Rabu, 14 Maret 2012

Akhir Sejarah Daulah Bani Abbasiyah


Menurunnya peran politik Bani Abbasiyah yang disebabkann oleh adanya perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan Bani Abbasiyah menstimulasi munculnya dinasti-dinasti kecil yang bersifat otonom yang biasa disebut mulukutthowaif, dimana kekhalifahan Bani Abbasiyah hanya berfungsi sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat.
Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut. Di tangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka. Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334-447 H/l055 M), Daulah  Abbasiyah berada di bawah pengaruh kekuasaan Bani Buwaih.
Dinasti Buwaih didirikan oleh tiga bersaudara dari putra-putra Abu Syuja' Buwaih(Buya), pencari ikan yang tinggal di daerah Dailam yaitu; Ali, Hasan dan Ahmad. Melalui ketiga bersaudara inilah Daulah Buwaih berhasil berdiri, peradaban Islam kembali dibangun, sehingga Islam kembali berjaya. Kesejahteraan sosialpun dapat dicapai. Pada periode ini pula pergolakan keagamaan terjadi dengan kebangkitan kembali kelompok-kelompok keagamaan.
Dalam makalah ini akan dibahas secara merinci sejarah mengenai gerak kekuasaan Bani Buwaih.
            Urgensi mengenal sejarah Islam bagi ummat Islam khususnya pelajar Islam mendorong munculnya kajian-kajian sejarah. Sejarah yang penuh dengan pelajaran juga menjadi salah satu pendorong kajian sejarah. Adanya durasi yang sangat panjang antara masa terdahulu dengan saat ini menimbulkan adanya banyak perbedaan dalam persepsi sejarah. Berdasarkan landasan-landasan tersebut penulis memandang perlu adanya referensi yang otentik yang dapat digunakan sebagai literatur dalam disiplin ilmu Sejarah Peradaban Islam.
            Semoga makalah ini dapat memberikan kontribusi dalam perkembangan ilmu sejarah peardaban Islam.


     Makalah ini membahas tentang
  1. Sejarah Bani Buwaih
  2. Masa kekuasaan Daulah Bani Buwaih
  3. Peradaban di Masa Bani Buwaih
·      Aspek Ekonomi
·      Aspek Politik
·      Aspek Keagamaan
·      Aspek Ilmu Pengetahuan dan Budaya
  1. Masa Keruntuhan Bani Buwaih
       Tujuan penyusunan makalah ini adalah sebagai salah satu tugas pada mata kuliah Sejarah Peradaban Islam.

            Makalah ini disusun dengan studi literatur dan penelusuran internet.


       Salah satu faktor yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, dengan membiarkan jabatan tetap dipegang Bani Abbas, karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi, sedangkan kekusaan dapat didirikan di pusat maupun daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Di antara faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Tetapi apa yang terjadi pada pemerintahan Abbasiyah berbeda dengan yang terjadi sebelumnya.
Diawali dengan kekuasaan Tentara Turki. Di tangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka. Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334-447 H/l055 M), Daulah  Abbasiyah berada di bawah pengaruh kekuasaan Bani Buwaih.
Dinasti ini muncul di Irak dan Iran Barat yang diawali dengan peristiwa perpecahan di tubuh Dinasti Abbasiyah. Pengikut Bawaihiyyah adalah orang-orang Suku Dailami yang berasal dari kabilah Syirdil Awandan, dari dataran tinggi Jilan sebelah selatan Laut Kaspian. Suku ini terdiri dari orang-orang kuat yang terkenal dengan kekerasannya karena pengaruh dari kebebasan yang tinggi. Mereka mampu mempertahankan diri dengan baik di benteng pertahanan yang sekaligus digunakan sebagai sarana latihan. Benteng itu terletak di lereng gunung dengan nama Elburz yang secara efektif membentengi mereka dari arah selatan.
Dinasti Buwaihiyyah didirikan oleh tiga bersaudara dari putra-putra Abu Syuja' Buwaih(Buya), pencari ikan yang tinggal di daerah Dailam yaitu; Ali, Hasan dan Ahmad. Untuk keluar dari tekanan kemiskinan, tiga bersaudara ini (Ali, Hasan dan Ahmad) memasuki dinas militer yang ketika itu dipandang banyak mendatangkan rezeki. Pada mulanya mereka bergabung dengan pasukan Makan Ibn Kali, salah seorang panglima perang daerah Dailam dari Dinasti Saman. Di profesinya yang baru itu, Ali dan Ahmad berkedudukan sebagai panglima perang bersama pasukannya Makan Ibnu Kali. Setelah pamor Makan Ibn Kali memudar, mereka kemudian berpindah ke kubu panglima Mardawij Ibn Zayyar Ad-Dailamy . Karena prestasi mereka, Mardawij mengangkat Ali menjadi gubernur Al-Karaj, dan dua saudaranya diberi kedudukan penting lainnya. Dari Al-Karaj itulah ekspansi kekuasaan Bani Buwaih bermula. Pertama-tama Ali berhasil menaklukkan daerah-daerah di Persia dan menjadikan Syiraz sebagai pusat pemerintahan. Ketika Mardawij meninggal (terbunuh pada tahun 943 M), Bani Buwaih yang bermarkas di Syiraz itu berhasil menaklukkan beberapa daerah di Persia seperti Rayy, Isfahan, dan daerah-daerah Jabal. Ali berusaha mendapat legalisasi dari khalifah Abbasiyah, Ar-Radhi Billah dan mengirimkan sejumlah uang untuk perbendaharaan negara. Ia berhasil mendapatkan legalitas itu. Kemudian ia melakukan ekspansi ke Irak, Ahwaz, dan Wasith.
Dari sini tentara Buwaih menuju Baghdad untuk merebut kekuasaan di pusat pemerintahan. Ketika itu, Baghdad sedang dilanda kekisruhan politik, akibat perebutan jabatan Amir Al-Umara antara wazir dan pemimpin militer. Para pemimpin militer meminta bantuan kepada Ahmad Ibn Buwaih yang berkedudukan di Ahwaz. Permintaan itu dikabulkan. Ahmad dan pasukannya tiba di Baghdad pada Jumadil Ula 334 H/945 M. Ia disambut baik oleh khalifah dan langsung diangkat menjadi Amirul-Umara, penguasa politik negara, dengan gelar Mu'izz Ad-Daulah. Saudaranya, Ali Ibn Buwaih, yang memerintah di bagian selatan Persia dengan pusatnya di Syiraz diberikan gelar Imad Ad-Daulah, dan Hasan Ibn Buwaih yang memerintah di bagian utara, Isfahan dan Rayy, diberi gelar Rukn Ad-Daulah. Sejak itu, sebagaimana terhadap para pemimpin militer Turki sebelumnya, para khalifah tunduk kepada Bani Buwaih. Pada masa pemerintahan Bani Buwaih ini, para khalifah Abbasiyah benar-benar hanya tinggal nama saja. Pelaksanaan pemerintahan sepenuhnya berada di tangan amir-amir Bani Buwaih. Keadaan khalifah lebih buruk daripada masa sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah penganut aliran Syi'ah, sementara Bani Abbas adalah Sunni. Selama masa kekuasaan Bani Buwaih sering terjadi kerusuhan antara kelompok Ahlussunnah dan Syi'ah, pemberontakan tentara, dan sebagainya.
Setelah Baghdad dikuasai, Bani Buwaih memindahkan markas kekuasaan dari Syiraz ke Baghdad. Mereka membangun gedung tersendiri di tengah kota dengan nama Dar Al-Mamlakah. Meskipun demikian, kendali politik yang sebenarnya masih berada di Syiraz, tempat Ali Ibn Buwaih (saudara tertua) bertahta. Dengan kekuatan militer Bani Buwaih, beberapa dinasti kecil yang sebelumnya memerdekakan diri dari Baghdad, seperti Bani Hamdan di wilayah Syria dan Irak, Dinasti Samaniyah, dan Ikhsyidiyah, dapat dikendalikan kembali dari Baghdad.

Kekuasaan Bani Buwaih muncul pertama kali pada saat kepemimpinan khalifah Abbasiyah yang ke-20 yaitu Al Mastakfi. Sebagaimana disebutkan di atas dinasti ini muncul Irak dan Iran Barat karena adanya kemandulan politik Bani Abbasiyah. Bani Buwaih memerintah sejak tahun 334 H/945 M sampai 447 H/1055 M. Selama masa pemerintahannya Bani Buwaih banyak memberikan pengaruh terhadap peradaban Islam terutama dalam bidang ilmu pengetahuan.
1.      Irak (antara tahun 945-1055 M)
2.      Iran Barat (antara tahun 934-1040 M)

1. Muizz Daulah Ahmad (945)
2. Izzal-Daulah Bakhtiyar (967)
3. Adlud Al-Daulah (978)
4. Sham Sham Al-Daulah (983)
5. Baha Al-Daulah (987)
6. Sultan Al-Daulah (1012)
7. Musyarif Al-Daulah (1021)
8. Jalal Al-Daulah (1025)
9. Imam Al-Din Abu Kalijar (1044)
10. Al-Malik Al-Rahim (1048-1055)

3.1 Aspek Ekonomi
Perkembangan ekonomi di Masa Bani Buawaihi dibangun dari berbagai bidang, seperti bidang pertanian, perdagangan, dan industri, terutama permadani. Jadi pada masa Daulah ini yang terkenal dalam bidang perekonomiannya adalah dalam industry permadaninya.
3.2 Aspek Politik
      Keadaan politik pada masa Bani Abbassiyah periode ketiga ini adalah Khalifah hanya dijadikan lambang saja sedangkan yang memegang tanduk kekuasaan adalah para amir yang berasal dari suku Dailam.
      Pada masa ini banyak terjadi pertikaian antara suku Dailam dengan keturunan Turki yang terlebih dahulu telah menguasai tanduk kepemimpinan Bani Abbasiyah. Selain pertikaian tersebut keadaan politik pada masa ini  banyak terjadi penyerangan seperti seragan dari Bazantium dan banyak Dinasti yang memisahkan diri.      

Sebagaimana yang kita saksikan, abad keempat memang murni abad syi’ah. Kaum Syi’ah Buwaihiyun berhasil menguasai sejumlah wilayah Iran dan seluruh wilayah Irak.
kaum syi’ah menampakkan betapa besar dendam mereka terhadap ulama-ulama Ahlussunnah dan khalifah mereka. Mereka bahkan menulis caci-makian terhadap sahabat di gerbang-gerbang mesjid. Mereka bahkan mencaci Abu Bakar dan Umar secara nyata dalam khutbah-khutbah mereka, dan ini merupakan periode yang sangat menyedihkan dalam sejarah umat Islam.
Kekerasan antara kaum Sunni dan Syi'ah sering terjadi. Hal tersebut dipicu oleh adanya keinginan dalam memperebutkan kekuasaan dan perbedaan ideologi yang mendasar. Al-Hallaj, seorang sufi terkemuka yang mengajarkan doktrin peleburan Tuhan dan penafsiran spiritual terhadap kewajiban-kewajiaban keagamaan, termasuk pelaksanaan ibadah haji dihukum gantung di Bab Al-Thaq pada tahun 922 M.
Yang menarik pada masa dinasti ini, aliran Mu’tazillah bangkit lagi, terutama di walayah Persia, bergandengan tangan dengan Syi’ah. Pada masa ini muncul banyak pemikir Mu’tazilah dari aliran Basrah walaupun nama mereka tidak sebesar para pendahulu mereka dimasa kejayaannya yang pertama, meninggalkan banyak karya yang dibaca sampai sekarang. Selama ini orang mengenal Mu’tazilah dari karya-karya lawan mereka, terutama kaum Asy’ariyah. Sedikit sekali orang membaca karya pemikir Mu’tazilah sendiri, karena kebanyakan karya mereka hilang dilenyapkan oleh lawan. Tetapi pada akhirnya akibat persahabatan kaum Mu’tazilah dengan kaum Syi’ah Zaidiah, karya-karya kaum Mu’tazilah pada periode kebangkitan kedua ini banyak yang diamankan dan mulai pertengahan kedua abad ini banyak diterbitkan.
Yang terbesar di antara tokoh Mu’tazilah periode kebangkitan kedua ini adalah Al-Qodi ‘Abd Al-Jabbar, penerus aliran Basra setelah Abu ‘Ali dan Abu Hasyim. Namanya tidak sebesar nama-nama tokoh seperti Abu Al-Hudzail bin Al-Allaf, Al-Jahidh, Al-Nadhdham, dan Bisyr bin Al-Mu’tamir, tetapi ia merupakan tokoh yang sangat penting dalam sejarah aliran Mu’tazilah berkat karya-karyanya yang sampai kepada kita. Sampai saat ini ia merupakan tokoh Mu’tazilah yang karyanya paling banyak sampai ke zaman ini, sehingga tanpanya pengetahuan tentang Mu’tazilah tidak dapat diperoleh dengan lengkap.

Sisi menarik lainnya yang bisa kita banggakan dalam pola dan tatanan kehidupan masyrakat pada masa Dinasti ini. Sebagaimana para khalifah Abbasiyah periode pertama, para penguasa Bani Buwaih mencurahkan perhatian secara langsung dan sungguh-sungguh terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan. Para pangeran dan wazir dinasti ini menjadi contoh dalam memberikan dukungan terhadap berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Pada masa tersebut, Baghdad sebagai tempat berkembangnya dinasti tersebut mengalami kemajuan yang sangat pesat. Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan. Para penguasa saling berlomba-lomba dalam mengumpulkan para sastrawan untuk menyampaikan syair-syair indahnya di istana. Sehingga bukan sebuah keanehan jika sarjana dan penyair sering kali melakukan pengembaraan dari satu istana menuju istana yang lain.
Diawali dengan penerjemahan terhadap ratusan karya-ilmiah Yunani-Romawi ke bahasa Arab oleh Hunain Ibn Ishaq, penerjemah Kristen Nestorian, Yuhanna ibn Hailan dan sebagainya. Yang bertempat di Baghdad dan Iran sebagai pusat peradaban Islam dengan beragam istana, pejabat dan penguasa yang sangat peduli terhadap khasanah keilmuan. Pada masa Bani Buwaih  ini banyak bermunculan ilmuwan besar, di antaranya Al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (980-1037 M), Abdurrahman As-Shufi (w. 986 M), Ibn Maskawaih (w. 1030 M), Abu Al-'Ala Al-Ma'arri (973-1057 M), Al-Kindi, Sijistani, Nadhim, Al-Amiri, Ibn Rusyd dan kelompok Ikhwan As-Shafa. Yang sebagian besar para ilmuwan tersebut muncul pada paruh terakhir Abad ke-4 H/ke-10 M, dibawah kontrol dinasti Buwaihiyyah yang dipimpinan oleh 'Adhud Al-Daulah.
Para penguasapun sering mengumpulkan para kerabatnya dalam sebuah majlis atau pertemuan untuk mempelajari disiplin ilmu pengetahuan, seperti ilmu kalam, hadits, fiqih, kesusastraan dan lain sebagainya dengan dipandu oleh para guru yang diundang secara khusus ke dalam istana. Selain di istana, pertemuan dalam membahas ilmu pengetahuan juga diselenggarakan di masjid-masjid, rumah-rumah pribadi, kedai-kedai, alun-alun bahkan di taman-taman kota.
Pada masa Dinasti  Buwaihiyyah  merupakan titik  puncak dari apa yang disebut "humanisme", karena betapa  kosmopolitannya  atmosfer budaya  pada saat itu. Percampuran pemikiran di antara orang-orang Islam, Kristen, Yahudi, Kaum Pagan, kelompok-kelompok aliran teologi dan  kelompok religius sangat  menghargai pluralitas.  Titik tolak kesepakatan mereka adalah bahwa "ilmu-ilmu kuno" adalah milik seluruh umat manusia dan tidak ada satu  kelompok  religius atau kultural satupun dapat mengklaim kepemilikan eksklusif ilmu-ilmu tersebut. Dimana semangat pluralitas itu mereka kembangkan atas prinsip "shadaqah" yang diartikan "persahabatan" yaitu  sebuah prinsip hubungan  lintas budaya dan religius yang  mendasarkan hubungannya  pada kemanusiaan.  Ini berarti hubungan mereka tidak didasarkan  pada ras, suku atau agama, tetapi  pada kenyataan bahwa  mereka adalah manusia.
Jasa Bani Buwaih  juga terlihat dalam pembangunan kanal-kanal, masjid-masjid, beberapa rumah sakit, dan sejumlah bangunan umum lainnya. Kemajuan tersebut diimbangi dengan laju perkembangan ekonomi, pertanian, perdagangan, dan industri, terutama permadani.




1.        Al-Mas’udi (956)
Ia dikenal sebagai seorang sejarawan pengembara dan ahli geografi Arab. Ia dilahirkan di Baghdad, Irak, pada akhir abad XIX. Nama lengkapnya adalah Abu Al-Hasan Ali bin Husein Ibnu Ali Al-Mas’udi. Ia telah mengembara dari satu negeri ke negeri lain, mulai dari Persia, Istakhr, Multan, Manura, Ceylon, Madgaskar, Oman, Caspia, Teberias, Damaskus, Mesir, dan berakhir di Suriah. Dalam pengembaraannya ia mempelajari ajaran Kristen dan Yahudi, serta sejarah negara-negara barat dan timur.
Kitab-kitab karangannya yaitu: kitab Akhbar Az-Zaman (sejarah dunia), kitab Al-Ausat (tentangn sejarah umum) kemudian kedua kitab tersebut digabung menjadi kitab Muruj Adz-Dzahab wa Ma’adin (Meadows of Gold and Mines of Precious Stones), Kitab At-Tanbih wa Al-Isyraf (tentang filsafat alam dan teori evolusi). Akhirnya beliau meninggal pada tahun 956 M.
2.        Al-Biruni, Abu Al-Raihan (973-1048)
Nama lengkapnya adalah Abu Ar-Rayhan Muhammad bin Ahmad Al-Biruni. Ia dilahirkan di kota Bairun, Khwarizmi, Persia tahun 973 M. Ia tekun mempelajari pelajaran ilmu astronomi, sastra, dan filsafat. Pengembaraannya saat itu menuju sejumlah negara seperti Persia, Afghanistan, Irak, dan Syam. Ia mahir matematika, astronomi, fisika, sejarah, geografi, bahasa, dan budaya. Buku-buku karyanya tentang sejarah peradaban India yaitu: Tahqiq ma li Al-Hind min Maqulah Maqbulah fi Al-Aql Au Mardzulah, Tarikh Al-Umam Asy-Syaqiyah, dan Tarikh Al-Hind (sejarah Hindia). Karyanya dalam bidang matematika, Kitabal-Qanun Al-Mas’udi fi Al-Haya wa An-Nujum (astronomi geografi dan matematika). Dalam bidang filsafat, Al-Irsyad, Tahdid Nihayat Al-Amakin Litashih Masafat Al-Masakin, dan lain-lain. Beliau telah menulis karyanya sampai 138 karya. Sampai meninggalnya tahun 1050 di Afghanistan.
3.        At-Tanukh





3.4.2. Tokoh Kesusastraan Bahasa Arab dan Persia:
1.        Al-Ashfani, Abu Al-Faraj (897-966)
2.        Badi Al-Zaman Al Hamadzani (933-1007)
3.        Abu Hayyan At-Tauhidi (1018)
4.        Abu ‘Ala Al-Ma’arri (9731057)
5.        Daqiqi (1020)
6.        Rudaqi (930-An)
7.        Al-Firdausi, Abu Al-Qosim (920-1020)
8.        Abu Sa’id Ibn Abi Al-Khair (1049)

1.        Al-Baqillani (1013)
2.        Al-Juwaini W. (1085)

1.        Al-Farabi, Abu Nashr Muhammad (870-950)
Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad ibn Al-Farkh Al-Farabi, lebih dikenal dengan sebutan Alfarabius atau Avennasar. Beliau lahir pada 870 M di Farab Turki Tengah. Beliau terkenal sebagai ahli filsafat Arab. Masa kanak-kanaknya ia habiskan dikota kelahirannya, kemudian melanjutkan studinya di Bukhoro, dan pendidikan tingginya di Baghdad. Beliau juga telah berhasil menggabungkan ilmu filsafat Yunani dan syariat Islam. Beliau meninggal tahun 970 di Damaskus.
2.        Ibnu Sina, Abu ‘Ali Husain Bin Abdillah (980-1037)
Ia lebih dikenal dengan nama Avicenna di dunia barat, beliau lahir pada tahun 980 di Afghanistan. Pada umur 10 tahun dia telah menguasai ilmu-ilmu agama seperti fikih, tafsir, tasawwuf, beserta hafal Al-Qur’an dan paham sastra Arab. Setelah itu ia melanjutkan belajarnya dengan belajar ilmu hokum, logika filsafat, matematika, politik, fisika, kedokteran. Pada usia 18 tahun ia telah menguasai seluruh cabang ilmu pada masanya. Pengembaraannya dimulai dari Bukhoro, Jurjan, Khwarazm, sampai ke Mamadzan. Karya beliau yang terkenal dibidang kedokteran yaitu kitab Qanun fi At-Thibb, dan buku tentang penyakit saraf. Karya lainnya dibidang filsafat yaitu Asy-Syifa (logika, fisika, matematika, dll), Al-Isyarat wa Tanbihat. Oleh dunia ia dijuluki Father of Doctors, beliau meninggal pada tahun 1037 (428 H)di Hamadzan.
3.        Ibnu Miskawih (W. 1030)
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Yaqub Miskawayh. Ia lahir pada tahun 940 di Rayy, Iran. Ia serius mempelajari sejarah dan Filsafat Yunani. Karya beliau diantaranya adalah Tahdib Al-Akhlaq (Pembinaan Akhlaq), Jawidan Khirad (Hikmah Yang Tak Lekang Waktu), Tartib As-Sadah (Kaidah Kebahagiaan). Di bidang etika antara lain Al-Fauz Al-Asghar (kemenangan kecil), Arau Ahl Al-Madinah (Pemikiran Penduduk Kota), Ajwibah wa Al-Asilah fi An-Nafs wa Al-Aql As-Siyar (Tentang Aturan Hidup), dan Taharat An-Nafs (Suci dari Nafsu). Beliau wafat tahun 1030 M.
4.        Ibnu Al-Haistam, Abu ‘Ala Al-Hasan (965-1039)
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Al-Hasan bin Al-Haytsam Al-Basri Al-Misri. Masyarkat Barat lebih mengenalnya dengan sebutan AL Hazen, Avenalan, Avenetan. Lahir tahun 1038 di Basrah, Irak. Ia adalah ahli fisika dan matematika terbaik. Selain itu ia menguasai beragam ilmu, seperti fisika, astronomi, matematika, pengobatan, dan filsafat. Pendidikan tingginya ia tempuh di Universitas Al-Azhar. Karya beliau dibidang Optik yaitu Kitab fi Al-Manasit (Kamus Optika), buku-buku tentang lingkaran cahaya dan gerhana, tentang astronomi dan lain-lain. Beliau wafat tahun 1039 M.
5.        Abdurrhman As-Shufi (W. 986)
Nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Umar As-Sufi Abul Husayn. Ia lahir tahun 903 M (291 H) di Rayy, Persia. Ia seorang astronom terkenal yang bekerja di istana bersama Amir Adud Al-Dawla. Karyanya yang terkenal adalah kitab Al-Kawakib Ats-Tsabit Al-Musawwar (tentang catalog bintang). Karya lainnya yang telah diilustrasi kembali seperti Notices at Extraits (oleh Causin de Parceval), Description Des Etoiles Fixes Par Abd Arl-Rahman As-Sufi (oleh H.C.F.C Schjellerup di St. Petersburg, 1874). Beliau meninggal pada tahun 986 M/376 H.
4.1 Faktor Internal Keruntuhan Bani Buwaih
Kekuatan politik Bani Buwaih  tidak lama bertahan. Setelah generasi pertama, tiga bersaudara tersebut, kekuasaan menjadi ajang pertikaian di antara anak-anak mereka. Masing-masing merasa paling berhak atas kekuasaan pusat. Misalnya, pertikaian antara 'Izz al-Daulah Bakhtiar, putera Mu'izz al-Daulah dan 'Adhad al-Daulah, putera Imad al-Daulah, dalam perebutan jabatan Amir Al-Umara. Perebutan kekuasaan di kalangan keturunan Bani Buwaih  ini merupakan salah satu faktor internal yang membawa kemunduran dan kehancuran pemerintahan mereka. Faktor internal lainnya adalah pertentangan dalam tubuh militer, antara golongan yang berasal dari Dailam dengan keturunan Turki. Ketika Amir al-Umara dijabat oleh Mu'izz al-Daulah persoalan itu dapat diatasi, tetapi manakala jabatan itu diduduki oleh orang-orang yang lemah, masalah tersebut muncul ke permukaan, mengganggu stabilitas dan menjatuhkan wibawa pemerintah.

4.2 Faktor Eksternal Keruntuhan Bani Buwaih
Sejalan dengan makin melemahnya kekuatan politik Bani Buwaih , makin banyak pula gangguan dari luar yang membawa  kepada kemunduran dan kehancuran dinasti ini. Faktor-faktor eksternal tersebut  di antaranya adalah semakin gencarnya serangan-serangan Bizantium ke dunia Islam , dan semakin banyaknya dinasti-dinasti kecil yang membebaskan diri dari  kekuasaan pusat di Baghdad. Dinasti-dinasti itu antara lain Dinasti Fathimiyah yang memproklamasikan dirinya sebagai pemegang jabatan khalifah di Mesir, Ikhsyidiyah di Mesir  dan Syria, Hamdan di Aleppo dan Lembah Furat, Ghaznawi di Ghazna dekat Kabul, dan Dinasti Seljuk yang berhasil merebut kekuasaan dari tangan Bani Buwaih .
Jatuhnya kekuasaan bani buwaih ketangan Seljuk bermula dari perebutan kekuasaan di dalam negeri. Ketika al-malik al-rahim memegang jabatan Amir Al-Umara, kekuasaan itu dirampas oleh panglimanya sendiri, Arselan Al-Basasiri. Dengan kekuasaan yang ada ditangannya, Al-Basasiri berbuat sewenang-wenang terhadap Al-Malik Al-Rahim dan khalifah Al-Qaim dari Bani Abbas, bahkan dia mengundang Khalifah Fathimiyah (Al-Mustanshir, untuk menguasai baghdad). Hal ini mendorong khalifah untuk meminta bantuan kepada Tughril Bek dari Dinasti Seljuk yang berpangkalan di negeri Jabal. Pada tanggal 18 Desember 1055m/447h pimpinan Seljuk itu memasuki Baghdad. Al-Malik Al-Rahim, Amir Al-Umara Bani Buwaih yang terakhir, dipenjarakan. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Bani Buwaih dan bermulalah kekuasaan Dinasti Seljuk. Pergantian kekuasaan ini juga menandakan awal periode keempat Khilafah Abbasyiah.




Setelah mempelajari tentang Daulah Bani Buwaih di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Bani Buwaih adalah  salah satu bentuk kejayaan pada masa Bani Abbasiyah pada periode ketiga walaupun khalifah Bani Abbas hanya sebagai symbol saja tapi rakyat pada masa itu sejahtera seperti pada masa periode pertama. Ini adalah salah satu bentuk dari keberhasilan dari 3 bersaudara yang mendirikan daulah ini yaitu Ahmad, Ali dan Hasan.
Selain berhasil dalam menciptakan kesejahteraan rakyatnya, Bani Buwaih juga berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dalam berbagai ilmu seperti astronomi, kedokteran, teologi dan sebagainya.
Namun seperti apapun betu keberhasilan yang Bani Buwaih raih tak lepas dari usaha dan kerja keras dari ketiga bersaudara tersebut. Tidak hanya itu suatu Daulah akan berjaya jika hubungan antara para khalifah atau para amirnya selalu terjalin baik.  Hal ini terbukti pada Daulah ini. Setelah ketiga bersaudara tersebut wafat dan tanduk kekuasaan dalam keadaan kosong terjadilah perebutan kekuasaan antara anak-anak mereka. Hal ini yag menyebabkan runtuhnya Daulah ini.
 

Al-‘Usairy, Ahmad. 2003. Sejarah Islam. Penerjemah Samson Rahman. Jakarta: Akar Media.
Musfir al-Zahrani, Muhammad. 1980. Nizham al-Wizarah fi al-Daulah al-Abbasiyah, Beirut: Mu’assasah al-Risalah.
Yatim, Badri. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Yatim, Badri. 2008. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Rajagrafindo Persada.
19Januari 2010, Aida Nur Fadilla



15 Juni 2010 11:37:14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...