Senin, 28 Mei 2012

Hubungan Internasional dalam Fiqh Siyasah



Oleh : Solihat


A. Pembagian Fiqih Siyasah Dauliyah dan Ruang Lingkupnya
Dauliyah bermakna tentang daulat, kerajaan, kekuasaan, wewenang. Sedangkan Siyasah Dauliyah bermakna sebagai kekuasaan Kepala Negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan Internasional, masalah territorial, nasionalitas, ektradisi, tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga negara asing. Selain itu, juga mengurusi masalah kaum dzimmi, perbedaan agama, akad timbal balik dan sepihak dengan kaum dzimmi, hudud dan qishash. Atau dapat dikatakan yang mengatur hubunganantar Negara tersebut (Politik Hukum Internasional).
Dasar-dasar Siyasah Dauliyah, diantaranya sebagai berikut:
1.      Kesatuan Umat Manusia
Meskipun manusia ini berbeda suku berbangsa-bangsa, berbeda warna kulit, berbeda tanah air bahkan berbeda agama, akan tetapi merupakan satu kesatuan manusia karena sama-sama makhluk Allah, sama bertempat tinggal di muka bumi ini, sama-sama mengharapkan hidup bahagia dan damai dan sama-sama dari Adam. Dengan demikian, maka perbedaan-perbedaan diantara manusia harus disikapi dengan pikiran yang positif untuk saling memberikan kelebihan masing-masing dan saling menutupi kekurangan masing-masing.
2.      Al-‘Adalah (Keadilan)
Ajaran islam mewajibkan penegakan keadilan baik terhadap diri sendiri, keluarga, tetangga, bahkan terhadap musuh sekalipun kita wajib bertindak adil. Banyak ayat-ayat yang berbicara tentang keadilan antara lain:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ
Artinya:Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu
3.      Al-Musawah (Persamaan)
Manusia memiliki hal-hal kemanusiaan yang sama, untuk mewujudkan keadilan adalah mutlak mempersamakan manusia dihadapan hukum. Demikian pula setiap manusia adalah subyek hukum, penanggung hak dan kewajiban yang sama.

4.      Karomah Insaniyah (Kehormatan Manusia)
Karena kehormatan manusia inilah, maka manusia tidak boleh merendahkan manusia lainnya. Kehormatan manusia berkembang menjadi kehormatan terhadap satu kaum atau komunitas dan bisa dikembangkan menjadi suatu kehormatan suatu bangsa atau negara.
5.      Tasamuh (Toleransi)
Allah mewajibkan menolak permusuhan dengan tindakan yang lebih baik, penolakan dengan lebih baik ini akan menimbulkan persahabatan bila dilakukan pada tempatnya setidaknya akan menetralisir ketegangan.
6.      Kerja Sama Kemanusiaan
Kerjasama kemanusiaan ini adalah realisasi dari dasar-dasar yang telah dikemukakan di atas, kerja sama di sini adalah kerja sama di setiap wilayah dan lingkungan kemanusiaan. Kerja sama ini diperlukan karena ada saling ketergantungan baik antara individu maupun antara negara di dunia ini.
7.      Kebebasan, Kemerdekaan/Al-Huriyah
Kemerdekaan yang sesungguhnya dimulai dari pembebasan diri dari pengaruh hawa nafsu serta mengendalikan dibawah bimbingan keimanan dan akal sehat. Dengan demikian, kebebasan bukanlah kebebasan mutlak, akan tetapi kebebasan yang bertanggung jawab terhadap Allah, terhadap keselamatan hidup manusia di muka bumi, kebebasan bisa diperinci seperti kebebasan berfikir, kebebasan baragama, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan menuntut ilmu, kebebasan memiliki harta.
8.      Perilaku Moral yang Baik (Al-Akhlakul Karimah)
Prilaku yang baik merupakan dasar moral di dalam hubungan antara manusia, antara umat dan antara bangsa di dunia ini selain itu prinsip ini juga diterapkan terhadap seluruh makhluk Allah di muka bumi termasuk flora dan fauna.
1. Hubungan-hubungan Internasional Diwaktu Damai
Damai adalah asas hubungan Internasional. Selain kewajiban suatu negara terhadap negara lain, yakni tentang menghormati hak-hak negara lain yang bertetangga dengan negara yang ditempati dan mengadakan perjanjian-perjanjian Internasional.
Menurut Abdul Wahab Khalaf bahwa hukum asal hubungan Internasional ada dua pendapat, pendapat yang pertamamengacu pada ayat-ayat perang (al-Baqarah:216, an-Nisa`:74, al-Anfal:65, at-Taubah:29), dan sabda Nabi: saya diperintahkan untuk memeragi manusia sampai merreka mengucapkan syahadat, melaksanakan sholat, dan mengeluarkan zakat.Kesimpulan dari kelompok pertama adalah inti hukum asal dalam hubungan internasional adalah perang.
Pendapat yang ke dua adalah sebaliknya bahwa hukum asal dalam hubungan internasional adalah adalah damai. Alasannya perang itu diperkenankan karena ada sebabnya, yaitu menolak kedzaliman, menghindari fitnah dalam rangka mempertahankan diri sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran. Adapun hadits nabi di atas menurut kelompok ini, berlaku bagi orang atau kelompok yang merasuki atau memerangi islam untuk menolak kdzaliman mereka. Selain itu, pemaksaan di dalam memeluk agama pun tidak diperkanankan.
2. Hubungan-hubungan Internasional Diwaktu Perang
Sebab terjadinya perang:
1.      Mempertahankan Diri
Dari kitab-kitab sejarah tarikh, cara Nabi Mohammad saw menhimpun kekuatan dan mempertahankan negeri madinah dari serangan-serangan musuhnya orang kafir kuraisy. Dalam perang badar, bukan Nabi yang menyerang akan tetapi mush nabi yang menyerang ka Madinah. Adapan waktu fathu Makkah, rasulullah datang ke Makkah bukan sebagai perang atau penakluk, meainkan sebagai pemberi amnesti umum disertai tetap menghormati harga diri tokoh-tokoh mekkah, seperti Abu Sofyan yang pada waktu itu masih kafir.
2.      Dalam Rangka Dakwah
Perang juga bisa terjadi di dalam rangka menjamin jalannya dakwah. Artinya, dakwah kepada kebenaran dan keadilan serta pada prinsip-prinsip yang mulia tidak boleh dihalangi dan ditindas oleh penguasa manapun. Telah dijelaskan bahwa Islam tidak menghendaki pemaksaan beragama. Apabila penguasa memaksakan agamanya dan menindas kepada orang-orang muslim, penguasa-penguasa itu dikualifikasikan kepada penguasa yang dzalim. Prilaku seperti itulah yang dipertontonkan oleh penguasa Persia dan Romawi pada waktu itu yaitu tidak memberikan kebebasan kapada rakyatnya untuk memeluk agama yang diyakininya.
3.      Etika dan Aturan Perang di dalam Siyasah Dauliyah
1)        Dilarang membunuh anak.
2)        Dilarang membunuh wanita yang tidak berperang.
3)        Dilarang membunuh orang tua yang tidak ikut perang.
4)        Tidak memotong dan merusak tanaman, sawah dan ladang.
5)        Tidak membunuh binatang ternak
6)        Tidak menghancurkan tempat ibadah.
7)        Dilarang mencincang mayat musuh.
8)        Dilarang membunuh pendeta dan pekerja.
9)        Bersikap sabar, berani dan ikhlas.
10)    Tidak melampaui batas.
B. Pembagian Negara Islam
Jumhur ulama membagi negara kepada dua bagian, yaitu dar al-Islamdar al-waqf (Syiah Zaidiyah)/ dar al-tauhid (Khawarij sekte Ibadiyah ) dan dar al-harb/ dar al-fasiq (Syiah Zaidiyah)/ dar al-syirk (Khawarij sekte Ibadiyah). Sementara ulama Syafi’iyah menambahkan kategori dar al-‘ahd atau dar al-aman disamping keduanya. Dar al-‘ahd adalah negara-negara yang berdamai dengan dar al-Islam, dengan peranjian tersebut, maka semua penduduk dar al-‘ahd tidak boleh diganggu jiwanya, hartanya, dan kehormatan kemanusiaannnya. Meskipun penduduknya tidak beragaa Islam, mereka diperlakukan seperti orang Islam dalam arti dilindungi hak-haknya.
Sedangkan menurut A. Djazuli, pembagian dunia pada masa sekarang adalah:
Al-Alam al-Islami (dunia Islam) yang terdiri dari:
1.      Dawlah Islamiyah (negara Islam/Islamic States).
2.      Baldah Islamiyah (negeri muslim/negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam/Muslim Countries).
3.      Al-Alam al-‘Ahd: negara-negara yang berdamai dengan negara Islam.
1. Kriteria Dar al-Islam
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan identitas suatu negara apakah termasuk dar al-Islam. Diantara mereka ada yang melihat dari  sudut hukum yang berlaku di negara tersebut. Ada pula yang memandang dari sisi keamanan warganya menjalankan syari’at Islam. Semantara ada juga yang melihat dari sisi pemegang kekuasaan tersebut.
Dari sudut hukum yang berlaku di negara tersebut;
Imam Abu Yusuf, tokoh terbesar madzhab Hanafi berpendapat bahwa suatu negara disebut dar al-Islam bila berlaku hukum Islam di dalamnya, meskipun mayoritas warganya tidak muslim. Sementara dar al-harb, menurutnya adalah negara yang tidak meberlakukan hukum Islam, meskipun sebagian besar penduduknya beragama Islam.
Dalam pemikiran modern, pandangan demikian dianut oleh Sayyid Quthb. Ia memandang bahwa negara yang menerapkan hukum islam adalah dar al-Islam, tanpa mensyaratkan penduduknya harus muslim. Pendapat ini berbeda dengan Ibnu Qayyim al-Jauziyah yang mensyaratkan penduduknya harus mayoritas muslim.
Dari sisi keamanan warganya menjalankan syariat Islam;
Imam Abu Hanifah membedakan dar al-Islam dan dar al-harb berdasarkan rasa aman yang dinikmati penduduknya. Bila umat Islam merasa aman dalam menjalankan aktivitas keagamaan mereka, maka negara tersebut termasuk dar al-Islam. Sebaliknya, bila tidak ada rasa aman, maka negara tersebut termasuk dar al-harb.
Dari sisi pemegang kekuasaan negara tersebut;
Menurut al-Rafi’i (salah seorang tokoh madzhab Syafi’i), suatu negara dipandang sebagai dar al-Islam apabila dipimpin oleh seorang muslim.
Menurut Javid Iqbal, dar al-Islam adalah negara yang pemerintahannya dipegang umat Islam, mayoritas penduduknya beragama Islam dan menggunakan hukum Islam sebagai undang-undangnya. Karena kekuasaan mutlak berada pada Allah, makadar al-Islam harus menjunjung tinggi supremasi hukum Islam; selanjutnya, karena masyarakat muslim harus diperintah menurut hukum Islam, maka pemimpin pemerintahannya juga harus muslim agar mereka dapat melaksanakan hukum Islam.
Dalam perkembangan dunia modern, kriteria ini telah bergeser. Suatu negara disebut dar al-Islam bila penduduknya mayoritas beragama Islam, meskipun negara tersebut tidak sepenuhnya menjalankan hukum Islam contohnya Indonesia dan Mesir. Di samping itu, kriteria penerapan hukum Islam dalam suatu negara tentu merupakan hal terpenting dalam menentukan suatu negara disebut dar al-Islam, meskipun tidak sepenuhnya penduduknya beragama Islam, contohnya Iran, Malaysia, dan Pakistan. Kedua kriteria inilah yang digunakan oleh Organisasi Konperensi Islam (OKI) dalam menetapkan hukum Islam.
2. Pembagian Dar al-Islam
Berdasarkan tingkat kesucian wilayah dan hak non-muslim untuk menetap di wilayah Dar al-Islam, maka dar al-Islam terbagi dalam 3 bagian, yaitu: tanah suci, Hijaz, dan selain keduanya.
a.  Tanah suci (Kota Mekah dan wilayah sekitarnya).
Menurut jumhur ulama kota Madinah termasuk dalam wilayah ini. Di kedua wilayah ini non-muslim tidak boleh menetap. Bahkan untuk kota Mekah, di sekitar al-Masjid al-Haram, non-muslim sama sekali tidak boleh memasukinya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, kafir dzimmi dan kafir mu’ahid boleh memasuki Makkah tidak untuk menetap di dalamnya.
b. Wilayah Hijaz
Wilayah ini boleh dimasuki non-muslim dengan mendapat jaminan keamanan dari pemerintahan Islam. Tetapi mereka tidak boleh menetap di wilayah ini melebihi 3 hari. Ketentuan ini berdasarkan keputusan Khalifah ‘Umar bin Khaththab yang mengijinkan orang-orang Yahudi tinggal di Hijaz selama 3 hari untuk urusan dagang. Dalam al-Ahkam al-Shulthaniyah dijelaskan bahwa jika mereka bertempat tinggal di salah satu tempat di Hijaz lebih dari 3 hari, maka mereka dikenakan ta’zir jika mereka tidak diberi izin sebelumnya.
Wilayah dan negara-negara Islam lainnya;
Di wilayah ini, pemerintah Islam boleh melakukan akad dzimmah dengan non-muslim. Mereka boleh masuk dan menetap di wilayah ini untuk sementara waktu berdasarkan perjanjian yang disetujui kedua belah pihak.
3. Pembagian Dar al-Harb
Muhammad Iqbal dalam bukunya menjelaskan bahwa dar al-harb dibedakan menjadi 3 kategori:
1.      Negara yang di dalamnya tidak terpenuhi unsur pokok dar al-Islam, yaitu pemberlakuan hukum Islam dan kekuasaan politik yang berada di tangan non-muslim.
2.      Negara yang hanya memenuhi salah satu unsur pokok dar al-Islam, meskipun tidak utuh. Wilayahnya dikuasai non-muslim dan hukum yang berlaku bukan hukum Islam, namun umat Islam yang menetap dinegara tersebut diberi kelonggaran untuk melaksanakan sebagian hukum Islam.
3.      c. Negara yang dikategorikan sebagai dar al-harb. Wilayah ini dikuasai oleh pemerintahan non-muslim dan tidak memberlakukan hukum Islam. Penduduk Muslim yang menetap di sini tidak mendapat kesempatan untuk menjalankan ajaran agamanya. Dar al-harb dalam bentuk ini terbagi menjadi dua, yaitu  Dar al-harb yang menjadi tempat harbiyyun dan tidak terikat perjanjian atau hubungan diplomatik dengan negara Islam; dan Dar al-Muwada’ah atau dar al-Muhadanah
C. Pembagian Penduduk
Dengan berlandaskan pada agama yang diyakini seseorang, mempertimbangkan Negara yang menjadi tempat tinggalnya dan ada atau tidaknya ikatan perjanjian dengan pemerintahan Islam, para ulama fiqih membagi kewarganegaraan seseorang menjadi muslim dan non-muslim. Orang non-muslim terdiri dari ahl al-zimmimusta’min, dan harbiyun. Penduduk Dar al-islam terdiri dari muslim, ahl al-zimmi dan musta’min, sedangkan penduduk dar al-harb terdiri dari muslim dan harbiyun.
1. Muslim
Berdasarkan tempat menetapnya, muslim dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya.
Pertama mereka yang menetap di dar al-Islam dan mempunyai komitmen yang kuat untuk mempertahankan dar al-Islam. Termasuk kedalam kelompok ini adalah orang Islam yang menetap sementara waktu di dar al-Islam sebagai musta’min dan tetap komitmen kepada Islam serta mengakui pemerintahan Islam.
Kedua, muslim yang tinggal menetap di dar al-harb dan tidak berkeinginan untuk hijrah ke dar al-Islam. Status mereka, menurut Imam Malik, SYafi’i dan Ahmad, sama dengan muslim lainnya di dar al-Islam. Harta benda dan jiwa mereka tetap terpelihara. Namun menurut Abu Hanifah, mereka berstatus sebagai penduduk harbiyun, karena berada di negara yang tidak dikuasai Islam. Konsekuensinya, harta benda dan jiwa mereka tidak terjamin.
2. Ahl al-Zimmi
Kata dzimmah berarti perjanjian, atau jaminan dan keamanan. Disebut demikian karena mereka mempunyai jaminan perjanjian (‘ahd) Allah dan Rasul-Nya, serta jamaah kaum Muslim untuk hidup dengan rasa aman di bawah perlindungan Islam dan dalam lingkungan masyarakat Islam. Mereka (orang-orang kafir ini) berada dalam jaminan keamanan kaum Muslim berdasarkan akaddzimmah.
Implikasinya adalah, mereka termasuk ke dalam warga negara Darul Islam. Akad dzimmah mengandung ketentuan untuk membiarkan orang-orang non muslim tetap berada dalam keyakinan/agama mereka, disamping menikmati hak untuk memperoleh jaminan keamanan dan perhatian kaum Muslim. Syaratnya adalah mereka membayar jizyah serta tetap berpegang teguh terhadap hukum-hukum Islam di dalam persoalan-persoalan publik. Landasan adanya penarikan jizyah dari ahl al-zimmi yaitu dalam SuratAt Taubah ayat 29.
Unsur-unsur seseorang dikatakan ahl al-zimmi yaitu: Non-muslim, baligh, berakal, laki-laki, bukan budak, tinggal di dar al-Islam dan mampu membayar jizyah.
Yang dikatakan non-muslim adalah ahl al-Kitab, murtad, dan orang musyrik.
1.      Sebagaimana pendapat Abu Bakar ibnu Ali al-Jashshash yang dikutip oleh Dr. Muhammad Iqbal dalam bukunya FiqihSiyasahahl al-Kitab yang tergolong ahl al-zimmi yaitu Yahudi dan Nasrani, serta Majusi.
2.      Mayoritas ulama sepakat mengenai ketidakbolehan orang-orang murtad melakukan akad zimmah dengan pemerintahan Islam, berdasarkan firman Allah QS. Al-Fath, 48:16, yang artinya: Kamu perangi mereka, atau mereka sendiri menyerah masuk Islam.
3.      Ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan menerima orang musyrik sebagai ahl al-zimmi. Mazhab Syafi’i, Hambali, Zahiri, dan Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa pemerintahan Islam tidak boleh menerima orang musyrik yang bukan ahl al-Kitab sebagai ahl al-zimmi dan memungut jizyah mereka. Mereka berlandaskan pada QS. Al-Taubah, 9:5: Perangilah orang-orang musyrik dimana pun kamu bertemu dengan mereka. Sedangkan Imam Malik, al-Auza’i dan Ibn Qayyim al-Jauziyah berpendapat bahwa jizyah boleh diambil dari orang non-muslim mana pun, tanpa memandang mereka sebagai ahl al-Kitab atau bukan.
4.      3. Musta’min
Menurut Ahli Fiqihmusta’min adalah orang yang memasuki wilayah lain dengan mendapat jaminan keamanan dari pemerintah setempat, baik ia muslim maupun harbiyun. Menurut al-Dasuki yang dikutip oleh Muhammad Iqbal dalam bukunya FiqihSiyasah, antara musta’min dan mu’ahid mempunyai pengertian sama. Mu’ahid adalah orang non muslim yang memasuki wilayahDar al-Islam dengan memperoleh jaminan keamanan dari pemerintah Islam untuk tujuan tertentu, kemudian ia kembali ke wilayahDar al-Harb.
Para Ulama berbeda pendapat mengenai masa berlakunya perjanjian jaminan keamanan bagi musta’min. Menurut Mazhab Syafi’i tidak boleh melebihi empat bulan. Menurut Mazhab Maliki yaitu jika perjanjian tersebut tidak dibatasi oleh waktu, maka dalam waktu empat bulan berakhir dengan sendirinya. Sedangkan jika dibatasi oleh waktu, maka perjanjian berakhir sesuai kesepakatan. Menurut Mazhab Hanafi dan Syi’ah Zaidiyah, maksimal selama satu tahun. Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal menentukan paling lama, yaitu empat tahun.
1.      4. Harbiyun
Kafir Harbi adalah setiap orang kafir yang tidak tercakup di dalam perjanjian (dzimmah) kaum Muslim, baik orang itu kafir mu’ahid atau musta’min, atau pun bukan kafir mu’ahid dan kafir musta’min.
Ditinjau dari aspek hukum, kafir harbi dibagi menjadi dua, yaitu (1) kafir harbi hukman, artinya secara de jure (secara hukum) kafir harbi, dan (2) kafir harbi fi’lan atau kafir harbi haqiqatan (de facto) yakni orang-orang kafir yang tengah berperang/memerangi kaum Muslim.

DAFTAR PUSTAKA
H.A. Djazuli. 2009.  Fiqh Siyasah implementasi kemaslahatan umat dalam rambu-rambu syariah. Jakarta: Kencana.
Imam al-Mawardi. 2006.  Al-Ahkam al-Shulthaniyyah, Penerjemah: Fadli Bahri. Jakarta: Darul Falah.
J. Suyuthi Pulungan. 2002.  Fiqh Siyasah: Ajaran Sejarah Dan Pemikiran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Muhammad Iqbal. 2007.  Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...