Selasa, 06 Maret 2012

Syariah Itu...

Oleh : Abdurrahman


Hukum Islam adalah dua kata dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab. Dua kata tersebut terdiri dari kata "hukum" dan "Islam". Kata "hukum" dalam bahasa Indonesia adalah kata serapan yang berasal dari bahasa Arab yaitu kata الحكم (al- hukmu) yang merupakan bentuk singular/tunggal, adapun bentuk plural/jama'nya adalah الأحكام  (al-ahkam). Secara etimologi kata ini berarti القضاء (al-qadha) yang bermakna memutuskan, memimpin, memerintah, menetapkan dan menjatuhkan hukuman,[1] bentuk fa'il-nya adalah الحاكم الحكيم  (al-haakim-al-hakiim) yaitu orang yang memutuskan suatu perkara dan menjatuhkan hukuman kepada yang bersalah. Al-Fairuz Abady menyatakan bahwa kata الحكم (al- hukmu) dengan dhamah berarti القضاء  (al-qadha) yaitu  mengadili, bentuk jama'nya adalah االأحكام  (al-ahkam).[2] Abdullah bin Shalih Al-Fauzan dalam Syarh Al-Waraqat Fi Ushul Al-Fiqh menyatakan :
اللحكم لغة : المنع والحكم اصطلاحا : ما دل عليه خطاب الشرع المتعلق بأفعال المكلفين من طلب او تخيير او وضع
Al-Hukmu secara bahasa adalah mencegah, sedangkan secara istilah adalah segala sesuatu yang menunjukan padanya kehendak syar'i yang berkaitan dengan amalan-amalan orang yang sudah dewasa (mukallaf) baik berupa tuntutan kewajiban, pilihan dan hukum wadh'i.[3] Nasrun Haroen merinci pengertian dari kata "al-hukm"  dalam beberapa arti, yaitu :
1.    Menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya, seperti menetapkan terbitnya bulan dan meniadakan kegelapan dengan terbitnya matahari.
2.    Khitab Allah, seperti “aqimu ash-shalata” dalam hal ini yang dimaksud dengan hukum adalah nash yang datang dari Syari'.
3.    Akibat dari Khitab Allah, seperti hukum ijab yang dipahami dari firman Allah “aqimu ash-shalata”. Pengertian ini digunakan para fuqaha (ahli fiqh)
4.    Keputusan hakim di sidang pengadilan.[4]  
Dari berbagai pengertian tersebut terlihat adanya makna yang satu yaitu bahwa al-hukm  adalah :
خطاب الله المتعلق بأفعال المكلفين طلبا أو تخييرا أو وضعا
Khitab Allah ta'ala yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang berupa tuntutan, pilihan atau yang bersifat wadh'i”[5]. Pengertian ini menunjukan bahwa hukum adalah sesuatu yang menjadi tuntutan syara' atas setiap orang-orang yang sudah mukallaf untuk melaksanakannya, baik hal itu berupa tuntutan, pilihan atau berbagai sebab yang mengakibatkan adanya hukum tersebut, seperti ahkam al-khamsah yaitu haram, makruh, mubah, sunnah dan wajib. Berbeda dengan makna hukum sebelumnya, Muhammad Daud Ali menyatakan kata "hukum" berasal dari bahasa Arab yaitu al-hukm yang berarti kaidah, norma, ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda.[6] Hal ini sama seperti yang diungkapkan oleh M. Hasbi Ash-Shiddieqy yang menyatakan “Istilah hukum Islam walaupun berlafadz Arab, namun telah dijadikan bahasa Indonesia, sebagai terjemahan dari Fiqh Islam atau Syariat Islam”.[7]
Jika kita cermati, kata "hukum" dilihat dari asal kata bahasa Arab, maka makna yang sebenarnya tidaklah sama dengan kata hukum yang telah menjadi bahasa Indonesia. Kata hukum ini telah mengalami perubahan dan perluasan makna sehingga tidak sesuai lagi dengan makna bahasa asalnya. Adapun kata yang semakna dengan hukum dalam bahasa Arab adalah syariah dan Al-Fiqh.
Syariah menurut bahasa adalah الوارد  (al-warid) yang berarti jalan, dikatakan pula   نحو الماء  yaitu tempat keluarnya (mata) air.[8] Al-Raghib menyatakan syariah adalah metode atau jalan yang jelas dan terang. Dikatakan : شرعت له نهجا  (aku mensyariatkan padanya sebuah jalan), الشريعة   al-syari'ah bisa pula bermakna sebuah tempat di tepi pantai. Manna' Khalil Al-Qathan berkata : Syariat pada asalnya menurut bahasa adalah sumber air yang digunakan untuk minum, kemudian digunakan oleh orang-orang Arab dengan arti jalan yang lurus (al-syirath al-mustaqim) yang demikian itu karena tempat keluarnya air adalah sumber kehidupan dan keselamatan/kesehatan  badan, demikian juga arah dari jalan yang lurus yang mengarahkan manusia kepada kebaikan, padanya ada kehidupan jiwa dan pengoptimalan akal mereka[9] Kata atau lafadz "syariah" banyak terdapat di dalam Al-Qur'an, misalnya firmanNya dalam QS Al-Jatsiyah ayat 18 :
 ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَتَتَّبِعْ أَهْوَآءَ الَّذِينَ لاَيَعْلَمُونَ
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
Makna syariah pada ayat ini adalah peraturan atau cara beragama. Sedangkan dalam QS Asy-Syura ayat 13 bermakna memberikan tata cara beragama :  
شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَاوَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَاوَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلاَتَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَاتَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَن يَشَآءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).
Makna syariah yang serupa disebutkan dalam QS Al-Syura ayat 21 Allah berfirman :   
أَمْ لَهُمْ شُرَكَآؤُاْ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَالَمْ يَأْذَن بِهِ اللهُ وَلَوْلاَ كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِىَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمُُ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.
Dari beberapa ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa kata syariah bermakna peraturan, agama dan tata cara ibadah. Pengertian ini telah mengarah kepada makna secara istilah, karena khitab dari ayat-ayat tersebut adalah orang-orang yang beriman agar mereka dapat merealisasikan syariat tersebut.
Secara terminologi/istilah, syariat adalah “Seperangkat norma yang mengatur masalah-masalah bagaimana tata cara beribadah kepada Allah ta'ala, serta bermuamalah dengan sesama manusia”. Al-Fairuz Abady menyebutkan bahwa syariat adalah apa-apa yang disyariatkan Allah kepada para hambaNya.[10]  Ibnu Mandzur menyatakan bahwa syariah adalah :
والشريعةُ والشِّرْعةُ ما سنَّ الله من الدِّين وأَمَر به كالصوم والصلاة والحج والزكاة وسائر أَعمال البرِّ
Segala sesuatu yang ditetapkan  Allah dari dien (agama) dan diperintahkanya seperti puasa, shalat, haji, zakat dan amal kebaikan lainnya.[11]
Definisi ini seperti yang disebutkan oleh Manna' Al-Qathan yang menyebutkan bahwa syariat secara istilah adalah “Setiap sesuatu yang datang dari Allah ta'ala yang disampaikan oleh utusan/RasulNya kepada para hambanya, dan Dia adalah pembuat syariat yang awal, hukumNya dinamakan syar'an.[12] Mahmud Syalthut mendefinisikan syariah dengan "Sebuah nama untuk tata peraturan dan hukum yang diturunkan oleh Allah ta'ala dalam bentuk ushulnya dan menjadi kewajiban setiap muslim sebagai pedoman dalam berhubungan dengan Allah dan antar sesama manusia."[13]
Para intelektual muslim Indonesia memberikan definisi dari syariah dengan beraneka ragam, misalnya Hasbi Ash-Shidieqy yang mendefinisikannya dengan “Segala yang disyariatkan Allah untuk kaum muslimin, baik ditetapkan oleh Al-Qur'an ataupun sunnah Rasul yang berupa sabda, perbuatan, ataupun taqrirnya”.[14]
Masjfuk Zuhdi mendefinisikannya dengan “Hukum yang ditetapkan Allah melalui RasulNya untuk hamba-hambaNya, agar mereka mentaati hukum itu atas dasar iman, baik yang berkaitan dengan akidah, amaliah (ibadah dan muamalah) dan yang berkaitan dengan akhlak.[15] Sedangkan M. Ali Hasan menyatakan bahwa syari'ah adalah : Hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah bagi hamba-hambaNya (manusia) yang dibawa oleh para nabi, baik menyangkut cara mengerjakannya yang disebut far'iyah amaliyah (cabang-cabang amaliyah) dan untuk itulah fiqh dibuat, atau yang menyangkut petunjuk beri'tiqad yang disebut ashliyah i'tiqadiyah (pokok keyakinan), dan untuk itu para ulama menciptakan ilmu kalam (ilmu tauhid).
Dalam bagian lain disebutkan bahwa syariah adalah “Semua yang disyariatkan Allah untuk kaum muslimin baik melalui Al-Qur'an maupun melalui sunnah rasul.[16]
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kata hukum dalam “Hukum Islam” bukanlah arti hukum dalam bahasa Arab al-hukm akan tetapi makna hukum dalam bahasa Indonesia adalah bermakna syari'ah dalam bahasa Arab. Pendapat ini seperti disebutkan oleh Fathurrahman Djamil yang menyimpulkan : Kata hukum Islam tidak ditemukan sama sekali di dalam Al-Qur'an dan literatur hukum dalam Islam, yang ada dalam Al-Qur'an adalah kata syari'ah, fiqh, hukum Allah dan yang seakar dengannya, kata hukum Islam merupakan terjemahan dari term “Islamic Law” dari literatur barat.[17]
Menjadi jelas bagi kita bahwa hukum Islam dalam literatur klasik adalah syariah Islam, yaitu "Seluruh peraturan dan tata cara kehidupan dalam Islam yang diperintahkan oleh Allah ta'ala yang termaktub di dalam Al-Qur'an dan Al-Sunnah".


[1] Ahmad Warson  Munawwir, Kamus Munawwir, Surabaya : Pustaka Progressif, 1997,  hlm. 286.
[2] Al-Fairuz Abady, Al-Qamus Al-Muhith, Libanon : Muasasah Ar-Risalah, 1998. hlm. 1095.
[3] Abdullah bin Shalih Al-Fauzan, Syarh Al-Waraqat Fi Ushul Al-Fiqh, Riyadh : Dar Al-Muslim, 1997. hlm. 28.
[4] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu,  2001, hlm. 207
[5] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Kairo : Dar Al-Hadits, 2003, hlm. 87.
[6] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2004, hlm. 44.
[7] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah hukum Islam, Jakarta : PT Bulan Bintang,  1986. hlm. 44.
[8] Ibnu Mandzur, Lisan Al-‘Arab Juz VII,  hlm. 86
[9] Manna' Khalil Al-Qatan, At-Tasyri' Wa Al-Fiqhi fi Al-Islam Tarikhan wa Manhajan, Mesir : Maktabah Wahbah, 2001, hlm. 13. 
[10] Al-Fairuz Abady, Al-Qamus Al-Muhith,  hlm. 732.
[11] Ibnu Mandzur, Lisan Al-‘Arab Juz V, hlm. 86.
[12] Manna' Khalil Al-Qathan, At-Tasyri' Wa Al-Fiqhi fi Al-Islam Tarikhan wa manhajan, hlm. 14.
[13] Mahmud Syalthut, Al-Islam Aqidah Wa-Syari'ah, hlm. 73.
[14] Hasbi Ash-Shidieqy, Pengantar hukum Islam, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra , 2001. hlm. 18.
[15] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syariah, Jakarta : CV Haji Masagung, 1990,   hlm. 1
[16] M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab, Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 1995, hlm. 5.
[17] Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999. hlm. 11.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...