Kamis, 15 Maret 2012

Sejarah Ekonomi Islam



Saat belajar sejarah, termasuk sejarah ekonomi, saya selalu teringat slogan ”Jasmerah” yang dilontarkan Ir. Soekarno puluhan tahun lalu. “Jasmerah” merupakan kependekan dari “jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Slogan tersebut menegaskan bahwa belajar sejarah adalah hal yang penting. Belajar sejarah, apalagi sejarah ekonomi sangat dibutuhkan berkaitan dengan perencanaan strategi pembangunan atau perumusan kebijakan ekonomi. Dari sejarah ekonomi, dapat diambil banyak pelajaran, untuk menentukan arah dan strategi pembangunan ekonomi, maupun untuk menghindarkan diri dari mengulangi kesalahan masa lalu,.
Pengertian sejarah ekonomi memiliki dua makna; pertama adalah sejarah pemikiran ekonomi yang merefleksikan evolusi pemikiran tentang ekonomi, kedua adalah sejarah perekonomian yang menggambarkan bagaimana perekonomian suatu bangsa itu berkembang, misalnya China atau India, bisa pula suatu kawasan misalnya Eropa, Asia, dan bahkan perekonomian dunia. (Dawam Rahardjo, 2002).
            Sementara itu, untuk memudahkan dalam memahami perkembangan dan perubahan-perubahan mendasar yang terjadi di dalam pemikiran-pemikiran ekonomi bisa menggunakan dua landasan teoritis (theoritical base). Pertama, teori yang dikembangkan oleh filosof jerman abad 19, Hegel, yaitu tentang proses dialektika yang meliputi ”these-antithese-sinthese”. These merupakan sebuah gagasan yang mendominasi suatu periode mendapat tantangan (antithese), dan kemudian menciptakan sebuah gagasan baru (sinthese), yang selanjutnya menjelma sebagai “these” baru yang mendominasi periode berikutnya, dan demikian seterusnya. Kedua, teori yang dibangun oleh Thomas Kuhn (tahun 1960-an), yaitu tentang paradigma yang merupakan himpunan dari segala yang hadir di dalam kehidupan masyarakat di suatu waktu tertentu, dan yang turut menentukan wajah ilmu pengetahuan (science) dan pengetahuan (knowledge) yang ada pada periode tersebut. Ia menjelaskan bagaimana “revolusi” di dalam ilmu dan pengetahuan sebenarnya terjadi sebagai akibat dari “pergeseran paradigma” yang berlangsung secara mendadak. (Dorodjatun, 2008).
            Menarik sekali membaca sejarah pemikiran ekonomi Islam dalam buku Jejak Rekam Ekonomi Islam: Refleksi Peristiwa Ekonomi dan Pemikiran Para Ahli Sepanjang Sejarah Kekhalifahan ini. Melalui buku ini kita melihat, sejarah pemikiran ekonomi Islam sangat berbeda dengan sejarah pemikiran ekonomi kapitalisme maupun sosialisme. Sejarah ekonomi Islam mempunyai alur sendiri yang berkaitan erat dengan perkembangan dan pertumbuhan agama Islam. Dalam sejarah pemikiran ekonomi Islam, tidak ada pertentangan pemikiran antar generasi. Dari generasi satu ke generasi penerusnya terjadi saling mendukung dan melengkapi pemikiran. Misalnya, semua ekonom muslim dari zaman Nabi Muhammad sampai sekarang telah mengakui bahwa riba itu haram, sementara jual beli itu halal.
Hal ini dikarenakan, dasar-dasar ekonomi Islam dibangun langsung oleh Rasulullah sendiri dengan berpedoman pada al-Qur’an. Buktinya dapat kita lihat  dengan banyaknya ayat al Qur’an dan hadits yang berbicara masalah ekonomi. Orientalis C.C. Torrey dalam bukunya The Commercial Theological Term in the Koran menyebutkan bahwa al-Qur’an memakai 20 terminologi ekonomi-bisnis. Bahkan diulang sebanyak 370 kali di berbagai surat. Terminologi tersebut antara lain al-tijarah, al-bai’/jual beli (diulang 4 kali), isytara (diulang 25 kali), rizq, fadhillah, riba, dinar, dirham, dain, dharb/mudharabah, syirkah (perkongsian), rahn (gadai), ijarah (leasing/sewa menyewa), amwal, nafaqah, akad/’ukud (transaksi), kail/mizan (timbangan), al-qashid (sederhana) dan al-idarah (manajemen bisnis). 
Konsep ekonomi Islam banyak mengambil contoh dari perilaku Rasulullah semasa hidup. Rasulullah bukan hanya sebagai nabi dan pemimpin umat islam tetapi juga penentu kebijakan dalam bidang ekonomi. Sehingga sumber pemikiran para cendikiawan muslim tentu tak terlepas dari kebijakan-kebijakan Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin.
Wajar jika Rasulullah piawai dalam perilaku ekonomi karena beliau sebelum diangkat menjadi Rasul adalah  pebisnis handal yang bekerja sama dengan Siti Khadijah membentuk kongsi dagang. Kemahiran Rasulullah di bidang ekonomi semakin menonjol ketika memimpin umat Islam pasca hijrah dari Makkah ke Madinah. Dari sinilah Rasulullah membangun peradaban Islam yang kuat  di setiap lini kehidupan.
Periode Madinah diawali Rasulullah dengan menata relasi antara kaum Anshar dan Muhajirin. Tugas berat bagi Rasulullah adalah menjaga hubungan baik antara pendatang dan kaum pribumi Madinah agar tidak terjadi konflik. Sudah jamak terjadi konflik antara pendatang dan pribumi karena alasan terebutnya hak kaum pribumi yang selama ini dimiliki. Disinilah kepandaian Rasulullah menjalin kerja sama antar keduannya dalam bentuk bagi hasil pengelolaan tanah. Kaum pribumi menyediakan lahannya untuk diolah oleh kaum pendatang dan hasilnya di bagi sesuai dengan kesepakatan.
Untuk lebih memudahkan menyatukan pandangan, Rasulullah membangun masjid yang berperan sebagai instrumen sumber peradaban Islam. Di tempat ini kaum muslimin sering bertemu dan berdiskusi, sehingga ide-ide baru bisa lahir demi kemajuan perjuangan Islam. Tidak cukup itu saja, masjid pertama yang dibangun Rasulullah (sekarang terkenal dengan sebutan masjid Nabawi) mampu melahirkan kantor Baitul Maal yang bertugas mengatur keuangan umat Islam, markas besar tentara, pusat pendidikan dan pelatihan juru dakwah sampai kantor pengadilan. Singkatnya kita dapat mengatakan bahwa berawal dari masjidlah peradaban Islam berkembang.
Adanya Baitul Maal dapat membantu Rasulullah dalam mengelola keuangan yang berasal dari zakat dan pajak, dan akan dikeluarkan untuk membiayai berbagai kegiatan seperti pendidikan, kesejahteraan umat dan pembangunan armada perang. Sedangkan untuk menjaga keseimbangan perekonomian, Rasulullah secara langsung mengatur instrumen kebijakan fiskal dan moneter. Diantaranya, menetapkan kewajiban pajak dan mengatur peredaran uang dinar dan dirham di pasaran. Berkat kepiawaian Rasulullah ini, negara Madinah mencapai kejayaan dengan wilayah yang luas dan masyarakat yang adil makmur sentosa hanya dalam waktu 10 tahun dari sejak hijrah dari Mekkah tahun 622 hingga wafatnya tahun 632.
Sepeninggal Rasulullah, tradisi dan praktek ekonomi diteruskan oleh kekhalifahan khulafaur rasyidin, meliputi Abu Bakar yang menekankan pada kebijakan zakat, Umar bin Khattab yang merintis didirikannya departemen-departemen untuk membantu kerja khalifah, masa Ustman bin Affan tidak ada perkembangan yang signifikan karena dilanda korupsi, demikian juga masa Ali yang penuh konflik politik. Setelah masa Khulafaur Rasyidin habis, dilanjutkan daulah Umaiyah, kemudian daulah Abbasiyah, dan sampai pada daulah Turki usmani.
Ekonomi islam pada masa Rasulullah sampai masa kekhalifahan Umaiyah hanya menjadi tradisi dan praktek, belum menjadi disiplin ilmu. Ekonomi Islam baru menjadi sebuah disiplin ilmu setelah Abu Yusuf menulis buku Al-Kharaj (pajak) pada masa Dinasti Abbasiyah di bawah Khalifah Harun Al-Rasyid. Ekonom kelahiran Kufah tahun 371 M ini memperkenalkan teori keuangan negara, administrasi pajak, kepemilikan negara, dan mekanisme pasar.
Kontribusi umat Islam terhadap pemikiran ekonomi ternyata sangat besar. Banyak sekali pemikiran ekonomi Islam yang mendasari lahirnya teori ekonomi konvensional. Karena jauh sebelum lahir sistem perekonomian mazhab liberal-kapitalis yang diawali oleh pemikiran Adam Smith (1776) dan lahirnya sistem perekonomian mazhab sosialisme komunis yang diawali oleh pemikiran Karl Marx (1867), telah ada suatu sistem perekonomian yang mengakar kuat pada ajaran Islam, yakni ekonomi Islam. Pada titik inilah, Joseph A. Schumpeter, penulis buku The History of Economic Analysis, mengabaikan kontribusi cendekiawan muslim dalam pemikiran ekonomi.  Schumpeter memulai penulisan sejarah ekonominya dari para filosof Yunani dan langsung melakukan loncatan jauh selama 500 tahun, dikenal sebagai The Great Gap, ke zaman St. Thomas Aquinas (1225-1274 M). Pada saat The Great gap itulah dunia islam mengalami kejayaan pemikiran di berbagai bidang, termasuk ekonomi.
            Buku yang kita timbang ini hadir melengkapi perbendaharaan pemikiran sejarah ekonomi yang sudah ada. Dari buku-buku yang telah diterbitkan, banyak jenis sejarah ekonomi yang telah disusun. Siddiqi (2001) telah membagi sejarah pemikiran ekonomi Islam menjadi tiga periode, yaitu periode pertama/fondasi (masa awal Islam – 450 H/1058), periode kedua (1048-1446 M), dan periode ketiga (1446-1932 M). Buku ini sendiri membagi periode sejarah ekonomi Islam menjadi (1) periode pemerintahan Nabi Muhammad SAW, (2) masa Khulafaur Rasyidin 632-661 M, (3) masa Daulah Bani Abbasiyah I  750-1258 M, (4) masa Daulah Bani Abbasiyah II 1261-1505 M, (5) masa Daulah Utsmaniyah 1517-1923 M, (6) masa pasca runtuhnya Daulah Utsmaniyah (1942) hingga sekarang.
            Kekurangan dari buku ini adalah tidak adanya pembahasan mengenai perkembangan pemikiran ekonomi Islam kontemporer. Padahal di masa modern-lah ekonomi Islam berkembang dengan pesatnya, ditandai dengan lahirnya ekonom-ekonom muslim seperti Muhammad A. Mannan, Khursid Ahmad, Muhammad N. Siddiqi, Munawar Iqbal, Umer Chapra, Zubair Hasan, Monzer Kafh, Metwally, Masudul Alam Choudhury, dan sebagainya.
            Tetapi bagaimanapun juga, membaca buku sejarah ekonomi Islam ini penting untuk melihat latar belakang ajaran-ajaran Islam yang berlaku di bidang ekonomi. Dari buku ini kita tahu bahwa sejarah Islam tidak hanya berkutat dalam masalah dakwah penyebaran agama islam dan pergulatan fiqh, ternyata sejarah Islam juga mempunyai cerita sendiri dalam bidang ekonomi.



3 komentar:

  1. Syukron Akhi Al-Karim... May Alloh ta'ala bless you and us forever... Keep istiqamah on Sunnah way...

    BalasHapus
  2. awal adanya ekonomi Islam tentunya bermula dari zaman Rasulullah Saw yang berlanjut hingga sekarang ini.

    BalasHapus

Please Uktub Your Ro'yi Here...