Kamis, 01 Maret 2012

Pembagian 'Urf dalam Islam


Oleh : AM Bambang Prawiro

‘Urf  bila dilihat dari segi ruang lingkup penggunaannya terbagi menjadi dua : Pertama, Al-‘Urf al-‘am (adat kebiasaan umum) adalah adat kebiasaan mayoritas dari berbagai negeri pada satu masa. Contoh kebiasaan menyewa kamar mandi umum dengan jumlah sewa tertentu tanpa menentukan secara pasti berapa lamanya mandi dan banyaknya air yang digunakan, ketika memasuki kolam renang/pemandian umum terkadang tak bisa dihindari terlihatnya aurat sebagian pengunjung oleh yang lain, dan memakan buah-buahan yang jatuh dari pohon yang terdapat di jalan umum.
Kedua, Al-‘Urf al-khash (adat kebiasaan khusus), yaitu adat istiadat yang berlaku pada masyarakat atau negeri, iklim, dan kelompok tertentu. Contoh catatan jual beli yang dipegang oleh penjual sebagai alat bukti ketika terjadi permasalah hutang piutang, kebiasaan tertentu dalam berjual beli, garapan lahan pertanian[1].Al-‘Urf al-khash ini juga mencakup pengertian-pengertian tentang suatu hal atau masalah tertentu menurut terminologi ilmu tertentu pula[2]. Misalnya kita mengetahui pengertian sunnah menurut fuqaha, ushuliyun dan muhadditsun. Masing-masing mereka memberikan definisi yang berbeda untuk pengertian sunnah.
Dalam ilmu Falak kita juga mengenal metode hisab ‘urfi sebagai salah satu metode perhitungan awal bulan Qamariyah. Hisab ‘Urfi adalah suatu sistem perhitungan awal bulan yang didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi Bumi dan ditetapkan secara konvensional. Perhitungannya bersifat tetap seperti dalam penanggalan masehi. Dalam artian bahwa bilangan hari pada tiap-tiap bulan dalam setiap bulannya bersifat tetap. kecuali ada penambahan hari pada tahun kabisat. Model perhitungan ini tidak sesuai dengan perhitungan sebenarnya peredaran bulan. Karena perhitungan bulan dalam perhitungan tahun Qamariyah tidak selamanya tetap tapi dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi riilnya.
Berdasarkan jenis perbuatannya maka ‘urf terbagi menjadi dua macam, yaitu ‘Urf qawli/ lughawi dan ‘Urf ‘amali/ fi’li. ‘Urf qawli/ lughawi adalah kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan bukan pengertiannya secara kebahasaan. Seperti penggunaan kata aulad dalam Al-Qur’an :
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِىٓ أَوْلَٰدِكُمْ
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. QS An-Nisaa : 11.
Pengertian kata aulad dalam ayat ini mengacu pada anak laki-laki dan perempuan. Sedangkan dalam kebiasaan bangsa Arab menggunakannya khusus untuk anak laki-laki saja. Contoh lainnya adalah penggunaan kata lahm yang berarti daging hanya untuk daging sapi dan kambing. Jika seseorang itu bersumpah atas nama Allah tidak akan makan lahm lalu ternyata ia makan ikan, tidaklah ia dianggap malanggar sumpahnya. Karena menurut ‘urf dalam masyarakat pengertian lahm itu hanya untuk daging sapi dan kambing, tidak termasuk ikan. Pada hal secara bahasa pengertian lahm mencakup berbagai macam daging termasuk di dalamnya ikan sebagaimana Firman Allah QS an-Nahl/16: 14 berikut:
وَهُوَ ٱلَّذِى سَخَّرَ ٱلْبَحْرَ لِتَأْكُلُوا۟ مِنْهُ لَحْمًۭا طَرِيًّۭا وَتَسْتَخْرِجُوا۟ مِنْهُ حِلْيَةًۭ تَلْبَسُونَهَا وَتَرَى ٱلْفُلْكَ مَوَاخِرَ فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِهِۦ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.
Contoh lainnya adalah kata daabbah digunakan untuk keledai saja  pada sebagian daerah di Mesir atau pengertiannya adalah kuda pada sebagian daerah di Irak dan Sudan[3] pada hal pengartiannya dalam bahasa Arab mencakup semua yang hewan berkaki empat. 
Urf ‘amali/ fi’li, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Misalnya kebiasaan jual beli barang-barang yang murah atau kurang berharga biasanya transaksi antara penjual dan pembeli cukup hanya dengan menunjukkan barang serta serah terima barang dan uang tanpa terjadi akad apa-apa. Kebiasaan ini tidak menyalahi aturan akad dalam jual beli karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat.[4] Conoth berikutnya adalah ukuran atau kriteria ‘adalah (keadilan) untuk diterimanya kesaksian seseorang. ‘Adalah diartikan  sifat yang melekat pada diri seseorang sehingga ia senantiasa bertaqwa pada Allah dan menjaga muru’ahnya. Tentang menjaga muru’ah ini, di daerah Timur orang yang tidak menutup kepalanya dianggap tidak menjaga muru’ah. Namun persepsinya berbeda dengan orang di Barat. ‘Urf mempengaruhi pertimbangan dalam penetapan hukum. Pengaruh itu terutama berkenaan dengan makna yang harus diberikan pada ungkapan yang digunakan dalam hukum. Banyak ungkapan dalam bidang perikatan, muamalat, munakahat, sumpah, nazar dan lainnya yang harus diartikan menurut ‘urf si pembicaranya. Suatu  ungkapan yang pada tempat dan waktu tertentu dipandang jelas (sharih) mungkin saja mengalami perubahan makna pada waktu atau tempat yang lain.
Selanjutnya ‘urf dilihat dari segi ukuran Islam, ia terbagi menjadi dua yaitu ‘urf shahih dan ‘urf fasid, pembagian ini sebenarnya merujuk kepada pengertian bahwa urf dan adat adalah sinonim. Dari segi ini ‘urf terbagi menjadi dua, Pertama ‘Urf shahih (adat kebiasaan yang benar) adalah suatu hal yang baik yang menjadi kebiasaan suatu masyarakat, tidak bertentangan dengan ajaran agama, sopan santun, dan budaya yang luhur. Misalnya pemberian pihak laki-laki kepada calon istrinya dalam pelaksanaan pinangan dianggap hadiah bukanlah mahar. Kebiasaan penduduk Baghdad dulunya untuk menyiapkan makan siang bagi tukang yang bekerja dalam pembangunan rumah. Kedua, ‘Urf fasid (adat kebiasaan yang tidak benar), yaitu suatu yang menjadi kebiasaan yang sampai pada penghalalan sesuatu yang diharamkan Allah (bertentangan dengan ajaran agama), undang-undang negara, dan sopan santun. Seperti menyediakan hiburan perempuan yang tidak memelihara aurat dan kehormatannya dalam perayaan suatu perhelatan, dan akad perniagaan yang mengandung riba.[5]


[1] Zein, Satria Effendi M, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, Cet.ke-1, h. 154
[2] Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami Juz II, Beirut: Dar al-Fikr, 2001, hal. 834
[3] Barriy, al, Zakariya, Mashadir al-Ahkam al-Islamiyah, Kairo:Dar al-Ittihad al-Arabiy: 1975, h. 148
[4] Syarifuddin, Amir, 2001, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Logos, cet.ke-2, h. 363
[5] Zein, op.cit, h. 154-155  dan Syarifudin, op.cit, h. 368

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...