Senin, 20 April 2015

Lika-Liku Eksistensi Dan Posisi Peradilan Agama Di Indonesia



A. Pendahuluan
Buku yang akan dikaji ini adalah hasil adaptasi dari disertasi Achmad Gunaryo pada program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang. Buku ini memaparkan proses proses politik penguatan yang dilalui oleh Peradilan Agama di Indonesia sehingga bisa menjadi peradilan yang independen seperti sekarang.
Buku ini layak menjadi pegangan bagi para peminat bidang politik hukum, khusunya hukum Islam. Karena pembahasannya cukup representatif menggambarkan sisi-sisi politis penggembosan dan penguatan eksistensi dan posisi peradilan Agama di Indonesia dari berbagai kalangan, mulai dari zaman penjajahan samapi era reformasi sekarang ini.
Perkembanga Peradilan Agama di masyarakat hingga menjadi lembaga Peradilan yang diakui oleh negara tidak luput dari nuansa politik yang berkembang pada setiap masa. Hal ini senada dengan pendapat Mahfud MD yang mengatakan bahwa produk hukum akan sangat diwarnai atau ditentukan oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya. Asumsi ini dipilah berdasarkan kenyataan bahwa setiap produk hukum merupakan produk keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi di kalangan para politisi.
Jauh sebebelum Indonesia merdeka, Peradilan Agama telah banyak berperan dalam penyelesaian sengketa pada masyarakat muslim. Namun hingga tahun 1989, keberadaan Peradilan Agama ini hanya sebagai pelengkap saja. Pada waktu itu Peradilan Agama tidak diberi wewenang untuk menjalankan keputusan yang dibuatnya sendiri. Pengadilan Agama dapat mengimplementasikan keputusannya apabila sudah mendapat restu atau izin dari Pengadilan negeri dalam bentuk executoir verklaring . Fenomena ini amat unik sekaligus diskriminatif, sebab suatu lembaga peradilan tidak dapat menjalankan keputusannya sebelum diizinkan oleh lembaga peradilan lain yang levelnya setingkat. Dikatakan diskriminatif karena lembaga peradilan lainnya yang diakui oleh UU No. 14 tahun 1970 diberi wewenang untuk menjalankan keputusannya sendiri.
Karena kekecewaannya terhadap politik sistem hukum nasional yang diskriminatif tersebut, Munawir Sadzali pernah mengatakan bahwa Peradilan Agama sebagai Peradilan Pupuk Bawang. Kenyataan itu diperkuat lagi dengan penampilan fisik gedung Peradilan Agama yang tidak menampakkan layaknya gedung Peradilan. Belum lagi hingga tahun 1990-an masih banyak hakim hakimnya yang hanya berstatus sebagai pegawai honorer, tidak seperti hakim hakim di lingkungan peradilan lain yang merupakan pegawai Negara.
Barulah kemudian pada tahun 1989 melalui UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang disahkan pada tanggal 27 Desember, Peradialn Agama tidak lagi menjadi Peradilan Pupuk Bawang melainkan ia sudah dapat berperan sebagaimana lembaga peradilan yang sesungguhnya (Court of Law). Hal ini merupakan kulminasi perjuangan politik Islam dalam bidang peradilan dan hukum. Dengan lahirnya undang undang tersebut maka kemudian lahir peraturan-peraturan lainnya seperti Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), UU No. 7 tahun 1992 jo UU No. 10 tahun, 1998 dan UU No. 23 tahun 1999 tentang Perbankan Syari’ah, UU No. 35 tahun 1999 tentang “penyatuan” semua lingkungan peradilan menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung, UU No. 17 tahun 1999 tentang Haji; UU No. 38/2001 tentang Zakat dan UU No. 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus di Nangroe Aceh Darussalam; UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat yang menyetarakan Sarjana Syari’ah dengan Sarjana Hukum dan memberi peluang untuk menjadiadvokat; dan UU No. 3 tahun 2006 tentang penambahan kompetensi Peradilan Agama, membuktikan eksistensi dan posisi Peradilan Agama telah diakui sepenuhnya oleh negara dam masyarakat.
Lahirnya berbagai perundang-undangan dan peraturan di atas merupakan bentuk pengakuan yang nyata terhadap hukum Islam dan sekaligus Peradilan Agama sebagai pelaksanya. Dengan adanya pengakuan secara dejure dan facto baik dari masyarakat maupun oleh negara, maka Peradilan Agama dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara mantap tanpa ada pengaruh dan keterikatan denganlembaga lain, sehingga menjadi sebuah lembaga yang dapat menciptakan keadilan di tengah-tengah masyarakat.

B. Peradilan Agama di Indonesia dalam Lintas Sejarah
1. Prakemerdekaan
Peradilan Agama di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang. Jauh sebelum kemerdekaan, sistem peradilan agama sudah lahir. Oleh karena itu untuk sebelum membahas tentang Peradilan agama prakemerdekaan selayaknya menarik sejarah ini jaug ke belakang sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, tepatnya pada masa kerajaan.
Sebelum Islam datang ke Indonesia telah ada dua macam peradilan, yaitu Peradilan Pradata dan Perdilan Padu. Materi hukum Peradilan Pradata bersumber dari ajaran Hindu dan ditulis dalam Papakem. Sedangkan Peradilan Padu menggunakan hukum materiil tidak tertulis yang berasal dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Dalam prakteknya, Peradilan Pradata menangani persoalan-persoalan yang berhubungan dengan wewenang raja, sedangkan Peradilan Padu menangani persoalan-persoalan yang tidak berhubungan dengan wewenang raja. Keberadaan dua sistem peradilan ini berakhir setelah raja Mataram menggantinya dengan sistem Peradilan Surambi yang berasaskan Islam. Penggantian ini bertujuan untuk menjaga integrasi wilayah kerajaan Mataram.
Peradilan agama sebagai bagian dari mekanisme penyelenggaraab kenegaraan pernah mengalami pasang surut ketika Sultan Agung meninggal dan digantikan oleh Amangkurat I. Amangkurat I pernah menutup Peradilan Agama dan menghidupkan kembali Peradilan Pradata. Setelah masa ini Peradilan Agama eksis kembali. Hal ini dibuktikan dengan diterbitkannya sebuah kitab hukum Islam “Shirath al-Mustaqim” yang ditulis Nurudin Ar-Raniri. Kitab ini menjadi rujukan para hakim di Indonesia. Pada tahun 1642, terbit Statuta Batavia yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum Islam.
Pada tahun 1882 pemerintah kolonial mengeluarkan Staatsblad No. 152 yang merupakan pengakuan resmi terhadap eksistensi Peradilan Agama dan hukum Islam di Indonesia samapai sekarang. Staatsblad ini dapat dilihat sebagai titik awal dimulainya interaksi dua sistem peradilan, Islam dan Barat. Selanjutnya pada tahun 1931 membentuk sebuah komisi yang bertugas membicarakan masa depan Pengadilan Agama. Hasil dari komisi ini berupa dikeluarkannya Staatsblad No. 53 yang terdiri dari tiga bagian; bagian I tentang perubahan nama Pengadilan dari Priesterrad menjadi Penghoeloegerecht dan mencabut wewenang dalam masalah waris, sehingga hanya menangani masalah perkawinan. Bagian II memuat aturan tentang campur tangan lanndrrad dalam soal peradilan harta bagi orang-orang Indonesia asli. Bagian III memuat pembentukan Balai Harta Peninggalan bagi orang Indonesia asli. Karena Staatsblad ini tidak berjalan efektif dan karena pengaruh teori resepsi , pada tahun 1937 keluarlah staatsblad 1937 No. 116. Staatsblad ini mencabut wewenang yang dipunyai oleh Peradilan Agama dalam persoalan waris dan masalah masalah lain yang berhubungan dengan harta benda, terutama tanah. Sejak itulah kompetensi Peradilan Agama hanya pada masalah perkawinan dan perceraian. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa Peradilan Agama pada masa ini tidak dapat melaksanakan keputusannya sendiri, melainkan harus dimintakan pengukuhan dari Peradilan Negeri.
Pengurangan terhadap kompetensi Peradilan Agama tersebut tentunya sangat mengecewakan masyarakat muslim Indonesia karena Peradilan Agama pada waktu itu betul-betul mereka anggap sebagai lembaga peradilan layaknya lembaga peradilan, bukan sebagai lembaga agama semata. Belum lagi pada masa ini Peradilan Agama hanya dapat menghidupi dirinya sendiri melalui ongkos perkara yang diterimanya. Ini dilakukan karena pemerintah kolonial tidak pernah mensubsidi Peradilan Agama untuk pengelolaan administrasinya, termasuk tidak menggaji hakim dan pegawainya. Kenyataan bahwa hakim dan pegawai Peradilan Agama menerima uang dari mereka yang menggunakan jasa peradilan inilah yang belakangan dipakai sebagai alat oleh Belanda untuk mengatakan bahwa Peradilan Agama adalah sarang korupsi.
Demikianlah liku-liku eksistensi Peradilan Agama pada masa penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan Jepang tidakada perubahan signifikan tentang eksistensi Peradilam Agama sampai memasuki kemerdekaan dan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Pasca Kemerdekaan
Masa Orde Baru
Pada masa kemerdekaan, usaha untuk mengurangi dan mengeliminir, bahkan menghapuskan baik wewenang maupun peran Peradilan Agama pernah terjadi ketika RUU Perkawinan dibuat oleh pemerintah dan diajukan ke DPR pada tahun 1973. rancangan undang undang tersebut memiliki dua tujuan. Pertama, untuk mengurangi frekuensi perceraian dan perkawinan di bawah umur. Kedua, untuk menyeragamkan undang-undang perkawinan di Indonesia sebagai bagian program kesatuan dan persatuan Indonesia di bawah idiologi negara Pancasila.
Dalam RUU tersebut, Peradilan Agama hanya disebut dalam rancangan penjelasan pasal 73 ayat (2). Bunyi rancangan penjelasan pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Untuk memperlancar pelaksanaan undang undang ini, Pemerintah dapat mengatur lebih kanjut hal hal tertentu yang memerlukan ketentuan pelaksanaan, antara lain yang bersangkut paut pengikutsertaan Pengadilan Agama dalam tata cara penyelesaian perselisihan perkawinan dan perceraian oleh Pengadilan Umum, tata cara berlangsungnya perkawinan sebagai golongan bagi agama Islam adanya sansi, wali dan sebagainya.

Peletakkan kata Pengadilan Agama pada penjelasan segera dapat dibaca bahwa Pengadilan Agama hanyalah pelengkap Pengadilan Umum. Penjelasan bukanlah bagian dari undang undang dan tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelenggaraan proses peradilan (dasar hukum). Karena itu, maka dipahami bahwa RUU tersebut dinilai sebagai upaya untuk menghapuskan Pengadilan Agama. Posisi pelengkap itu pun, oleh RUU direkomendasikan pada Peraturan Pemerintah (PP). Secara harfiah dapat dimengerti status Pengadilan Agama menurut RUU tersebut akan berada di bawah wewenang Pengadilan Umum.
Pasal 3 ayat 2 RUU berbunyi:
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, selanjutnya dalam undang-undang ini disebut Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak pihak yang bersangkutan.

Dari bunyi pasal 3 ayat 2 dan penjelasan pasal 73 ayat 2 di atas terlihat bahwa akan terjadi pengalihan wewenang masalah perkawinan dari Pengadilan Agama kepada Pengadilan Negeri. Pengadilan Agama akan diikutsertakan dalam persoalan ini sepanjang menyangkut tata cara berlangsungnya perkawinan. Jika ini terjadi, maka habislah sedah wewenang Peradilan Agama karena masalah kewarisan dan harta benda sudah dicabut terlebih dahulu oleh staatsblad 1937 No. 116.
Tetapi akhirnya masyarakat muslim bisa bernafas lega, sebab biarpun melalui perjuangan yang amat berat, yaitu dengan persetujuan dan kompromi umat Islam, akhirnya RUU Perkawinan di atas diamandemen dan pada bulan Januari 1974 disahkan menjadi UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan itu, maka keberadaan Peradilan Agama menjadi terselamatkan, namun perannya tetap dibatasi. Pembatasan yang diamaksud terletak pada ketentuan pasal 63 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974 tentang Peradilan Agama yang mengatakan bahwa “setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan umum.” Dengan ketentuan ini, maka Peradilan Agama masih tetap diposisikan sebagai Peradilan “Pupuk Bawang”.
Terlepas dari itu semua, harus diakui bahwa UU No. 1 tahun 1974 ini sangat berarti dalam perkembangan Peradilan Agama di Indonesia, karena selain menyelamatkan keberadaan Peradilan Agama sendiri, sejak disahkan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan jo. PP No. 9 tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksananya, maka terbit pulalah ketentuan Hukum Acara di Pengadilan Agama, biarpun baru sebagian kecil saja. Ketentuan Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama baru disebutkan secara tegas sejak diterbitkan UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Hukum Acara yang dimaksud diletakkan pada ketentuan Bab IV yang terdiri dari 37 pasal. Memang tidak semua ketentuan tentang Hukum Acara Peradilan Agama dimuat dalam undang-undang ini. Hal itu dapat dilihat dalam pasal 54, dimana dikemukakan bahwa Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang undang ini.
Lahirnya Undang-Undang No. 7 tahun 1989 ini bisa dikatakan sebagai “hadiah” bagi kalangan Islam yang telah merubah sikap politiknya menjadi substantif integratif. Perjuangan mereka lebih mengarah pada sikap-sikap inklusif yang menghindarkan diri dari pemisahan-pemisahan ketegoris yang kaku. Namun demikian, dalam Perjalanannya, penolakan penolakan terhadap legalisasi Peradilan Agama pada masa ini masih gencar. Hal ini nampak pada pembahasan RUU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama oleh DPR. Sebagian masyarakat, kebanyakan dari unsur agama katolik menuduh bahwa penegakkan RUU tersebut berarti penegakkan kembali Piagam Jakarta (Magnis Suseno, S. Wijoyo, dan P.J. Suwarno). S. Wijoyo misalnya secara terang terangan mengatakan bahwa RUU tersebut menentang kesaktian Pancasila. Sedangkan R. Suprapto menyatakan bahwa keberadaan Peradilan Agama tidak dapat diterima. Penerimaan Peradilan Agama dalam pandangannya sama dengan menerima sumber di luar UUD 1945 dan Pancasila. Selain itu dia juga mengusulkan agar UU No. 14 tahun 1970 ditinjau kembali.
Terlepas dari gencarnya pro dan kontra perihal pengesahan UU No. 7 tahun 1989 di atas, bahkan tak kurang dari empat ratus artikel tentang tanggapan pro dan kontra tersebut dimuat di media masa, namun akhirnya pada tanggal 27 Desember 1989 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peadilan Agama disahkan oleh DPR yang kemudian diikuti dengan dikeluarkannya Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dengan disahkan UU tersebut bukan saja menyejajarkan kedudukan Peradilan Agama dengan lembaga peradilan peradilan lain, melainkan juga mengembalikan kompetensi Peradilan Agama yang dulu pernah dimilikinya pada zaman kolonial. Pasal 49 UU itu menyatakan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di bidang:
a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
c. Wakaf dan shodaqoh
Dalam pasal 49 ayat 3 dinyatakan bahwa:
Bidang kewarisan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b ialah penentuan siapa siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian bagian ahli waris, dan melaksanakan pembagian pada harta peninggalan tersebut.

Dalam ayat 3 di atas terlihat bawa Pengadilan Agama memiliki kekuatan hukum untuk melaksanakan keputusannya sendiri, tidak perlu meminta executoir verklaring lagi dari Pengadilan Umum.
Pada dasarnya tujuan jangka panjang dari inpres No. 1 tahun 1991 tentang KHI dan Surat Keputusan Menteri Agama No. 154 tahun 1991 adalah menjadikan hukum Islam semakin mengakar di masyarakat. Dan sekaligus dapat menekan beban politik DPR karena KHI telah menjadi hukum materiil Peradilan Agama. Tas dasar ini Gunaryo (hal. 246) berpendapat bahwa keluarnya inpres dan SK menteri Agama tersebut berfungsi utama sebaga akselerator penghidupan hukum islam yang bersifat polirtis ketimbang legitimator.

Masa Reformasi
Perkembangan selanjutnya adalah disahkannya Undang-undang No. 35 tahun 1999 yang menyejajarkan lembaga Peradilan Agama dengan lembaga-lembaga peradilan lainnya. Undang-undang ini menjadikan Peradilan Agama menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung sebagaimana Peradilan Umum, peradilan Militer danPeradilan tata Usaha Negara.
Lahirnya undang-undang di ats secara otomatis semakin memperkuat eksistensi dan posisi Perdailan Agama dalam kancah peradilan di Indonesia. Berdasarkan undang-undang ini maka masalah organisasi, administrasi dan finansial pengadilan Agama tidak lagi ditangani oleh Departemen Agama, akan tetapi menajdi tanggung jawab Mahkamah Agung. Dan mulai tanggal 1 Juli 2004 Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyyah resmi berpindah dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung.
Pengakuan terhadap Peradilan Agama dan perangkat-perangkatnya oleh masyarakat dan pemerintah nampaknya semakin mantap. Hal ini dibuktikan dengan disahkannya Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang advokat pada tanggal 5 April 2003. Dalam Undang-undang ini disebutkan bahwa Sarjana Syariah mempunyai kesempatan yang sama dan sejajar dengan Sarjana Hukum untuk menjadi advokat. Hal ini teidak terlepas dari perjuangan para anggota parelemn, terutama dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, Fraksi Persatuan Pembangunan dan fraksi reformasi yang menuntut kesejajaran Sarjana Syariah dengan Sarjana Hukum. Dan selanjutnya dukungan datang dari faraksi Gilkar dan Fraksi Bulan Bintang.

C. Mahkamah Syari’ah di Aceh sebagai lembaga peradilan baru
Pasca runtuhnya rezim orde baru, di Aceh terjadi konflik besar antara kelompok penuntut disintegrasi, atau yang kemudian dikenal dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah. Konflik yang berlangsung bertahun tahun itu banyak menimbulkan korban, baik dari pemerintah, GAM maupun penduduk sipil. Tuntutan pemisahan diri dari NKRI yang sulit sekali untuk dibungkam berakhir pada pemberian otonomi khusus dari pemerintah Indonesia kepada Aceh dengan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
UU No. 18 Tahun 2001 tersebut membawa perkembangan baru di Aceh dalam sistem peradilan. Pasal 25 – Pasal 26 UU PNAD mengatur mengenai Mahkamah Syari’ah NAD yang merupakan peradilan syari’at Islam sebagai bagian dari sistem peradilan nasional. Mahkamah Syari’ah adalah lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh pihak manapun dalam wilayah PNAD (Provinsi Nangroe Aceh Darussalam) yang berlaku untuk pemeluk agama Islam. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah selanjutnya diatur lebih lanjut dengan Qanun PNAD. Mahkamah Syari’ah sebagai Peradilan di Aceh diberikan wewenang untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara perkara Jinayat. Wewnag itu sebagaimana yang diamanatkan oleh Qanun No. 10 tahun 2002 Pasal 49.
Mahkamah Syari’ah sendiri terdiri dari:
1. Makamah Syari’ah Kabupaten/Sagoe dan Kota/Banda sebagai pengadilan tingkat pertama;
2. Mahkamah Syari’ah Provinsi sebagai pengadilan tingkat banding yang berada di ibukota Provinsi, yaitu di Banda Aceh.

Sementara untuk tingkat kasasi tetap dilakukan di Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24A UUD NRI 1945, yaitu Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
UU Nomor 18 Tahun 2001 di atas telah memperkuat UU No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh. UU tersebut juga memberi jaminan hukum tentang pelaksanaan Syariat Islam sebagai hukum materiil yang digunakan di Aceh, mengembangkan dan mengatur pendidikan sesuai dengan ajaran Islam, mengembangkan dan menyelenggarakan kehidupan adat dan peran serta kedudukan Ulama dalam penerapan kebijakan daerah.
UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memberikan keleluasaan kepada Aceh untuk membuat qanun yang mengatur pelaksanaan syariat Islam. UU tersebut menagatakan bahwa bidang ahwal al-syakhsiyah, mu’amalah, dan jinayah (masalah kejahatan) yang didasarkan atas syariat Islam dapat diatur dengan qonun (peraturan daerah), biarpun hingga sekarang qonun yang sudah disahkan di Aceh baru berupa 1). Qonun nomor 11 tentang aturan Syariat Islam, 2). Qonun 12 soal judi atau maisir, 3) Qonun 13 tentang khamar atau minuman keras, 4) serta Qonun 14 tentang khalwat atau menyepi degan lawan jenis.

D. Penambahan Kompetensi Peradilan Agama
Pembagian ke empat lingkungan badan peradilan tetap dipertahankan sejak dari berlakunya UU no. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman hingga kini, padahal UU tentang Pokok-pokok Kehakiman sudah mengalami perubahan selama dua kali sejak berlakunya UU no. 14 tahun 1970. Perubahan pertama yaitu dengan dikeluarkannya UU no. 35 tahun 1999 tentang perubahan terhadap UU no. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yng kemudian dirubah lagi dengan UU no. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berlaku hingga saat ini.
Sedangkan terhadap Peradilan Agama pascareformasi baru menunjukkan perkembangan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono. Peradilan Agama sebagaimana yang terdapat dalam UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang dulu hanya berwenang memeriksa dan memutus perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang Perkawinan, Kewarisan, Wasiat, dan Hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta Wakaf dan Shodaqoh, tetapi sekarang wewenangnya diperluas lagi setelah diundangkannya UU no. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sehingga wewenangnya meliputi: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah; dan ekonomi syari'ah. Undang undang No. 3 tahun 2006 itu muncul dalam rangka penegakkan dari undang undang No. 7 tahun 1992 jo. Undang undang No. 10 tahun 1998 dan undang undang No. 23 tahun 1999 tentang Sistem Perbankan Nasional yang mengizinkan beroperasinya Sistem Perbankan Syari’ah.
Inilah sekilas gambaran tentang liku-liku Peradilan Agama dalam mencari “jati diri”. Banyak sekali kepentingan politik yang berada di belakangnya. Sehingga sangat wajar Peradilan Agama baru mendapat eksistensi dan posisi yang proporsional setelah perjuangan selama lebih dari setengah abad. Namun perjuangan para praktisi dan pemikir muslim yang concern dalam bidang hukum Islam tidaklah sia-sia, karena Peradilan Agama kini menjadi diakui secara dejure dan facto baik dari masyarakat maupun oleh negara, maka Peradilan Agama dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara mantap tanpa ada pengaruh dan keterikatan denganlembaga lain, sehingga menjadi sebuah lembaga yang dapat menciptakan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Secara politis, pengakuan Peradilan Agama oleh negara juga merupakan lompatan sratus tahun sejak pertama kali peradilan ini diakui oleh pemerintah Belanda pada tahun 1882. Peradilan Agama adalah simbol kekuasaan dan politik Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal
Moh Mahfud MD., “Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia” (Yogyakarta: Gama Media. 1999).

Rachmadi Utsman,”Perkembangan Hukum Perdata dalam Dimensi Sejarah dan Politik Hukum di Indonesia” (Jakarta: PT Sinar Multi Press. 2003).

Tresna, “Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad” (Jakarta: Pradnya paramita. 1977).

Abdul Halim, “Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia: Dari Otoriter Konservatif Menuju Konfigurasi Demokrasi-Responsif” (Jakarta: Rajawali Press. 2000).

Jurnal Al Mawarid. Edisi VI Desember 1997.

Abdul Manan, “Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama” (Jakarta: Prenada Media. 2005.

Daniel S. Lev, “Islamic Court in Indonesia” (Berkeley: University of Cslifornia Press, 1972).

Peraturan Perundang undangan
Indonesia. Undang undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Indonesia, Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Indonesia, Undang undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Indonesia. Undang undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Indonesia. Undang undang no. 4 tahun 2004 tentang kekusaan kehakiman

Indonesia, Undang undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Indonesia, Undang undang No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Sumber lain

BAPPEDA D.I. ACEH. 2006. Pemerintahan. Aceh: BABBEDA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...