Sabtu, 31 Maret 2012

Harmoni Adat dan Islam


Harmonisasi Hukum Adat dan Hukum Islam
Bagi Pengembangan Hukum Nasional
Oleh : Abdurrahman MBP, MEI

Bhineka Tunggal Ika adalah semboyan bagi bangsa Indonesia, ia berarti berbeda-beda namun tetap dalam satu ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kebhinekaan yang dimaksud adalah banyaknya suku bangsa yang mendiami pulau-pulau di seluruh wilayah Indonesia. Selain beraneka ragamnya suku bangsa dan budaya, kebhinekaan juga terjadi pada sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Setiap suku bangsa memiliki aturan dan norma-norma yang mereka taati sejak zaman dahulu kala. Aturan dan norma ini kemudian dikenal dengan istilah Hukum Adat (adatrecht).[1]
Selanjutnya Islam diterima secara damai oleh sebagian besar penduduk Indonesia sehingga system hukumnya mewarnai system hukum yang ada. Pada beberapa wilayah seperti Sumatera Barat dan Aceh, pengaruh hukum Islam sangat kuat sehingga hukum Islam menggantikan posisi dari hukum adat yang berlaku sebelumnya. Sementara di wilayah lainnya terjadi akulturasi, dialog dan harmoni antara hukum Islam dan Hukum Adat. Dari harmoni hukum ini muncul Theori Receptio In Complexu yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum Islam untuk orang-orang Islam.[2]
Setelah itu Belanda memberlakukan system hukum Barat (civil law) di seluruh wilayah Indonesia yang menjadi daerah jajahannya. Sejak saat itu hukum Barat menguasai sebagian besar system hukum nasional yang ada di negeri ini. Sementara posisi hukum Islam hanya diberlakukan pada hukum-hukum perdata dan keluarga, sedangkan hukum adat tidak mendapat tempat yang layak.
Setelah Indonesia Merdeka, secara tegas para pemimpin bangsa ini menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum[3] yang berarti setiap permasalahan harus diselesaikan dengan hukum yang berlaku dan disepakati bersama. Kesepakatan hukum seluruh masyarakat Indonesia adalah berupa satu kesepakatan hukum Nasional yang dilandaskan pada adat dan keyakinan agama bangsa Indonesia.


[1] Soerojo Wignyodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. (Jakarta : Haji Masagunng. 1990),  hlm. 19
[2] Sajuti Thalib, Receptio a Contrario. (Jakarta : Bina Aksara. 1985), hlm. 4.
[3] Undang-undang Dasar Tahun 1945 (setelah amandemen) Pasal 1 ayat (3) “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat).

Hukum Adat VS Hukum Islam


Oleh : Abdurrahman MBP

1.      Hukum Adat
Secara etimologi kata “Adat” berasal dari bahasa Arab yaitu kata العادة al-‘adat yang berarti suatu perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.[1] Dalam bahasa Indonesia makna “Adat” adalah “Aturan (perbuatan dan sebagaianya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala”.[2] Dari term Adat ini munculah istilah Hukum Adat yaitu hukum yang bersumber dari adat dan budaya suatu masyarakat. Cornelis Van Vollenhoven menyebutkan bahwa Hukum Adat adalah “Keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (hukum) dan dipihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi (adat)”.[3]
Dalam ruang lingkup Indonesia maka Hukum Adat adalah norma dan aturan yang berlaku di suatu wilayah adat di Indonesia yang ditaati dan dilaksanakan oleh masyarakatnya, bagi yang melanggar aturan dan norma ini akan mendapatkan sanksi yang berupa hukuman fisik atau hukuman sosial.     
2.      Hukum Islam
Hukum Islam adalah “Syariat Allah ta’ala yang bersifat menyeluruh berupa hukum-hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah (Syari’ah) serta hukum-hukum yang dihasilkan oleh para ahli hukum Islam dengan menggunakan metode ijtihad (fiqh)”. Kajian mengenai Hukum Islam seringkali memahami hukum Islam sebagai syariah Islam atau fiqh Islam, padahal keduanya memiliki perbedaan mendasar. Syariah[4] menurut bahasa bermakna الوارد  (al-warid) yang berarti jalan danنحو الماء  yaitu tempat keluarnya (mata) air.[5] Sedangkan menurut istilah adalah “Seperangkat norma yang mengatur masalah-masalah bagaimana tata cara beribadah kepada Allah ta'ala, serta bermuamalah dengan sesama manusia”. Al-Fairuz Abady menyebutkan bahwa syariat adalah apa-apa yang disyariatkan Allah kepada para hambaNya.[6] Ibnu Mandzur menyatakan bahwa syariah adalah :
والشريعةُ والشِّرْعةُ ما سنَّ الله من الدِّين وأَمَر به كالصوم والصلاة والحج والزكاة وسائر أَعمال البرِّ
Segala sesuatu yang ditetapkan  Allah dari dien (agama) dan diperintahkanya seperti puasa, shalat, haji, zakat dan amal kebaikan lainnya.[7]
Senada dengan pengertian ini Mahmud Syalthut mendefinisikan syariah dengan "Sebuah nama untuk tata peraturan dan hukum yang diturunkan oleh Allah ta'ala dalam bentuk ushulnya dan menjadi kewajiban setiap muslim sebagai pedoman dalam berhubungan dengan Allah dan antar sesama manusia."[8]
Sementara Hasbi Ash-Shidieqy mendefinisikan syariah dengan “Segala yang disyariatkan Allah untuk kaum muslimin, baik ditetapkan oleh Al-Qur'an ataupun sunnah Rasul yang berupa sabda, perbuatan, ataupun taqrirnya”.[9] Sedangkan Mohammad Daud Ali menyatakan bahwa syariah adalah Norma hukum dasar yang ditetapkan Allah yang wajib diikuti oleh orang Islam berdasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak baik dalam hubungannya dengan Allah maupun sesama manusia dan benda dalam masyarakat.[10]
Fathurrahman Djamil yang menyimpulkan bahwa istilah hukum Islam tidak ditemukan sama sekali di dalam Al-Qur'an dan literatur hukum dalam Islam, yang ada dalam Al-Qur'an adalah kata syari'ah, fiqh, hukum Allah dan yang seakar dengannya, kata hukum Islam merupakan terjemahan dari term “Islamic Law” dari literatur barat.[11]
Berbeda dengan istilah syariah yang mewakili hukum Islam yang qath’i, maka fiqh Islam adalah “Serangkaian hukum Islam yang bersifat furu’ (cabang) yang berkaitan dengan perbuatan hamba yang digali dari dalil-dalil yang terperinci”. Fiqh atau al-fiqhu الفقه secara bahasa adalah الفهم (al-fahmu) yang berarti “memahami”.[12] Dalam Lisaan Al-Arab disebutkan :
العلم بالشّيء والفهم له
Al-Fiqh adalah ilmu tentang sesuatu dan pemahaman tentangnya.[13]
Sedangkan secara istilah fiqh adalah :
معرفة الأحكام الشرعية العملية بأدلتها التفصيلية
Pengetahuan tentang-tentang hukum syariat yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.[14]
Maka dari sini dapat disimpulkan bahwa Hukum Islam adalah Hukum Allah ta’ala bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits dalam bentuk syariah Islam dan hukum-hukum yang digali oleh para ulama mujtahidin dari kedua sumber hukum Islam tersebut dalam bentuk Fiqh Islam. 
System hukum Adat dan system Hukum Islam adalah bahan bagi system Hukum Nasional di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia didasarkan pada nilai-nilai adiluhung yang menjadi kepribadian bangsa Indonesia yang terangkum dalam rumusan Pancasila dan UUD Tahun 1945. Menurut Muhammad Daud Ali adalah Hukum Nasional adalah hukum yang berlaku di satu bangsa atau di satu negara nasional tertentu.[15] Dalam kasus Indonesia, hukum nasional adalah hukum yang dibangun oleh Bangsa Indonesia dan berlaku bagi seluruh penduduk Indonesia sebagai pengganti hukum colonial Belanda.
Hukum Nasional Indonesia adalah bentuk harmonisasi dan unifikasi berbagai system hukum yang ada. Adanya pengaruh hukum Adat, hukum Islam dan hukum kolonial Belanda menjadikan Hukum Nasional Indonesia merupakan bukti kesadaran hukum, cita-cita moral, cita-cita bathin dan norma yang hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia. Semua system hukum tersebut dilandaskan pada Pancasila sebagai yang tercantum dalam aleniea ke empat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan pasal 29 ayat 1 yang menyatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai hukum dasar yang dijunjung tinggi dan dijadikan pedoman dalam bernegara.


[1] Ibnu Mandzur, Lisaan Al-Arab,  Maktabah Syamilah Edisi Ketiga.   
[2] --------------, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional. 2008), hlm. 8.  
[3] Moh. Koesnoe, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini. (Surabaya: Airlangga University Press. Tt) hlm. 15.  
[4] Kata syariah terdapat dalam beberapa ayat Al-Qur'an yaitu QS Al-Jatsiyah : 18, QS Asy-Syura ayat 13 dan QS Al-Syura ayat 21
[5] Ibnu Mandzur, Lisan Al-‘Arab Juz VII. (Beirut : Darul Fikr. 1992), hlm. 86. Lihat pula Manna' Khalil Al-Qatan, At-Tasyri' Wa Al-Fiqhi fi Al-Islam Tarikhan wa Manhajan. (Mesir : Maktabah Wahbah. 2001), hlm. 13. 
[6] Al-Fairuz Abady, Al-Qamus Al-Muhith,  hal. 732.
[7] Ibnu Mandzur, Lisan Al-‘Arab Juz V, hlm. 86.
[8] Mahmud Syalthut, Al-Islam Aqidah Wa-Syari'ah, hlm. 73.
[9] Hasbi Ash-Shidieqy, Pengantar hukum Islam, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra , 2001. hlm. 18.
[10] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, Tahun 2006,  hal. 47.
[11] Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999. hlm. 11.
[12] Di dalam Al-Qur’an istilah fiqh yang bermakna pemahaman, sebagaimana dalam QS At-Taubah : 122. Sementara Rasulullah bersabda :
مَنْ يُرِدِ اللّٰهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقّهْهُ فِى الدّيْنِ
Barangsiapa dikehendaki Allah sebagai orang baik, pasti Allah akan memahamkannya dalam persoalan agama.
[13] Ibnu Mandzur, Lisaan Al-Arab, Juz XIII, hal. 522
[14] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh. (Kairo : Dar Al-Hadits. 2003),  hlm. 11.
[15] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,  hal. 266

Kamis, 29 Maret 2012

Apa yang dianggap baik oleh Muslim...


Oleh : Muhammad Nashirudin

قال الألباني في " السلسلة الضعيفة و الموضوعة " ( 2 / 17 )
533- "
ما رأى المسلمون حسنا فهو عند الله حسن ، و ما رآه المسلمون سيئا فهو عند الله سيء " .
لا أصل له مرفوعا . و إنما ورد موقوفا على ابن مسعود قال : " إن الله
نظر في قلوب العباد فوجد قلب محمد صلى الله عليه وسلم خير قلوب العباد ،
فاصطفاه لنفسه ، فابتعثه برسالته ، ثم نظر في قلوب العباد بعد محمد صلى الله
عليه وسلم فوجد قلوب أصحابه خير قلوب العباد ، فجعلهم وزراء نبيه ، يقاتلون على
دينه فما رأى المسلمون ...... " إلخ . أخرجه أحمد ( رقم 3600 ) و الطيالسي في "
مسنده " ( ص 23 ) و أبو سعيد ابن الأعرابي في " معجمه " ( 84 / 2 ) من طريق
عاصم عن زر بن حبيش عنه . و هذا إسناد حسن . و روى الحاكم منه الجملة التي
أوردنا في الأعلى و زاد في آخره : " و قد رأى الصحابة جميعا أن يستخلفوا أبا
بكر رضي الله عنه " و قال : " صحيح الإسناد " و وافقه الذهبي . و قال الحافظ
السخاوي : " هو موقوف حسن " . قلت : و كذا رواه الخطيب في " الفقيه و المتفقه "
( 100 / 2 )
من طريق المسعودي عن عاصم به إلا أنه قال : " أبي وائل " بدل " زر
بن حبيش " . ثم أخرجه من طريق عبد الرحمن بن يزيد قال : قال عبد الله : فذكره .
و إسناده صحيح . و قد روي مرفوعا و لكن في إسناده كذاب كما بينته آنفا . و إن
من عجائب الدنيا أن يحتج بعض الناس بهذا الحديث على أن في الدين بدعة حسنة ، و
أن الدليل على حسنها اعتياد المسلمين لها ! و لقد صار من الأمر المعهود أن
يبادر هؤلاء إلى الاستدلال بهذا الحديث عندما تثار هذه المسألة و خفي عليهم . أ
-
أن هذا الحديث موقوف فلا يجوز أن يحتج به في معارضة النصوص القاطعة في أن "
كل بدعة ضلالة " كما صح عنه صلى الله عليه وسلم .
ب - و على افتراض صلاحية الاحتجاج به فإنه لا يعارض تلك النصوص لأمور : الأول :
أن المراد به إجماع الصحابة و اتفاقهم على أمر ، كما يدل عليه السياق ، و يؤيده
استدلال ابن مسعود به على إجماع الصحابة على انتخاب أبي بكر خليفة ، و عليه
فاللام في " المسلمون " ليس للاستغراق كما يتوهمون ، بل للعهد . الثاني : سلمنا
أنه للاستغراق و لكن ليس المراد به قطعا كل فرد من المسلمين ، و لو كان جاهلا
لا يفقه من العلم شيئا ، فلابد إذن من أن يحمل على أهل العلم منهم ، و هذا مما
لا مفر لهم منه فيما أظن . فإذا صح هذا فمن هم أهل العلم ؟ و هل يدخل فيهم
المقلدون الذين سدوا على أنفسهم باب الفقه عن الله و رسوله ، و زعموا أن باب
الاجتهاد قد أغلق ؟ كلا ليس هؤلاء منهم و إليك البيان : قال الحافظ ابن عبد
البر في " جامع العلم " ( 2 / 36 - 37 ) : " حد العلم عند العلماء ما استيقنته
و تبينته ، و كل من استيقن شيئا و تبينه فقد علمه ، و على هذا من لم يستيقن
الشيء ، و قال به تقليدا ، فلم يعلمه ، و التقليد عند جماعة العلماء غير
الاتباع ، لأن الاتباع هو أن تتبع القائل على ما بان لك من صحة قوله ، و
التقليد أن تقول بقوله و أنت لا تعرفه و لا وجه القول و لا معناه " <1> . و
لهذا قال السيوطي رحمه الله : " إن المقلد لا يسمى عالما " نقله السندي في
حاشية ابن ماجة ( 1 / 7 ) و أقره . و على هذا جرى غير واحد من المقلدة أنفسهم
بل زاد بعضهم في الإفصاح عن هذه الحقيقة فسمى المقلد جاهلا فقال صاحب " الهداية
"
تعليقا على قول الحاشية : " و لا تصلح ولاية القاضي حتى ... يكون من أهل
الاجتهاد " قال ( 5 / 456 ) من " فتح القدير " : " الصحيح أن أهلية الاجتهاد
شرط الأولوية ، فأما تقليد الجاهل فصحيح عندنا ، خلافا للشافعي " . قلت : فتأمل
كيف سمى القاضي المقلد جاهلا ، فإذا كان هذا شأنهم ، و تلك منزلتهم في العلم
باعترافهم أفلا تتعجب معي من بعض المعاصرين من هؤلاء المقلدة كيف أنهم يخرجون
عن الحدود و القيود التي وضعوها بأيديهم و ارتضوها مذهبا لأنفسهم ، كيف يحاولون
الانفكاك عنها متظاهرين بأنهم من أهل العلم لا يبغون بذلك إلا تأييد ما عليه
العامة من البدع و الضلالات ، فإنهم عند ذلك يصبحون من المجتهدين اجتهادا مطلقا
، فيقولون من الأفكار و الآراء و التأويلات ما لم يقله أحد من الأئمة المجتهدين
، يفعلون ذلك ، لا لمعرفة الحق بل لموافقة العامة ! و أما فيما يتعلق بالسنة و
العمل بها في كل فرع من فروع الشريعة فهنا يجمدون على آراء الأسلاف ، و لا
يجيزون لأنفسهم مخالفتها إلى السنة ، و لو كانت هذه السنة صريحة في خلافها ،
لماذا ؟ لأنهم مقلدون ! فهلا ظللتم مقلدين أيضا في ترك هذه البدع التي لا
يعرفها أسلافكم ، فوسعكم ما وسعهم ، و لم تحسنوا ما لم يحسنوا ، لأن هذا اجتهاد
منكم ، و قد أغلقتم بابه على أنفسكم ؟! بل هذا تشريع في الدين لم يأذن به رب
العالمين ، *( أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما لم يأذن به الله )* و إلى
هذا يشير الإمام الشافعي رحمة الله عليه بقوله المشهور : " من استحسن فقد شرع "
.
فليت هؤلاء المقلدة إذ تمسكوا بالتقليد و احتجوا به - و هو ليس بحجة على
مخالفيهم - استمروا في تقليدهم ، فإنهم لو فعلوا ذلك لكان لهم العذر أو بعض
العذر لأنه الذي في وسعهم ، و أما أن يردوا الحق الثابت في السنة بدعوى التقليد
، و أن ينصروا البدعة بالخروج عن التقليد إلى الاجتهاد المطلق ، و القول بما لم
يقله أحد من مقلديهم ( بفتح اللام ) ، فهذا سبيل لا أعتقد يقول به أحد من
المسلمين . و خلاصة القول : أن حديث ابن مسعود هذا الموقوف لا متمسك به
للمبتدعة ، كيف و هو رضي الله عنه أشد الصحابة محاربة للبدع و النهي عن اتباعها
، و أقواله و قصصه في ذلك معروفة في " سنن الدارمي " و " حلية الأولياء " و
غيرهما ، و حسبنا الآن منها قوله رضي الله عنه : " اتبعوا و لا تبتدعوا فقد
كفيتم ، عليكم بالأمر العتيق " . <2> فعليكم أيها المسلمون بالسنة تهتدوا و
تفلحوا .

-----------------------------------------------------------
[1]
قلت : تأمل هذا النص من هذا الإمام و نقله عن العلماء التفريق بين الاتباع
و التقليد ، و عض عليه بالنواجذ ، فإنه من العلم المجهول اليوم حتى عند كثير من
حملة شهادة الدكتوراة الشرعية ، فضلا عن غيرهم . بل إن بعضهم يجادل في ذلك أسوأ
المجادلة ، و يكابر فيه أشد المكابرة ، و إن شئت التفصيل فراجع كتاب " بدعة
التعصب المذهبي " لصاحبنا الأستاذ الفاضل محمد عيد عباسي ( ص 33 - 39 ) .
[2]
راجع تخريجه مع بعض الآثار الأخرى في رسالتي : " الرد على التعقيب الحثيث "

قال الألباني في " السلسلة الضعيفة و الموضوعة " ( 2 / 16 ) :
532 - "
إن الله نظر في قلوب العباد فلم يجد قلبا أنقى من أصحابي ، و لذلك اختارهم ، فجعلهم أصحابا ، فما استحسنوا فهو عند الله حسن ، و ما استقبحوا فهو عند الله قبيح " .

موضوع . رواه الخطيب ( 4 / 165 ) من طريق سليمان بن عمرو النخعي : حدثنا
أبان بن أبي عياش و حميد الطويل عن أنس مرفوعا . و قال : " تفرد به النخعي
" .
قلت : و هو كذاب كما سبق مرارا ، أقربها الحديث ( 529 ) و لهذا قال الحافظ
ابن عبد الهادي : " إسناده ساقط ، و الأصح وقفه على ابن مسعود " . نقله في "
الكشف " ( 2 / 188 ) و يعني بالموقوف الحديث الآتي : " ما رأى المسلمون حسنا
فهو عند الله حسن ، و ما رآه المسلمون سيئا فهو عند الله سيء " .

الأخ السريلنك