Selasa, 13 Maret 2012

Perkembangan Ushul Fiqh Qabla Tadwin


Oleh : Abdullah 

A. Perkembangan Ushul Fiqh Masa Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam
Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu ushul fiqih tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Quran dan Sunnah, ushul fiqih tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rasulullah dan sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqih, seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis sudah ada pada zaman Rasulullah dan Sahabat. Pada masa Rasulullah saw, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw.
Sejak periode awal sejarah Islam, perilaku kehidupan kaum muslimin dalam keseluruhan aspeknya telah diatur oleh hukum Islam. Aturan-aturan ini, pada esensinya, bersifat religius.[1] Oleh karena itu, dalam pembinaan dan pengembangannya, selalu diupayakan berdasarkan kepada al-Qur’an, sebagai wahyu Ilahi yang terakhir, yang pengaplikasiannya untuk sebagian besar dicontohkan dan dioperasionalkan oleh sunnah Rasulullah saw.
Bagi umat Islam, syari’ah adalah “tugas umat manusia yang menyeluruh”, meliputi moral dan etika pembinaan umat, aspirasi spiritual, ibadah formal dan ritual yang rinci. Syari’ah mencakup semua hukum publik dan perseorangan, kesehatan bahkan kesopanan dan akhlak.[2]
Memang dari sekian aspek yang diatur oleh Islam, aspek hukum mempunyai kedudukan tersendiri, karena ia menyentuh langsung kenyataan yang dihadapi umat Islam. Kalau dilihat ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung dasar hukum, baik mengenai ibadah maupun sosial kemayarakatan, bila diikuti perbandingan yang diberikan oleh Abdul Wahab Khallaf, seperti yang dikutip oleh Harun Nasution hanyalah sekitar 5,8 persen dari seluruh ayat al-Qur’an yang berjumlah 6360 ayat.[3]
Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Al-Quran dan Assunnah. Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rauslullah SAW menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau sunnah.
Hal ini antara lain dapat diketahui dari sabda Rasulullah SAW sebagai berikut:
Artinya:“Sesungguhnya saya memberikan keputusan kepada kamu melalui pendapatku dalam hal-hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku.” (HR. Abu Daud dari Ummu Salamah)
Hasil ijtihad Rasulullah ini secara otomatis menjadi sunnah bagi Umat Islam. Hadits tentang pengutusan Mu’az Ibn Jabal ke Yaman sebagai qadi, menunjukkan perijinan yang luas untuk melakukan ijtihad hukum pada masa Nabi. Dalam pengutusan ini Nabi bersabda:
كيف تقضي اذا عرض لك قضاء؟ قال اقضي بكتا ب الله قال فان لم تجد في كتاب الله؟ قال فبسنة رسول الله قال فان لم تجد في سنة رسول الله قال اجتهد رأى ولا الو فضرب رسول الله على صدره وقال الحمد لله الذي وفق رسول الله لما يرضي الله  ورسوله
Artinya: “Bagaimana engkau (mu’az) mengambil suatu keputusan hukum terhadap permasalahan hukum yang diajukan kepadamu? Jawab mu’az saya akan mengambil suatu keputusan hukum berdasarkan kitab Allah (Al-Quran). Kalau kamu tidak menemukan dalam kitab Allah? Jawab Mu’az, saya akan mengambil keputusan berdasarkan keputusan berdasarkan sunnah Raulullah. Tanya Nabi, jika engkau tidak ketemukan dalam sunnah? Jawab Mu’az, saya akan berijtihad, dan saya tidak akan menyimpang. Lalu Rasulullah menepuk dada Mu’az seraya mengatakan segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik utusan Rasulnya pada sesuatu yang diridhai oleh Allah dan rasulnya.”
Hadits ini secara tersurat tidak menunjukkan adanya upaya Nabi untuk mengembangkan Ilmu Ushul Fiqh, tapi secara tersirat jelas Nabi telah memberikan keluasan dalam mengembangkan akal untuk menetapkan hukum yang belum tersurat dalam Al-Quran dan Sunnah.
Artinya dengan keluwesannya Nabi dalam melakukan pemecahan masalah-masalah ijtihadiyah telah memberikan legalitas yang kuat terhadap para sahabat. Dalam sebuah haditsnya yang mengandung kebolehan bagi manusia untuk mencari solusi terhadap urusan-urusan keduniaan Rasulullah bersabda:
انتم اعلم بأمور دنياكم
Artinya: “Kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu”
Cara-cara Rasul berijtihad  inilah yang menjadi bibit munculnya ilmu ushul fiqh. Pada  masa Nabi, seringkali para sahabat “dilatih” berijtihad dalam berbagai kasus:
 Seperti kasus shalat ashar di bani quraizah. Nabi menyuruh para sahabat agar shalat ashar di desa Bani Quraizah , namun ternyata sebelum mereka sampai di desa tersebut, waktu ashar hampir habis. Maka sebagian sahabat melakukan shalat ashar di perjalalan meskipun belum sampai di Desa Bani Quraizhah, karena.Jika shalat ashar di tempat tujuan, waktunya diprediksi sudah magrib.Sebagian sahabat tidak mau shalat di perjalanan, karena Nabi memerintahkan tadinya shalat ashar di Desa Bani Quraizhah. Mereka ashar di Desa tujuan.
Kepada kelompok yang shalat, Nabi Saw mengatakan “Anda telah kreatif memahami Pesanku dengan melaksanakan shalat di perjalanan” kelompok yang shalat di perjalanan ini memahani nash Secara rasional dan kontekstual merupakan bibit Ahli Ra’y. Kemudian kepada kelompok yang tidak shalat di jalan Tapi di desa Bani Quraizah  Nabi mengatakan “Anda telah mengamalkan sabdaku” kelompok yang shalat di Desa Tujuan, Kelompok ini mehami nash Secara literal (tekstual) merupakan bibit Ahli Hadits.
Kemudian dalam kasus lain, yakni tentang tawanan perang. Pada suatu saat Islam menang dalam sebuah peperangan dan memiliki tawanan perang yang pandai membaca. Pada saad itu ada beberapa pendapat para sahabat, yaitu ada kelompok yang menyatakan sebaiknya dibunuh saja karena mereka tawanan perang dan golongan kafir. Akan tetapi ada juga kelompok yang menyatakan bahwa sebaiknya jangan dibunuh, karena para tawanan perang tersebut pandai membaca (berpendidikan) sebaiknya mereka dihukum untuk mengajari umat Islam membaca. Pada saat itu banyak sekali umat Islam yang tidak pandai membaca.
Akan tetapi ada keraguan yang besar dari kelompok yang menyatakan sebaiknya dibunuh saja bahwa kelak para tawanan tersebut akan menjadi duri dalam daging bagi umat Islam. Setelah itu Rasulullah Saw. mendapatkan ayat yang menyatakan bahwa para tawanan yang pandai membaca tersebut jangan dibunuh, tapi dihukum untuk mengajar umat Islam membaca, sampai seluruh umat Islam di daerah itu pandai membaca, setelahnya tawanan dapat dibebaskan. Karena jumlah umat Islam yang tidak pandai membaca sangat banyak, maka butuh waktu yang sangat lama bagi para tawanan untuk bebas. Malah akhirnya para tawanan itu menjadi umat muslim.
Contoh lain yakni pada kasus tayamum Ibnu Mas’ud dan Umar bin Khathab. Pada suatu hari Umar dan Ibnu Mas’ud mau melaksanakan shalat, tapi tidak ada air. Maka mereka bertayammum, kemudian mereka melaksanakan shalat.Beberapa saat selesai shalat, tiba-tiba mereka menemukan air. Seorang kembali berwudhu’ dan melaksakan shalat, Sementara seorang lagi tidak mengulangi lagi wudhu’ dan shalatnya. iapa yang dibenarkan Rasulullah SAW? Rasulullah tidak menyalahkan salah satu di antara mereka.
Kepada Ibnu Mas’ud ia berkata,”Laka Ajrani” (Bagimu dua pahala), sedangkan kepada Umar, Rasulullah SAW berkata, “Ajzaatka Shalatuka”, (shalatmu yang sekali itu telah memadai (cukup), tak perlu diulang lagi).
Berdasarkan contoh-contoh kasus tersebut, dapat diketahui bahwa Ijtihad tersebut ada yang ditaqrir (diakui) Rasulullah, ada yang turun ayat tentangnya dan ada yang dibenarkan Rasulullah.
Dorongan untuk melakukan ijtihad itu tersirat juga dalam hadits Nabi yang menjelaskan tentang pahala yang diperoleh seseorang yang melakukan ijtihad sebagai upaya yang sungguh-sungguh dalam mencurahkan pemikiran baik hasil usahanya benar atau salah.
Selain dalam bentuk anjuran dan pembolehan ijtihad oleh Nabi di atas, Nabi sendiri pada dasarnya telah memberikan isyarat terhadap kebolehan melakukan ijtihad setidak-tidaknya dalam bentuk qiyas sebagaimana dapat kita temukan dalam hadits-hadits Nabi yang artinya:
“Seorang wanita namanya Khusaimiah datang kepada Nabi dan bertanya, Ya Rasulullah ayah saya seharusnya telah menunaikan haji, dia tidak kuat duduk dalam kendaraan karena sakit, Apakah saya harus melakukan haji untuknya? Jawab Rasulullah dengan bertanya bagaimana pendapatmu bila Ayahmu mempunyai utang? Apakah engkau harus membayar? Perempuan itu menjawab , Ya, Nabi berkata utang kepada Allah lebih utama untuk dibayar".
Hadits ini menggambarkan upaya qiyas yang dilakukan oleh Nabi, yaitu ketika seorang sahabat datang kepada Nabi yang menanyakan tentang keharusan penunaian kewajiban ibadah haji bapaknya yang mengidap sakit, Nabi menegaskan keharusan penunaiannya dengan melakukan pengqiyasan terhadap pembayaran utang antara sesama manusia.
Ada satu hal yang perlu dicatat, kehadiran Nabi sebagai pemegang otoritas tunggal dalam permasalahan-permasalahan hukum membuat Nabi sangat berhati-hati disatu pihak, dan terbuka dipihak lain. Sikap hati-hati yang ditempuh oleh Nabi dalam rangka penerapan hukum Islam bidang ibadah. Penjelasan Nabi yang berkaitan dengan ini cukup rinci. Wahyu memegang peranan sangat penting. Sikap terbuka yang ditempuh oleh Nabi dalam upaya pengembangan hukum Islam bidang muamalah.
Berbeda dengan ibadah, dalam muamalah penjelasan Nabi lebih banyak bersifat garis besar, sedangkan perincian dan penjelasan pelaksanaannya diserahkan kepada manusia. Manusia dengan akal yang dianugerahkan kepadanya diberi peranan lebih banyak. Artinya, ini pulalah salah satu faktor yang ikut mendukung terhadap pertumbuhan ilmu ushul fiqh selanjutnya.
Dalam beberapa kasus, Rasulullah SAW juga menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat. Misalnya ketika menjawab pertanyaan Umar Ibn Khatab tentang batal atau tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya. Rasulullah SAW bersabda:
“Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal?” Umar menjawab:”Tidak apa-apa” (tidak batal). Rasulullah kemudian bersabda “maka teruskan puasamu.” (HR. al-Bukhari, muslim, dan Abu Dawud).
Hadits ini mengidentifikasikan kepada kita bahwa Rasulullah SAW jelas telah menggunakan qiyas dalam menetapkan hukumnya, yaitu dengan mengqiyaskan tidak batalnya seseorang yang sedang berpuasa karena mencium istrinya sebagaimana tidak batalnya puasa karena berkumur-kumur.
Rasulullah Saw, dalam memecahkan masalah yang muncul, terkadang juga meminta pendapat para sahabat melalui forum musyawarah. Sebagai contoh, beliau meminta pertimbangan kepada Abu Bakar dan Umar dalam menangani tawanan perang Badar.[4] Pada masa itu, segala masalah yang timbul di kalangan umat dapat diselesaikan di hadapan beliau yang memiliki otoritas keagamaan.[5] Yang jadi masalah barangkali setelah sepeninggal Rasul, yakni perihal siapa yang mengganti hak otoritatif tersebut. Pada satu sisi, sumber pemecahan masalah keagamaan telah terputus, sedang pada sisi lain, kejadian-kejadian yang timbul dalam masyarakat tentu berlangsung tanpa mengenal batas. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka dibutuhkan pranata ijtihad secara kontinue demi pemenuhan kebutuhan masyarakat Islam.[6]

B. Perkembangan Ushul Fiqh Pada Masa Sahabat
Memang, semenjak masa sahabat telah timbul persoalan-persoalan baru yang menuntut ketetapan hukumnya. Untuk itu para sahabat berijtihad, mencari ketetapan hukumnya. Setelah wafat Rasulullah SAW sudah barang tentu berlakunya hasil ijtihad para sahabat pada masa ini, tidak lagi disahkan oleh Rasulullah SAW, sehingga dengan demikian semenjak masa sahabat ijtihad sudah merupakan sumber hukum.
Pada masa sahabat yang lebih dekat dengan tradisi kehidupan Rasulullah saw, pemecahan masalah hukum lebih banyak bersandar pada al-Qur’an dan tradisi yang dibawa oleh Rasul, dan mereka saling bertukar informasi tentang tradisi Rasul tersebut.[7] Apabila mereka tidak menemukannya dalam dua sumber tersebut, mereka dengan segala upaya dan kesungguhan berijtihad mencari pemecahan masalah dengan selalu mengambil inspirasi dan menangkap pesan-pesan universal al-Qur’an dan sunnah. Dalam berijtihad seringkali mereka meng hasilkan pemecahan yang berbeda.[8] Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kalau Ibnu Khaldun, seorang sosiolog muslim yang terkenal mengatakan: “Tidaklah sahabat itu mampu berfatwa, dan tidak semua dari mereka itu dapat diambil dan dijadikan pedornan dalam agama”.[9]  Lain halnya di kalangan Syi’ah yang berkeyakinan bahwa para imam mereka memiliki hak otoritatif sebagaimana juga yang dimiliki oleh Rasul dalam menginter pretasikan wahyu Ilahi. Apapun yang diputuskan olehnya me­lalui interpretasi dan elaborasi adalah mengikat kaum muslimin.[10]
Sebagai contoh hasil ijtihad para sahabat, yaitu Umar bin Khattab tidak menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seseorang yang mencuri karena kelaparan (darurat atau terpaksa). Alasan rasional Umar atas kasus ini adalah karena pada masa itu suasana ekonomi sangat gawat (paceklik), yang disebut dengan amul maja’ah, yaitu tahun kelaparan.
Contoh lain yaitu Kasus tanah Sawad di Iraq. Umar tidak memberikan harta ghanimah (hasil perang) kepada prajurit Islam, walaupun menurut Al-quran (Al-Anfal  ayat 41), bahwa 80 % hasil tersebut harus diserahkan kepada prajurit Islam yang telah berhasil membebaskan daerah tersebut. Hal ini dilakukan karena Umar punya alasan yang rasional, yaitu Jika penduduk asli dibiarkan mengusainya,maka mereka akan bayar kharaj yang menjadi pemasukan (income) untuk biaya menjaga perbatasan daulah Islam. Jika ghanimah diberikan, Umar khawatir para sahabat akan menjadi tuan-tuan Tanah.
Kemudian dalam Kasus tidak memberi zakat pada Muallaf. Umar tidak memberikan zakat kepada muallaf, padahal menurut Al-Qur’an (surat al-Ma’idah ayat 60), mereka berhak mendapat. Hal ini dilakukan Umar dengan alasannya yang rasional, yaitu: dulu di masa Rasulullah dan Abu Bakar, Islam belum kuat dan belum banyak jumlahnya, maka diperlukan upaya pelunakan hati orang yang baru masuk Islam agar tertarik kepada Islam dan makin banyak yang masuk Islam, tetapi di masa Umar, Islam telah kuat, tidak begitu dibutuhkan lagi pelunakan hati melalui materi (dana zakat).
Pada masa Ali bin Abi Thalib pun ada beberapa contoh Ijtihad, misalnya Ali berpendapat bahwa wanita yang suaminya meninggal dunia dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, hanya berhak mendapatkan mut'ah (pemberian). Ali menyamakan kedudukan wanita tersebut dengan wanita yang telah dicerai oleh suaminya dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, yang oleh syara' ditetapkan hak mut'ah baginya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
Artinya :"Tidak ada sesuatupun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu memberikan mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan." (Al-Baqarah : 236).
Ali bin Abi Thalib pun menggunakan qiyas, yaitu mengqiyaskan orang yang meminum khamar dengan hukuman orang yang melakukan qazaf (menuduh berzina) Hukuman pelaku qazaf ialah dera 80 kali, Ali juga menghukum peminum khamar dengan dera (pukul) 80 kali.
Apabila diperhatikan secara cermat, para sahabat mengistimbath hukum, mula-mula dengan memperhatikan teks-teks Al-Quran kemudian Sunnah. Bila hukumnya tidak ditemukan di dalam keduanya, mereka melakukan ijtihad dan mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah dan hasil kesepakatan mereka dikenal dengan ijma’ sahabat. Sahabat telah menggunakan metode qiyas dan istislah dalam berijtihad. Mereka juga telah menggunakan ijma’sebagai sumber hukum
Dari contoh-contoh ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, demikian pula oleh para sahabatnya baik di kala Rasulullah SAW masih hidup atau setelah beliau wafat, tampak adanya cara-cara yang digunakannya, sekalipun tidak dikemukakan dan tidak disusun kaidah-kaidah (aturan-aturan) nya, sebagaimana yang kita kenal dalam Ilmu Ushul Fiqh. Karena pada masa Rasulullah SAW, demikian pula pada masa sahabatnya, tidak dibutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad dengan kata lain pada masa Rasulullah SAW dan pada masa sahabat telah terjadi praktek berijtihad, hanya saja pada waktu-waktu itu tidak disusun sebagai suatu ilmu yang kelak disebut dengan Ilmu Ushul Fiqh karena pada waktu-waktu itu tidak dibutuhkan adanya.
Hal ini dikarenakan Rasulullah SAW mengetahui cara-cara nash dalam menunjukkan hukum baik secara langsung atau tidak langsung, sehingga beliau tidak membutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad, karena mereka mengetahui sebab-sebab turun (asbabun nuzul) ayat-ayat Al-Qur'an, sebab-sebab datang (asbabul wurud) Al- Hadits, mempunyai ketazaman dalam memahami rahasia-rahasia, tujuan dan dasar-dasar syara' dalam menetapkan hukum yang mereka peroleh karena mereka mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam terhadap bahasa mereka sendiri (Arab) yang juga bahasa Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dengan pengetahuan yang mereka miliki itu, mereka mampu berijtihad tanpa membutuhkan adanya kaidah-kaidah.

C. Perkembangan Ushul Fiqh Pada Masa Tabi’in
Pada masa tabi'in, tabi'it-tabi'in dan para imam mujtahid, di sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam. Dengan semakin tersebarnya agama Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal di berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.
Karena banyaknya persoalan-persoalan hukum yang timbul dan karena pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang yang berkembang dengan pesat yang terjadi pada masa ini, kegiatan ijtihad juga mencapai kemajuan yang besar dan lebih bersemarak.
Dalam pada itu, pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan antara para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain, tetapi juga antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu daerah.Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah syari'ah yakni kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara' dalam menetapkan hukum dalam berijtihad.
Demikian pula dengan semakin luasnya daerah kekuasan Islam dan banyaknya penduduk yang bukan bangsa Arab memeluk agama Islam. Maka terjadilah pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka. Dari pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat terjadinya penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan, kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam tulisan. Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan kemungkinan-kemungkinan dalam memahami nash-nash syara'. Hal ini mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), agar dapat memahami nash-nash syara' sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu turun atau datangnya nash-nash tersebut.
Setelah meluasnya futuhat daulah islamiyah (abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah), umat Islam Arab banyak berinteraksi dan berkolaborasi dengan bangsa-bangsa lain (selain bangsa arab yang berbeda bahasa dan berbeda pula latar belakang peradabannya, perbauran tersebut menyebabkan lemahnya kemampuan berbahasa Arab Fusoha di kalangan sebagian umat, terutama di Irak. Di sisi lain, kebutuhan akan ijtihad sangatlah mendesak karena semakin banyaknya masalah-masalah baru yang belum pernah terjadi dan sangat diperlukan kejelasan hukum fiqhnya.  Pada periode inilah, munculnya dua madrasah besar yang mencerminkan metode mereka dalam berijtihad, yakni Madrasah ahli ra’yi di Irak dengan pusatnya di Bashrah dan Kufah dan Madarasah Ahli Hadits di Hijaz yang berpusat di Mekkah dan Madinah.
 Perbedaan mendasar dari kedua madrasah tersebut terletak pada banyaknya penggunaan hadits atau penganalogian dalam berijtihad. Madrasah ahlir-ra’yi lebih banyak menggunakan qiyas (analogi) dalam berijtihad, hal ini disebabkan oleh:
1.      Sedikitnya jumlah hadits yang sampai ke ulama Irak dan ketatnya seleksi hadits yang mereka lakukan, hal ini dikarenakan banyaknya hadits-hadits palsu yang beredar di kalangan mereka, sehingga tidak mudah bagi mereka untuk menerima riwayat seseorang kecuali melalui proses seleksi yang sangat ketat. Di sisi lain masalah baru yang mereka hadapi semakin kompleks serta kebutuhan akan ijtihad kian mendesak, maka mau tidak mau, mereka hanya mampu mengandalkan qiyas (penganalogian) sebagai sarana dalam menetapkan hokum-hukum yang ada. Masalah-masalah baru ini muncul akibat peradaban dan sosial masyarakat Irak yang begitu beragam.
2. Pengaruh atas reaksi guru mereka, Abdullah bin Mas’ud ra yang banyak menggunakan qiyas dalam berijtihad ketika menghadapi berbagai persoalan.
Sedangkan ciri madrasah ahli hadits, mereka lebih berhati-hati dalam berfatwa menggunakan qiyas, karena setting dan latar sosial yang mereka hadapi berbeda pula, situasi tersebut didukung oleh faktor-faktor, yaitu banyaknya hadits yang berada di tangan mereka dan sedikitnya kasus-kasus baru yang memerlukan ijtihad,  pengaruh pendidikan yang mereka peroleh dari guru mereka, seperti Abdullah bin Umar ra, dan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, yang sangat berhati-hati menggunakan logika dalam berfatwa.
Pada masa tabi’in inilah cara mengistinbath hukum semakin berkembang. Di antara mereka ada yang menempuh metode maslahah atau metode qiyas di samping berpegang pula pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada nmasa tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai konskuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama ketika itu.[11]
Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in atau pada masa Al- Aimmat Al- Mujtahidin. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah istinbath yang digunakan juga semakin jelas bentuknya bentuknya. Abu Hanifah misalnya menempuh metode qiyas dan istihsan. Sementara Imam Malik berpegang pada amalan mereka lebih dapat dipercaya dari pada hadis ahad.[12]
Jadi sudah barang tentu, jika perbedaan dari kedua madrasah diatas melahirkan perdebatan-perdebatan yang cukup sengit. Atas dasar inilah, para ulama terinspirasi dan dipandang perlu untuk membuat kaidah-kaidah (dowabith) tertulis yang dibukukan sebagai undang-undang bersama dalam menyatukan dua madrasah ini. Di antara ulama yang mempunyai perhatian terhadap masalah ini adalah Al-Imam Abdur Rahman bin Mahdi rahimahullah (135-198 H). Beliau meminta kepada Al Imam Asy-Syafi’i rahimahullah (150-204 H) untuk menulis sebuah buku tentang prinsip-prinsip metode berfikir yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk berijtihad. Maka lahirlah kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi’i sebagai kitab pertama dalam ushul fiqh.
Hal ini tidak berarti, bahwa sebelum imam Syafi’i, prinsip prinsip ushul fiqh tidak ada sama sekali, tetapi ia sudah ada sejak masa ulama-ulama Hanafiyah, akan tetapi kaidah-kaidah itu belum disusun secara sistematis menjadi sebuah disiplin ilmu atau khazanah ilmu tersendiri dan masih berserakan pada kitab-kitab fiqh para ‘ulama. Maka dari itu Ar- Risalah, kitab ushul fikih yang ditulis oleh imam Syafi’i ini pantas menjadi rujukan utama dan model teoritis bagi para ulama sesudahnya untuk mengembangkan dan menyempurnakan disiplin ilmu ushul fikih.
Dengan disusunnya kaidah-kaidah syar'iyah dan kaidah-kaidah lughawiyah dalam berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah terwujudlah Ilmu Ushul Fiqh. Dikatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ulama yang pertama kali menyusun kitab Ilmu Ushul Fiqh ialah Imam Abu Yusuf -murid Imam Abu Hanifah- akan tetapi kitab tersebut tidak sampai kepada kita.
Diterangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwa ulama yang pertama kali membukukan kaidah-kaidah Ilmu Ushul Fiqh dengan disertai alasan-alasannya adalah Muhammad bin Idris asy-Syafi'iy (150-204 H) dalam sebuah kitab yang diberi nama Ar-Risalah. Dan kitab tersebut adalah kitab dalam bidang Ilmu Ushul Fiqh yang pertama sampai kepada kita. Oleh karena itu terkenal di kalangan para ulama, bahwa beliau adalah pencipta Ilmu Ushul Fiqh.
Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah saw, sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri.

KESIMPULAN
Ilmu ushul fiqih tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw. Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqih, seperti ijtihad, qiyas sudah ada pada zaman Rasulullah dan Sahabat. Pada masa Rasulullah saw, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an.
Pada masa sahabat telah timbul persoalan-persoalan baru yang menuntut ketetapan hukumnya. Untuk itu para sahabat berijtihad, mencari ketetapan hukumnya. Pada masa sahabat yang lebih dekat dengan tradisi kehidupan Rasulullah saw, pemecahan masalah hukum lebih banyak bersandar pada al-Qur’an dan tradisi yang dibawa oleh Rasul, dan mereka saling bertukar informasi tentang tradisi Rasul tersebut.  Apabila mereka tidak menemukannya dalam dua sumber tersebut, mereka dengan segala upaya dan kesungguhan berijtihad mencari pemecahan masalah dengan selalu mengambil inspirasi dan menangkap pesan-pesan universal al-Qur’an dan sunnah.
Pada masa tabi’in inilah cara mengistinbath hukum semakin berkembang. Di antara mereka ada yang menempuh metode maslahah atau metode qiyas di samping berpegang pula pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada nmasa tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai konskuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama ketika itu.

DAFTAR PUSTAKA
Abu al-’Ainaini Badran, Ushul al-Fiqh al-Islami, Mesir: Muassasah Syabab al-Jami’ah al-Iskandariyah, t.th.
Abdul Aziz A Sachenia, Kepemimpinan Dalam Islam Perspektif Syi’ah, Bandung: Mizan, 1991.

Abdul Wahhab Khalaf, Mashadir al-Tasyri’ al-Islami, Kuwait: Dar al-Qalam, 1976.

Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t.th.
Amir Nurudin, Ijtihad Umar ibn al-Khattab, Jakarta: Rajawali Press, 1991.
Fazlur Rahman, Islam, Chicago: University of Chicago Press, 1979.
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: Bulan Bintang, t.th.

Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, t.t., Dar al-Bayan, t.th.
Muhammad Yusuf Musa, Tarikh al-Fiqh al-Islami, Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1958.
[1] Fazlur Rahman, Islam, Chicago, University of Chicago Press, 1979, hlm. 68
[2] Ibid., hlm. 101-109
[3] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, Bulan Bintang, t.th., hlm. 7
[4]  Abu al-’Ainaini Badran, Ushul al-Fiqh al-Islami, Mesir, Muassasah Syabab al-Jami’ah al-Iskandariyah, t.th., hlm. 5
[5] Ibid.
[6] Abdul Wahhab Khalaf, Mashadir al-Tasyri’ al-Islami, Kuwait, Dar al-Qalam, 1976, hlm. 6
[7] Muhammad Yusuf Musa, Tarikh al-Fiqh al-Islami, Kairo, Dar al-Kutub al-Haditsah, 1958, hlm. 277
[8] Amir Nurudin, Ijtihad Umar ibn al-Khattab, Jakarta, Rajawali Press, 1991, hlm. 71
[9] Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, t.t., Dar al-Bayan, t.th., hlm. 446
[10] Abdul Aziz A Sachenia, Kepemimpinan Dalam Islam Perspektif Syi’ah, Bandung, Mizan, 1991, hlm. 23
[11] Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Kairo, Dar al-Fikr al-Arabi, t.th., Jilid II, hlm. 12
[12] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...