Senin, 12 Maret 2012

Hukum Islam, Syariah dan Fiqh

Oleh : Abdurrahman

Hukum Islam adalah dua kata dalam bahasa Indonesia yaitu kata "hukum" dan "Islam". Kata "hukum" dalam bahasa Indonesia adalah serapan dari bahasa Arab yaitu kataالحكم  (al- hukmu) yang merupakan bentuk singular/tunggal, adapun bentuk plural/jama'nya adalahالأحكام   (al-ahkam). Secara etimologi kata ini berartiالقضاء   (al-qadha) yang bermakna memutuskan, memimpin, memerintah, menetapkan dan menjatuhkan hukuman,[1] Al-Fairuz Abady menyatakan bahwa kata الحكم  (al- hukmu) dengan dhamah berartiالقضاء  (al-qadha) yaitu mengadili, bentuk jama'nya adalahالأحكام   (al-ahkam).[2] Abdullah bin Shalih Al-Fauzan dalam Syarh Al-Waraqat Fi Ushul Al-Fiqh menyatakan :
اللحكم لغة : المنع والحكم اصطلاحا : ما دل عليه خطاب الشرع المتعلق بأفعال المكلفين من طلب او تخيير او وضع
Al-Hukmu secara bahasa adalah mencegah, sedangkan secara istilah adalah segala sesuatu yang menunjukan padanya kehendak syar'i yang berkaitan dengan amalan-amalan orang yang sudah dewasa (mukallaf) baik berupa tuntutan kewajiban, pilihan dan hukum wadh'i.[3]
Nasrun Haroen merinci pengertian dari kata "al-hukm" dalam beberapa arti, Pertama,, Menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya, seperti menetapkan terbitnya bulan dan meniadakan kegelapan dengan terbitnya matahari. Kedua, Khitab Allah, seperti “aqimu ash-shalata” dalam hal ini yang dimaksud dengan hukum adalah nash yang datang dari Syari'. Ketiga, Akibat dari Khitab Allah, seperti hukum ijab yang dipahami dari firman Allah “aqimu ash-shalata”. Pengertian ini digunakan para fuqaha (ahli fiqh). Keempat, Keputusan hakim di sidang pengadilan.[4]  
Dari berbagai pengertian tersebut terlihat adanya makna yang satu yaitu bahwa al-hukm  adalah :
خطاب الله المتعلق بأفعال المكلفين طلبا أو تخييرا أو وضعا
Khitab Allah ta'ala yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang berupa tuntutan, pilihan atau yang bersifat wadh'i”[5]. Pengertian ini menunjukan bahwa hukum adalah sesuatu yang menjadi tuntutan syara' atas setiap orang-orang yang sudah mukallaf untuk melaksanakannya, baik hal itu berupa tuntutan, pilihan atau berbagai sebab yang mengakibatkan adanya hukum tersebut, seperti ahkam al-khamsah yaitu haram, makruh, mubah, sunnah dan wajib.
Berbeda dengan makna hukum sebelumnya, Muhammad Daud Ali menyatakan kata "hukum" berasal dari bahasa Arab yaitu al-hukm yang berarti kaidah, norma, ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda.[6] Hal ini sama seperti yang diungkapkan oleh M. Hasbi Ash-Shiddieqy yang menyatakan “Istilah hukum Islam walaupun berlafadz Arab, namun telah dijadikan bahasa Indonesia, sebagai terjemahan dari Fiqh Islam atau Syariat Islam”.[7]
Jika kita cermati, kata "hukum" dilihat dari asal kata bahasa Arab, maka makna yang sebenarnya tidaklah sama dengan kata hukum yang telah menjadi bahasa Indonesia. Kata hukum ini telah mengalami perubahan dan perluasan makna sehingga tidak sesuai lagi dengan makna bahasa asalnya. Adapun kata yang semakna dengan hukum dalam bahasa Arab adalah syariah dan fiqh.
Syariah menurut bahasa memiliki beberapa makna, diantaranya adalahالوارد   (al-warid) yang berarti jalan, ia bermakna pulaنحو الماء  yaitu tempat keluarnya (mata) air.[8] Al-Raghib menyatakan syariah adalah metode atau jalan yang jelas dan terang misalnya ucapaanشرعت له نهجا  (aku mensyariatkan padanya sebuah jalan). Manna' Khalil Al-Qathan berkata “Syariat pada asalnya menurut bahasa adalah sumber air yang digunakan untuk minum, kemudian digunakan oleh orang-orang Arab dengan arti jalan yang lurus (al-syirath al-mustaqim) yang demikian itu karena tempat keluarnya air adalah sumber kehidupan dan keselamatan/kesehatan  badan, demikian juga arah dari jalan yang lurus yang mengarahkan manusia kepada kebaikan, padanya ada kehidupan jiwa dan pengoptimalan akal mereka[9]
Kata syariah banyak terdapat di dalam Al-Qur'an, misalnya firman Allah ta’ala  dalam QS Al-Jatsiyah : 18  
 ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَتَتَّبِعْ أَهْوَآءَ الَّذِينَ لاَيَعْلَمُونَ
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
Makna syariah pada ayat ini adalah peraturan atau cara beragama. Sedangkan dalam QS Asy-Syura ayat 13 bermakna memberikan tata cara beragama : 
شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَاوَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَاوَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلاَتَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَاتَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَن يَشَآءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).
Makna syariah yang serupa disebutkan dalam QS Al-Syura ayat 21 Allah ta’ala berfirman :  
أَمْ لَهُمْ شُرَكَآؤُاْ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَالَمْ يَأْذَن بِهِ اللهُ وَلَوْلاَ كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِىَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمُُ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.
Dari beberapa ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa kata syariah bermakna peraturan, agama dan tata cara ibadah. Pengertian ini telah mengarah kepada makna secara istilah, karena khitab dari ayat-ayat tersebut adalah orang-orang yang beriman agar mereka dapat merealisasikan syariat tersebut.
Secara istilahsyariat adalah “Seperangkat norma yang mengatur masalah-masalah bagaimana tata cara beribadah kepada Allah ta'ala, serta bermuamalah dengan sesama manusia”. Al-Fairuz Abady menyebutkan bahwa syariat adalah apa-apa yang disyariatkan Allah kepada para hambaNya.[10] Ibnu Mandzur menyatakan bahwa syariah adalah :
والشريعةُ والشِّرْعةُ ما سنَّ الله من الدِّين وأَمَر به كالصوم والصلاة والحج والزكاة وسائر أَعمال البرِّ
Segala sesuatu yang ditetapkan  Allah dari dien (agama) dan diperintahkanya seperti puasa, shalat, haji, zakat dan amal kebaikan lainnya.[11]
Definisi ini seperti yang disebutkan oleh Manna' Al-Qathan yang menyebutkan bahwa syariat secara istilah adalah “Setiap sesuatu yang datang dari Allah ta'ala yang disampaikan oleh utusan/RasulNya kepada para hambaNya, dan Dia adalah pembuat syariat yang awal, hukumNya dinamakan syar'an.[12] Senada dengan pengertian ini Mahmud Syalthut mendefinisikannya dengan "Sebuah nama untuk tata peraturan dan hukum yang diturunkan oleh Allah ta'ala dalam bentuk ushulnya dan menjadi kewajiban setiap muslim sebagai pedoman dalam berhubungan dengan Allah dan antar sesama manusia."[13]
Para intelektual muslim Indonesia memberikan definisi dari syariah dengan beraneka ragam, misalnya Hasbi Ash-Shidieqy mendefinisikannya dengan “Segala yang disyariatkan Allah untuk kaum muslimin, baik ditetapkan oleh Al-Qur'an ataupun sunnah Rasul yang berupa sabda, perbuatan, ataupun taqrirnya”.[14] Sedangkan M. Ali Hasan menyatakan bahwa syari'ah adalah : Hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah bagi hamba-hambaNya (manusia) yang dibawa oleh para nabi, baik menyangkut cara mengerjakannya yang disebut far'iyah amaliyah (cabang-cabang amaliyah) dan untuk itulah fiqh dibuat, atau yang menyangkut petunjuk beri'tiqad yang disebut ashliyah i'tiqadiyah (pokok keyakinan), dan untuk itu para ulama menciptakan ilmu kalam (ilmu tauhid). Dalam bagian lain disebutkan bahwa syariah adalah “Semua yang disyariatkan Allah untuk kaum muslimin baik melalui Al-Qur'an maupun melalui sunnah rasul.[15]
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kata hukum dalam “Hukum Islam” bukanlah arti hukum dalam bahasa Arab al-hukm akan tetapi makna hukum dalam bahasa Indonesia adalah bermakna syari'ah dalam bahasa Arab. Pendapat ini seperti disebutkan oleh Fathurrahman Djamil yang menyimpulkan : Kata hukum Islam tidak ditemukan sama sekali di dalam Al-Qur'an dan literatur hukum dalam Islam, yang ada dalam Al-Qur'an adalah kata syari'ah, fiqh, hukum Allah dan yang seakar dengannya, kata hukum Islam merupakan terjemahan dari term “Islamic Law” dari literatur barat.[16]
Maka dalam ruang lingkup hukum Islam digunakan istilah Syariah Islam, yaitu "Seluruh peraturan dan tata cara kehidupan dalam Islam yang diperintahkan oleh Allah ta'ala yang termaktub di dalam Al-Qur'an dan Al-Sunnah". Hal ini sebagaimana term hukum dalam bahasa Indonesia yaitu “Seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa, baik berupa hukum tertulis ataupun tidak tertulis seperti hukum adat”.[17]
Pengertian selanjutnya dalam rangkaian hukum Islam adalah kata “Islam”. Kata ini secara bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu kataالسلام - أسلم – يسلم - إسلاما  (al-salam-aslama-yaslimu-islaman) kata ini mempunyai cabang makna yang sangat banyak, namun semuanya menunjuk kepada makna السلم (al-salam) yaitu kesejahteraan, kedamaian serta sifat tunduk patuh.[18] Dalam Al-Qur'an akar kata أسلم (aslama) terdapat dalam QS Al-Hujuraat : 14 
قَالَتِ الْأَعْرَابُ ءَامَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah (kepada mereka): "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: "Kami telah tunduk", karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu dan jika kamu ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Pada ayat ini kata أَسْلَمْنَا  berarti kami tunduk kepada peraturan Allah ta'ala.  Adapun dalam QS Al-Jin : 14, kata أَسْلَمْ   bermakna taat terhadap perintahNya :
وَأَنَّا مِنَّا الْمُسْلِمُونَ وَمِنَّا الْقَاسِطُونَ فَمَنْ أَسْلَمَ فَأُولَئِكَ تَحَرَّوْا رَشَدًا
Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang ta`at dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Barangsiapa yang ta`at, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus.
Sinonim dari kata tunduk dan taat adalah berserah diri, hal ini seperti disebutkan dalam QS Az-Zumar : 54 
وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ
Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).
Selain itu masih banyak sekali ayat-ayat yang menggunakan lafadz aslama seperti dalam QS Ash-Shafaat 103, An-Naml 44, Al-Haj 34, Al-An'am 14, Al-Maidah 44, An-Nisaa 125, Ali Imran 83 dan 20 serta Al-Baqarah ayat 131 dan 112.[19]
Akar kata aslama juga terdapat dalam sebuah hadits yang shahih dari riwayat Abdullah bin Amr bin Al-'Ash, Rasulullah bersabda : 
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده
Seorang muslim itu adalah seseorang yang kaum muslimin lainnya selamat dari ucapan lidah dan gangguan tangannya.”[20]
Sedangkan pengertian Islam menurut istilah adalah :
الإستسلام لله بالتوحيد والانقياد له بالطاعة والبراءة من الشرك وأهله
Penyerahan diri kepada Allah ta'ala serta tunduk dengan penuh ketaatan serta berlepas diri dari syirik dan para pelakunya."[21]
Secara umum dapat dikatakan bahwa Islam adalah “Rangkaian ibadah kepada Allah ta'ala dengan apa-apa yang disyariatkanNya, ia berlaku sejak Nabi pertama di utus hingga hari kiamat, sebagaimana disebutkan dalam QS Al-Baqarah ayat 128 :
رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ ءَايَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Sedangkan Islam dalam arti khusus adalah agama yang diturunkan oleh Allah ta’ala kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam bagi seluruh umat manusia.[22] Pengertian yang lebih komprehensif disebutkan oleh Mahmud Syalthut dalam Al-Islam, Aqidah wa Syari'ah, ia mendefinisikan Islam dengan “Dienullah (Agama Allah) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam yang berisi pokok pengajaran pada bidang ushul (dasar/pokok) maupun syariat, dan Nabi diperintahkan untuk menyampaikan kepada seluruh manusia dan menda'wahkannya.[23]
Dari sini dapat dipahami bahwa hukum Islam adalah hukum yang berdasarkan kepada nilai-nilai yang terkandung dalam Islam. Mengenai hal ini M. Daud Ali mengatakan “Hukum Islam adalah seperangkat tingkah laku yang mengatur tentang hubungan seorang manusia dengan Tuhan, sesama  manusia dan alam sekitarnya yang berasal dari Allah ta'ala”.[24] Adapun Hasbi Ash-Shidieqy menyatakan bahwa hukum Islam adalah “Hukum-hukum yang bersifat umum dan kulli yang dapat diterapkan dalam perkembangan hukum Islam menurut kondisi dan situasi masyarakat dan masa.[25]
Selain istilah syariah dalam hukum Islam dikenal pula istilah Fiqh Islam, yaitu serangkaian hukum Islam yang bersifat furu’ (cabang) yang berkaitan dengan perbuatan hamba yang digali dari dalil-dalil yang terperinci. Fiqh atau al-fiqhu الفقه secara bahasa adalah الفهم (al-fahmu) yang berarti “memahami”. Dalam Lisaan Al-Arab disebutkan :
العلم بالشّيء والفهم له
Al-Fiqh adalah ilmu tentang sesuatu dan pemahaman tentangnya.[26]
Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menggunakan istilah fiqh yang bermakna pemahaman, diantaranya dalah firmanNya :
فَمَالِ هَٰٓؤُلَآءِ ٱلْقَوْمِ لَا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًۭا
Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun?
Dalam ayat yang lainnya disebutkan :
وَمَا كَانَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا۟ كَآفَّةًۭ ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍۢ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌۭ لِّيَتَفَقَّهُوا۟ فِى ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُوا۟ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Sementara di dalam hadits, Rasulullah bersabda :
مَنْ يُرِدِ اللّٰهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقّهْهُ فِى الدّيْنِ
Barangsiapa dikehendaki Allah sebagai orang baik, pasti Allah akan memahamkannya dalam persoalan agama.
Sedangkan secara istilah fiqh adalah :
معرفة الأحكام الشرعية العملية بأدلتها التفصيلية
Pengetahuan tentang-tentang hukum syariat yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.[27] Pengertian yang lebih komprehensif mengenai fiqh adalah :
العلم بالأحكام الشّرعيّة العمليّة المكتسب من أدلّتها التّفصيليّة
Ilmu tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci. Dalil-dalil yang tafsili yang dimaksud berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.
Dari pengertian syari'ah dan fiqih yang telah dibahas sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa keduanya memiliki karakter masing-masing. Dilihat dari sumbernya maka syariah bersumber dari Allah ta’ala yaitu berupa Al-Qur'an dan Hadits Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam. Sedangkan Fiqh bersumber dari para ulama dan ahli Fiqh yang telah menggali hukum-hukum yang berasal dari Al-Qur'an dan Hadist. Sementara dari segi obyeknya maka syariah objeknya meliputi bukan saja batin manusia akan tetapi juga lahiriyah manusia dengan Tuhannya (ibadah). Sedangkan Fiqih objeknya peraturan manusia yaitu hubungan lahir antara manusia dengan manusia serta manusia dengan makhluk lainnya. Perbedaan selanjutnya adalah mengenai sanksi ketika melanggarnya, syariah sanksinya adalah pembalasan Allah ta’ala di akhirat, sedangkan Fiqih Semua norma sanksinya bersifat sekunder yaitu negara sebagai pelaksana sanksinya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa hukum Islam adalah aturan-aturan yang datang dari Allah ta’ala melalui perantara para rasulNya yang berupa hukum-hukum yang qath’i (syariah) dan juga yang bersifat dzanni yaitu fiqh. Dengan kata lain hukum Islam adalah syariat Allah yang bersifat menyeluruh berupa hukum-hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta hukum-huukm yang dihasilkan oleh para ahli hukum Islam dengan menggunakan metode ijtihad (fiqh).


[1] Ahmad Warson  Munawwir, Kamus Munawwir, Surabaya : Pustaka Progressif, 1997,  hlm. 286.
[2] Al-Fairuz Abady, Al-Qamus Al-Muhith, Libanon : Muasasah Ar-Risalah, 1998. hlm. 1095.
[3] Abdullah bin Shalih Al-Fauzan, Syarh Al-Waraqat Fi Ushul Al-Fiqh, Riyadh : Dar Al-Muslim, 1997. hlm. 28.
[4] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu,  2001, hlm. 207
[5] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Kairo : Dar Al-Hadits, 2003, hlm. 87.
[6] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2004, hlm. 44.
[7] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah hukum Islam, Jakarta : PT Bulan Bintang,  1986. hlm. 44.
[8] Ibnu Mandzur, Lisan Al-‘Arab Juz VII,  hlm. 86
[9] Manna' Khalil Al-Qatan, At-Tasyri' Wa Al-Fiqhi fi Al-Islam Tarikhan wa Manhajan, Mesir : Maktabah Wahbah, 2001, hlm. 13. 
[10] Al-Fairuz Abady, Al-Qamus Al-Muhith,  hlm. 732.
[11] Ibnu Mandzur, Lisan Al-‘Arab Juz V, hlm. 86.
[12] Manna' Khalil Al-Qathan, At-Tasyri' Wa Al-Fiqhi fi Al-Islam Tarikhan wa manhajan, hlm. 14.
[13] Mahmud Syalthut, Al-Islam Aqidah Wa-Syari'ah, hlm. 73.
[14] Hasbi Ash-Shidieqy, Pengantar hukum Islam, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra , 2001. hlm. 18.
[15] M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab, Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 1995, hlm. 5.
[16] Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999. hlm. 11.
[17] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,  hlm. 40.
[18] Ibnu Mandzur, Lisan Al-‘Arab Juz VI, hlm. 344.
[19] Fadhlurrahman, Indeks Al-Qur’an, Bandung : Pustaka Hikmah, lLihat dalam software Holy Qur'an.
[20] HR Bukhari. Lihat Fathu Al-Bary Juz 10 hlm. 446. lihat pula Lisan Al-Arab Ibnu Mandzur hlm. 345. dan Maktabah Syamilah. 
[21] Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarh Ats-Tsalastah Al-Ushul, Mesir : Dar Ibn Al-Jauzy, 2004, hlm. 50.
[22] Ibid.,  hlm. 15.
[23] Mahmud Syalthut, Al-Islam Aqidah Wa-Syari'ah, hlm. 7. 
[24] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, hlm. 40.
[25] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah hukum Islam, Jakarta : PT Bulan Bintang, 1986. hlm. 44.
[26] Ibnu Mandzur, Lisaan Al-Arab, Juz XIII, hal. 522
[27] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Kairo : Dar Al-hadits, tahun 2003,  hal. 11. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...