Senin, 21 Mei 2012

Pendayagunaan Zakat Fitrah


Oleh : Sayed Muhammad Husen
Pada umumnya muslimin Aceh menunaikan zakat fitrah pada penghujung bulan suci ramadhan. Mereka menyerahkan kepada panitia yang ada di masjid, meunasah, bahkan ada juga yang membayar zakat fitrah kepada guru pengajian. Hanya sedikit yang menyerahkan masing-masing kepada mustahik atau melalui organisasi keagamaan, Perti dan Muhammadiyah, misalnya.

Biasanya, sebuah kampung, sejak malam 27 ramadhan secara otomatis terbentuk panitia penerima zakat fitrah yang dikomandoi oleh imam masjid/meunasah. Dibantu oleh beberapa anggota dari unsur aparatur gampong dan kepemudaan. Mereka berkerja dua hingga tiga malam untuk menerima dan mendisribusikan zakat ini. Bahkan, bagi gampong yang penduduknya relatif sedikit, mereka mampu menyelesaikannya dalam satu malam.

Pada umumnya di Aceh, zakat fitrah dibayar dalam bentuk beras atau uang tunai. Diterima dan dicatat oleh panitia (amil). Bahkan, ada yang disertai dengan bacaan, bahwa zakat telah diserahkan dan panitia pun menerimanya untuk disalurkan kepada yang berhak menerimanya. Terjadilah ijab kabul.

Hal menarik dari prosesi penerimaan dan penyaluran zakat fitrah di gampong, semuanya terjadi dalam suasana terbuka dan penuh persaudaraan. Masyarakat dapat menyaksikan dari dekat siapa saja yang menyerahkan dan siapa pula yang menerima zakat fitrah. Dapat pula mengakses pencatatan dan pelaporan zakat yang dibuat oleh panitia. Sungguh transparan. Sungguh pengelolaan zakat fitrah di gampong berlangsung dalam semangat silaturrahim antar warga gampong.

Celaknya memang, kita masih menjumpai gampong tertentu yang mendistribusikan zakat fitrah kepada 100% warga. Dengan semangat kebersamaan pula, mereka telah memutuskan, bahwa 100% warga gampong itu terdiri dari fakir miskin. Tak ada upaya untuk memilah mana yang sudah dianggap “mampu” (tak pantas menerima zakat) dan siapa pula yang masih miskin.

Seharusnya, pihak berwenang, dalam hal ini Dinas Syariat Islam dan Departemen Agama perlu lebih gencar lagi melakukan sosialisasi, bahwa zakat fitrah hanya diperuntukkan bagi fakir dan miskin. Kemudian pihak kantor statistik, juga dapat melakukan hal serupa dan menjelaskan berapa persen sebenarnya fakir dan miskin pada setiap gampong di Aceh. 

Dengan demikian, kita harapkan, zakat fitrah akan lebih mendekati sasaran yang ingin dicapai yaitu “memberdayakan” fakir miskin. Andai saja zakat fitrah benar-benar didistribusikan untuk fakir miskin, maka sebagian dari zakat fitrah itu dapat digunakan untuk pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan. Sehingga pemberdayaan tidak hanya berlangsung selama tiga atau empat hari, hanya selama idul fitri saja. 

Sumber: Gema Baiturrahman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...