Selasa, 13 Maret 2012

Hukum Islam VS Athropologi Budaya

Oleh : AM Bambang Prawiro


Sebelum membahas lebih jauh mengeni hukum Islam ditinjau dari Anthropologi budaya, maka terlebih dahulu dirumuskan bagaimana anthropologi budaya memandang suatu fenomena di tengah masyarakat, dalam hal ini bagaimana hukum Islam menjadi realitas di masyarakat. Para anthropolog dalam analisanya terhadap suatu fenomena budaya di tengah masayarakat senantiasa menggunakan empat pembahasan utama sebagai pisau analisa dalam membedah suatu fenomena budaya. Keempat pembahsan tersebut adalah perkembangan suatu budaya, penyebarannya, aneka warna budaya yang serumpun dan azas yang menjadi asal budaya tersebut.
Berangkat dari keempat tema pembahasan tersebut maka hukum Islam dilihat  dari anthropologi budaya terdiri beberapa pembahsan yaitu :  
1.      Perkembangan Hukum Islam
2.      Penyebaran Hukum Islam
3.      Aneka Warna dan Corak Hukum Islam
4.      Azas-azas dalam Hukum Islam
Hukum Islam adalah norma dan aturan yang didasarkan pada nilai-nilai agama Islam. Dalam ranah anthropologi ia masuk dalam ruang lingkup budaya, maka dalam hal ini hukum Islam diposisikan sebagai budaya. Hukum Islam muncul dan berkembang di Jazirah Arabia, sebuah kawasan dengan system hukum rimba dimana yang kuat akan mengalahkan yang lemah. Kejahiliyahan masyarakat Arab tercermin dari berbagai tindakan mereka dalam kehidupan sosial kemasayarakatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. System perkawinan tanpa ikatan, pewarisan yang tidak melibatkan perempuan, poligami tanpa batasan, pembunuhan anak-anak perempuan dan penistaan terhadap perempuan adalah sebagian dari realitas masyarakat jahiliyah.[1]
Di bidang politik, muncul kekuatan berbagai kabilah yang saling berseteru untuk mendapatkan kekuasaan secara legal. Pertempuran terjadi antar kabilah, padahal penyebabnya adalah masalah yang sepele. Setiap orang akan membela mati-matian kabilahnya, mereka terlelap dalam fanatik golongan yang berlebihan.
Di tengah-tengah kondisi seperti inilah Islam dengan system hukumnya muncul, dengan locus tunggal yaitu pemurnian peribadahan hanya satu Tuhan Islam menjadi fenomena baru dalam bidang keagamaan pada waktu itu. Periode Mekkah sebagai periode awal dari kelahiran hukum Islam belu menampakan bentuknya yang elegan. Belum ada hukum-hukum khusus yang berkenaan dengan perbuatan hamba dengan Tuhannya. Periode ini lebih ditekankan pada penguatan aqidah dan keyakinan akan adanya satu Tuhan yang harus disembah dan diibadahi (monoteisme).
Tekanan dan intimidasi yang semakin keras dari kalangan Quraisy memaksa Muhammad dan para pengikutnya untuk meninggalkan Mekkah mencari wilayah baru yang dapat menerima agama barunya tersebut. Yatsrib (Madinah) menjadi tujuan akhir umat Islam untuk membangun sebuah kekuatan hukum baru. Usaha untuk mencari tempat baru untuk mengembangkan agama Islam sejatinya sudah dilakukan, dengan perginya beberapa shahabat Nabi ke Habasyah (Ethiopia). Namun walaupun raja di sana menerima umat Islam dengan baik namun para pendeta Nasrani merasa tidak nyaman dengan hal itu, sehingga habasyah tidak bisa dijadikan tempat untuk mengembangan Islam.
Madinah adalah nama baru bagi suatu wilayah yang pada awalnya bernama Yatsrib, sebuah wilayah pertanian dengan hamparan pohon kurma yang menghijau. Sebagian penduduknya adalah Kaum ‘Aush, Khajraj dan beberapa kabilah dari orang-orang Yahudi dan Nashrani. Bila kita melihat komposisi dari warga Madinah waktu itu maka terlihat bahwa penduduknya adalah masyarakat multi kultur dan keyakinan. Di kota inilah hukum Islam mulai mengembangkan bentuknya.

1.      Periode Kelahiran Hukum Islam
Muhammad sebagai seorang Nabi dan kepala pemerintahan memiliki posisi sentral dalam proses pembentukan hukum Islam. Apabila kaum muslimin dihadapkan pada suatu permasalahan, mereka segera menyampaikannya pada Rasul. Beliau sendiri yang langsung menyampaikan fatwa hukum, menyelesaikan sengketa, dan menjawab berbagai pertanyaan. Keputusan hukum tersebut kadang-kadang dijawab oleh ayat-ayat Qur’an yang diwahyukan kepada Rasul, dan kadang-kadang beliau berijtihad. Apa yang datang dari Rasul menjadi hukum bagi kaum muslimin dan menjadi undang-undang yang wajib ditaati, baik yang datangnya dari Allah maupun dari ijtihad beliau sendiri.
Sumber pembentukan hukum dalam periode Rasul ini ada dua, yaitu: wahyu ilahi dan ijtihad Rasul (ijtihad nabawi). Jadi apabila datang permasalahan di antara kaum muslimin yang membutuhkan ketentuan hukum (terjadi sengketa, pertanyaan, atau permohonan fatwa), ada dua kemungkinan yang akan terjadi: Pertama, Allah menurunkan wahyu kepada nabi untuk menetapkan keputusan. Contohnya adalah turunnya wahyu untuk menjawab pertanyaan sahabat tentang: perang di bulan haram (2: 217) dan tentang arak dan judi (2: 219). Kemungkinan kedua adalah suatu hukum diputuskan dengan ijtihad nabawi. Ijtihad ini pun pada suatu waktu merupakan ta’bir ilham Ilahi yang diberikan Allah kepada nabi, dan di waktu yang lain praktis merupakan hasil dari kesimpulan-kesimpulan yang beliau ambil sendiri dengan berorientasi kepada kemaslahatan. Hukum-hukum ijtihadiyah yang nabi tidak memperoleh ilham dari Allah, yakni yang bersumber dari pandangan pribadi beliau disebut hukum nabawi; hukum ini tidak akan diakui Allah, kecuali kalau ternyata benar. Jika ternyata salah, maka Allah akan mengadakan pembetulan.
Contoh nyata mengenai hal ini adalah peristiwa penetapan hukum bagi tawanan perang Badar. Saat itu belum ada syariat tentang tawanan perang, karenanya nabi berijtihad dengan memusyawarahkan hal ini dengan para pembesar di kalangan sahabat. Abu bakar memberikan pandangan agar para tawanan itu dikenakan tebusan sebagai imbalan pembebasannya, “Mereka adalah kaummu dan kerabatmu, biarkanlah mereka tetap hidup, barangkali Allah menerima taubat mereka, lalu ambilah fidyah dari mereka, yang berfumgsi memperkuat sahabat-sahabatmu.”, demikian pendapat Abu bakar.
Sedangkan Umar bin Khattab berpendapat bahwa para tawanan itu harus dibunuh, “Mereka telah membohongi dan mengusir engkau, maka hadapkanlah mereka kemari dan penggallah leher-leher mereka, mereka adalah tokoh-tokoh kafir, sedangkan Allah akan memberimu kecukupan bukan dari uang tebusan” demikian alasan Umar.
Pengembangan dan Pembentukan Hukum Islam. Dalam upaya memberikan keputusan hukum yang merujuk kepada sumber-sumber tasyri, Rasulullah selalu menunggu datangnya wahyu sebelum memmutuskan sesuatu; dan kalau ternyata wahyu tidak turun, beliau menyadari, bahwa persoalannya telah diserahkan kepada ijtihad beliau dengan berlandaskan kepada undang-undang Ilahi dan jiwa tasyri, serta perhitungan pribadinya yang berorientasi pada kemaslahatan, dan juga musyawarah dengan para sahabat.
Adapun prinsip-prinsip umum yang menjadi landasan pembentukan hukum, secara garis besar ada empat prinsip:
a.       Berangsur-angsur (tadarruj). Proses pembentukan hukum Islam terjadi secara berangsur-angsur. Hukum-hukum syariat tidak datang secara sekaligus berbentuk undang-undang, ia datang bertahap mengikuti berbagai peristiwa dan kejadian.
b.      Menyedikitkan peraturan-peraturan. Kelahiran hukum-hukum syariat adalah semata-mata karena adanya kebutuhan manusia dalam menjamin kemaslahatannya, maka seyogyanya pembentukan hukum-hukum itu dibatasi menurut relevansi kebutuhan dan kemaslahatan manusia..
c.       Mempermudah dan memperingan (taisir dan takhfif). Prinsip memberikan kemudahan dan keringanan adalah karakter syariat Islam yang sangat menonjol. Allah ta’ala berfirman: “Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran”.
Dari beberapa prinsip yang menjadi landasan pembentukan hukum Islam tampak bahwa hukum Islam muncul sebagai solusi bagi permasalahan yang ada pada waktu itu.
Karakter mendasar dari periode pembentukan hukum Islam ini adalah hukum Islam yang masih tumbuh dan berkembang, dalam arti ia masih tambal sulam. Bukti berlakunya prinsip ini merujuk pada beberapa kenyataan yang terjadi bahwa pada suatu saat Allah telah menentukan hukum sesuatu, kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi, karena dipandang tidak relevan lagi dengan kemaslahatan manusia. Misalnya tentang Perubahan ketentuan kiblat dari baitul Maqdis ke Baitullah, Ka’bah. Demikian juga Perubahan ketentuan masa iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya dari setahun menjadi 4 bulan 10 hari.
Nabi sendiri pada awal Islam terutama di Mekkah pernah melarang ziarah kubur, kemudian setelah dirasa terdapat banyak maslahat yang diperoleh dalam berziarah kubur maka beliau memperkenankannya. Selain itu, syariat Islam pada masa itu juga membiarkannya tradisi manusia yang ada, sepanjang tidak bertentangan dengan sendi-sendi agama dan tidak menimbulkan bahaya. Contoh: Islam membiarkan masalah kekufuan dalam perkawinan; membiarkan ikatan kekeluargaan dalam hukum waris, dll.[2]
Peninggalan periode ini. Periode pembentukan Hukum Islam ini telah mewariskan sumber tasyri pertama, yaitu wahyu Ilahi (ayat-ayat ahkam), dan ijtihad Rasul (hadits-hadits ahkam). Materi-materi himpunan nash-nash ini cukup banyak, jumlah ayat-ayat ahkam tentang ibadah dan hubungannya dengan jihad ada 140 ayat. Jumlah ayat-ayat yang berkenaan dengan muamalat, jinayat (pidana), dan persaksian, kurang lebih ada 200 ayat. Semuanya tersebar dalam berbagai surah dalam Al-Qur’an. Sementara jumlah hadits-hadits ahkam kira-kira berjumlah 4500 hadits, hal ini seperti diungkapkan oleh Ibnul Qayyim dalam A’lamul Muwaqqi’in. Sebagian besar menjelaskan kandungan Al-Qur’an yang mujmal (global) atau sebagai taqrir (pengakuan) atau taukid (penguat). Selebihnya berupa ketentuan-ketentuan hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an.
     
2.      Ekspansi Hukum Islam ke luar Arabia
Jika pada periode awal hukum Islam sangat kental dengan budaya Arab, maka periode berikutnya hukum Islam dihadapkan oleh berbagai tradisi hukum yang ada di dunia. Hal ini terutama ketika Islam memasuki berbagai budaya dunia dan memaksa terjadinya satu harmoni antara hukum Islam dan hukum lokal.
Diawali dengan ekspansi Islam ke Persia, maka Islam berhadapan dengan system hukum yang ada di sana. System pemerintahan, pengelolaan pajak, model hukuman bagi para pelaku kejahatan hingga system ekonomi adalah sebagian kecil dari bagian hukum  Persia yang bertemu dengan system hukum Islam.[3]
Kebutuhan akan adanya suatu hukum yang dapat mengakomodir tradisi dan budaya masyarakat menjadikan hukum Islam harus berakulturasi dengan hukum Persia. Maka muncullah berbagai hukum yang berasakan Islam namun memiliki ciri-ciri lokal. Hal ini terjadi dan direspon positif oleh para juris Islam. Di antara mereka adalah Imam syafi’i yang senantiasa mempertimbangkan tradisi dan budaya yang berkembang di tengah masayarakat dalam memutuskan suatu hukum.[4]      


[1] Shafiyurrahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, Jakarta : Robbani Press, tahun 1998, hal. 41.
[2] Muhammad Khudhari Beik, Tarikh al-tasyri’ Al-Islami, Jakarta : Dar Al-Kutub Al-Islami, tahun 2007, hal. 18
[3] Muhammad Khudzari Beik, Tarikh al-Tasyri’ Al-Islami, hal. 70.
[4] Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam, Jakarta : Rajagrafindo, tahun 2002. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...