptanya unifikasi hukum acara peradilan agama itu akan memudahkan terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan dalam lingkungan peradilan agama. Perlindungan terhadap wanita lebih ditingkatkan, dengan jalan, antara lain, memberikan hak yang sama kepada istri dalam berproses dan membela kepentingannya di muka pengadilan. Lebih memantapkan upaya penggalian berbagai asas-asas hukum dan kaidah-kaidah hukum Islam sebagai salah satu bahan baku dalam penyusunan dan pembinaan hukum nasional melalui yurisprudensi.

Adanya UU No. 7 Tahun 1989 di atas telah mewujudkan amanat Pasal 10 Ayat (1) dari Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Tahun 1970 tentang Kedudukan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dan Pasal 12 tentang Susunan, Kekuasaan dan Hukum acaranya.

Selain itu, pembangunan hukum nasional berwawasan nusantara yang sekaligus juga berwawasan bhineka tunggal ika dalam bentuk UU peradilan agama telah terlaksana. Sebagai institusi penegak hukum, Peradilan Agama harus kuat status dan kedudukannya sehingga dapat memberikan kepastian hukum kepada para pencari keadilan. Karenanya, yang lebih diutamakan dari reformsi Peradilan Agama, sesungguhnya adalah menyangkut status dan kedudukannya sebagai salah satu pelaksana dari struktur kekuasaan kehakiman.

Friedman dalam teori three elements law system,menyatakan bahwa, efektif atau tidaknya penegakan hukum antara lain ditentukan oleh kuat tidaknya struktur hukum (legal structure), yakni pengadilan. Menurutnya, struktur adalah bagian dari sistem hukum yang bergerak di dalam suatu mekanisme. Struktur bagaikan foto diam yang menghentikan gerak. Dengan demikian, Pengadilan Agama sebagai salah satu bagian dari struktur hukum akan memberikan pengaruh terhadap kuat tidaknya struktur pelaksana hukum di Indonesia. Bila dilihat dari aspek struktur, status dan kedudukan Peradilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di era reformasi sudah kuat. Sehingga, tidak akan ada perdebatan lagi mengenai kehadirannya dalam sistem kekuasaan kehakiman Indonesia.

Peradilan Agama adalah pranata konstitusional. Menjalankan Peradilan Agama menjadi tanggungjawab dan kewajiban konstitusional, yang penghapusannya hanya mungkin kalau ada perubahan UUD. Dan ini merupakan sesuatu yang sulit dibayangkan akan terjadi. Inilah perubahan signifikan yang terjadi pada Peradilan Agama di era reformasi. Statusnya sudah sangat kuat secara konstitusional, kedudukannya sudah sama dengan badan-badan peradilan lainnya, sehingga independensi dan kemandirian institusionalnya bisa meningkat, termasuk juga kepercayaan dari masyarakat pencari keadilan.

Salah satu indikator kepercayaan dari masyarakat pencari keadilan adalah tingkat kepuasan (consumer satisfaction) pengguna/masyarakat terhadap Peradilan Agama. Dalam laporan hasil survey nasional yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan AusAID tahun 2008, terdapat tingkat kepuasan yang tinggi pada pengguna jasa Pengadilan Agama, dengan lebih dari 80% pemohon menyatakan mereka bersedia untuk menggunakan kembali Pengadilan Agama, jika mengalami masalah hukum yang sama. Termasuk proses persidangan, umumnya menyatakan puas.

Ini dibuktikan dengan pernyataan responden, 63,3% menyatakan proses persidangan tidak menimbulkan keresahan, 64,4% menyatakan tidak terlalu banyak penundaan, perkara diperiksa secara cepat dan efisien dan memperoleh akses kepada dokumen-dokumen yang relevan (74 dan 71,6%). Tingginya tingkat kepuasan terhadap proses persidangan tersebut juga dikuatkan oleh pernyataan responden bahwa pengadilan telah bersikap adil dan transparan (81,1%), pengadilan menangani perkara dengan adil (79,1%), dan sifat acara persidangan dapat dimengerti (75%).

Dengan demikian, tingkat kepuasan masyarakat terhadap Peradilan Agama, tidak hanya dalam soal pelayanan administrasi, tetapi juga dalam proses persidangan, serta masyarakat pencari keadilan mendapatkan rasa keadilan atas putusan hakim tersebut. Putusan hakim yang adil, menurut Jeremy Bentham, memiliki korelasi kuat dengan proses persidangan dan nilai-nilai yang terkait dengan proses hukum. Oleh karena itu, proses persidangan harus menghasilkan putusan yang akurat sebagai tanda dipergunakannya nilai-nilai hukum sebagai dasar putusan.

Selain itu, tingkat kepuasan pencari keadilan terhadap putusan Pengadilan Agama juga terlihat dari data perkara yang masuk ke Pengadilan Agama. Pada tahun 2007, dari 201.438 perkara yang diputus oleh hakim di Pengadilan Agama tingkat pertama, hanya 1.650 perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama tingkat banding atau 6,87%. Sedangkan untuk perkara yang diputus di tingkat banding sebanyak 1.682 perkara dan yang kasasi hanya 491 perkara (29,1%). Kecilnya prosentase rata-rata hanya 18%- masyarakat yang mengajukan ke pengadilan di tingkat atasnya, menunjukkan bahwa tingkat kepuasan masyarakat sangat tinggi (82%).

Karena itu, Pengadilan Agama sebagai bagian dari legal structure harus benar benar kuat, mandiri, independen, dan kredibel, sehingga salah satu elemen dalam sistem hukum akan berfungsi dengan baik. Selain itu, berdasarkan hasil survey The Asia Foundation pada tahun 2005 Peradilan Agama menjadi satu-satunya institusi penegak hukum yang memiliki performance paling baik, dengan angka kepuasan palayanan mencapai nilai 80, Peradilan Umum hanya 70, TNI 74, dan polisi hanya 59. Bahkan dalam aspek persepsi publik terhadap bermacam-macam institusi, Peradilan Agama adalah institusi yang nilai trustworthy dan does its job well-nya paling tinggi.

Data tersebut menunjukan bahwa Peradilan Agama di mata masyarakat menjadi salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang terpercaya. Bukan saja karena pelayanan administrasinya, akan tetapi juga proses persidangan dan hasil putusan yang dibuat oleh hakim dapat memberikan rasa keadilan masyarakat. Berkaitan dengan ini, Colligan menyatakan bahwa, lahirnya putusan yang akurat memperlihatkan dipergunakannya nilainilai sebagai dasar dari putusan dan keluarnya putusan yang akurat tersebut juga terkait dengan dipakainya hukum pembuktian selama proses pemeriksan perkara di pengadilan. Karenanya, tidak berlebihan jika dinyatakan bahwa pada masa reformasi–pasca disatuatapkan di bawah Mahkamah Agung– Peradilan Agama semakin mandiri dan independen

Lika-Liku Eksistensi Dan Posisi Peradilan Agama Di Indonesia



A. Pendahuluan
Buku yang akan dikaji ini adalah hasil adaptasi dari disertasi Achmad Gunaryo pada program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang. Buku ini memaparkan proses proses politik penguatan yang dilalui oleh Peradilan Agama di Indonesia sehingga bisa menjadi peradilan yang independen seperti sekarang.
Buku ini layak menjadi pegangan bagi para peminat bidang politik hukum, khusunya hukum Islam. Karena pembahasannya cukup representatif menggambarkan sisi-sisi politis penggembosan dan penguatan eksistensi dan posisi peradilan Agama di Indonesia dari berbagai kalangan, mulai dari zaman penjajahan samapi era reformasi sekarang ini.
Perkembanga Peradilan Agama di masyarakat hingga menjadi lembaga Peradilan yang diakui oleh negara tidak luput dari nuansa politik yang berkembang pada setiap masa. Hal ini senada dengan pendapat Mahfud MD yang mengatakan bahwa produk hukum akan sangat diwarnai atau ditentukan oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya. Asumsi ini dipilah berdasarkan kenyataan bahwa setiap produk hukum merupakan produk keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi di kalangan para politisi.
Jauh sebebelum Indonesia merdeka, Peradilan Agama telah banyak berperan dalam penyelesaian sengketa pada masyarakat muslim. Namun hingga tahun 1989, keberadaan Peradilan Agama ini hanya sebagai pelengkap saja. Pada waktu itu Peradilan Agama tidak diberi wewenang untuk menjalankan keputusan yang dibuatnya sendiri. Pengadilan Agama dapat mengimplementasikan keputusannya apabila sudah mendapat restu atau izin dari Pengadilan negeri dalam bentuk executoir verklaring . Fenomena ini amat unik sekaligus diskriminatif, sebab suatu lembaga peradilan tidak dapat menjalankan keputusannya sebelum diizinkan oleh lembaga peradilan lain yang levelnya setingkat. Dikatakan diskriminatif karena lembaga peradilan lainnya yang diakui oleh UU No. 14 tahun 1970 diberi wewenang untuk menjalankan keputusannya sendiri.
Karena kekecewaannya terhadap politik sistem hukum nasional yang diskriminatif tersebut, Munawir Sadzali pernah mengatakan bahwa Peradilan Agama sebagai Peradilan Pupuk Bawang. Kenyataan itu diperkuat lagi dengan penampilan fisik gedung Peradilan Agama yang tidak menampakkan layaknya gedung Peradilan. Belum lagi hingga tahun 1990-an masih banyak hakim hakimnya yang hanya berstatus sebagai pegawai honorer, tidak seperti hakim hakim di lingkungan peradilan lain yang merupakan pegawai Negara.
Barulah kemudian pada tahun 1989 melalui UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang disahkan pada tanggal 27 Desember, Peradialn Agama tidak lagi menjadi Peradilan Pupuk Bawang melainkan ia sudah dapat berperan sebagaimana lembaga peradilan yang sesungguhnya (Court of Law). Hal ini merupakan kulminasi perjuangan politik Islam dalam bidang peradilan dan hukum. Dengan lahirnya undang undang tersebut maka kemudian lahir peraturan-peraturan lainnya seperti Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), UU No. 7 tahun 1992 jo UU No. 10 tahun, 1998 dan UU No. 23 tahun 1999 tentang Perbankan Syari’ah, UU No. 35 tahun 1999 tentang “penyatuan” semua lingkungan peradilan menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung, UU No. 17 tahun 1999 tentang Haji; UU No. 38/2001 tentang Zakat dan UU No. 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus di Nangroe Aceh Darussalam; UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat yang menyetarakan Sarjana Syari’ah dengan Sarjana Hukum dan memberi peluang untuk menjadiadvokat; dan UU No. 3 tahun 2006 tentang penambahan kompetensi Peradilan Agama, membuktikan eksistensi dan posisi Peradilan Agama telah diakui sepenuhnya oleh negara dam masyarakat.
Lahirnya berbagai perundang-undangan dan peraturan di atas merupakan bentuk pengakuan yang nyata terhadap hukum Islam dan sekaligus Peradilan Agama sebagai pelaksanya. Dengan adanya pengakuan secara dejure dan facto baik dari masyarakat maupun oleh negara, maka Peradilan Agama dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara mantap tanpa ada pengaruh dan keterikatan denganlembaga lain, sehingga menjadi sebuah lembaga yang dapat menciptakan keadilan di tengah-tengah masyarakat.

B. Peradilan Agama di Indonesia dalam Lintas Sejarah
1. Prakemerdekaan
Peradilan Agama di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang. Jauh sebelum kemerdekaan, sistem peradilan agama sudah lahir. Oleh karena itu untuk sebelum membahas tentang Peradilan agama prakemerdekaan selayaknya menarik sejarah ini jaug ke belakang sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, tepatnya pada masa kerajaan.
Sebelum Islam datang ke Indonesia telah ada dua macam peradilan, yaitu Peradilan Pradata dan Perdilan Padu. Materi hukum Peradilan Pradata bersumber dari ajaran Hindu dan ditulis dalam Papakem. Sedangkan Peradilan Padu menggunakan hukum materiil tidak tertulis yang berasal dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Dalam prakteknya, Peradilan Pradata menangani persoalan-persoalan yang berhubungan dengan wewenang raja, sedangkan Peradilan Padu menangani persoalan-persoalan yang tidak berhubungan dengan wewenang raja. Keberadaan dua sistem peradilan ini berakhir setelah raja Mataram menggantinya dengan sistem Peradilan Surambi yang berasaskan Islam. Penggantian ini bertujuan untuk menjaga integrasi wilayah kerajaan Mataram.
Peradilan agama sebagai bagian dari mekanisme penyelenggaraab kenegaraan pernah mengalami pasang surut ketika Sultan Agung meninggal dan digantikan oleh Amangkurat I. Amangkurat I pernah menutup Peradilan Agama dan menghidupkan kembali Peradilan Pradata. Setelah masa ini Peradilan Agama eksis kembali. Hal ini dibuktikan dengan diterbitkannya sebuah kitab hukum Islam “Shirath al-Mustaqim” yang ditulis Nurudin Ar-Raniri. Kitab ini menjadi rujukan para hakim di Indonesia. Pada tahun 1642, terbit Statuta Batavia yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum Islam.
Pada tahun 1882 pemerintah kolonial mengeluarkan Staatsblad No. 152 yang merupakan pengakuan resmi terhadap eksistensi Peradilan Agama dan hukum Islam di Indonesia samapai sekarang. Staatsblad ini dapat dilihat sebagai titik awal dimulainya interaksi dua sistem peradilan, Islam dan Barat. Selanjutnya pada tahun 1931 membentuk sebuah komisi yang bertugas membicarakan masa depan Pengadilan Agama. Hasil dari komisi ini berupa dikeluarkannya Staatsblad No. 53 yang terdiri dari tiga bagian; bagian I tentang perubahan nama Pengadilan dari Priesterrad menjadi Penghoeloegerecht dan mencabut wewenang dalam masalah waris, sehingga hanya menangani masalah perkawinan. Bagian II memuat aturan tentang campur tangan lanndrrad dalam soal peradilan harta bagi orang-orang Indonesia asli. Bagian III memuat pembentukan Balai Harta Peninggalan bagi orang Indonesia asli. Karena Staatsblad ini tidak berjalan efektif dan karena pengaruh teori resepsi , pada tahun 1937 keluarlah staatsblad 1937 No. 116. Staatsblad ini mencabut wewenang yang dipunyai oleh Peradilan Agama dalam persoalan waris dan masalah masalah lain yang berhubungan dengan harta benda, terutama tanah. Sejak itulah kompetensi Peradilan Agama hanya pada masalah perkawinan dan perceraian. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa Peradilan Agama pada masa ini tidak dapat melaksanakan keputusannya sendiri, melainkan harus dimintakan pengukuhan dari Peradilan Negeri.
Pengurangan terhadap kompetensi Peradilan Agama tersebut tentunya sangat mengecewakan masyarakat muslim Indonesia karena Peradilan Agama pada waktu itu betul-betul mereka anggap sebagai lembaga peradilan layaknya lembaga peradilan, bukan sebagai lembaga agama semata. Belum lagi pada masa ini Peradilan Agama hanya dapat menghidupi dirinya sendiri melalui ongkos perkara yang diterimanya. Ini dilakukan karena pemerintah kolonial tidak pernah mensubsidi Peradilan Agama untuk pengelolaan administrasinya, termasuk tidak menggaji hakim dan pegawainya. Kenyataan bahwa hakim dan pegawai Peradilan Agama menerima uang dari mereka yang menggunakan jasa peradilan inilah yang belakangan dipakai sebagai alat oleh Belanda untuk mengatakan bahwa Peradilan Agama adalah sarang korupsi.
Demikianlah liku-liku eksistensi Peradilan Agama pada masa penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan Jepang tidakada perubahan signifikan tentang eksistensi Peradilam Agama sampai memasuki kemerdekaan dan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Pasca Kemerdekaan
Masa Orde Baru
Pada masa kemerdekaan, usaha untuk mengurangi dan mengeliminir, bahkan menghapuskan baik wewenang maupun peran Peradilan Agama pernah terjadi ketika RUU Perkawinan dibuat oleh pemerintah dan diajukan ke DPR pada tahun 1973. rancangan undang undang tersebut memiliki dua tujuan. Pertama, untuk mengurangi frekuensi perceraian dan perkawinan di bawah umur. Kedua, untuk menyeragamkan undang-undang perkawinan di Indonesia sebagai bagian program kesatuan dan persatuan Indonesia di bawah idiologi negara Pancasila.
Dalam RUU tersebut, Peradilan Agama hanya disebut dalam rancangan penjelasan pasal 73 ayat (2). Bunyi rancangan penjelasan pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Untuk memperlancar pelaksanaan undang undang ini, Pemerintah dapat mengatur lebih kanjut hal hal tertentu yang memerlukan ketentuan pelaksanaan, antara lain yang bersangkut paut pengikutsertaan Pengadilan Agama dalam tata cara penyelesaian perselisihan perkawinan dan perceraian oleh Pengadilan Umum, tata cara berlangsungnya perkawinan sebagai golongan bagi agama Islam adanya sansi, wali dan sebagainya.

Peletakkan kata Pengadilan Agama pada penjelasan segera dapat dibaca bahwa Pengadilan Agama hanyalah pelengkap Pengadilan Umum. Penjelasan bukanlah bagian dari undang undang dan tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelenggaraan proses peradilan (dasar hukum). Karena itu, maka dipahami bahwa RUU tersebut dinilai sebagai upaya untuk menghapuskan Pengadilan Agama. Posisi pelengkap itu pun, oleh RUU direkomendasikan pada Peraturan Pemerintah (PP). Secara harfiah dapat dimengerti status Pengadilan Agama menurut RUU tersebut akan berada di bawah wewenang Pengadilan Umum.
Pasal 3 ayat 2 RUU berbunyi:
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, selanjutnya dalam undang-undang ini disebut Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak pihak yang bersangkutan.

Dari bunyi pasal 3 ayat 2 dan penjelasan pasal 73 ayat 2 di atas terlihat bahwa akan terjadi pengalihan wewenang masalah perkawinan dari Pengadilan Agama kepada Pengadilan Negeri. Pengadilan Agama akan diikutsertakan dalam persoalan ini sepanjang menyangkut tata cara berlangsungnya perkawinan. Jika ini terjadi, maka habislah sedah wewenang Peradilan Agama karena masalah kewarisan dan harta benda sudah dicabut terlebih dahulu oleh staatsblad 1937 No. 116.
Tetapi akhirnya masyarakat muslim bisa bernafas lega, sebab biarpun melalui perjuangan yang amat berat, yaitu dengan persetujuan dan kompromi umat Islam, akhirnya RUU Perkawinan di atas diamandemen dan pada bulan Januari 1974 disahkan menjadi UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan itu, maka keberadaan Peradilan Agama menjadi terselamatkan, namun perannya tetap dibatasi. Pembatasan yang diamaksud terletak pada ketentuan pasal 63 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974 tentang Peradilan Agama yang mengatakan bahwa “setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan umum.” Dengan ketentuan ini, maka Peradilan Agama masih tetap diposisikan sebagai Peradilan “Pupuk Bawang”.
Terlepas dari itu semua, harus diakui bahwa UU No. 1 tahun 1974 ini sangat berarti dalam perkembangan Peradilan Agama di Indonesia, karena selain menyelamatkan keberadaan Peradilan Agama sendiri, sejak disahkan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan jo. PP No. 9 tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksananya, maka terbit pulalah ketentuan Hukum Acara di Pengadilan Agama, biarpun baru sebagian kecil saja. Ketentuan Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama baru disebutkan secara tegas sejak diterbitkan UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Hukum Acara yang dimaksud diletakkan pada ketentuan Bab IV yang terdiri dari 37 pasal. Memang tidak semua ketentuan tentang Hukum Acara Peradilan Agama dimuat dalam undang-undang ini. Hal itu dapat dilihat dalam pasal 54, dimana dikemukakan bahwa Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang undang ini.
Lahirnya Undang-Undang No. 7 tahun 1989 ini bisa dikatakan sebagai “hadiah” bagi kalangan Islam yang telah merubah sikap politiknya menjadi substantif integratif. Perjuangan mereka lebih mengarah pada sikap-sikap inklusif yang menghindarkan diri dari pemisahan-pemisahan ketegoris yang kaku. Namun demikian, dalam Perjalanannya, penolakan penolakan terhadap legalisasi Peradilan Agama pada masa ini masih gencar. Hal ini nampak pada pembahasan RUU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama oleh DPR. Sebagian masyarakat, kebanyakan dari unsur agama katolik menuduh bahwa penegakkan RUU tersebut berarti penegakkan kembali Piagam Jakarta (Magnis Suseno, S. Wijoyo, dan P.J. Suwarno). S. Wijoyo misalnya secara terang terangan mengatakan bahwa RUU tersebut menentang kesaktian Pancasila. Sedangkan R. Suprapto menyatakan bahwa keberadaan Peradilan Agama tidak dapat diterima. Penerimaan Peradilan Agama dalam pandangannya sama dengan menerima sumber di luar UUD 1945 dan Pancasila. Selain itu dia juga mengusulkan agar UU No. 14 tahun 1970 ditinjau kembali.
Terlepas dari gencarnya pro dan kontra perihal pengesahan UU No. 7 tahun 1989 di atas, bahkan tak kurang dari empat ratus artikel tentang tanggapan pro dan kontra tersebut dimuat di media masa, namun akhirnya pada tanggal 27 Desember 1989 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peadilan Agama disahkan oleh DPR yang kemudian diikuti dengan dikeluarkannya Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dengan disahkan UU tersebut bukan saja menyejajarkan kedudukan Peradilan Agama dengan lembaga peradilan peradilan lain, melainkan juga mengembalikan kompetensi Peradilan Agama yang dulu pernah dimilikinya pada zaman kolonial. Pasal 49 UU itu menyatakan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di bidang:
a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
c. Wakaf dan shodaqoh
Dalam pasal 49 ayat 3 dinyatakan bahwa:
Bidang kewarisan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b ialah penentuan siapa siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian bagian ahli waris, dan melaksanakan pembagian pada harta peninggalan tersebut.

Dalam ayat 3 di atas terlihat bawa Pengadilan Agama memiliki kekuatan hukum untuk melaksanakan keputusannya sendiri, tidak perlu meminta executoir verklaring lagi dari Pengadilan Umum.
Pada dasarnya tujuan jangka panjang dari inpres No. 1 tahun 1991 tentang KHI dan Surat Keputusan Menteri Agama No. 154 tahun 1991 adalah menjadikan hukum Islam semakin mengakar di masyarakat. Dan sekaligus dapat menekan beban politik DPR karena KHI telah menjadi hukum materiil Peradilan Agama. Tas dasar ini Gunaryo (hal. 246) berpendapat bahwa keluarnya inpres dan SK menteri Agama tersebut berfungsi utama sebaga akselerator penghidupan hukum islam yang bersifat polirtis ketimbang legitimator.

Masa Reformasi
Perkembangan selanjutnya adalah disahkannya Undang-undang No. 35 tahun 1999 yang menyejajarkan lembaga Peradilan Agama dengan lembaga-lembaga peradilan lainnya. Undang-undang ini menjadikan Peradilan Agama menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung sebagaimana Peradilan Umum, peradilan Militer danPeradilan tata Usaha Negara.
Lahirnya undang-undang di ats secara otomatis semakin memperkuat eksistensi dan posisi Perdailan Agama dalam kancah peradilan di Indonesia. Berdasarkan undang-undang ini maka masalah organisasi, administrasi dan finansial pengadilan Agama tidak lagi ditangani oleh Departemen Agama, akan tetapi menajdi tanggung jawab Mahkamah Agung. Dan mulai tanggal 1 Juli 2004 Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyyah resmi berpindah dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung.
Pengakuan terhadap Peradilan Agama dan perangkat-perangkatnya oleh masyarakat dan pemerintah nampaknya semakin mantap. Hal ini dibuktikan dengan disahkannya Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang advokat pada tanggal 5 April 2003. Dalam Undang-undang ini disebutkan bahwa Sarjana Syariah mempunyai kesempatan yang sama dan sejajar dengan Sarjana Hukum untuk menjadi advokat. Hal ini teidak terlepas dari perjuangan para anggota parelemn, terutama dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, Fraksi Persatuan Pembangunan dan fraksi reformasi yang menuntut kesejajaran Sarjana Syariah dengan Sarjana Hukum. Dan selanjutnya dukungan datang dari faraksi Gilkar dan Fraksi Bulan Bintang.

C. Mahkamah Syari’ah di Aceh sebagai lembaga peradilan baru
Pasca runtuhnya rezim orde baru, di Aceh terjadi konflik besar antara kelompok penuntut disintegrasi, atau yang kemudian dikenal dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah. Konflik yang berlangsung bertahun tahun itu banyak menimbulkan korban, baik dari pemerintah, GAM maupun penduduk sipil. Tuntutan pemisahan diri dari NKRI yang sulit sekali untuk dibungkam berakhir pada pemberian otonomi khusus dari pemerintah Indonesia kepada Aceh dengan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
UU No. 18 Tahun 2001 tersebut membawa perkembangan baru di Aceh dalam sistem peradilan. Pasal 25 – Pasal 26 UU PNAD mengatur mengenai Mahkamah Syari’ah NAD yang merupakan peradilan syari’at Islam sebagai bagian dari sistem peradilan nasional. Mahkamah Syari’ah adalah lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh pihak manapun dalam wilayah PNAD (Provinsi Nangroe Aceh Darussalam) yang berlaku untuk pemeluk agama Islam. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah selanjutnya diatur lebih lanjut dengan Qanun PNAD. Mahkamah Syari’ah sebagai Peradilan di Aceh diberikan wewenang untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara perkara Jinayat. Wewnag itu sebagaimana yang diamanatkan oleh Qanun No. 10 tahun 2002 Pasal 49.
Mahkamah Syari’ah sendiri terdiri dari:
1. Makamah Syari’ah Kabupaten/Sagoe dan Kota/Banda sebagai pengadilan tingkat pertama;
2. Mahkamah Syari’ah Provinsi sebagai pengadilan tingkat banding yang berada di ibukota Provinsi, yaitu di Banda Aceh.

Sementara untuk tingkat kasasi tetap dilakukan di Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24A UUD NRI 1945, yaitu Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
UU Nomor 18 Tahun 2001 di atas telah memperkuat UU No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh. UU tersebut juga memberi jaminan hukum tentang pelaksanaan Syariat Islam sebagai hukum materiil yang digunakan di Aceh, mengembangkan dan mengatur pendidikan sesuai dengan ajaran Islam, mengembangkan dan menyelenggarakan kehidupan adat dan peran serta kedudukan Ulama dalam penerapan kebijakan daerah.
UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memberikan keleluasaan kepada Aceh untuk membuat qanun yang mengatur pelaksanaan syariat Islam. UU tersebut menagatakan bahwa bidang ahwal al-syakhsiyah, mu’amalah, dan jinayah (masalah kejahatan) yang didasarkan atas syariat Islam dapat diatur dengan qonun (peraturan daerah), biarpun hingga sekarang qonun yang sudah disahkan di Aceh baru berupa 1). Qonun nomor 11 tentang aturan Syariat Islam, 2). Qonun 12 soal judi atau maisir, 3) Qonun 13 tentang khamar atau minuman keras, 4) serta Qonun 14 tentang khalwat atau menyepi degan lawan jenis.

D. Penambahan Kompetensi Peradilan Agama
Pembagian ke empat lingkungan badan peradilan tetap dipertahankan sejak dari berlakunya UU no. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman hingga kini, padahal UU tentang Pokok-pokok Kehakiman sudah mengalami perubahan selama dua kali sejak berlakunya UU no. 14 tahun 1970. Perubahan pertama yaitu dengan dikeluarkannya UU no. 35 tahun 1999 tentang perubahan terhadap UU no. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yng kemudian dirubah lagi dengan UU no. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berlaku hingga saat ini.
Sedangkan terhadap Peradilan Agama pascareformasi baru menunjukkan perkembangan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono. Peradilan Agama sebagaimana yang terdapat dalam UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang dulu hanya berwenang memeriksa dan memutus perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang Perkawinan, Kewarisan, Wasiat, dan Hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta Wakaf dan Shodaqoh, tetapi sekarang wewenangnya diperluas lagi setelah diundangkannya UU no. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sehingga wewenangnya meliputi: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah; dan ekonomi syari'ah. Undang undang No. 3 tahun 2006 itu muncul dalam rangka penegakkan dari undang undang No. 7 tahun 1992 jo. Undang undang No. 10 tahun 1998 dan undang undang No. 23 tahun 1999 tentang Sistem Perbankan Nasional yang mengizinkan beroperasinya Sistem Perbankan Syari’ah.
Inilah sekilas gambaran tentang liku-liku Peradilan Agama dalam mencari “jati diri”. Banyak sekali kepentingan politik yang berada di belakangnya. Sehingga sangat wajar Peradilan Agama baru mendapat eksistensi dan posisi yang proporsional setelah perjuangan selama lebih dari setengah abad. Namun perjuangan para praktisi dan pemikir muslim yang concern dalam bidang hukum Islam tidaklah sia-sia, karena Peradilan Agama kini menjadi diakui secara dejure dan facto baik dari masyarakat maupun oleh negara, maka Peradilan Agama dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara mantap tanpa ada pengaruh dan keterikatan denganlembaga lain, sehingga menjadi sebuah lembaga yang dapat menciptakan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Secara politis, pengakuan Peradilan Agama oleh negara juga merupakan lompatan sratus tahun sejak pertama kali peradilan ini diakui oleh pemerintah Belanda pada tahun 1882. Peradilan Agama adalah simbol kekuasaan dan politik Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal
Moh Mahfud MD., “Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia” (Yogyakarta: Gama Media. 1999).

Rachmadi Utsman,”Perkembangan Hukum Perdata dalam Dimensi Sejarah dan Politik Hukum di Indonesia” (Jakarta: PT Sinar Multi Press. 2003).

Tresna, “Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad” (Jakarta: Pradnya paramita. 1977).

Abdul Halim, “Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia: Dari Otoriter Konservatif Menuju Konfigurasi Demokrasi-Responsif” (Jakarta: Rajawali Press. 2000).

Jurnal Al Mawarid. Edisi VI Desember 1997.

Abdul Manan, “Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama” (Jakarta: Prenada Media. 2005.

Daniel S. Lev, “Islamic Court in Indonesia” (Berkeley: University of Cslifornia Press, 1972).

Peraturan Perundang undangan
Indonesia. Undang undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Indonesia, Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Indonesia, Undang undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Indonesia. Undang undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Indonesia. Undang undang no. 4 tahun 2004 tentang kekusaan kehakiman

Indonesia, Undang undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Indonesia, Undang undang No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Sumber lain

BAPPEDA D.I. ACEH. 2006. Pemerintahan. Aceh: BABBEDA

Hukum Acara Perdata


Pengertian Pokok Hukum Acara

Untuk menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya, badan-badan peradilan memerlukan peraturan-peraturan hukum yang mengatur cara-cara bagaimana dan apakah yang akan terjadi jika norma-norma hukum yang telah diadakan tidak ditaati oleh masyarakat. Dibidang hukum ini dinamakan Hukum Acara atau Hukum Formal, yaitu rangkaian kaidah yang mengatur cara-cara bagaimana mengajukan sesuatu perkara kemuka suatu badan peradilan serta cara-cara hakim memberikan putusan. Dapat juga dikatakan suatu rangkaian peraturan hukum yang mengatur tentang cara-cara memelihara dan mempertahankan hukum materiil.

Hukum Acara disebut juga Hukum Formal, jadi Hukum Acara Perdata disebut juga Hukum Perdata Formal, yang dimuat dalam Hetherziene Indonesisch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia Baru (RIB).

HIR ini merupakan bagian dari tata hukum Hindia Belanda yang masih berlaku pada waktu ini, dan tercantum dalam Stb 1941 no 44

Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan hukum yang menentukan bagaimana cara-cara mengajukan kedepan pengadilan perkara-perkara keperdataan dalam arti luas (meliputi juga hukum dagang); cara-cara melaksanakan putusan-putusan (vonis) hakim yang juga diambil berdasarkan peraturan-peraturan tersebut; dan cara-cara memelihara dan mempertahankan Hukum Perdata Materiil.

Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata. (Wirjono Prodjodikoro)

Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. (Sudikno Mertokusumo)

Hukum Perdata (materiil) yang ingin ditegakkan atau dipertahankan dengan hukum acara tersebut meliputi peraturan hukum yang tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan (mis. BW, UU Perkawinan, UU Pengadilan Agama, dll) dan peraturan hukum yang tidak tertulis berupa hukum adat yang hidup dalam masyarakat.

Fungsi dari Hukum Perdata Formal adalah mempertahankan dan melaksanakan Hukum Perdata Materiil, artinya Hukum Perdata Materiil dipertahankan oleh alat-alat penegak hukum berdasarkan Hukum Acara Perdata ini.

Lapangan keperdataan memuat peraturan-peraturan tentang keadaan hukum dan perhubungan hukum mengenai kepentingan-kepentingan perseorangan (mis. Perkawinan, jual beli, sewa, hutang piutang, hak milik, waris, dsb).

Perkara perdata adalah perkara mengenai perselisihan antar akepentingan perseorangan atau antara kepentingan suatu badan pemerintah dengan kepentingan perseorangan (mis perselisihan tentang perjanjiann jual beli, sewa, pembagian waris, dsb)

Lembaga-lembaga hukum yang terdapat dalam lapangan keperdataan, misalnya, pengadilan perdata, kantor catatan sipil (untuk pendaftaraan kelahiran, perkawinan, perceraian dan kematian), Balai Harta Peninggalan (Weeskamer), Kantor Pendaftaran Tanah (Kadaster), Notaris, Juru Sita, Jual Lelang, Kantor Lembaga Bantuan Hukum, dan Pengacara.

Dalam bidang Hukum Acara pengadilan berlaku asas-asas pengadilan sbb :
1.      Dilarang bertindak sebagai hakim sendiri.
2.      Hukum acara harus tertulis dan dikodifikasikan
3.      Kekuasaan pengadilan harus bebas dari pengaruh kekuasaan badan negara lainnya.
4.      Semua putusan pengadilan harus berisi dasar-dasar hukum
5.      Kecuali yang ditetapkan oleh UU, sidang pengadilan terbuka untuk umum dan keputusan hakim senantiasa dinyatakan dengan pintu terbuka.

Hukum Acara Perdata Indonesia bersumber dari 3 kodifikasi hukum, yaitu :
1.      Reglemen Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi golongan Eropa yang bermukim di Jawa dan Madura.
2.      Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) yang berlaku bagi golongan Indonesia di Jawa dan Madura, sekarang diganti dengan KUHAPer
3.      Reglemen Hukum untuk daerah seberang yang berlaku bagi peradilan Eropa dan Indonesia diluar Jawa dan Madura.

Dalam kenyataan pelaksanaan hukum oleh pengadilan dewasa ini sebagian besar digunakan RIB bagi seluruh Indonesia. Apabila ada hal-hal yang tidak diatur dalam RIB, maka pengadilan menggunakan aturan-aturan dari Reglemen Hukum Acara Perdata (HIR)

ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA


1.      Hakim bersifat menunggu
Dalam perkara perdata, inisiatif untuk mengajukan perkara kepengadilan sepenuhnya terletak pada pihak yang berkepentingan.

2.      Hakim dilarang menolak perkara
Bila suatu perkara sudah masuk ke pengadilan hakim tidak boleh menolak untuk memeriksan dan mengadili perkara tersebut, dengan alasan hukumnya tidak atau kurang jelas.
Bila hakim tidak dapat menemukan hukum tertulis maka ia wajib menggali hukum yang hidup dalam masyarakat atau mencari dalam Yurisprudensi (Ps 14 ayat 1 UU No. 14/ 1970)

3.      Hakim bersifat aktif
Hakim membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya untuk mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

4.      Persidangan yang terbuka
Asas ini dimaksudkan agar ada kontrol sosial dari masyarakat atas jalannya sidang peradilan sehingga diperoleh keputusan hakim yang obyektif, tidak berat sebelah dan tidak memihak (Ps 17 dan 18 UU no 14/1970)

5.      Kedua belah pihak harus didengar
Dalam perkara perdata, para pihak harus diperlakukan sama dan didengar bersama-sama serta tidak memihak. Pengadilan mengadili dengan tidak membeda-bedakan orang, hal ini berarti bahwa didalam Hukum Acara Perdata hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak saja, pihak lawannya harus diberi kesempatan untuk memberikan keterangan dan pemeriksaan bukti harus dilakukan dimuka sidang yang dihadiri oleh keduabelah pihak.

6.      Putusan harus disertai alasan
Bila proses pemeriksaan perkara telah selesai, maka hakim memutuskan perkara tersebut. Keputusan hakim harus memuat alasan-alasan yang menjadi dasar untuk mengadilinya. Alasan-alasan yang dicantumkan tersebut merupakan pertanggungjawaban hakim atas keputusannya kepada pihak-pihak yang berperkara dan kepada masyarakat sehingga mempunyai nilai obyektif dan mempunyai wibawa

7.      Sederhana, cepat dan biaya ringan
Sederhana yaitu acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit.


Cepat menunjuk pada jalannya peradilan banyak formalitas merupakan hambatan bagi jalannya peradilan (mis. Perkara tertunda bertahun-tahun karena saksi tidak datang atau para pihak bergantian tidak datang bahkan perkara dilanjutkan oleh ahli waris)
Biaya ringan maksudnya agar tidak memakan biaya yang benyak.

8.      Obyektivitas
Hakim tidak boleh bersikap berat sebelah dan memihak. Para pihak dapat mengajukan keberatan, bila ternyata sikap hakim tidak obyektif.

9.      Hak menguji tidak dikenal
Hakim Indonesia tidak mempunyai hak menguji undang-undang. Hak ini tidak dikenal oleh UUD. Dalam pasal 26 ayat 1 UU tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (UU No. 14/1970) dinyatakan bahwa Hak menguji diberikan kepada mahkamah agung terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah dari UU dan dapat menyatakan peraturan perundang-undangan tersebut tidak sah.

PERBEDAAN ANTARA HUKUM ACARA PERDATA DAN HUKUM ACARA PIDANA

1.      Inisiatif melakukan acara perdata datang dari pihak-pihak yang berkepentingan, sedangkan acara pidana perkara datang dari negara.(Jaksa Penuntut)


2.      Dalam acara perdata pemeriksaan dilakukan dalam persidangan yaitu dalam acara dimuka hakim. Acara perdata tidak mengenal pengusutan dan atau penyelidikan permulaan.
3.      Dalam acara pidana hakim bertindak memimpinsedangkan dalam acara perdata hakim menunggu saja.
4.      Saat ini setiap pengadilan negeri melaksanakan peradilan anak yang tidak hanya bersifat acara perdata tetapi juga acara pidana.