Rabu, 21 Maret 2012

KONSTRUK ILMU TAKHRĪJ AL-HADĪTS


 Oleh : Abdullah


a
l-Quran al-Karīm dan Hadits atau Sunnah Rasulullah n adalah dua sumber primer dan asasi dalam Islam. Hal ini selain telah menjadi konsensus (ijmā) umat, juga telah menjadi sebuah keyakinan (i’tiqād) yang bulat dan mapan (taken for granted), tidak boleh diganggu gugat.
Seorang yang menjadikan al-Quran sebagai dalil, ia hanya membutuhkan satu perangkat penelitian (nazar), yaitu penelitian tentang hukum yang dikandung oleh nash al-Quran (an-nazar dalālah al-nash alā al-hukm), tidak membutuhkan penelitian terhadap musnad atau transmisi periwayatannya, karena al-Quran diriwayatkan secara mutawatir, lafazh maupun maknanya (lafzan wa manan).
Sedangkan bagi orang yang ingin menjadikan hadits sebagai dalil, maka ia membutuhkan dua perangkat penelitian sekaligus, yaitu:
Pertama; penelitian tentang orisinilitas dan validitas hadits (an-nazar tsubūtihā an al-Nabī n); apakah benar berasal dari Rasulullah n, karena tidak setiap hal yang disandarkan kepada beliau n adalah benar.
Kedua; penelitian tentang hukum yang dikandung oleh nash hadits.[1]
Untuk itulah, maka penelitian terhadap suatu hadits guna mengetahui tingkat validitasnya sangat signifikan, agar suatu hadits dapat diketahui apakah ia dapat dijadikan hujjah atau tidak dalam menetapkan hukum. Ini berarti mengadakan penelitian ulang terhadap hadits-hadits, terutama dari segi sanadnya yang ditempuh dengan metode takhrīj.
Takhrīj pada prinsipnya adalah upaya meneliti kembali atau mengeluarkan suatu hadits dari kitab-kitab hadits, untuk menganalisis keadaan sanadnya, baik aspek kesinambungan tranmisi perawi maupun tingkat kredibilitas para perawi. Dengan demikian akan diketahui tingkat validitas hadits.
Begitulah model takhrīj ini –sebagai suatu penelitian ulang– terhadap hadits-hadits yang sudah terhimpun dalam kitab-kitab hadits memerlukan kesungguhan dan ketelitian.[2]

DEFINISI TAKHRĪJ
Menurut bahasa atau etimologi, takhrīj berasal dari akar kata kharraja-yukharriju-takhrījan yang memiliki beberapa makna, di antaranya berarti:
·         melatih (al-tadrīb),
·         mengajarkan (al-talīm),
·         menyimpulkan (al-istinbāt),
·         mengarahkan (al-taujīh),
·         memperlihatkan (al-izhār), dan
·         menampakkan (al-ibrāz). [3]
Sedangkan menurut para ahli hadits, secara umum terma takhrīj setidaknya dipergunakan untuk tiga hal berikut[4]:
·         Takhrīj adalah sinonim (murādif) dari terma ikhrāj, berarti menampakkan hadits kepada orang lain dengan menyebutkan tempat pengambilannya (ibrāz al-hadīts li al-nās bi dzikr makhrajihi), yaitu sanad atau tranmisi para perawinya.
·         Takhrīj berarti mengeluarkan hadits dan meriwayatkannya dari kitab-kitab (ikhrāj al-ahādīts min butūn al-kutub wa riwāyatuhā).
·         Takhrīj berarti dalālah, maksudnya menunjukkan sumber-sumber asli atau primer hadits dan menyandarkan kepadanya (al-dalālah a mashādir al-hadīts al-ashliyyah wa azwuhu ilaihā), yaitu dengan menyebutkan penyusun yang pernah meriwayatkannya.
Berdasarkan arti yang ketiga ini, takhrīj sebagai salah satu disiplin ilmu hadits secara istilah atau terminologis dapat didefinisikan sebagai:
( عِلْمٌ بِأَنْ يُذْكَرَ مَصَادِرُ الْحَدِيْثِ اْلأَصْلِيَّةُ، إِمَّا بِحُكْمٍ عَلَيْهِ أَوْ لاَ )
Ilmu yang menyebutkan sumber-sumber sebuah hadits, baik disertai penetapan status hukum haditsnya maupun tidak.[5]
Atau dengan ungkapan lain yang banyak digunakan adalah[6]:
( اَلدَّلاَلَةُ عَلَى مَوْضِعِ الْحَدِيْثِ فِي مَصَادِرِهِ اْلأَصْلِيَّةِ الَّتِي أَخْرَجَتْهُ بِسَنَدِهِ، ثُمَّ بَيَانُ مَرْتَبَتِهِ عِنْدَ الْحَاجَةِ )
Menunjukkan tempat atau letak hadits pada sumber-sumber primer yang mentakhrījnya beserta sanadnya, kemudian menjelaskan martabat atau status hukumnya jika diperlukan.[7]
Bahkan ada pula yang mendefinisikannya dengan ungkapan yang singkat sebagai:
( ذِكْرُ الْمُؤَلِّفِ الْحَدِيْثَ بِإِسْنَادِهِ فِي كِتَابِهِ )
Seorang penyusun kitab menyebutkan hadits yang termaktub dalam kitabnya beserta sanadnya.[8]

PENJELASAN DEFINISI TAKHRĪJ
Berdasarkan definisi yang banyak dipakai dari takhrīj secara istilah atau terminologis, ada beberapa hal penting yang dapat disimpulkan[9]:
·         “Menunjukkan tempat atau letak hadits...”, maksudnya menyebutkan kitab-kitab yang memuat hadits.
Di dalam kitab tersebut biasanya terdapat ungkapan semacam ( أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ فِيْ صَحِيْحِهِ ), bahwa hadits tersebut ditakhrīj (dikeluarkan) oleh al-Bukhārī v dalam Shahīhnya.
·         “...pada sumber-sumber primernya...”, maksudnya kitab-kitab sebagai berikut:
1.      Kitab-kitab sunnah yang dihimpun penyusunnya setelah menerima langsung dari guru-gurunya berikut sanad-sanadnya yang bersambung hingga sampai kepada Nabi n.
Seperti kitab-kitab induk hadits yang enam (al-kutub al-sittah), Muwatta’ Mālik, Musnad Ahmad, Mustadrak al-Hākim, Mushannaf Abdur Razzāq, dan lainnya.
2.      Kitab-kitab sunnah pendamping (kutub al-sunnah al-tābiah) bagi kitab-kitab primer tersebut di atas.
Seperti kitab yang menghimpun sejumlah kitab induk tersebut di atas, misalnya kitab al-Jam’ baina al-Shahīhain karya al-Humaidī v, atau kitab yang menghimpun hadits-hadits yang disebut awal matannya saja (al-atrāf), misalnya kitab Tuhfah al-Asyrāf bi Ma’rifah al-Atrāf karya al-Mizzī v,atau kitab ringkasan dari sejumlah kitab sunnah, seperti kitab Tahdzīb Sunan Abī Dāwud karya al-Mundzirī v.
3.      Kitab-kitab yang berhubungan dengan berbagai displin ilmu lain seperti tafsir, fiqih dan sejarah, yang diperkuat oleh hadits-hadits.
Dengan syarat, penyusunnya meriwayatkannya dengan sanad-sanadnya secara mandiri atau independen. Maksudnya, ia tidak mengambilnya dari kitab-kitab lain yang telah disusun sebelumnya. Misalnya Tafsīr al-Tabarī dan sejarah (Tārīkh)nya, dan kitab al-Umm karya al-Syāfi’ī v.
Kitab-kitab ini tidak dikhususkan oleh penyusunnya untuk menghimpun teks-teks sunnah. Mereka menyusunnya berkaitan dengan disiplin ilmu lain, tetapi mereka memperkuat hukum-hukum ataupun hal lainnya dengan hadits-hadits yang mereka riwayatkan dari guru-guru mereka dengan sanad-sanadnya, dan tidak mengambilnya dari kitab-kitab lain yang sudah lebih dulu ada.
Adapun kitab-kitab yang menghimpun hadits-hadits bukan dengan menerima langsung dari guru-guru, tetapi dari kitab-kitab yang sudah ada; menurut terminologis disiplin ilmu takhrīj, maka kitab-kitab semacam ini tidak dianggap sebagai sumber primer.
Contohnya seperti kitab Bulūgh al-Marām min Adillah al-Ahkām karya Ibnu Hajar v dan Riyād al-Shālihīn karya al-Nawawī v. Meskipun demikian, kitab-kitab semacam ini cukup membantu dan bermanfaat.
·         “…menjelaskan martabat atau statusnya jika diperlukan”, maksudnya menjelaskan tingkatan suatu hadits; shahih, dha’if dan sebagainya jika diperlukan.
Menjelaskan martabat dan status hukum suatu hadits bukan hal pokok yang harus ada dalam takhrīj, karena hanya sebagai pelengkap, dibutuhkan ketika diperlukan.
Oleh karena itu, bila tidak ada alasan, misalnya hadits terdapat dalam al-Shahīhain, atau salah satu dari keduanya, atau terdapat dalam kitab yang penyusunnya hanya mengumpulkan hadits shahih saja, maka penjelasan tentang status hukum hadits tidak diperlukan lagi.[10]



URGENSI DAN KEBUTUHAN TERHADAP TAKHRĪJ[11]
Tidak diragukan lagi bahwa mengetahui takhrīj sangat penting bagi orang yang menggeluti ilmu-ilmu syar’i, dengan mempelajari kaidah-kaidah dan metode-metodenya, agar ia mengetahui letak suatu hadits pada sumber-sumbernya yang primer.
Kebutuhan terhadap takhrīj sangat besar sekali, yaitu agar pencari ilmu dapat memperkuat ilmunya dengan hadits, namun tidak sekedar meriwayatkan, namun ia pun mengetahui para ulama yang meriwayatkan hadits dalam kitabnya secara musnad (bersambung sanadnya).
Oleh karena itu, ilmu takhrīj sangat dibutuhkan oleh berbagai kalangan, khususnya orang yang menggeluti ilmu-ilmu syar’i dan disiplin ilmu lain yang terkait dengan ilmu syar’i tersebut.

FAEDAH TAKHRĪJ
Takhrīj memiliki manfaat dan faedah yang sangat besar, terutama bagi mereka yang berkecimpung dalam hadits dan ilmu-ilmu hadits. Karena dengan perantaraannya seorang dapat mengetahui salah satu sumber hadits primer yang disusun oleh para tokoh atau imam hadits.[12]
Sebagian ulama bahkan ada yang menghitung faedah takhrīj hingga mendekati dua puluhan faedah. Di antara faedahnya yang paling penting secara ringkas adalah[13]:
1.      Mengetahui kualitas hadits; shahih atau dha’if.
2.      Meyakini keshahihan hadits, karena boleh jadi berdasarkan satu jalan sebuah hadits dinilai shahih, namun berdasarkan jalan yang lain ternyata dha’if.
Hal ini dapat dilakukan dengan menghimpun berbagai jalan dari sebuah hadits melalui kajian takhrīj , hingga dapat diketahui kualitas keshahihannya berdasarkan semua jalannya.
3.      Dengan menelaah berbagai jalan dari sebuah hadits melalui kajian takhrīj, karena boleh jadi sebuah hadits yang tadinya dihukumi sebagai hadits mudallas yang dianggap sebagai hadits dha’if, akhirnya diketahui sebagai hadits yang ternyata ia mendengarnya langsung dari guru atau perawinya.
4.      Seorang perawi terkadang dalam hidupnya mengalami dua fase kehidupan (halāh al-ikhtilāt); fase saat riwayatnya dinilai shahih dan fase dimana riwayatnya malah dianggap dha’if, sehingga mengalami perubahan dan pergeseran penilaian.
SEJARAH PERKEMBANGAN TAKHRĪJ DAN ILMU TAKHRĪJ
Dahulu para ulama dan pengkaji hadits belum memerlukan pengetahuan hadits, baik tentang kaidah maupun asal-usulnya yang kini diistilahkan sebagai ushūl al-takhrīj; karena mendalamnya pengkajian mereka terhadap sumber-sumber sunnah. Kontak mereka dengan sumber-sumber primer hadits pun amat kuat. Ketika mereka memerlukan kesaksian (penguatan) suatu hadits, dengan segera mereka ingat letaknya pada kitab-kitab sunnah, bahkan mereka hafal hingga jilidnya. Oleh karena itu, mudah bagi mereka memanfaatkan dan menyandarkan kepadanya dalam mentakhrīj hadits.
Hal ini berlangsung beberapa abad hingga terbatasnya waktu bagi banyak ulama dan pengkaji hadits untuk menelaah kitab-kitab sunnah dan sumber-sumbernya yang primer; ketika itulah mereka mengalami kesulitan untuk mengetahui letak hadits yang dijadikan penguat oleh para penyusun kitab ilmu-ilmu syar’i dan ilmu-ilmu lainnya, seperti fiqih, tafsir dan sejarah. Lantas sebagian ulama (hadits) bangkit dan berusaha mengatasinya. Mereka mulai mentakhrīj hadits-hadits yang ada pada sebagian kitab bukan hadits dan menyandarkan hadits-hadits tersebut ke sumbernya dari kitab-kitab sunnah yang primer disertai penyebutan metode-metodenya. Mereka kemudian dapat menyatakan bahwa hadits-hadits di sebagian kitab tersebut atau seluruhnya shahih atau dha’if, berdasarkan ketentuan yang berlaku. Akhirnya, muncullah apa yang disebut dengan kitab-kitab takhrīj (kutub al-takhrīj).
Ulama pertama yang dinilai dan dianggap sebagai pentakhrīj adalah al-Khatīb al-Baghdādī v (w. 463 H.). Adapun kitab takhrīj pertama yang paling terkenal adalah Takhrīj al-Fawā’id al-Muntakhabah al-Shihāh wa al-Gharā’ib karya al-Syarīf Abī al-Qāsim al-Husainī v dan karya Abī al-Qāsim al-Maharwānī v, dimana keduanya masih berbentuk manuskrip. Yang lainnya adalah kitab Takhrīj Ahādīts al-Muhadzdzab karya Muhammad bin Mūsā al-Hāzimi al-Syāfi’ī v (w. 584 H.).
Setelah itu kitab-kitab takhrīj banyak bermunculan hingga mencapai puluhan kitab.[14]
Dr. ‘Umar Sulaimān al-Asyqar mencatat bahwa pada fase kemunduran dan stagnan (marhalah al-jumūd wa al-taqlīd), sekelompok ulama mulai memberikan perhatian dalam pentakhrījan dan pentahqīqan hadits-hadits yang ada dalam kitab-kitab fiqih terkenal. Hal ini dikarenakan kebanyakan fuqaha’ dalam kitab-kitab mereka mengemukakann hadits-hadits yang masih bercampur, shahih, dha’if dan bahkan yang palsu (maudhū’), karena ketidaktahuan tentang ilmu hadits dan ketidakmampuan dalam menjelaskan hadits yang shahih dari yang dha’if. Di antara kitab fiqih pertama yang ditakhrīj adalah kitab al-Hidāyah dalam fiqih Hanafi, kitab tersebut disusun oleh Ali bin Abī Bakar Abdil Jalīl al-Farghānī al-Marīghīnānī (w. 593 H.), kemudian hadits-haditsnya ditakhrīj oleh al-Hāfiz bin Yūsuf bin Muhammad bin Ayyūb al-Hanafi al-Zaila’ī (w. 762 H.), yang menamakan kitabnya dengan Nashb al-Rāyah fī Takhrīj Ahādīts al-Hidāyah.[15]
Sedangkan ketika takhrīj telah menjadi sebuah disiplin ilmu yang kemudian dikenal sebagai ilm al-takhrīj, Dr. Sa’ad bin ‘Abdillah Ālu Humayyid berpendapat bahwa kitab pertama yang memaparkan tentang metodologi takhrīj dan hal lain yang terkait dengannya adalah kitab Ushūl al-Takhrīj wa Dirāsah al-Asānīd karya Dr. Mahmūd al-Tahhān, kemudian diikuti oleh kitab Kasyf al-Litsām an Turuq Takhrīj Hadīts al-Nabī alaihi al-Shalāh wa al-Salām karya Dr. Abdul Muhdī bin Abdil Hādī.[16]
Pada dasarnya, ilmu takhrīj merupakan ilmu yang menjadi kelanjutan dari hasil kerja keras dan usaha gigih para ulama dalam mengkaji ilmu hadits, baik secara riwāyah maupun dirāyah, khususnya ilmu mushthalah al-hadīts. Demikian pula hubungan ilmu takhrīj dengan disiplin ilmu-ilmu syariat lainnya, khususnya tafsir, fiqih, aqidah dan hadits, karena ilmu-ilmu tersebut pasti terkait erat dengan hadits-hadits Rasulullah n yang menjadi sumber primernya.[17]

KITAB-KITAB TAKHRĪJ
Setelah masa perkembangan sebagaimana tersebut di atas, kemudian para ulama banyak mentakhrīj hadits-hadits yang terdapat dalam berbagai kitab dan dalam berbagai disiplin ilmu. Di antaranya[18]:
1.      Dalam aqidah dan tauhid:
·       كِتَابُ فَرَائِدِ الْقَلاَئِدِ فِي تَخْرِيْجِ أَحَادِيْثِ شَرْحِ الْعَقَائِدِ النَّسَفِيَّةِ لِمُلاَ عَلِيِّ الْقَارِي.
·       تَخْرِيْجُ أَحَادِيْثِ شَرْحِ الْمَوَاقِفِ لِلسُّيُوْطِيِّ.
·       تَخْرِيْجُ أَحَادِيْثِ شَرْحِ الْعَقِيْدَةِ الطَّحَاوِيَّةِ ِللأَلْبَانِيِّ.
2.      Dalam tafsir:
·       تَخْرِيْجُ أَحَادِيْثِ تَفْسِيْرِ الْكَشَّافِ لِلْحَافِظِ جَمَالِ الدِّيْنِ الزَّيْلَعِيِّ.
·       اَلْفَتْحُ السَّمَاوِيُّ بِتَخْرِيْجِ أَحَادِيْثِ تَفْسِيْر الْقَاضِي الْبَيْضَاوِيِّ لِزَيْنِ الدِّيْنِ عَبْدِ الرَّؤُوْفِ الْمُنَاوِيِّ.
·       تَخْرِيْجُ أَحَادِيْثِ تَفْسِيْرِ أَحْكَامِ الْقُرْآنِ ِلابْنِ الْعَرَبِيِّ لِمُحُمَّدِ مُصْطَفَى بَلْقَاتٍ.
3.      Dalam hadits:
·       نَتَائِجُ اْلأَفْكَارِ فِي تَخْرِيْجِ أَحَادِيْثِ اْلأَذْكَارِ ِِلابْنِ حَجَرٍ الْعَسْقَلاَنِيِّ.
·       هِدَايَةُ الرُّوَاةِ إِلَى تَخْرِيْجِ أَحَادِيْثِ الْمَصَابِيْحِ وَالْمِشْكَاة ِِلابْنِ حَجَرٍ الْعَسْقَلاَنِيِّ.
·       تَخْرِيْجُ تَقْرِيْبِ اْلأَسَانِيْدِ لِلْحَافِظِ وَلِيِّ الدِّيْنِ زُرْعَةَ الْعِرَاقِيِّ.
4.      Dalam ilmu ushul:
·       تَخْرِيْجُ أَحَادِيْثِ الْمُخْتَصَرِ الْكَبِيْرِ ِِِِِِِِلابْنِ حَجَرٍ الْعَسْقَلاَنِيِّ.
·       تَخْرِيْجُ أَحَادِيْثِ اللُّمَعِ فِي أُصُوْلِ الْفِقْهِ لِعَبْدِ اللهِ الصِّدِّيْقِ الْغُمَارِيِّ.
·       تَخْرِيْجُ أَحَادِيْثِ الْمُسْتَصْفَى مِنْ عِلْمِ اْلأُصُوْلِ لِبَشِيْرِ صُبْحِيْ بَشِيْرٍ.
5.      Dalam fiqih[19]:
a.       Fiqih Hanafi:
·       نَصْبُ الرَّايَةِ ِلأَحَادِيْثِ الْهِدَايَةِ لِعَبْدِ اللهِ بْنِ يُوْسُفَ الزَّيْلَعِيِّ.
·       اَلدِّرَايَةُ فِي تَخْرِيْجِ أَحَادِيْثِ الْهِدَايَةِ ِِلابْنِ حَجَرٍ الْعَسْقَلاَنِيِّ.
b.      Maliki:
·       الْهِدَايَةُ فِي تَخْرِيْجِ أَحَادِيْثِ الْبِدَايَةِ ِلأَحْمَدَ بْنِ الصِّدِّيْقِ الْغُمَارِيِّ.
·       طَرِيْقُ الرُّشْدِ فِي تَخْرِيْجِ أَحَادِيْثِ بِدَايَةِ ابْنِ رُشْدٍ لِعَبْدِ اللَّطِيْفِ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ آلِ عَبْدِ اللَّطِيْفِ.
c.       Fiqih Syafii:
·       تَخْرِيْجُ أَحَادِيْثِ الْمُهَذَّبِ لِمُحَمَّدِ بْنِ مُوْسَى الْحَازِمِيِّ.
·       اَلتَّلْخِيْصُ الْحَبِيْرُ فِي تَخْرِيْجِ شَرْحِ الْوَجِيْزِ الْكَبِيْرِ ِِلابْنِ حَجَرٍ الْعَسْقَلاَنِيِّ.
d.      Fiqih Hanbali:
·       إِرْوَاءُ الْغَلِيْلِ فِي تَخْرِيْجِ أَحَادِيْثِ مَنَارِ السَّبِيْل ِللأَلْبَانِيِّ.
·       اَلتَّحْقِيْقُ فِي أَحَادِيْثِ التَّعْلِيْقِ فِي فِقْهِ الْحَنَابِلَةِ ِلابْنِ الْجَوْزِيِّ.
6.      Dalam akhlak:
·       إِخْبَارُ اْلأَحْيَاءِ بِأَخْبَارِ اْلإِحْيَاءِ ِللْعِرَاقِيِّ.
·       اَلْمُغْنِي عَنْ حَمْلِ اْلأَسْفَارِ فِي اْلأَسْفَارِ فِي تَخْرِيْجِ مَا فِي اْلإِحْيَاءِ مِنْ أَخْبَارٍ ِللْعِرَاقِيِّ.
·       اَلنَّفِيْسُ فِي تَخْرِيْجِ أَحَادِيْثِ التَّلْبِيْسِ لِيَحْيَ بْنِ خَالِدِ تَوْفِيْقٍ.
·         Kajian Hadits Kitab Durratun Nashihin karya Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, M.A. (Disertasi di Universitas Kebangsaan Malaysia).
·         Hadits-hadits Lemah dan Palsu dalam Kitab Durratun Nashihin (Keutamaan Bulan Rajab, Syaban dan Ramadhan) karya Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, M.A. (Jakarta: Darus Sunnah).
·         Hadits-hadits Palsu Seputar Ramadhan karya Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. (Jakarta: Pustaka Firdaus).
7.      Dalam bahasa dan nahwu:
·       فَالِقُ اْلإِصْبَاحِ فِي تَخْرِيْجِ أَحَادِيْثِ الصِّحَاحِ لِلسُّيُوْطِيِّ.
·       تَخْرِيْجُ اْلأَحَادِيْثِ وَاْلآثَارِ الَّتِي وَرَدَتْ فِي شَرْحِ الْكَافِيَةِ فِي النَّحْوِ لِعَبْدِ الْقَادِرِ الْبَغْدَادِيِّ.
8.      Dalam disiplin ilmu lain:
·       تَخْرِيْجُ اْلأَحَادِيْثِ الوَارِدَةِ فِي كِتَابِ اْلأَمْوَالِ لِعَبْدِ الصَّمَدِ بَكْرِ عَابِدٍ.
·       تَخْرِيْجُ أَحَادِيْثِ مُشْكِلَةِ الْفَقْرِ وَكَيْفَ عَالَجَهَا اْلإِسْلاَمُ ِللأَلْبَانِيِّ.
·       تَخْرِيْجُ أَحَادِيْثِ فَضَائِلِ الشَّامِ ِللأَلْبَانِيِّ.



METODOLOGI TAKHRĪJ
Berdasarkan kajian teoritis yang ditelaah dan pengalaman praktis yang dialami langsung, Dr. Mahmūd al-Tahhān menyimpulkan bahwa metode-metode takhrīj hadits (turuq takhrīj al-hadīts) yang mungkin berguna dan membantu para peminat hadits dalam mentakhrīj hadits memiliki lima metode[20], yang kemudian oleh Dr. ‘Imād ‘Alī Jumah ditambahkan dengan satu metode mutakhir[21] sehingga berjumlah enam metode.
Keenam metode tersebut adalah:
? METODE PERTAMA: Takhrīj dengan cara mengetahui sahabat perawi hadits. [22]
 ( اَلتَّخْرِيْجُ عَنْ طَرِيْقِ مَعْرِفَةِ رَاوِي الْحَدِيْثِ مِنَ الصَّحَابَةِ )
Metode ini digunakan ketika nama sahabat disebutkan dalam hadits yang hendak ditakhrīj. Oleh karena itu, jika nama sahabat tidak disebutkan dalam hadits, dan tidak mungkin untuk diketahui, maka metode ini tidak dapat digunakan. Jika nama sahabat disebut pada hadits, atau kita mengetahuinya dengan jalan tertentu, lalu kita mulai menerapkan langkah-langkah mentakhrījnya, maka kita memerlukan tiga macam kitab pembantu takhrīj, yaitu:
1.      Kitab-kitab musnad (al-masānīd), misal kitab:
·       مُسْنَدُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ.
·       مُسْنَدُ الْحُمَيْدِيِّ.
2.      Kitab-kitab ensiklopedi (al-maājim), misal kitab:
·       اَلْمُعْجَمُ الْكَبِيْرُ لِلطَّبْرَانِيِّ.
·       مُعْجَمُ الصَّحَابَةِ ِلأَبِي يَعْلَى الْمُوْصِلِيِّ.
3.      Kitab-kitab al-atrāf, misal kitab:
·       تُحْفَةُ اْلأَشْرَافِ بِمَعْرِفَةِ اْلأَطْرَافِ لِلْمِزِّيِّ.
·       إِتْحَافُ الْمَهَرَةِ بِأَطْرَافِ الْعَشَرَةِ ِلابْنِ حَجَرٍ الْعَسْقَلاَنِيِّ.

? METODE KEDUA: Takhrīj dengan cara mengetahui permulaan lafadz dari matan hadits. [23]
 ( اَلتَّخْرِيْجُ عَنْ طَرِيْقِ مَعْرِفَةِ أَوَّلِ لَفْظٍ مِنْ مَتْنِ الْحَدِيْثِ )
Metode ini digunakan ketika kita mengetahui dengan pasti permulaan lafadz dari matan hadits, karena tanpa hal ini kita akan kehilangan banyak waktu.
Untuk menggunakan metode ini kita memerlukan tiga jenis kitab penunjang, yaitu:
1.      Kitab-kitab yang khusus memuat hadits-hadits yang terkenal dan beredar luas dari mulut ke mulut, misal kitab:
·       اَلْمَقَاصِدُ الْحَسَنَةُ لِلسَّخَاوِيِّ.
·       كَشْفُ الْخَفَاءِ وَمُزِيْلُ اْلإِلْبَاسِ لِلْعَجْلُوْنِيِّ.
2.      Kitab-kitab yang memuat hadits-hadits yang tersusun berdasar urutan huruf mu’jam (ensiklopedi), misal kitab:
·       اَلْجَامِعُ الصَّغِيْرُ مِنْ حَدِيْثِ الْبَشِيْرِ النَّذِيْرِ لِلسُّيُوْطِيِّ.
3.      Kitab-kitab indeks yang disusun para ulama untuk kitab-kitab tertentu, misal kitab:
·       مِفْتَاحُ الصَّحِيْحَيْنِ لِلتَّوْقَادِيِّ.
·       مِفْتَاحُ التَّرْتِيْبِ ِلأَحَادِيْثِ تَارِيْخِ الْخَطِيْبِ لِلسَّيِّدِ أَحْمَدَ الْغُمَارِيِّ.
·       اَلْبُغْيَةُ فِي تَرْتِيْبِ أَحَادِيْثِ الْحِلْيَةِ لِلسَّيِّدِ عَبْدِ الْعَزِيْزِ الْغُمَارِيِّ.
? METODE KETIGA: Takhrīj dengan cara mengemukakan kata-kata yang jarang digunakan dalam suatu bagian matan hadits. [24]
( اَلتَّخْرِيْجُ عَنْ طَرِيْقِ مَعْرِفَةِ كَلِمَةٍ يَقِلُّ دَوْرَانُهَا عَلَى اْلأَلْسِنَةِ مِنْ أَيِّ جُزْءٍ مِنْ مَتْنِ الْحَدِيْثِ )
Metode ini digunakan manakala kita mengetahui satu lafadz atau kata dalam hadits, walaupun tidak terkenal atau jarang diingat.
Dalam metode ini diperlukan kitab penunjang, misalnya:
·       اَلْمُعْجَمُ الْمُفَهْرَسُ ِلأَلْفَاظِ الْحَدِيْثِ النَّبَوِيِّ لِلَفِيْفٍ مِنِ الْمُسْتَشْرِقِيْنَ.
·       فِهْرِسُ أَلْفَاظِ جَامِعِ التِّرْمِذِيِّ عَلَى طَرِيْقِ اَلْمُعْجَمِ الْمُفَهْرَسِ ِلأَلْفَاظِ الْحَدِيْثِ النَّبَوِيِّ للبيك.
? METODE KEEMPAT: Takhrīj dengan cara mengetahui topik atau tema hadits. [25]
( اَلتَّخْرِيْجُ عَنْ طَرِيْقِ مَعْرِفَةِ مَوْضُوْعِ الْحَدِيْثِ )
Metode ini digunakan oleh orang yang memiliki ketajaman ilmu (dzauq ilmī) yang memungkinkannya mengetahui topik hadits, atau dapat menentukan salah satu topik jika hadits tersebut mempunyai banyak topok kajian, atau oleh orang yang banyak mengkaji kitab-kitab hadits. Tidak semua orang mampu menentukan topik hadits, terlebih pada sebagian hadits yang topiknya tidak jelas bagi orang biasa.
Dalam mentakhrīj hadits dengan menggunakan metode ini diperlukan kitab-kitab hadits penunjang yang disusun berdasarkan bab-bab dan topik-topik tertentu. Kitab jenis ini banyak sekali, di antaranya:
1.      Kitab-kitab yang bab-bab dan topik-topiknya mencakup semua masalah agama, misal kitab:
·       اَلْجَوَامِعُ، اَلْمُسْتَخْرَجَاتُ وَالْمُسْتَدْرَكَاتُ عَلَى الْجَوَامِعِ، اَلْمَجَامِيْعُ، وَالزَّوَائِدُ.
·       مِفْتَاحُ كُنُوْزِ السُّنَّةِ لِلْمُسْتَشْرِقِ الْهُوْلَنْدِيِّ الدُّكْتُوْرِ أَرْنُدْجَان وِنْسِيْك.
2.      Kitab-kitab yang bab-bab dan topik-topiknya membahas banyak masalah agama, misal kitab:
·       اَلسُّنُنُ، اُلْمُصَنَّفَاتُ، اَلْمُوَطَّآتُ.
·       اَلْمُسْتَخْرَجَاتُ عَلَى اَلسُّنُنِ.
3.      Kitab-kitab yang bab-bab dan topik-topiknya mencakup masalah agama tertentu, misal kitab:
·       َاْلأَجْزَاءُ.
·       اَلتَّرْغِيْبُ وَالتَّرْهِيْبُ.
·       كُتُبُ التَّخْرِيْجِ.



? METODE KELIMA: Takhrīj dengan cara memperhatikan keadaan matan dan sanad hadits. [26]
( اَلتَّخْرِيْجُ عَنْ طَرِيْقِ النَّظَرِ فِى حَالِ الْحَدِيْثِ مَتْنًا وَسَنَدًا )
Maksud metode ini adalah memperhatikan dengan seksama keadaan hadits dan sifat-sifatnya yang terdapat pada matan hadits atau sanadnya. Lalu mencari sumber takhrīj (makhraj) hadits dengan jalan mengetahui keadaan atau sifatnya pada kitab-kitab yang mengklasifikasi semua hadits yang terdapat sifat tersebuat, baik pada matan maupun sanadnya. Contohnya:
  1. Pada matan.
Jika pada matan hadits terdapat tanda-tanda hadits palsu (amārāt al-wadh), seperti segi kerancuan lafazh, rusaknya arti, bertentangan dengan nash al-Quran atau karena sebab lainnya. Cara yang paling singkat untuk mengetahui makhrajnya adalah melihat kitab-kitab al-maudhū’āt, maka akan ditemukan takrījnya, komentar atasnya dan juga pemalsunya sekaligus.
Di antara kitab tersebut adalah:
·       اَلْمَصْنُوْعُ فِي مَعْرِفَةِ الْحَدِيْثِ الْمَوْضُوْعِ لِعَلِيِّ الْقَارِيِّ الْهَرْوِيِّ.
·       تَنْزِيْهُ الشَّرِيْعَةِ الْمَرْفُوْعَةِ عَنِ اْلأَحَادِيْثِ الشَّنِيْعَةِ الْمَوْضُوْعَةِ ِلأَبِي الْحَسَنِ عَلِيِّ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عِرَاقٍ الْكِنَانِيِّ.
Jika hadits yang dicari adalah hadits qudsi, maka makhraj tercepat adalah kitab-kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits qudsi, di antaranya:
·       مِشْكَاةُ اْلأَنْوَارِ فِي مَا رُوِيَ عَنِ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مِنَ اْلأَخْبَارِ لِمُحْيِ الدِّيْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ عَرَبِيِّ الْحَاتِمِيِّ اْلأَنْدَلُسِيِّ.
·       َاْلاِتْحَافَاتُ السَّنِيَّةُ بِاْلأَحَادِيْثِ الْقُدْسِيَّةِ لِعَبْدِ الرَّؤُوْفِ الْمُنَاوِيِّ.
  1. Pada sanad.
Jika pada sanad hadits terdapat salah satu isyarat berikut:
a.       Jika dalam sanad terdapat bapak yang meriwayatkan hadits dari anaknya, maka sumber tercepat untuk mentakhrījnya adalah kitab-kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits yang diriwayatkan bapak dari anak-anaknya, seperti kitab:
·       رِوَايَةُ الاَبَآءِ عَنِ الأًبْنَاءِ ِلأَبِي بَكْرٍ أَحْمَدَ بْنِ عَلِيِّ الْخَطِيْبِ الْبَغْدَادِيِّ.
b.      Jika sanadnya berangkai, maka diperlukan kitab-kitab yang menghimpun hadits-hadits yang berangkai, seperti kitab:
·       اَلْمُسَلْسَلاَتُ الْكُبْرٰي لِلسُّيُوْطِيِّ.
·       اَلْمَنَاهِلُ السَّلْسَلَةُ فِي اْلأَحَادِيْثِ الْمُسَلْسَلَةِ لِمُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْبَاقِي اْلأَيُّوْبِيِّ.
c.       Jika sanadnya mursal, maka diperlukan kitab-kitab al-marāsīl, seperti kitab:
·       اَلْمَرَاسِيْلُ ِلأَبِي دَاوُدَ السِّجِسْتَانِي.
·       اَلْمَرَاسِيْلُ ِلأَبِي حَاتِمٍ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مُحَمَّدٍ الْحَنْظَلِيِّ الرَّازِيِّ.
d.      Jika sanadnya terdapat perawi dha’if, maka mencarinya dari kitabkitab al-dhu’afā’, seperti kitab:
·       مِيْزَانُ اْلاِعْتِدَالِ لِلذَّهَبِيِّ.
  1. Pada matan dan sanad sekaligus.
Ada sifat dan keadaan yang terkadang terjadi pada matan, dan terkadang pula pada sanad. Seperti karena cacat (illat) dan kesamaran (ibhām). Jika dijumpai hadits seperti ini, maka hendaknya dicari pada kitab-kitab yang dikhususkan para ulama dalam mengkaji masalah tersebut. Di antara kitab-kitab jenis ini adalah:
·       عِلَلُ الْحَدِيْثِ ِلأَبِي حَاتِمٍ الرَّازِيِّ.
·       َاْلأَسْمَاءُ الْمُبْهَمَةُ فِي اْلأَنْبَاءِ الْمُحْكَمَةِ لِلْخَطِيْبِ الْبَغْدَادِيِّ.
·       اَلْمُسْتَفَادُ مِنْ مُبْهَمَاتِ الْمَتْنِ وَالاِسْنَادِ ِلأَبِي زُرْعَةَ أَحْمَدَ بْنِ عَبْدِ الرَّحِيْمِ الْعِرَاقِيِّ.
? METODE KEENAM: Takhrīj melalui komputer.[27]
( اَلتَّخْرِيْجُ عَنْ طَرِيْقِ الْحَاسُوْب )
 Metode ini dapat dipergunakan bila tersedia sarana berikut:
1.      Komputer yang sesuai.
2.      Tersedianya program takhrīj hadits.
3.      Mengetahui cara dan penggunaan program.
Contoh program yang digunakan:
1.      Program komputer umum, seperti:
·       مَوْسُوْعَةُ الْحَدِيْثِ الشَّرِيْفِ، شِرْكَةُ صَخْرٍ لِبَرَامِجِ الْحَاسِبِ اْلآلِي.
·       اَلْمَوْسُوْعَةُ الذَّهَبِيَّةُ، مَرْكَزُ التُّرَاثِ ِلأَبْحَاثِ الْحَاسِبِ اْلآلِي فِي اْلأُرْدُنِ.
·       مَوْسُوْعَةُ مَكْتَبَةِ الْحَدِيْثِ الشَّرِيْفِ، شِرْكَةُ الْعَرِيْسِ فِي لُبْنَانَ.
2.      Program khusus, seperti:
a.       Program dari Markaz Khidmah al-Sunnah, dibawah pengawasan Universitas Islam Madinah.
b.      Program buatan Dr. Hammām Saīd dari Yordania.
c.       Program dari Markaz al-Sunnah wa al-Sīrah al-Nabawiyyah, dibawah pengawasan Universitas Qatar.
Serta masih banyak contoh program yang banyak tersebar di negeri Arab dan lainnya.
Berkaitan dengan metode, ada beberapa hal berikut yang harus diperhatikan:
1.      Metode ini tidak sempurna karena memiliki beberapa kekurangan; seperti tidak ditemukannya penetapan status hukum hadits, tidak diketahui mana hadits yang diterima atau ditolak, dan lainnya.
2.      Program yang dihasilkan dari metode ini tidak dianggap sebagai sumber primer hadits, oleh karena itu untuk bidang akademisi tetap harus menyandarkan kajian hadits kepada kitab-kitab yang merupakan sumber-sumber primer hadits.
Demikianlah pembahasan sekilas tentang metodologi takhrīj hadits.

PENUTUP
Bila menemukan suatu hadits kemudian mencarinya melalui bantuan kamus atau ensiklopedi hadits, maka hal tersebut belum memberikan informasi langsung tentang kualitas dari hadits yang bersangkutan. Apabila seseorang ingin mengetahui lebih lanjut tentang kualitasnya, maka dia harus mempelajari hadits dimaksud dalam berbagai kitab hadits lainnya, khususnya kitab-kitab syarh al-hadīts, ma’ānī al-hadīts dan rijāl al-hadīts.
Menurut ilmu hadits, kegiatan mencari hadits dengan cara menelusuri sampai berhasil menemukannya di kitab-kitab yang ditulis periwayatnya langsung (mukharrij al-hadīts) disebut dengan kegiatan takhrīj al-hadīts.[28]
Takhrīj hadits sebagai sebuah penelitian ulang terhadap hadit-hadits, pada prinsipnya merupakan asas dasar untuk menilai transmisi sebuah kabar berita (naql al-khabar), dengan menerimanya secara hati-hati kemudian menyaring kebenaran transmisinya. Hal ini merupakan indikator kecerdasan (kiyāsah), kejujuran (fatanah) dan kesempurnaan akal (kamāl al-‘aql) bagi seseorang.[29]
Bagi ulama hadits sebagai para pembela sunnah yang berada di barisan terdepan dalam upaya melestarikan sunnah, penelitian atau kritik sanad dan matan sunnah –melalui kajian takhrīj al-hadīts– merupakan salah satu kegiatan penting yang harus mereka lakukan. Minimal ada empat alasan yang melatarbelakangi pentingnya kegiatan itu yakni:
1.      Sunnah merupakan salah satu sumber ajaran Islam.
2.      Tidaklah seluruh sunnah telah tertulis resmi pada zaman Nabi n.
3.      Dalam sejarah, telah terjadi kegiatan berbagai pemalsuan sunnah yang dilakukan oleh banyak pihak dengan berbagai tujuan; dan
4.      Proses penghimpunan sunnah secara resmi dan menyeluruh telah memakan waktu yang panjang dan terjadi setelah lama Nabi n wafat.[30]
Dari paparan makalah ini, dengan jelas kita dapat menyimpulkan bahwa kegiatan dan kajian takhrīj al-hadīts benar-benar sangat dibutuhkan, sehingga diharapkan metodologi takhrīj dapat dikaji dengan baik dan bahkan menjadi sebuah kajian yang tidak boleh terlewatkan begitu saja!


BIBLIOGRAFI

Ālū Humayyid, Sa’ad bin ‘Abdillah, 2000, Turuq Takhrīj al-Hadīts, Riyadh: Dār ‘Ulūm al-Sunnah.
al-Asyqar, ‘Umar Sulaimān, 1991, Tārīkh al-Fiqh al-Islāmī, Oman: Dār al-Nafā’is.
Bakkār, Muhammad Mahmūd, 1997, ‘Ilm Takhrīj al-Ahādīts (Ushūluhu, Tarā’iquhu, Manāhijuhu), Riyadh: Dār Tayyibah.
Bāzamūl, Muhammad ‘Umar, 1995, al-‘Idhāfah: Dirāsāt Hadītsiyyah, Riyadh: Dār al-Hijrah.
Darwīsy, ‘Ādil Muhammad Muhammad, 1998, Nazarāt fī al-Sunnah wa ‘Ulūm al-Hadīts, Jakarta: tp.
Fathullah, Ahmad Lutfi, 2006, Hadits-hadits Lemah dan Palsu Dalam Kitab Durratun Nashihin, Jakarta: Darus Sunnah Press.
Harahap, Syahrin, 2000, Metodologi Studi dan Penelitian Ilmu-ilmu Ushuluddin, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Ismail, Syuhudi, 1999, Cara Praktis Mencari Hadits, Jakarta: Bulan Bintang.
____________, 1995, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta: Gema Insani Press.
Jum‘ah, ‘Imād ‘Alī, 2004, Ushūl al-Takhrīj wa Dirāsah al-Asānīd al-Muyassarah, Riyadh: Dār al-Muslim.
al-Qattān, Mannā’, 1992, Mabāhits fi ‘Ulūm al-Hadīts, Kairo: Maktabah Wahbah.
al-Rāsikh, ‘Abd al-Mannān, 2004, Mu’jam Mushtalah al-Ahādīts al-Nabawiyyah, Beirut: Dār Ibn Hazm.
al-Shuwayyān, Ahmad bin ‘Abdir Rahmān, 2000, Nahwa Manhajin Syar’iyyin li Talaqqī al-Akhbār wa Riwāyatihā, Riyadh: Majallah al-Bayān.
al-Tahhān, Mahmūd, 1996, Ushūl al-Takhrīj wa Dirāsah al-Asānīd, Riyadh: Maktabah al-Ma’ārif.
al-‘Utsaimīn, Muhammad bin Shālih, tt, Rasā’il al-Ushūl (Mushtalah al-Hadīts), Iskandariyah: Dār al-Bashīrah.
al-Zahrānī, Mahammad Matr, 1412 H, Tadwīn al-Sunnah al-Nabawiyyah (Nasya’tuhu wa Tatawwuruhu), Thaif: Maktabah al-Shadīq.
al-‘Abd al-Latīf, ‘Abd al-‘Azīz bin Muhammad bin Ibrāhīm, 2007, Dawābit al-Jarh wa al-Ta’dīl, Riyadh: al-Ubaikān.
Bakkār, Muhammad Mahmūd, 1997, ‘Asbāb Radd al-Hadīts wa Mā Yantaju ‘anhā min Anwā’, Riyadh: Dār Tayyibah.
____________, 1995, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits (Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah), Jakarta: Bulan Bintang.
Suryadi, 2003, Metodologi Ilmu Rijalil Hadis, Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah.
Yaqub, Ali Mustafa, 2004, Kritik Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus.



[1] Muhammad bin Shālih al-‘Utsaimīn, Rasā’il al-Ushūl (Mushtalah al-Hadīts), Iskandariyah: Dār al-Bashīrah, tt, hlm. 179.
[2] Syahrin Harahap, Metodologi Studi dan Penelitian Ilmu-ilmu Ushuluddin, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000, hlm. 27-28.
[3] Mahmūd al-Tahhān, Ushūl al-Takhrīj wa Dirāsah al-Asānīd, Riyadh: Maktabah al-Ma’ārif, 1996, hlm. 7-8; Muhammad Mahmūd Bakkār, ‘Ilm Takhrīj al-Ahādīts (Ushūluhu – Tarā’iquhu – Manāhijuhu), Riyadh: Dār Tayyibah, 1997, hlm. 10; dan ‘Imād ‘Alī Jum‘ah, Ushūl al-Takhrīj wa Dirāsah al-Asānīd al-Muyassarah, Riyadh: Dār al-Muslim, 2004, hlm. 5.
[4] al-Tahhān, Ushūl al-Takhrīj, hlm. 8-10.
[5] ‘Abd al-Mannān al-Rāsikh, Mu’jam Mushtalah al-Ahādīts al-Nabawiyyah, Beirut: Dār Ibn Hazm, 2004, hlm. 37.
[6] al-Tahhān, Ushūl al-Takhrīj, hlm. 10.
[7] Lihat pula: Jum‘ah, Ushūl al-Takhrīj, hlm. 6; Mannā’ al-Qattān, Mabāhits fi ‘Ulūm al-Hadīts, Kairo: Maktabah Wahbah, 1992,  hlm. 172; Sa’ad bin ‘Abdillah Ālū Humayyid, Turuq Takhrīj al-Hadīts, Riyadh: Dār ‘Ulūm al-Sunnah, 2000, hlm. 7; dan ‘Ādil Muhammad Muhammad Darwīsy, Nazarāt fī al-Sunnah wa ‘Ulūm al-Hadīts, Jakarta: tp, 1998, hlm. 266.
[8] Darwīsy, Nazarāt fī al-Sunnah, hlm. 266.
[9] al-Tahhān, Ushūl al-Takhrīj, hlm. 10-12.
[10] Bakkār, ‘Ilm Takhrīj, hlm. 19-26.
[11] al-Tahhān, Ushūl al-Takhrīj, hlm. 12.
[12] al-Tahhān, Ushūl al-Takhrīj, hlm. 12.
[13] Ālu Humayyid, Turuq Takhrīj, hlm. 16-20.
[14] al-Tahhān, Ushūl al-Takhrīj, hlm. 13-15.
[15] ‘Umar Sulaimān al-Asyqar, Tārīkh al-Fiqh al-Islāmī, Oman: Dār al-Nafā‘is, 1991, hlm. 126-127.
[16] Ālū Humayyid, Turuq Takhrīj, hlm. 23.
[17] Muhammad ‘Umar Bāzamūl, al-‘Idhāfah: Dirāsāt Hadītsiyyah, Riyadh: Dār al-Hijrah, 1995, hlm. 278-280.
[18] Bakkār, ‘Ilm Takhrīj, hlm. 19-26.
[19] Jum‘ah, Ushūl al-Takhrīj, hlm. 6.
[20] al-Tahhān, Ushūl al-Takhrīj, hlm. 37-38.
[21] Jum‘ah, Ushūl al-Takhrīj, hlm. 5.
[22] al-Tahhān, Ushūl al-Takhrīj, hlm. 39.
[23] al-Tahhān, Ushūl al-Takhrīj, hlm. 59.
[24] al-Tahhān, Ushūl al-Takhrīj, hlm. 81.
[25] al-Tahhān, Ushūl al-Takhrīj, hlm. 95.
[26] al-Tahhān, Ushūl al-Takhrīj, hlm. 129-133.
[27] Jum‘ah, Ushūl al-Takhrīj, hlm. 9 dan 30.
[28] Syuhudi Ismail, Cara Praktis Mencari Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1999, hlm. 16-17.
[29] Ahmad bin ‘Abdir Rahmān al-Shuwayyān, Nahwa Manhajin Syar’iyyin li Talaqqī al-Akhbār wa Riwāyatihā, Riyadh: Majallah al-Bayān, 2000, hlm. 42.
[30] Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta: Gema Insani Press, 1995, hlm. 42-43.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...