Senin, 13 April 2015

Majelisi Ulama Indonesia dan Fatwa Haramnya Riba


MUI adalah lembaga yang mewadahi ulama dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. MUI berdiri pada tanggal 7 Rajab 1395 H bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama dan cendikiawan yang datang dari berbagai penjuru tanah air antara lain meliputi 26 orang ulama yang mewakili 26 propinsi di Indonesia pada masa itu 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat yaitu NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti Al-Wasliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al-Ittihadiyah. 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, AD, AL, AU, POLRI serta 13 orang tokoh /cendikiawan yang merupakan tokoh perorang.
Ketetapan keharaman bunga telah dinyatakan oleh keputusan tiga forum ulama Internasional yaitu : Majmaul al-fihq al Islamiyyah di Mesir pada Mei 1965, Majma’ al figh al Islami di Jeddah, Arab Saudi pada Desember 1985, Majma’ figh Rabithah al a’lam al Islami di Mekkah, Arab Saudi pada bulan Rajab 1406 H ( Tempointeraktif, 28 Agustus 2006 ).
Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa suku bunga haram hukumnya. Meski sifat fatwanya tidak mengikat artinya sikap ketaatannya terserah kepada masyarakat. Prinsip umum hukum Islam, yang mendasarkan pada sejumlah surah dalam Al-qur’an, menyatakan bahwa perbuatan memperkaya diri dengan cara yang tidak benar atau menerima keuntungan tanpa memberikan nilai imbalan secara etika di larang.
Secara bahasa, riba bermakna ziyadah ( tambahan ). Dalam pengertian lain, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil ( Antonio,1999 ).
Meskipun demikian tidak semua peningkatan atau penambahan itu dilarang dalam Islam, pengharaman terhadap hal-hal tersebut hanya disebabkan karena mengacu pada premi-premi yang wajib dibayar oleh si peminjam.
Menurut MUI riba adalah tambahan yang dikenakan untuk transaksi pinjaman uang yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan atau hasil pokok berdasarkan tempo waktu dan perhitungan secara pasti di muka berdasarkan persentase.
Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan bahwa inti dari riba adalah kelebihan baik itu kelebihan dalam bentuk barang atau uang. Shah Waliullah mengatakan bahwa unsur riba juga terdapat dalam hutang yang diberikan dengan persyaratan bahwa peminjam akan membayar lebih dari pada apa yang ia terima dari pemberi pinjaman. (Rahman, 1996).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...