Selasa, 13 Maret 2012

MAQOSHID AL-SYARI’AH

Oleh : Maman Suherman

Ungkapan al-maqashid terambil dari kata: qa-sha-da yang secara etimologis berarti tujuan. Sesutu yang ingin atau akan diraih dinyatakan sebagai “al-maqsad”. Kata jamanya al-Maqashid. Uraian lengkap tentang Maqashid al-Syar’iah tertuang dalam kitab Al-Muwafaqat, karya Al-Syatiby (Ibrahim bin Musa bin Muhammad, al-Lakhamy al-Gharnathy, wafat th 790 H).
Imam as-Syathiby membagi maqashid al-syariyah pada dua bagian pokok, yaitu Maqashid yang dikembalikan pada tujuan pembuat syari’at, dan Maqashid yang dikembalikan pada tujuan Mukallaf/penerima tanggung jawab syari’at.
Dari sudut pandang pembuat syara, maka tujuan hukum syara itu adalah semata-mata untuk kemaslahatan/kesejahteraan umat manusia, baik kesejahteraan di dunia maupun kesejahteraan di akhirat kelak   “وَهِيَ أَنَّ وَضْعَ الشَّرَائِعِ إِنَّمَا هُوَ لِمَصَالِحِ الْعِبَادِ فِي الْعَاجِلِ وَالْآجِلِ مَعًا”.  Dengan mengesampingkan unsur  perbedaan pendapat diantara para ulama yang ada, Imam as-Syatiby menyatakan bahwa argumentasi tentang maqashid didasarkan pada beberapa ayat al-Qur’an dan al-sunnah[1].
Pembicaraan tentang tujuan pembinaan hukum Islam atau maqashid al-tasyri' merupakan pembahasan penting dalam hukum Islam yang tidak luput dari perhatian ulama serta pakar hukum Islam. Sebagian ulama menempatkannya dalam bahasan Ushul Fiqh, dan ulama lain membahasnya sebagai bahasan tersendiri serta diperluas dalam "Filsafat Hukum Islam". Untuk tidak mengurangi kedudukannya sebagai bahasan dalam Filsafat Hukum Islam namun tetap menjadikannya sebagai bagian dari bahasan Ushul Fiqh, di sini akan diuraikan bahasan mengenai pembinaan hukum Islam secara sederhana dan bersifat umum.
Bila diteliti semua suruhan dan larangan Allah dalam Al-Our'an, begitu pula suruhan dan larangan Nabi dalam sunah yang terumuskan dalam fikih, akan terlihat bahwa semuanya mempunyai tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai hikmah yang mendalam, yaitu sebagai rahmat bagi umat manusia, sebagaimana ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur'an, diantaranya dalam surat al-Anbiya (21): 107, tentang tujuan Nabi Muhammad diutus:
Tiadalah maksud Kami mengutusmu, kecuali menjadi rahmat bagi seisi alam.
Rahmat untuk seisi alam dalam hadis di atas diartikan dengan kemaslahatan umat.
Para ulama sepakat bahwa memang hukum syard itu mengandung kemaslahatan untuk umat manusia. Namun ulama berbeda pendapat dalam menempatkan kemaslahatan itu sebagai tujuan penetapan hukum syara'. Apakah untuk kemaslahatan itu Allah menetapkan hukum? Atau dengan bahasa lain: Apakah kemaslahatan itu yang mendorong Allah untuk menetapkan hukum? Dalam hal ini ada dua pendapat:
1.        Ulama yang berpegang pada prinsip bahwa perbuatan Allah itu tidak terikat kepada apa dan siapa pun (yang dianut oleh ula­ma kalam Asy'ariyah). Menurut mereka, Allah berbuat sesuai dengan keinginan-Nya sebagaimana yang firman-Nya dalam surat Hud (11): 107:
Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa saja yang Dia kehendaki.
Mereka berpendapat bahwa bukan untuk memaslahatkan umat itu Allah menetapkan hukum. Jadi, tujuan penetapan hukum syara' itu bukan untuk kemaslahatan umat, meskipun semua hukum Allah itu tidak luput dari kemaslahatan umat.
2.         Ulama yang yang berpegang pada prinsip keadilan dan ka­sih sayang Allah pada hamba-Nya (yang dianut oleh ulama kalam al-Mu'tazilah); berpendapat bahwa memang untuk ke­maslahatan umat itulah Allah menetapkan hukum syara'. Sebenarnya kalau kita perhatikan perbedaan pendapat di atas dalam hal tujuan penetapan hukum syara' tersebut, akan terli­hat bahwa perbedaannya semata-mata hanya perbedaan secara lafzi dan tidak mengakibatkan perbedaan secara praktis dalam penetapan hukum itu sendiri karena semua pihak sepakat bah­wa semua hukum yang ditetapkan Allah ada tujuannya dan tu­juan itu adalah bagi kemaslahatan umat.
Kemaslahatan
Secara sederhana maslahat itu diartikan sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal yang sehat. Diterima akal, mengandung arti bahwa akal itu dapat mengetahui dengan jelas kenapa begitu. Setiap suruhan Allah dapat dipahami oleh akal, kenapa Allah menyuruh, yaitu karena mengandung kemaslahatan untuk manusia baik dijelaskan sendiri alasannya oleh Allah atau tidak. Suruhan Allah  untuk berzikir dan shalat disebutkan sendiri alasannya oleh Allah. Alasan suruhan shalat dijelaskan dalam surat al-Ankabut (29): 45:
Sesungguhnya shalat itu dapat mencegah seseorang dari perbuatan keji dan munkar.
Sedangkan suruhan berzikir disebutkan alasannya dalam surat al-Ra'd (13): 28:
Ketahuilah bahwa dengan berzikir itu hati akan tenteram.
Allah melarang minum khamar dan berjudi dalam surat al-Maidah (5): 90:
Sesungguhnya minum khamar dan berjudi, berhala, dan bertenung adalah perbuatan keji dari setan dan oleh karenanya jauhilah.
Untuk menjelaskan kenapa perbuatan tersebut dilarang, di­jelaskan Allah dalam surat al-Maidah (5): 91:
Sesungguhnya setan bermaksud menimpakan kepadamu permusuhan dan kemarahan melalui khamar dan judi itu dan melengahkan kamu dari mengingat Allah dan shalat.
Memang ada beberapa suruhan Allah yang tidak diketahui alas­annya oleh akal, seperti suruhan melakukan shalat zuhur setelah tergelincir matahari. Namun tidaklah berarti suruhan Allah itu tanpa tujuan, cuma tujuannya belum dapat dicapai oleh akal manusia.

Bentuk Maslahat:
Maslahat itu ada dua bentuk:
1)          Mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan untuk manusia yang disebut Jalbul Manafi’(membawa manfaat). Kebaikan dan kese­nangan itu ada yang langsung dirasakan oleh yang melakukan saat melakukan perbuatan yang disuruh itu. Ibarat orang yang sedang haus meminum minuman segar. Ada juga yang dirasakan­nya kemudian hari, sedangkan pada waktu melaksanakannya, tidak dirasakan sebagai suatu kenikmatan tetapi justru ketidak­enakan. Seperti orang yang sedang sakit malaria disuruh memi­num pil kina yang pahit. Segala suruhan Allah berlaku untuk mewujudkan kebaikan dan manfaat seperti ini.
2)          Menghindarkan umat manusia dari kerusakan dan keburukan yang disebut “dar-ul mafasid (menolak kerusakan). Kerusakan dan keburukan itu ada yang langsung dirasakannya setelah melaku­kan perbuatan yang dilarang, ada juga yang pada waktu ber­buat, dirasakannya sebagai suatu yang menyenangkan tetapi setelah itu dirasakan kerusakan dan keburukannya. Umpama­nya berzina dengan pelacur yang berpenyakit atau meminum minuman manis bagi yang berpenyakit gula.
Adapun yang dijadikan tolok ukur untuk menentukan baik buruk­nya (manfaat dan mafsadatnya) sesuatu yang dilakukan dan yang menjadi tujuan pokok pembinaan hukum itu adalah apa yang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. Tuntutan kebutuhan bagi kehidupan manusia itu bertingkat-tingkat. Secara berurutan, peringkat kebutuhan itu adalah: primer, sekunder, dan tersier.
1. Kebutuhan Primer/Dharuri
Kebutuhan tingkat "primer" adalah sesuatu yang harus ada untuk keberadaan manusia atau tidak sempurna kehidupan manusia tanpa terpenuhinya kebutuhan tersebut. Kebutuhan yang bersifat primer ini dalam Ushul Fiqh disebut tingkat dharury.  Ada lima hal yang harus ada pada manusia sebagai ciri atau kelengkapan kehidupan manusia. Secara berurutan, peringkatnya adalah: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan (harga diri). Kelima hal ini disebut "dharuriyat yang lima".  Kelima dharuriyat tersebut adalah hal yang mutlak harus ada pada manusia. Karenanya Allah menyuruh untuk melakukan segala upaya bagi keberadaan dan kesempurnaannya. Sebaliknya Allah melarang melakukan perbuatan yang dapat menghilangkan atau mengurangi salah satu dari kelima dharuriyat yang lima itu. Segala perbuatan yang dapat mewujudkan atau mengekalkan lima unsur pokok itu adalah baik, dan karenanya harus dikerjakan. Sedangkan segala perbuatan yang merusak atau mengurangi nilai lima unsur, pokok itu adalah buruk, dan karenanya harus dijauhi.
Untuk menegakkan agama, manusia disuruh beriman kepada Allah, kepada Rasul, kepada kitab suci, kepada malaikat, kepada hari akhir, mengucapkan dua kalimah syahadat serta melakukan ibadah yang pokok lainnya. Untuk menjaga agama, Allah menyuruh manusia untuk berjihad di jalan Allah sebagaimana banyak ditegaskan dalam Al-Qur'an yang di antaranya pada surat at-Taubah (9): 41:    “Berjibadlah kamu dengan harta dan jiwamu di jalan Allah”.
Di samping itu Allah melarang manusia berbuat sesuatu yang dapat menghilangkan agama. Karena itu Allah mengharamkan mur­tad sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Baqarah (2): 217:
Barangsiapa yang murtad di antaramu dari agamanya kemudian ia mati dalam kekafiran, mereka itulah yang dihapus amalannya di dunia dan akhirat.
Sehubungan dengan itu Allah menyuruh memerangi orang yang tidak beriman, sebagaimana firman-Nya dalam surat at-Taubah (9): 29: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir.”
Untuk memelihara keberadaan jiwa yang telah diberikan Allah bagi kehidupan, manusia harus melakukan banyak hal, seperti makan, minum, menutup badan, dan mencegah penyakit. Manusia juga perlu berupaya dengan melakukan segala sesuatu yang memungkinkan untuk meningkatkan kualitas hidup. Segala usaha yang mengarah pada pemeliharaan jiwa itu adalah perbuatan baik, karenanya disuruh Allah untuk melakukannya. Sebaliknya, segala sesuatu yang dapat menghilangkan atau merusak jiwa adalah perbuatan buruk yang dilarang Allah. Dalam hal ini Allah melarang membunuh tanpa hak, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-An'am (6): 151:
Janganlah kamu melakukan pembunuhan terhadap diri yang diharamkan Allah, kecuali secara hak.
Begitu pula Allah melarang menjatuhkan diri kepada kebinasaan sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Baqarah (2): 195:   Janganlah kamu menimpakan dirimu kepada kerusakan.
Sebagai ancaman terhadap pembunuhan itu, Allah menetapkan hukuman qishash sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Baqarah (2): 178:
Allah telah menetapkan atasmu hukuman qishash karena pembunuhan.
Untuk memelihara akal yang diciptakan Allah khusus bagi manusia, diharuskan berbuat segala sesuatu untuk menjaga keberadaannya dan meningkatkan kualitasnya dengan cara menuntut ilmu. Segala usaha untuk itu adalah perbuatan baik yang disuruh Allah. Dalam hal ini manusia di­suruh menuntut ilmu tanpa batas usia dan tidak memperhitungkan jarak atau tempat, sebagaimana sabda Nabi yang populer: Menuntut ilmu itu wajib atas setiap orang yang beriman.
Sebaliknya manusia dilarang berbuat sesuatu yang dapat meng­hilangkan atau merusak akal. Segala perbuatan yang mengarah pada kerusakan akal adalah perbuatan buruk; karenanya dilarang syura'. Dalam hal ini, Allah mengharamkan meminum minuman memabukkan dan segala bentuk makanan, minuman yang dapat mengganggu akal. Nabi dalam sunahnya menetapkan sanksi pukulan sebanyak 40 kali atas peminum minuman yang memabukkan itu.
Untuk mempertahankan hidup, manusia memerlukan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, ^seperti makan, minum, dan pakaian. Untuk itu diperlukan harta dan manusia harus berupaya mendapatkannya secara halal dan baik. Segala usaha yang mengarah bagi pencarian harta yang halal dan baik adalah perbuatan baik yang disuruh oleh syara\ Banyak firman Allah dalam Al-Qur'an yang menyuruh manusia mencari rezeki, di antaranya dalam surat al-Jumu'ah (62): 10:
Bila telah kamu tunaikan shalat, bertebaranlah di muka bumi
dan carilah rezeki dari Allah.
Segala usaha yang mengarah pada peniadaan atau perusakan harta, adalah perbuatan buruk yang dilarang. Dalam hal ini Allah melarang mencuri, dan sanksi bagi pencuri adalah dengan potong tangan seperti firman-Nya dalam surat al-Maidah (5): 38:
Pencuri laki-laki dan perempuan potonglah tangan keduanya.
Untuk kelangsungan kehidupan manusia, perlu adanya keturunan sah dan yang jelas. Untuk maksud itu Allah melengkapi makhluk hidup ini dengan nafsu syahwat yang mendorong untuk melakukan hubungan kelamin yang jika dilakukan secara sah adalah baik. Dalam hal ini Allah mensyari'atkan kawin dan berketurunan, sebagaimana firman-Nya dalam surat an-Nur (24): 32:
Kawinilah orang-orang yang membujang di antaramu dan orang-orang baik di antara hambamu.
Segala usaha yang mengarah pada penghapusan atau perusakan keturunan yang sah adalah perbuatan buruk. Oleh karena itu, Nabi sangat melarang sikap tabattul atau membujang karena meng­arah pada peniadaan keturunan. Islam juga melarang zina yang dinilai sebagai perbuatan keji dan dapat merusak tatanan sosial, mengaburkan nasab keturunan serta akan mendatangkan bencana. Dalam surat al-Isra' (17): 32, Allah berfirman:
Janganlah kamu dekati perbuatan zina, karena ia adalah perbuatan keji.
Selanjutnya dalam surat an-Nur (24): 3, Allah menetapkan sanksi bagi pezina:
Pezina laki-laki dan perempuan cambuklah masing masingnya 100 kali.
Termasuk dalam kelima kebutuhan primer (dharuri) tersebut menurut sebagian ulama adalah "harga diri" yang disuruh Allah untuk menjaganya dan melarang berbuat sesuatu yang dapat mencemarkannya. Dalam hal ini diharamkan menuduh perempuan baik-baik melakukan zina tanpa bukti yang sah dan pelakunya diancam dengan 80 kali cambuk, sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nuh (24): 4:
Orang-orang yang menuduh perempuan baik-baik berbuat zina dan tidak dapat mengemukakan empat orang saksi cambuklah 80 kali.
Tujuan yang bersifat dharuri merupakan tujuan utama dalam pembinaan hukum yang mutlak harus dicapai. Oleh karena itu, suruhan-suruhan syara' dalam hal ini bersifat mutlak dan pasti, serta hukum syura" yang berlatar belakang pemenuhuan kebutuhan dharuri adalah "wajib" (menurut jumhur ulama) atau "fardhu" (menurut ulama Hanafiyah). Sebaliknya, larangan Allah yang berkaitan dengan dharuri ini bersifat tegas dan mutlak. Hukum yang ditimbulkannya termasuk haram dzdti. Untuk men­dukung pencapaian dari tujuan yang dharuri ini, syara' menetapkan hukum-hukum pelengkap yang terurai dalam kitab-kitab fiqh.

2. Kebutuhan Sekunder/Hajiyat
Tujuan tingkat "sekunder" bagi kehidupan manusia ialah sesuatu yang dibutuhkan bagi kehidupan manusia, tetapi tidak mencapai tingkat dharuri. Seandainya kebutuhan itu tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak akan meniadakan atau merusak kehidupan itu sendiri. Meskipun tidak sampai akan merusak kehidupan, namun keberadaannya dibutuhkan untuk memberikan kemudahan dalam kehidupan. Tujuan penetapan hukum syara'' dalam bentuk ini disebut tingkat hajiyat.
Tujuan hajiyat dan segi penetapan hukumnya dikelompokkan pada tiga kelompok:
1)          Hal yang disuruh syara' melakukannya untuk dapat melak­sanakan kewajiban syara' secara baik. Hal ini disebut muqad- dimah wajib.  Umpamanya mendirikan sekolah dalam hubungannya dengan menuntut ilmu untuk meningkat­kan kualitas akal. Mendirikan sekolah memang perlu, namun seandainya sekolah tidak didirikan tidaklah berarti tidak akan tercapai upaya mendapatkan ilmu, karena menuntut ilmu itu dapat dilaksanakan di luar sekolah. Kebutuhan akan sekolah itu berada pada tingkat hajiyat.
2)          Hal yang dilarang syara' melakukannya untuk mengindarkan secara tidak langsung pelanggaran pada salah satu unsur yang dharuri. Perbuatan zina berada pada larangan tingkat dharuri. Namun segala perbuatan yang menjurus kepada perbuatan zina itu juga dilarang untuk menutup pintu bagi terlaksananya larangan zina yang dharuri itu. Melakukan khalwat (berduaan dengan lawan jenis di tempat sepi) memang bukan zina dan tidak akan merusak keturunan. Juga tidak mesti khalwat itu berakhir pada zina. Meskipun demikian, khalwat itu dilarang dalam rangka menutup pintu terhadap pelanggaran larangan yang bersifat dbaruri. Kepentingan akan adanya tindakan un­tuk menjauhi larangan mi berada pada tingkat bajiyat. 3. Segala bentuk kemudahan yang termasuk hukum rukshsah (kemudahan) yang memberi kelapangan dalam kehidupan ma­nusia. Sebenarnya tidak ada rukhsab pun tidak akan hilang salah satu unsur yang dbarun itu, tetapi manusia akan berada dalam kesempitan (kesulitan). Rukhsbab ini, berlaku dalam hu­kum "ibadat" seperti shalat bagi yang berada dalam perjalan; dalam "muamalat" seperti bolehnya jual beli salam (inden); juga dalam "jinayat" seperti adanya maaf untuk membatalkan pelaksanaan qisbash bagi pembunuh, baik diganti dengan diyat (denda) atau tanpa diyat sama sekali.

3. Kebutuhan Tersier/Takhsiniyat
Tujuan tingkat "tersier" adalah sesuatu yang sebaiknya ada untuk memperindah kehidupan. Tanpa terpenuhinya kebutuhan tersier, kehidupan tidak akan rusak dan juga tidak akan menimbulkan kesulitan. Keberadaannya dikehendaki untuk kemuliaan akhlak dan kebaikan tata tertib pergaulan. Tujuan dalam tingkat ini disebut "takbsiniyat".
Tujuan takbsiniyat ini menurut asalnya tidak menimbulkan hukum wajib pada perbuatan yang disuruh dan tidak menimbulkan hukum haram ' pada yang dilarang sebagaimana yang berlaku pada dua tingkat lainnya (dbaruri dan bajiyat). Segala usaha untuk memenuhi kebutuhan takbsini ini menimbulkan hukum "sunah", dan perbuatan yang mengabaikan kebutuhan takbsini menimbulkan hukum "makruh".
Takbsini berlaku pada bidang ibadal, seperti berhias dan berpakaian rapi pada waktu ke masjid; dan pada bidang muamalat, seperti pada jual beli syuf'ah; juga berlaku pada adat, seperti hemat dalam berbelanja; serta berlaku pula dalam bidang jinayat seperti tidak membunuh anak-anak dan perempuan dalam peperangan.
Pembagian tujuan syara' pada tiga hal tersebut, se'kaligus menunjukkan peringkat kepentingan. Tingkat dbaruri lebih tinggi dari tingkat bajiyat, dan tingkat hajiyat lebih tinggi dari tingkat takhsiniyat. Kebutuhan dalam peringkat yang sesama dbaruri pun berurutan pula tingkat kepentingannya, yaitu: agama, jiwa, akal, harta, keturunan (harga diri). Adanya peringkat dan urutan kepentingan itu akan tampak di saat terjadi perbenturan antar masing-masing kepentingan itu dan salah satu di antaranya harus didahulukan.
Bila terjadi perbenturan antara tuntutan yang bersifat dbaruri dengan yang bersifat hajiyat, maka yang didahulukan adalah yang tingkat dbaruri. Contoh dalam hal ini umpamanya seorang dokter laki-laki menghadapi pasien perempuan yang terancam jiwanya dan diperlukan operasi untuk penyelamatan. Memelihara jiwa si sakit dituntut dalam tingkat dbaruri. Tetapi untuk melakukan tuntutan ini ia harus melihat aurat perempuan yang hukumnya terlarang dalam tingkat bajiyat. Di sini terjadi perbenturan antara suruhan dalam tingkat dbaruri dengan larangan dalam tingkat bajiyat. Dalam hal ini ulama membenarkan si dokter melihat aurat si sakit waktu operasi tersebut, karena harus mendahulukan yang dbaruri dari bajiyat.
Bila terjadi perbenturan dua tuntutan yang sama-sama berada dalam tingkat dbaruri namun berbeda dalam unit kepentingan didahulukan urutan yang lebih tinggi. Bila kepentingan memelihara agama berbenturan dengan kepentingan memelihara jiwa,maka diutamakan memelihara agama. Dalam hal ini jihad pada jalan Allah diutamakan bila agama sudah terancam meskipun untuk itu akan mengorbankan jiwa. Dalam hal ini Allah berfirman dalam surat at-Taubah (9): 41:
Jihadlah kamu dengan hartamu dan jiwamu di jalan Allah.
Biia terjadi perbenturan antara kepentingan memelihara jiwa dengan kepentingan memelihara akal, didahulukan kepentingan memelihara jiwa. Dalam hal ini umpamanya seseorang yang tersekat kerongkongannya dan terancam jiwanya kecuali dengan meminum cairan tertentu dan kebetulan cairan yang ada hanyalah minuman terlarang, maka boleh dia meminum khamar yang terlarang itu meskipun sampai ia mabuk karena meminum minuman itu.
Bila terjadi perbenturan antara kepentingan memelihara akal de­ngan kepentingan memelihara harta, maka kepentingan memelihara akal harus didahulukan. Umpamanya seseorang yang akalnya terancam kerusakan dan baru dapat ia melepaskan ancaman itu dengan cara mencuri sesuatu yang dimiliki orang lain. Dalam hal ini dibolehkan ia mencuri untuk memelihara akalnya itu.
Bila terjadi perbenturan antara kepentingan memelihara harta dengan kepentingan memelihara harga diri, didahulukan kepentingan memelihara harta. Umpamanya seseorang diperkosa dengan an­caman satu-satunya harta yang dimilikinya akan dimusnahkan. Dibenarkan tindakan membiarkan diri dipaksa berbuat zina yang terlarang karena membela harta, apalagi membela jiwa.
Untuk membenarkan tindakan mengambil suatu risiko buruk untuk mempertahankan kepentingan yang lebih tinggi itu ulama menggunakan kaidah:
Sesuatu yang diharamkan secara zaati dibolehkan karena dharurat.
Begitu pula bila terjadi perbenturan antara sesama yang berada dalam kepentingan tingkat hajiyat, didahulukan satu di antaranya, yaitu yang paling enteng risikonya. Seandainya sama risikonya didahulukan kepentingan berdasarkan urut sebagaimana disebutkan di atas, karena meski bagaimana juga kepentingan hajiyat berkaitan dengan salah satu lima unsur dharuri disebutkan di atas. Kepentingan menutup aurat berada pada tingkat haji dan kepentingan belajar pokok-pokok agama juga berada pada tingkat hajiyat yang berkaitan dengan memelihara agama. Bila untuk kepentingan proses belajar mengajar ini si guru terpaksa melihat wajah si murid yang semestinya tidak boleh dilakukan, maka ia dibolehkan meskipun yang demikian adalah aurat. Haram melihat aurat berada pada haram ghairu dzati atau saddu al-dzari'ah sedangkan belajar pokok-pokok agama itu adalah sesuatu yang bersifat hajiyat. Hajat dalam hal ini didahulukan karena yang berlawanan dengannya hanya sebatas haji-yi pula.






DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Syathiby, Abu Ishak, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, Kairo, 1970.
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, AMZAH, Jakarta, 2010.
Amir Syarifuddin, H., Ushul Fiqh, Edidi Pertama, Cetakan Ke-5, Kencana Prenada     Media Group, 2009.
Basiq Djalil, Logika (Ilmu Mantiq), Qalbun Salim, Jakarta, 2008.
Djazuli, H.A., Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Edisi  Revisi Cetakan Ke-7, Kencana Prenada Media Group, 2010.
Khalid Ramadhan Hasan, Mu’zam Ushul al-Fiqh, Mesir, 1997.
Khalimi, Logika: Teori dan Aplikasi, Gaung Persada Press, Jakarta, 2011.
Ibrahim Beyk, Ahmad, Ilmu Usuhul al-Fiqh, Daru al-Anshar, Kairo, 1990.
Khudari Beyk, Ushul al-Fiqh, Mathba’ah al-Istiqamah, Kairo, 1938.
Muhammad Abu Zahrah, Usuhul Fiqih (Terjemah oleh Saefullah Ma’shum dkk.), Cetakan Pertama, Pustaka Pirdaus, Jakarta, 2008.
Satria Efendi M., Ushul Fiqh, Prenada Media, Jakarta, 2005.
Wahbah al-Juhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamy, Darul Fikri, Damaskus, 1986.
Yusuf Ahmad Muhammad al-Badawy, Maqashid al-Syariyyah ‘inda Ibnu Taimiyah, Daru al-Nafa-is, Jordan,  2000.


[1] Ayat-ayat yang dijadikan dasar oleh Imam al-Syatiby antara lain: Surat an-Nisa ayat 1105; al-Anbiya ayat 107; Hud ayat 7; al-Dzariyat ayat  56; al-Mulku ayat 2; al-Maidah ayat 6; al-Baqarah ayat 183; al-Ankabut ayat 45; al-Baqarah ayat 150 dan 179; al-Hajj ayat 39; al-A’raf ayat 172.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...