Rabu, 30 Mei 2012

Kaidah Fiqhiyah tentang Jinayah dan Jarimah


Banyak sekali kaidah-kaidah fiqh yang berbicara tentang jinayah dan jarimah. Diantaranya adalah : Kaidah tentang kesamaan qishash dengan hudud, disebutkan oleh Ibnu Nujaym dalam kitabnya:
القصاص كالحدود
Jarimah qishash sama dengan jarimah hudud.
Dijelaskan bahwa kesamaannya terletak pada keharusan untuk berhati-hati dalam pemberian sanksi. Pada jarimah qishash pun, hukuman gugur jika terdapat syubhat (kesamaran). Oleh karena itu, keharusan untuk menghindari hukuman hudud, berlaku juga pada jarimah qishash. Kemudian perbedaan jarimah hudud dengan jarimah qishash terletak pada tujuh hal, yaitu:
a)      Pada jarimah qishash, hakim boleh memutuskan hukuman berdasarkan pengetahuannya, sedangkan pada jarimah hudud tidak boleh.
b)      Pada jarimah qishash, hak menuntut qishash bisa diwariskan, sedangkan pada jarimah hudud tidak.
c)      Pada jarimah qishash, korban atau wali korban dapat memaafkan sehingga hukuman dapat gugur secara mutlak atau berpindah kepada hukum penggantinya, sedangkan pada jarimah hudud tidak ada pemaafan.
d)     Pada jarimah qishash, tidak ada kadaluarsa dalam kesaksian, sedangkan pada jarimah hudud ada kadaluarsa dalam kesaksian kecuali pada jarimah qadzaf.
e)      Pada jarimah qishash, pembuktian dengan isyarat dan tulisan dapat diterima, sedangkan pada jarimah hudud tidak.
f)       Pada jarimah qishash, dibolehkan ada pembelaan (al syafa‟at), sedangkan pada jarimah hudud tidak ada.
g)      Pada jarimah qishash, harus ada tuntutan, sedangkan pada jarimah hudud tidak perlu kecuali pada jarimah qadzaf.
Selanjutnya Kaidah kedua tentang keharusan adanya kafaah:

Qishash gugur karena ketiadaan kafaah (kesetaraan) dalam hal kemerdekaan dan agama.
Kaidah ketiga tentang keharusan adanya kesamaan (al musawah) dan keserupaan (al mumatsalah) dalam jinayah terhadap selain jiwa:
ﻳﺴﻘﻄ ﺍﻟﻘﺼﺎﺹ ﺑﻌﺪﻡ ﺍﻟﻤﺴﺎﻭﺓ ﻭﺍﻟﻤﻤﺎﺛﻠﺔ
Qishash gugur karena ketiadaan kesamaan dan keserupaan.
Kaidah di atas mengandung arti bahwa qishash tidak dapat dilaksanakan jika tidak ada kesamaan dan keserupaan antara pelaku dengan korbannya. Kesamaan yang dimaksud adalah kesamaan dalam kesehatan dan kesempurnaan (kemulusan). Misalnya, tangan yang lumpuh tidak sama dengan tangan yang sehat; tangan yang berjari lengkap tidak sama dengan tangan yang tidak berjari atau tidak lengkap; mata yang melihat tidak sama dengan mata yang buta; dan seterusnya. Adapun keserupaan yang dimaksud adalah tangan kanan dengan tangan kanan; kaki kiri dengan kaki kiri; mata kanan dengan mata kanan; telinga kiri dengan telinga kiri; dan seterusnya. Sebagai contoh kasus, jika ada kesamaan dan keserupaan: seseorang yang tidak memiliki telinga kiri memotong telinga kiri orang lain, pada kasus ini qishash tidak dapat dilaksanakan karena tidak ada keserupaan, sehingga sanksi ini berpindah kepada diyat.
Kaidah keempat tentang gugurnya qishash karena ada kerelaan/izin korban: Pada dasarnya para fuqaha sepakat bahwa adanya kerelaan korban untuk dibunuh tidak membolehkan seseorang melakukan pembunuhan, seperti kasus euthanasia. Tetapi mereka berbeda dalam posisi kerelaan tersebut. Menurut Hanafiyah:
ﻳﺴﻘﻄ ﺍﻟﻘﺼﺎﺹ ﺑﺮﺿﺎ ﺍﻟﻤﺠﻨﻲ ﻋﻠﻴﻪ
Qishash (hukum asal) gugur karena ada kerelaan korban.
Gugurnya qishash disebabkan oleh adanya kerelaan atau izin korban yang dapat dipersamakan dengan pemaafan. Oleh karena itu, hukuman berpindah kepada diyat. Selain itu, kerelaan itu menjadi syubhat yang dapat menggugurkan hudud. Menurut pendapat Malikiyah yang rajih dan sebagian Syafi‟iyah:
ﻻ ﻳﺴﻘﻄ ﺍﻟﻘﺼﺎﺹ ﺑﺮﺿﺎ ﺍﻟﻤﺠﻨﻲ ﻋﻠﻴﻪ
Qishash tidak gugur karena ada kerelaan korban.
Kerelaan korban tidak dapat dipersamakan dengan pemaafan karena kerelaan itu ada sebelum terjadi jarimah pembunuhan, sedangkan pemaafan ada setelah terjadi jarimah. Oleh karena itu, pembunuhan tersebut tetap merupakan pembunuhan sengaja yang harus dihukum dengan qishash. Pendapat Malikiyah yang marjuh (sahnun) dan sebagian Syafi‟iyah: Kerelaan korban dapat dipersamakan dengan pemaafan baik dari hukuman asli (qishash) maupun penggantinya (diyat). Pemaafan dari korban itu lebih utama dari pada keluarga sebab pemaafan itu menjadi hak bagi korban.
Kaidah kelima tentang kaifiyah eksekusi qishash: Pendapat Hanafiyah:
لا قصاص إلا بالسيف
Tidak ada qishash kecuali dengan pedang.
Kaidah ini mengandung arti bahwa dengan cara apapun suatu pembunuhan dilakukan, pelaksanaan qishashnya harus dengan menggunakan pedang. Pendapat Malikiyah, Syafi‟iyah, dan Hanabilah:
ﻣﻦ ﻗﺘﻞ ﺑﺸﻲﺀ ﻗﺘﻞ ﺑﻤﺜﻠﻪ
Barang siapa yang membunuh dengan sesuatu (cara/alat), maka ia diqishash dengan cara yang serupa.
Kaidah ini mengandung arti bahwa eksekusi qishash dilaksanakan sesuai dengan cara pelaku melakukan pembunuhan. Misalnya, seseorang melakukan pembunuhan dengan cara mencekik, maka iapun diqishash dengan cara dicekik pula. Atau seseorang melakukan pembunuhan dengan cara membakar, maka ia pun diqishash dengan cara dibakar pula. Selain itu, Rasulullah SAW pernah memerintahkan kepada para sahabatnya untuk mengqishash seorang Yahudi dengan cara yang sama (Yahudi itu telah membunuh jariyahnya dengan cara meremukan kepalanya diantara dua batu). Namun demikian, keharusan dengan cara yang sama ini dikecualikan, jika pembunuhan yang dilakukan menggunakan cara yang haram. Misalnya, seseorang melakukan sodomi terhadap seorang anak yang menyebabkan kematian, atau seseorang melakukan pembunuhan dengan menggunakan khamr.
Kaidah keenam tentang gugurnya qishash karena korban hilang jaminan perlindungan:
ﺍﻹﻫﺪﺍﺭ ﻫﻮ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ
Ada kebolehan (melakukan sesuatu) terhadap orang yang telah hilang jaminan perlindungan.
Kaidah ini mengandung arti bahwa seseorang boleh melakukan sesuatu terhadap seseorang yang telah hilang hak-hak perlindungannya, baik tubuhnya, jiwanya, maupun hartanya. Adapun yang dimaksud dengan hilangnya jaminan perlindungan adalah orang-orang yang telah melakukan perbuatan jarimah yang harus dikenai sanksi hudud atau qishash. Misalnya, orang yang telah melakukan jarimah zina, pencurian, perampokan, pemberontakan, riddah, penganiayaan, dan pembunuhan. Perlakuan sesuatu yang boleh dilakukan bergantung kepada jenis hukuman yang harus diterima oleh korban. Misalnya, seseorang boleh membunuh korban yang telah melakukan zina (zina muhshan), melakukan pembunuhan, dan jarimah lainnya, yang sanksinya dibunuh. Ada perbedaan sifat hilangnya jaminan perlindungan diantara orang yang telah melakukan jarimah hudud dengan jarimah qishash. Pada jarimah hudud bersifat mutlak sedangkan pada jarimah qishash bersifat relatif. Pada jarimah qishash, hilangnya jaminan perlindungan bergantung kepada pemaafan wali korban. Oleh karena itu, kepada selain wali korban, orang yang telah membunuh tidak hilang jaminan perlindungannya.
Selanjutnya adalah Kaidah Fiqhiyyah yang berkenaan dengan hudud, berikut adalah penjelasannya : Kaidah pertama tentang homoseks (al-liwath):
ﺍﻟﻠﻮﺍﻃ ﻛﺎﻟﺰﻧﺎ
Homoseks itu seperti zina.
Kaidah ini dipegang oleh Malikiyah, Syafi‟iyah, Hanabilah, dan Zhahiriyah. Akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam memberikan hukuman terhadap pelaku homoseks. Syafi‟iyah berpendapat bahwa hukumannya sama persis dengan had zina, yaitu didera bagi yang ghair muhshan dan rajam bagi yang muhshan. Sementara Malikiyah, Hanabilah, dan Zhahiriyah berpendapat bahwa hukuman bagi homoseks itu adalah rajam baik pelakunya muhshan maupun ghair muhshan. Berbeda dengan pendapat Jumhur Fuqaha di atas, Hanafiyah berpendapat bahwa:
ﺍﻟﻠﻮﺍﻃ ﻟﻴﺲ ﻛﺎﻟﺰﻧﺎ
Homoseks tidak sama dengan zina.  
Mereka beralasan bahwa: 1) Perbedaan nama mengakibatkan perbedaan hukum. 2) Para sahabat berbeda pendapat dalam memberikan hukuman terhadap pelaku homoseks. Ini menunjukkan homoseks ini termasuk wilayah ijtihadi. 3) Zina dapat merusak nasab sedangkan homoseks tidak. 4) Wath‟i melalui qubul merupakan sesuatu yang secara naluriah menjadi kecenderungan semua orang terutama bagi yang diwath‟i nya sedangkan melalui dubur tidak. 5) Sebutan al fahisyat terhadap jarimah homoseks tidak menunjukkan kesamaan hukum dengan zina, karena selain homoseks, banyak perbuatan dosa besar yang termasuk al fahisyat.
Kaidah kedua yaitu tentang lesbian (al-musahaqah), Para fuqaha sepakat bahwa lesbian tidak sama dengan zina. Mereka menyatakan:
ﺍﻟﻤﺴﺎﺣﻘﺔ ﻟﻴﺲ ﻛﺎﻟﺰﻧﺎ
Jarimah lesbian tidak sama dengan jarimah zina.
Selanjutnya yaitu kaidah ketiga tentang menyetubuhi binatang:
ﻻﺣﺪ ﻋﻟﻰ ﻣﻦ ﻭﻃﺀ ﺍﻟﺒﻬﻴﻤﺔ
Tidak ada had tentang orang yang menyetubuhi binatang.
Kaidah keempat tentang laki-laki yang menyetubuhi mayat perempuan: Pendapat jumhur:
ﻭﺟﻮﺏ ﺍﻟﺤﺪ ﻋﻟﻰ ﻣﻦ ﻭﻃﺀ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺍﻟﻤﻴﺘﺔ
Tidak ada had terhadap laki-laki yang menyetubuhi mayat perempuan.
Dengan alasan karena persetubuhan itu bukan merupakan kecenderungan (keinginan) dari keumuman manusia. Orang yang melakukan persetubuhan dengan mayat cukup dikenai sanksi ta‟zir. Berbeda dengan jumhur, Malikiyah dan sebagian Hanabilah berpendapat bahwa: “Had wajib ditegakkan terhadap laki-laki yang menyetubuhi mayat perempuan”. Mereka beralasan bahwa persetubuhan tersebut kedudukannya sama dengan persetubuhan terhadap wanita yang hidup. Hal ini dikarenakan kebutuhan syahwat dapat terpenuhi dengan menyetubuhi mayat perempuan sebagaimana menyetubuhi perempuan yang hidup.
Kaidah kelima tentang perempuan yang menyetubuhi mayat laki-laki:
ﻻﻳﺤﺪ ﻣﻦ ﺍﺩﺧﻠﺖ ﺫﻛﺮ ﻣﻴﺖ ﻓﻲ ﻓﺮﺟﻬﺎ
Tidak ada had bagi perempuan yang memasukkan kelamin laki-laki yang sudah meninggal ke dalam farjinya.
Menurut Malikiyah, hal ini didasarkan bahwa persetubuhan itu tidak mendatangkan kenikmatan.
Kaidah keenam tentang perempuan dewasa yang bersetubuh dengan anak laki-laki (yang belum dewasa):
ﻻﺣﺪ ﻋﻟﻰ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺍﻟﺘﻲ ﻁﺎﻭﻋﺖ ﺍﻟﺼﺒﻲ ﺃﻭ ﺍﻟﻤﺠﻨﻮﻥ
Tidak ada had bagi perempuan yang bersetubuh dengan anak laki-laki atau orang gila.
Kaidah ketujuh tentang laki-laki dewasa yang bersetubuh dengan anak perempuan yang masih kecil (belum dewasa): Dikenakan had bagi laki-laki yang menyetubuhi perempuan yang belum dewasa yang memungkinkan untuk disetubuhi”. Kaidah kedelapan tentang suami yang menyetubuhi istri melalui duburnya:
ﻻﻳﺤﺪ ﻣﻦ ﻭﻁﺀ ﺯﻭﺟﺘﻪ ﻓﻲ ﺩﺑﺮﻫﺎ ﻭﻟﻜﻦ ﻳﺆﺩﺏ
Tidak ada had bagi suami yang menyetubuhi istrinya melalui duburnya, melainkan ta‟zir”.
Selanjutnya adalah kaidah-kaidah fiqh yang berkenaan dengan Jarimah Qadzaf, diantaranya adalah : Kaidah pertama tentang menuduh seseorang telah melakukan kejahatan:
ﻣﻦ ﺭﻣﻰ ﺇﻧﺴﺎﻧﺎ ﺑﻮﺍﻗﻌﺔ ﺃﻭ ﺻﻔﺔ ﻣﺤﺮﻣﺔ ﻣﺎ, ﻭﺟﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻥ ﻳﺜﺒﺖ ﺻﺤﺘﻪ ﻣﺎ ﺭﻣﺎﻩ ﺑﻪ ﻓﺈﻥ ﻋﺠﺰ ﻋﻦ ﺇﺛﺒﺎﺗﻪ ﺃﻭ ﺇﻣﺘﻨﻊ ﻭﺟﺒﺖ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻌﻘﻮﺑﺔ
Barang siapa menuduh seseorang dengan suatu kejadian atau keadaan yang diharamkan, maka wajib baginya untuk membuktikan kebenaran tuduhannya. Apabila ia tidak dapat membuktikannya maka ia wajib dihukum.
Kaidah di atas menjelaskan bahwa orang yang menuduh seseorang dengan tuduhan telah melakukan suatu tindakan kejahatan atau sesuatu yang diharamkan maka ia wajib membuktikan kebenaran tuduhan tersebut. Misalnya, seseorang menuduh orang lain telah berbuat zina atau telah mencuri, maka orang tersebut (penuduh) wajib membuktikan kebenaran ucapannya. Penuduh harus dikenai hukuman jika ia tidak dapat membuktikan kebenaran ucapannya. Sebaliknya, orang yang dituduh harus dikenai hukuman jika penuduh dapat membuktikan kebenaran tuduhannya.
Selain itu, ada kaidah pokok yang menyatakan bahwa:
ﺍﻷﺻﻞ ﺑﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﺬﻣﺔ
Pada asalnya seseorang itu terbebas dari sesuatu beban.
Kaidah di atas menunjukkan bahwa seseorang itu pada asalnya tidak bersalah sehingga ketika ada tuduhan seseorang yang menyatakan bahwa ia telah bersalah maka penuduh harus membuktikan kebenaran tuduhannya. Si tertuduh memiliki hak untuk membela diri dengan menyatakan bahwa ia tidak bersalah atau melakukan kejahatan yang dituduhkan kepadanya.
Kaidah kedua tentang mencaci:
ﻣﻦ ﺳﺒﺐ ﺇﻧﺴﺎﻧﺎ ﺃﻭ ﺷﺘﻤﻪ ﻓﻌﻠﻴﻪ ﺍﻟﻌﻘﻮﺑﺔ ﻭﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﺍﻟﺤﻖ ﻓﻲ ﺇﺛﺒﺎﺕ ﺻﺤﺔ ﻣﺎ ﻗﺎﻝ
Barang siapa mengejek atau mencaci seseorang, maka wajib baginya hukuman tanpa harus membuktikan kebenaran ucapannya.
Kaidah di atas mengandung arti bahwa mengejek atau mencaci maki seseorang, sejak awal, sudah termasuk perbuatan jarimah. Ia tidak perlu membuktikan kebenaran ucapannya tetapi harus diberikan sanksi agar terpelihara kehormatan diri seseorang. Misalnya, seseorang menghina keadaan fisik atau sifat orang lain dengan hinaan seperti: “Hai hitam!”, “Hai hidung pesek!”, “Hai orang bodoh!”, dan sebagainya. Kata-kata tersebut tidak perlu dibuktikan kebenarannya. Sebab, perbuatan tersebut sudah termasuk perbuatan maksiat, meskipun apa yang dikatakan itu benar keadaannya. Berbeda dengan menuduh seseorang dengan tuduhan telah berbuat jarimah. Pada awalnya, perbuatan tersebut (menuduh) bukan merupakan perbuatan jarimah. Sebab, bisa jadi ia sebagai saksi untuk mengungkapkan suatu peristiwa yang telah terjadi.
Kaidah ketiga tentang menuduh perbuatan yang wajib dikenai had zina:
ﻛﻞ ﻣﺎ ﻳﻮﺟﺐ ﺣﺪ ﺍﻟﺯﻧﺎ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻓﺎﻋﻠﻪ ﻳﻮﺟﺐ ﺣﺪ ﺍﻟﻘﺬﻑ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻘﺎﺫﻑ ﺑﻪ
Setiap yang dihukum dengan had zina bagi pelakunya, maka wajib juga dihukum dengan had qadzaf bagi penuduhnya.
Demikian juga dalam hal qadzaf, kualifikasi jarimah qadzaf pun bergantung pada kualifikasi jarimah zina, sebab jarimah qadzaf ini berkenaan dengan tuduhan zina. Seseorang telah dapat dikualifikasikan sebagai penuduh zina jika ia menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan zina dan ia tidak dapat membuktikan tuduhannya. Misalnya, sebagian Hanabilah menganggap bahwa menyetubuhi binatang itu termasuk perbuatan zina, maka orang yang menuduh seseorang dengan tuduhan telah bersetubuh dengan hewan harus dikenai sanksi qadzaf jika ia tidak dapat membuktikan tuduhannya. Sementara Malikiyah, Hanafiyah, sebagian Syafi‟iyah dan Hanabilah menganggap bahwa menyetubuhi hewan itu bukan perbuatan zina, tetapi tetap harus dikenai sanksi ta‟zir karena merupakan perbuatan maksiat. Orang yang menuduh perbuatan tersebut pun tidak bisa dikenai had qadzaf, melainkan ta‟zir, jika ia tidak dapat membuktikan kebenaran tuduhannya.
Demikian juga dalam hal menuduh seseorang telah melakukan jarimah homoseks. Jumhur berpendapat bahwa menuduh seseorang telah melakukan jarimah homoseks harus dikenai had qadzaf karena homoseks termasuk zina. Sedangkan Hanafiyah menganggap bahwa homoseks itu bukan zina, maka orang yang menuduh perbuatan tersebut pun tidak dapat dikenai had qadzaf , melainkan ta‟zir. Hukuman itu diberikan jika penuduh tidak dapat membuktikan kebenaran tuduhannya.
Kaidah keempat tentang syarat tuduhan zina:
ﻳﺸﺘﺮﻃ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺬﻑ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻤﻘﺬﻭﻑ ﻣﻌﻠﻮﻣﺎ ﻭﻳﺠﺐ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻘﺬﻑ ﻣﻂﻠﻘﺎ ﻋﻦ ﺍﻟﺸﺮﻃ ﻭﺍﻹﺿﺎﻓﺔ ﺇﻟﻰ ﻭﻗﺖ ﻣﻌﻴﻦ
Disyaratkan dalam tuduhan zina (yang dikenai had) adalah orang yang dituduh itu diketahui dan tuduhan terbebas dari syarat dan kaitan dengan waktu yang ditentukan.
Kaidah ini menunjukkan bahwa seseorang dianggap telah melakukan jarimah qadzaf, jika tuduhannya itu dituduhkan kepada seseorang tertentu (diketahui). Misalnya, kamu, dia (dengan menyebutkan namanya), ayahmu, ibumu, anakmu (dengan menyebutkan nama jika anaknya lebih dari seorang) dan sebagainya. Adapun kata-kata yang tidak jelas dituduhkan kepada siapa, misalnya: “Diantaramu, ada salah seorang yang telah berzina” atau “Salah satu yang berada di kelas itu telah melakukan zina”. Kata-kata tersebut belum dianggap sebagai tuduhan zina. Selain itu, tuduhan itu tidak boleh digantungkan dengan waktu atau keadaan tertentu. Misalnya, “Kamu telah berzina jika saya lulus ujian” atau “Kamu telah berzina jika saya telah sampai ke rumah”. Perkataan seperti itu belum dianggap sebagai tuduhan zina.
Kaidah kelima tentang syarat orang yang dituduh:
ﻳﺸﺘﺮﻃ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻘﺬﻭﻑ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﺤﺼﻨﺎ ﺭﺟﻼ ﻛﺎﻥ ﺃﻭ ﺍﻣﺮﺃﺓ
Disyaratkan orang yang dituduh itu harus muhshan (orang yang memelihara diri dari perbuatan zina) baik laki-laki atau perempuan.
Kaidah ini menjelaskan bahwa seseorang dianggap telah melakukan jarimah qadzaf jika tuduhan itu dituduhkan kepada muhshan atau muhshanat. Adapun arti muhshan dalam jarimah qadzaf adalah laki-laki atau perempuan yang biasa menjaga diri (iffah) dari perzinhaan, baligh, berakal, merdeka, dan muslim. Dengan demikian, menuduh zina terhadap orang yang jelas-jelas pelacur, tidak termasuk jarimah qadzaf.
Selanjutnya kaidah-kadiah fiqh yang berkenaan dengan Jarimah Minum Khamr diantaranya adalah : Kaidah pertama tentang minuman yang memabukkan:
ﻛﻞ ﻣﺴﻜﺮ ﺧﻤﺮ ﻭﻛﻞ ﺧﻤﺮ ﺣﺮﺍﻡ
Setiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr adalah haram.
Kaidah ini mengandung arti bahwa setiap minuman yang memabukkan kedudukannya sama seperti khamr yang dikemukakan dalam al Quran. Barang siapa yang meminumnya, sedikit atau banyak, akan dikenai sanksi dera sebagaimana yang pernah dilakukan Rasulullah SAW. Berbeda dengan pendapat jumhur, Abu Hanifah mengatakan bahwa:
ﺣﺮﻣﺔ ﺍﻟﺨﻤﺮﺓ ﻟﻌﻴﻨﻬﺎ ﻭﺍﻟﻤﺴﻜﺮ ﻣﻦ ﻛﻞ ﺷﺮﺍﺏ
Khamr haram karena dzatnya, sedangkan minuman (selain khamr) karena mabuknya.
Kaidah tersebut dipegang oleh Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Menurut mereka, khamr adalah perasan anggur yang difermentasikan sehingga menimbulkan gelembung-gelembung (berbuih) sampai berbusa. Adapun dari bahan-bahan lainnya tidak dinamakan khamr. Menurutnya, berbeda nama berarti berbeda hukumnya. Keharaman khamr karena dzatnya. Oleh karena itu, minum sedikit atau banyak sudah termasuk perbuatan haram (jarimah). Sedangkan minuman lain yang dibuat dari selain anggur, keharamannya karena mabuknya. Misalnya, seseorang minum minuman “keras” yang bukan berasal dari perasan anggur, selama belum mabuk, halal hukumnya. Tetapi, jika ia mabuk, maka pada tegukan yang terakhir itulah ia telah melakukan perbuatan yang haram atau jarimah minum minuman “keras”.
Kaidah kedua tentang kadar minuman yang memabukkan:
ﻻﻋﺒﺮﺓ ﺑﻘﻮﺓ ﺍﻹﺴﻜﺎﺭ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺸﺮﻭﺏ ﻓﻤﺎ ﺃﺳﻜﺮ ﻛﺜﻴﺮﻩ ﻓﻘﻠﻴﻠﻪ ﺣﺮﺍﻡ
Daya mabuk suatu minuman (kadar alkohol) bukanlah ukuran (keharaman), minuman yang dalam keadaan banyak dapat memabukkan maka dalam keadaan sedikitpun telah haram.
Maksudnya, keharaman minuman keras itu tidak diukur oleh banyaknya (kadar) minuman yang dapat memabukkan peminumnya. Misalnya, seseorang baru mabuk jika telah minum tiga gelas. Menurut jumhur, pada tegukan pertama pun sudah haram apabila minuman itu memabukkan, walaupun ia belum mabuk.
Jarimah berikutnya adalah Jarimah Pencurian, kaidah fiqhiyyah yang berkenaan dengan hal ini adalah : Kaidah pertama tentang kualifikasi jarimah pencurian:
ﺃﺧﺬ ﺍﻟﻌﺎﻗﻞ ﺍﻟﺒﺎﻟﻎ ﻋﺸﺮﺓ ﺩﺭﺍﻫﻢ ﺃﻭ ﻣﻘﺪﺍﺭﻫﺎ ﺧﻔﻴﺔ ﻋﻤﻦ ﻫﻮ ﻣﺘﺼﺪ ﻟﻠﺤﻔﻈ ﻣﻤﺎ ﻻ ﻳﺘﺴﺎﺭﻉ ﺇﻟﻴﻪ ﺍﻟﻔﺴﺎﺩ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﺍﻟﻤﺘﻤﻮﻝ ﻟﻠﻐﻴﺮ ﻣﻦ ﺣﺮﺯ ﺑﻼ ﺷﺒﻬﺔ
Pencurian adalah mengambil harta yang dilakukan oleh orang yang berakal (tidak gila) dan telah dewasa; sekurang-kurangnya sepuluh dirham; yang dilakukan dengan cara diam-diam; harta tersebut tersimpan di tempat yang terjaga (layak), tidak cepat rusak dan milik orang lain dengan tidak ada syubhat.
Kaidah kedua tentang harta yang dirusak:
ﻛﻞ ﻣﺎ ﺍﺳﺘﻬﻠﻚ ﻓﻲ ﻣﺤﻞ ﺍﻟﺤﺎﺩﺙ ﻓﻬﻮ ﻣﺘﻠﻒ ﻻ ﻣﺴﺮﻭﻕ
Setiap (harta) yang habis (lenyap) pada waktu pencurian maka termasuk perusakan bukan pencurian.
Kaidah ini mengandung arti bahwa suatu perbuatan dianggap pencurian apabila harta yang dicuri itu tidak dirusak di tempat penyimpanannya, baik dengan cara dimakan, diminum, atau disobek. Pengambilan harta dengan cara dirusak seperti ditelan, disobek, atau dipecahkan merupakan perbuatan perusakan. Misalnya, seorang pencuri memakan hidangan yang tersedia di meja makan, perbuatan itu merupakan perusakan bukan pencurian. Akan tetapi, perbuatan itu sudah merupakan pencurian jika pencuri itu membawa keluar makanan tersebut dari hiriznya dan telah mencapai nishab kemudian memakannya. Para Fuqaha sepakat bahwa perusakan itu terhadap harta yang menjadi rusak karena ditelan. Sedangkan harta yang tidak rusak, maka mereka berbeda pendapat. Pendapat tersebut adalah:
1) Perbuatan tersebut merupakan perusakan bukan pencurian.
2) Perbuatan tersebut merupakan pencurian.
3) Perbuatan tersebut merupakan perusakan jika harta yang ditelan itu dapat dikeluarkan. Sebaliknya perbuatan tersebut merupakan pencurian jika harta yang ditelan itu tidak dapat dikeluarkan.
Kaidah ketiga tentang gugurnya hiriz:
ﻳﺒﻂﻞ ﺍﻟﺤﺮﺯ ﺑﻔﺘﺢ ﺍﻟﺒﺎﺏ ﻭﺍﻟﻨﻘﺐ
Hiriz gugur (hilang) karena pintu telah terbuka atau adanya lubang.
Kaidah ini dipegang oleh al Syafi‟i, Ahmad, dan Syi‟ah Zaydiyah. Kaidah ini mengandung arti bahwa seseorang yang mengambil harta di suatu tempat dalam keadaan terbuka pintunya atau melalui suatu lubang, tidak termasuk pencurian yang harus dikenai had melainkan ta‟zir. Mereka beranggapan bahwa pengambilan harta tersebut bukan pada tempat penyimpanan yang layak. Sedangkan Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa: “Hiriz gugur (hilang) karena pintu telah terbuka atau adanya lubang”. Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa, meskipun pintu atau jendela suatu tempat itu terbuka atau dindingnya berlubang, pengambilan harta di dalamnya merupakan pencurian yang harus dikenai had.
Kaidah keempat tentang harta yang tidak berharga:
ﻻ ﻗﻂﻊ ﻓﻲ ﺍﻟﺸﻲﺀ ﺍﻟﺘﺎﻓﻪ
Tidak ada potong tangan pada (pencurian) sesuatu yang remeh.
Kaidah ini menjelaskan bahwa pencurian yang dapat dikenai had adalah pencurian terhadap harta yang berharga, paling tidak bagi pemiliknya. Menurut Mustafa Ahmad Al Zarqa, harta (yang berharga) adalah sesuatu yang disenangi oleh tabi‟at manusia dan mungkin disimpan sampai waktu yang diperlukan.
Kaidah kelima tentang harta yang diharamkan dan alat-alat maksiat:
ﻻ ﻗﻂﻊ ﻓﻲ ﺳﺮﻗﺔ ﻣﺤﺮﻡ ﻭﺁﻵﺕ ﺍﻟﻠﻬﻮﻱ
Tidak ada potong tangan terhadap pencurian barang-barang yang diharamkan dan alat-alat maksiat.
Kaidah ini didasarkan atas adanya syubhat bahwa di satu sisi pengambilan barang orang lain itu diharamkan, tetapi di sisi lain ada perintah untuk memberantas kemaksiatan, yaitu al amr bil ma‟ruf al nahyi ‘an al munkar. Selain itu, barang-barang tersebut termasuk harta yang tidak berharga karena harus dimusnahkan. Barang-barang yang diharamkan tersebut diantaranya adalah babi, khamr, patung, dan bangkai. Sedangkan alat-alat maksiat diantaranya adalah al thanbur (semacam mandolin atau kecapi) dan al mizmar (semacam terompet atau seruling). Pengambilan benda-benda tersebut tidak akan dikenai had meskipun telah mencapai nishab pencurian.
Kaidah keenam tentang nishab pencurian:
ﻻ ﻗﻂﻊ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻨﺼﺎﺏ
Tidak ada potong tangan sebelum nishab.
Jumhur berbeda pendapat tentang batasan nishab dalam pencurian. Abu Hanifah berpendapat bahwa batasan nishabnya adalah 1 dinar atau 10 dirham. Menurutnya, harga perisai (pada masa Abu Hanifah) adalah 10 dirham. Sedangkan Malik dan Syafi‟i berpendapat bahwa batasan nishabnya adalah seperempat dinar atau tiga dirham. Dan mereka berbeda pendapat tentang standar pokok yang dijadikan batasan nishab. Menurut Malik, standar pokok nishab adalah seperempat dinar untuk emas dan tiga dirham untuk perak. Sedangkan menurut Syafi‟i standarnya adalah seperempat dinar emas, sehingga harga dirham harus disesuaikan dengan harga dinar, apabila harga dirham fluktuatif.
Kaidah ketujuh tentang ayah yang mencuri harta anak:
ﻻ ﻗﻂﻊ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺻﻮﻝ ﺇﺫﺍ ﺳﺮﻗﻮﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﻔﺮﻭﻉ
Tidak ada potong tangan terhadap ayah (dan terus ke atas) yang mencuri harta anaknya (dan seterusnya ke bawah).
Kaidah ini didasarkan atas kesamaran dalam pemilikan harta. Jumhur berpendapat bahwa pada harta anak itu terdapat harta ayah, sehingga pengambilan harta anak itu bukan merupakan pencurian yang dikenai had.
Jarimah Perampokan, beberapa kaidah yang membahas tentang hal ini diantaranya adalah : Kaidah pertama tentang cara pengambilan harta:
ﺍﻟﺤﺮﺍﺑﺔ ﻫﻮ ﺃﺧﺬ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﻋﻠﻰ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻤﻐﺎﻟﺒﺔ
Perampokan adalah pengambilan harta yang dilakukan secara terang-terangan.
Kaidah ini membedakan antara perampokan dengan pencurian. Abdul Qadir Awdah mengistilahkan hirabah dengan sariqah kubra (pencurian besar), sedangkan pengambilan harta yang dilakukan dengan cara diam-diam disebut dengan sariqah sughra (perampokan kecil). Besar dan kecil di sini tidak dimaksudkan untuk membedakan besar kecilnya harta yang diambil, tetapi membedakan cara pengambilannya bahwa pengambilan harta ini harus menjadi niat para pelaku sehingga dapat dikualifikasikan sebagai jarimah hirabah.
Kaidah kedua tentang tempat perampokan:
ﺃﻥ ﺗﻘﻊ ﺟﻨﺎﻳﺔ ﺍﻟﻤﺤﺎﺭﺑﺔ ﻓﻲ ﺧﺎﺭﺝ ﺍﻟﻤﺼﺮ
Perampokan dilakukan di luar kota.
Kaidah ini mengandung arti bahwa pengambilan harta secara terang-terangan tersebut harus dilakukan di luar kota, seperti di jalanan padang pasir. Sementara jalanan di dalam kota ramai dilalui orang sehingga mudah meminta pertolongan. Selain itu, ada pihak berwenang yang menjaga keamanan. Oleh karena itu, perampokan di dalam kota tidak murni memerangi Allah sehingga tidak dapat dikenai had hirabah. Pendapat Jumhur (Malikiyah, Syafi‟iyah, dan Zhahiriyah): “Perampokan bisa dilakukan di luar kota atau di dalam”. Adapun penjelasan dari Satria Effendi, bahwa yang menjadi pertimbangan penting dalam merumuskan kualifikasi jarimah hirabah adalah adanya tindakan kekerasan di suatu tempat yang jauh dari tempat meminta pertolongan. Tindakan ini melahirkan ketakutan yang bisa terjadi di mana saja, termasuk di rumah. Oleh karena itu, tempat perampokan tidak dibatasi di jalan tetapi dapat terjadi di mana saja. Bahkan akhir-akhir ini, perampokan bersenjata di rumah-rumah lebih menakutkan dibanding dengan di jalan-jalan.
Kaidah ketiga tentang keharusan menggunakan senjata:
ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻊ ﺍﻟﻤﺤﺎﺭﺑﻴﻦ ﺳﻼﺡ
Orang-orang yang merampok itu harus menggunakan senjata.
Kaidah ini mengandung arti bahwa suatu tindakan pengambilan harta secara paksa dikualifikasikan sebagai jarimah hirabah jika para pelakunya menggunakan senjata.
Jarimah Pemberontakan : kaidah-kadiah fiqh yang membahas hal ini adalah : Kaidah pertama tentang menolak imam berbuat maksiat:
ﺍﻹﻣﺘﻨﺎﻉ ﻋﻦ ﺍﻟﻂﺎﻋﺔ ﻓﻲ ﻣﻌﺼﻴﺔ ﻟﻴﺲ ﺑﻐﻴﺎ
Menolak taat (perintah imam) berbuat maksiat bukan merupakan jarimah bughat.
Kaidah ini mengandung arti bahwa orang yang tidak mematuhi perintah Imam berbuat maksiat tidak dapat dikategorikan sebagai pemberontak. Sebab ketundukan atau ketaatan rakyat kepada pemimpinnya tidak bersifat mutlak, tetapi terbatas pada hal-hal yang bukan maksiat.
Kaidah kedua tentang keharusan adanya pengerahan kekuatan:
ﺍﻟﺨﺮﻭﺝ ﻋﻠﻰ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺑﻌﺪﻡ ﺍﻟﻘﻮﺓ ﻟﻴﺲ ﺑﻐﻴﺎ
Menentang imam tanpa disertai pengerahan kekuatan bukan merupakan jarimah bughat.
Kaidah ini mengandung arti bahwa sikap menentang Imam atau tidak tunduk terhadap perintahnya tanpa disertai dengan tindakan perlawanan atau pengerahan kekuatan belum dapat dikategorikan sebagai jarimah pemberontakan. Misalnya, seperti sikap Ali bin Abi Thalib yang tidak memba’at Abu Bakar selama beberapa bulan; Sa’d bin Ubadah yang tidak pernah memba’at Abu Bakar sampai mati; Abdullah bin Umar dan Zubair yang tidak memba’at Yazid bin Mu‟awiyah.
Terkahir yaitu kaidah-kaidah fiqhiyyah tentang Jarimah Riddah, diantaranya adalah : Kaidah pertama tentang meninggalkan kewajiban:
ﻛﻞ ﻣﻦ ﺍﻣﺘﻨﻊ ﻋﻦ ﺇﺗﻴﺎﻥ ﻓﻌﻞ ﻳﻮﺟﺒﻪ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻣﻊ ﺍﺳﺘﺤﻼﻝ ﻋﺪﻡ ﺇﺗﻴﺎﻧﻪ ﻓﻬﻮ ﺭﺍﺟﻊ ﻋﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ
Setiap orang yang menolak melakukan perbuatan yang diwajibkan Islam kepadanya disertai dengan keyakinan halal meninggalkannya maka dia telah keluar dari Islam.
Kaidah ini mengandung arti bahwa orang yang tidak menunaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh syariat Islam dengan alasan bahwa perbuatan itu bukan wajib, maka ia dapat dikualifikasikan sebagai orang yang telah keluar dari Islam atau telah berbuat jarimah riddah. Misalnya, seseorang tidak mau melaksanakan shalat wajib dengan alasan bahwa shalat tersebut tidak wajib. Tetapi orang yang tidak melaksanakan shalat wajib karena malas dikualifikasikan telah fasiq atau ’ashy (pelaku maksiat) dan termasuk jarimah ta’zir.
Kaidah kedua tentang melakukan perbuatan yang diharamkan:
ﻛﻞ ﻣﻦ ﺃﺗﻰ ﺍﻟﻤﺤﺮﻣﺎﺕ ﻣﻊ ﺍﺳﺘﺤﻼﻝ ﺇﺗﻴﺎﻧﻬﺎ ﻓﻬﻮ ﺭﺍﺟﻊ ﻋﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ
Setiap keyakinan yang berlawanan dengan (aqidah) Islam menunjukkan telah keluar dari Islam.
Kaidah ini mengandung arti bahwa orang yang melanggar larangan-larangan syariat Islam disertai dengan keyakinan bahwa hal tersebut tidak dilarang, maka ia telah keluar dari Islam. Misalnya, seorang berzina dengan keyakinan bahwa zina itu tidak haram, maka ia telah keluar dari Islam. Apabila ia melakukannya karena melanggar keharaman disertai keyakinan bahwa perbuatan tersebut dilarang, ia tidak keluar dari Islam melainkan telah berbuat maksiat atau melakukan jarimah zina.
Kaidah ketiga tentang keyakinan yang keluar dari Islam:
ﻳﻌﺘﺒﺮ ﺧﺮﻭﺟﺎ ﻋﻦ ﺍﻹﺴﻼﻡ ﻛﻞ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩ ﻣﻨﺎﻑ ﻟﻺﺳﻼﻡ
Setiap keyakinan yang berlawanan dengan (aqidah) Islam menunjukkan telah keluar dari Islam.
Di antara contoh-contoh keyakinan yang bertentangan dengan Islam adalah keyakinan bahwa al Quran itu bukan dari Allah melainkan kata-kata Muhammad; Muhammad adalah pendusta; ada lagi nabi terakhir setelah kenabian Muhammad; dan Ali bin Abi Thalib adalah Tuhan. Akan tetapi keyakinan-keyakinan tersebut belum dapat dikualifikasikan jarimah riddah yang dikenai had jika belum dinyatakan dengan ucapan atau perbuatan. Sebab Allah memaafkan ummat-Nya dari apa yang dibisikkan hatinya selama belum diungkapkan atau dikerjakan.
Dalam studi fiqh jinayah, selain adanya hudud maka dikenal pula istilah Ta’zir, yaitu hukuman yang diputuskan oleh hakim terhadap satu kejahatan yang tidak disebutkan hukumnya secara rinci dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Beberapa kaidah fiqh tentang hal ini adalah :
Kaidah pertama tentang kualifikasi jarimah ta‟zir:
كل معصية لا حد فيها ولا كفارة فهو التعزير
Setiap perbuatan maksiat yang tidak dikenai sanksi had atau kaffarat adalah jarimah ta’zir. Kaidah ini mengandung arti bahwa setiap perbuatan maksiat yang tidak dapat dikenai sanksi hudud atau kaffarah dikualifikasikan sebagai jarimah ta’zir. Para fuqaha sepakat bahwa yang dimaksud dengan perbuatan maksiat adalah meninggalkan kewajiban dan melakukan hal-hal yang dilarang. Tidak melaksanakan sholat wajib; tidak menunaikan zakat; atau mengkhianati adalah perbuatan maksiat dengan cara meninggalkan kewajiban. Sedangkan mengurangi timbangan; berdusta; atau berkhulwat adalah perbuatan maksiat dengan cara melakukan hal-hal yang dilarang. Seluruh perbuatan tersebut dapat dikenai sanksi ta’zir.
Kaidah kedua tentang percobaan melakukan jarimah:
أن الشروع في الجريمة لا يعاقب عليه بقصاص ولا حد وانما يعاقب عليه بالتعزير أيا كان نوع الجريمة
Percobaan melakukan jarimah, apapun jarimahnya, tidak bisa dikenai hukuman qishash atau hudud melainkan ta’zir.
Kaidah ini mengandung arti bahwa percobaan melakukan jarimah hudud atau qisash tidak dapat dikategorikan telah melakuakn jarimah tersebut secara sempurna sehingga tidak bisa dikenai had atau qisash, melainkan tazir. Hukuman itupun diberikan jika di antara percobaan tersebut telah dapat dikategorikan perbuatan maksiat, sesuai dengan kaidah berikut:
تعاقب علي الشروع في كل جريمة اذا كون الفعل غير التام معصية
Percobaan melakukan jarimah akan mendapat hukuman, jika perbuatan percobaan itu merupakan perbuatan maksiat.
Kaidah ketiga tentang kebolehan memberikan hukuman kepada pelaku percobaan pada jarimah ta‟zir:
تعاقب علي الشروع في كل جريمة اذا كون الفعل غير التام معصية
Jarimah yang seselai berbeda sanksinya dengan jarimah yang belum selesai kecuali pada jarimah-jarimah ta’zir.
Kaidah ini mengandung arti bahwa hukuman bagi pelaku percobaan melakukan jarimah hudud atau qisash tidak sama dengan hukuman bagi pelaku tersebut yang telah selesai dengan sempurna. Sedangkan pada jarimah ta’zir, boleh memberikan hukuman bagi pelaku percobaan. Sebab, pemberian sanksi ta’zir menjadi hak imam sesuai dengan tuntutan kemaslahatan.
Kaidah keempat tentang pengurungan maksud berbuat jarimah:
اذا عدل الجاني عن اتمام الجريمة لأي سبب غير التوبة فهو مسءول عن الفعل كلما اعتبر الفعل المعصية
Apabila pelaku jarimah tidak menyelesaikan perbuatan jarimahnya karena alasan-alasan selain taubat, maka dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya selama perbuatan tersebut merupakan perbuatan maksiat.
Kaidah ini merupakan kelanjutan dari kaidah di atas yang mengandung arti bahwa pengurungan diri dari perbuatan jarimah dapat menggugurkan hukuman dengan syarat dilakukan karena kesadaran diri atau taubat, bukan karena pengaruh dari luar seperti tertangkap basah. Jarimah yang dilakukan pun harus berkenaan dengan hak Allah atau jama’ah. Kaidah ini dipegang oleh sebagian Syafi‟iyah dan Hanabilah. Mereka menyatakan:
التوبة تسقط العقوبة مما يتعلق بحق الله
Taubat dapat menggugurkan hukuman pada jarimah-jarimah yang berhubungan dengan hak Allah.
Berbeda dengan Malik, Abu Hanifah, sebagian Syafi‟iyah dan Hanabilah lainnya menyatakan bahwa:
ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ ﻻﺗﺴﻘﻄ ﺍﻟﻌﻘﻮﺑﺔ ﺇﻻ ﻓﻲ ﺟﺮﻳﻤﺔ ﺍﻟﺤﺮﺍﺑﺔ
Taubat tidak dapat menggugurkan hukuman kecuali pada jarimah hirabah (perampokan).















Daftar Pustaka :
Abdul Aziz Dahlan…(Et Al.)., Ensiklopedia Hukum Islam, Pt Ichtiar Baru Van        Hoeve, Jakarta, 2001
Abdul Mujib, Al-Qawa’idul Fiqhiyyah, Nur Cahaya, Yogyakarta, 1980
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Pondok Pesantren        Al-Munawwir, Yogyakarta, Edisi Lux, 1984
Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2007
Asjmuni Abdul Rahman, Qoidah-Qoidah Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1976
Asy-Syuyuthi, Al-Jam’us Shagir Fi Ahaditsil Basyirin Nadzir, Juz I, Mustafa Al-Babi          Al-Halabi, Cairo, 1954
Hakim, Rahmat. Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung : Pustaka Setia, 2000
Jalal Syamsudin Al-Mahalli, Syarh ‘Ala Matn Jam’ul Jawami’, Musthafa Al-Babi Al-         Halabi, Mesir, 1998
Juhaya S Praja, Filsafat Hukum Islam, Yayasan Piara, Bandung, 1993
Masyfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syari’ah, Cv Haji Masagung, Jakarta, 1990
Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Pengantar Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta,            1975
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung, 1999
Tajuddin Abdul Wahab Al-Subki, Al-Asybah Wan Nazhair, Markaz Buhutsul ‘Ilmi,            Mesir, Tt
Totok Jumantoro., Samsul Munir Amin., Kamus Ushul Fiqh, Amzah, 2005
Wardi Mukhlis, Ahmad. Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2005
Wardi Mukhlis, Ahmad. Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah, Jakarta : Sinar Grafika, 2004