Jumat, 31 Agustus 2018

Analisis Maqashid Syariah dan Fiqih Lingkungan


Analisis Maqashid Syariah dan Fiqih Lingkungan Terhadap Tanggung Jawab Sosial Lingkungan Perusahaan

Manusia diciptakan di Bumi Allah sebagai khalifah untuk memimpin, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 30.Allah menakdirkan manusia sebagai makhluk ekonomi yang membutuhkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan dapat bertahan selama waktu yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Manusia diberikan kebebasan hak untuk memanfaat sumber daya yang ada di Bumi, mengeksploitasi alam sebanyak-banyak dan sebesar-besarnya. Namun, kebebasan yang dimaksud pastinya adalah kebebasan yang diiringi dengan tanggung jawab.
Manusia yang diberikan akal dan perasaan oleh Allah sepatutnya memiliki rasa sayang yang tinggi, tak hanya kepada sesama manusia tetapi juga kepada makhluk lain, yaitu hewan dan tumbuhan atau lingkungan alam sekitarnya. Manusia yang hidup secara berkelompok membentuk suatu organisasi, baik organisasi yang berorientasi profit maupun yang tidak. Keduanya memang perlu pula sumber daya alam yang ada di muka bumi untuk keberlangsungan hidup organisasi tersebut. Hanya saja dewasa ini eksploitasi alam yang banyak dilakukan oleh organisasi-organisasi yang ada sudah sedikit melakukan pertanggung jawaban atas eksploitasi yang telah dilakukan.
Dalam bukunya yang berjudul, An Inconvenieth Truth: The Crisis of Global Warming al-Gore mengingatkan umat manusia akan bahaya pemanasan global (global warming). Dalam bukunya yang ditulis sebelumnya, al-Gore mengemukakan: “the disharmonisasi in our relationship to the earth, wich stems in part fromour addiction to a pattern of cunsuming ever-large quantities of the resources of the earth, is now manifest in succesive crises”. (Thohari, 2013).
Inti dari pendapat al-Gore dalam buku tersebut bahwa terjadi ketidakharmonisan antara manusia dengan bumi yang diakibatkan dari banyaknya konsumsi sumber daya alam di bumi secara berlebihan dalam jumlah yang banyak. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran untuk dapat berperan aktif dalam upaya pelestarian lingkungan dari semua pihak, mulai dari kalangan rumah tangga, pejabat, tokoh masyarakat sampai organisasi atau korporasi-korporasi. Pihak-pihak tersebut perlu pemahaman yang lebih lanjut mengenai fiqih lingkungan guna mengetahui teori yang dapat dipraktikkan dalam upaya menjaga lingkungan. Disitulah betapa pentingnya fiqih lingkungan.
Sebagaimana diketahui bahwa syariah pada prinsipnya mengacu pada kemaslahatan manusia. Tujuan utama syariat Islam (maqashid syariah) adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia di dunia dan akhirat. Hal ini sesuai dengan misi Islam secara keseluruhan yang rahmatan lil alamin.
Al-Syatibi dalam karangannya, al-Muwafaqat, menegaskan bahwa telah diketahui tujuan syariat Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan makhluk secara mutlak. Dalam ungkapan lain, Yusuf Al-Qardhawi menyatakan bahwa terdapat kemaslahatan, maka terdapat hukum Allah. (Thohari, 2013)

Studium General di UNISBA Bandung


Ukhuwah Fiillah: Bersama Prof. Dr. Dadan Wildan


Buku Ilmu Faraidh dan Mawaris


Judul Buku; Ilmu Faraidh dan Mawaris
Penulis: Tim Kementerian Pendidikan KSA
Penerjemah: Aisyah As-Salafiyah
Harga: Rp. 50.000

Informasi Hubungi: Abdurrahman : 085885753838

Motivasi Menulis di RS Fatmawati


Ramadhan, Tadabur Al-Qur’an dan Ketaatan Pada Ar-Rahman



Oleh: Abdurrahman

Bulan Ramadhan yang sedang kita jalani ini sejatinya adalah bulan Al-Qur’an, karena pada bulan inilah Al-Qur’an diturunkan. Allah Ta’ala berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). QS. Al-Baqarah: 185.
Imam Ath-Thabari menyatakan, “Sedangkan رمضان /ramadhan/ sebagian ahli balaghah arab menyatakan bahwa dinamakan demikian karena begitu menyengat panasnya di bulan itu, hingga bayi pun merasa kepanasan” (Tafsir Ath Thabari, 3/444). Sehingga dapat disimpulkan bahwa makna Ramadhan adalah panas membara, sehingga ia menjadi simbol semangat, keberanian, pengorbanan dan mujahadah fi sabilillah.
Bulan ini menjadi istimewa karena padanya diturunkan Al-Qur’an, sebagaimana lanjutan dari ayat ini:
الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
“bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an”
Ayat ini adalah dalil bahwa Al Qur’an pertama kali diturunkan di bulan Ramadhan. Sebagaimana ayat lain:
إِنَّا أَنزلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Sesungguhnya kami turunkan ia (Al Qur’an) di malam lailatul qadr” (QS. Al Qadr: 1)
Demikian juga firman Allah Ta’ala:
إِنَّا أَنزلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ
Sesungguhnya kami turunkan ia (Al Qur’an) di malam yang penuh keberkahan” (QS. Ad Dukhan: 3).
Imam Ibnu Katsir memaparkan, “Allah Ta’ala memuji bulan Ramadhan diantara bulan-bulan lainnya. Yaitu dengan memilihnya sebagai bulan diturunkannya Al Qur’an Al Azhim” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/501). Bahkan selain Al Qur’an, Ramadhan juga adalah bulan diturunkannya kitab-kitab Allah sebelumnya. Imam Ibnu Katsir membawakan dalil akan hal ini, yaitu sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
أُنْزِلَتْ صُحُف إِبْرَاهِيمَ فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ وَأَنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لسِتٍّ مَضَين مِنْ رَمَضَانَ، وَالْإِنْجِيلُ لِثَلَاثَ عَشَرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ الْقُرْآنَ لِأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ
Shuhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan. Taurat diturunkan pada hari ke malam ke 7 bulan Ramadhan. Injil diturunkan pada malam ke-14 Ramadhan. Sedangkan Al Qur’an diturunkan pada malam ke-25 bulan Ramadhan” (dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 1575)
Imam Ath Thabari membawakan riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa maksud dari ‘kami turunkan ia (Al Qur’an) di malam lailatul qadr‘ adalah: Al Qur’an diturunkan di malam lailatul qadar dari lauhul mahfudz ke langit dunia. Sebagaimana riwayat dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu :
أنزل القرآنُ كله جملةً واحدةً في ليلة القدر في رمضان، إلى السماء الدنيا، فكان الله إذا أراد أن يحدث في الأرض شَيئًا أنزله منه، حتى جمعه
“Al Qur’an diturunkan sekaligus di malam lailatul qadar pada bulan Ramadhan, ke langit dunia. Lalu setelah itu jika Allah ingin memfirmankan sesuatu ke dunia, ia (Al Qur’an) diturunkan dari langit dunia (bagian demi bagian) hingga akhirnya dikumpulkan” (Tafsir Ath Thabari, no. 2818)
Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu juga berkata:
أنزل الله القرآن إلى السماء الدنيا في ليلة القدر، فكان الله إذا أراد أن يُوحِيَ منه شيئًا أوحاه
“Allah menurunkan Al Qur’an ke langit dunia di malam lailatul qadar. Lalu setelah itu jika Allah ingin memfirmankan sesuatu, Ia mewahyukannya” (Tafsir Ath Thabari, no. 2816)
Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam, ia adalah pedoman hidup dan petunjuk menuju falah (kehidupan yang sejahtera) di dunia dan akhirata:
هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“Sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)”
Ibnu Katsir menjelaskan: “Ini adalah pujian Allah terhadap Al Qur’an, bahwa Ia menurunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi para hamba yang beriman kepada Al Qur’an, membenarkan serta mengikuti tuntunan Al Qur’an. Sedangkan بَيِّنَاتٍ /bayyinaat/ artinya sebagai dalil dan hujjah yang jelas, terang dan gamblang bagi orang yang memahami dan mentadabburinya, sehingga menunjukkan bahwa Al Qur’an itu benar-benar sebuah petunjuk yang menafikan kesesatan dan sebuah pedoman yang menafikan penyimpangan. Al Qur’an juga diturunkan sebagai pembeda antara haq dan batil, antara halal dan haram” (Tafsir Ibni Katsir, 1/502)
Ayat ini juga dalil bahwa Al Qur’an adalah landasar hukum Islam dan ia diturunkan kepada semua manusia, mencakup muslim ataupun bukan, sebagaimana Islam. Muhammad bin Shalih Utsaimin berkata: “Al Qur’an adalah landasan syari’at Islam, Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam diutus bersamanya kepada seluruh manusia. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيراً
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam” (QS. Al Furqaan: 1) ” (Ushul Fiit Tafsir, 1/7)
Maka tidak ada alasan lagi bagi kita untuk tidak mengambil petunjuk dari Al-Qur’an. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana cara mendapatkan petunjuk tersebut? Jawabannya adalah dengan membacanya, mentadaburi, mengamalkan dan mendakwahkan isi kandungan Al-Qur’an. Perintah membaca disebutkan dalam hadits Nabi yang mulia:
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ
Bacalah Al-Qur’an sesungguhnya ia akan menjadi penolong pembacanya di hari kiamat. HR. Muslim dari Abu Umamah.
Membaca Al-Qur’an adalah salah satu sarana untuk mendapatkan hidayah (petunjuk), dalam banyak ayatnya Allah Ta’ala berfirman:
أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلى قُلُوبٍ أَقْفالُها
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci? QS.  Muhammad: 24.
Pada ayat yang lainnya disebutkan:
كِتابٌ أَنْزَلْناهُ إِلَيْكَ مُبارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آياتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُوا الْأَلْبابِ
Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. QS. Shaad: 29.
Makna Tadabur menuru As-Sa’di adalah:
التَّأَمُّلُ فِيْ مَعَانِيْهِ، وَتَحْدِيْقُ الْفِكْرِ فِيْهِ، وَفِيْ مَبَادِئِهِ وَعَوَاقِبِهِ، وَلَوَازِمِ ذلِكَ
“Merenungi makna-maknanya; mempertajam pikiran mengenainya;  demikian pula prinsip-prinsip, akibat (out put) dan konsekuensi-konsekuensinya.” (Tafsir al-Sa’di, 189-190) berupa amal dan ittiba (mengikutinya).
Allah ta'ala memerintah manusia untuk mentadabburi al-qur'an, yakni merenungi, memahami, memikirkan, menghayati isi kandungannya yang menunjukkan tanda-tanda kebesaran Allah ta'ala. Di dalamnya terdapat sejarah umat masa lampau dan gambaran kehidupan masa akan datang. Tidak lain, semuanya itu bertujuan bagaimana manusia bercermin dalam menghadapi kehidupan sehari-harinya agar tidak binasa oleh kelalaian dan kepongahannya.  
Setelah mentadaburi Al-Qur’an, maka langkah berikutnya adalah mengamalkannya. Sebuah syair menyatakan:
الْعِلْمُ بِلَا عَمَلٍ كَالشَّجَرِ بِلَا ثَمَرٍ
Ilmu tanpa diamalkan bagaikan pohon yang tak berbuah.
Allah Ta’ala juga menegur orang-orang yang membaca Al-Qur’an dan tahu hukum-hukumnya namun tidak melaksanakannya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? QS. Ash-Shaff: 2.
Allah Ta’ala juga mencela orang-orang yang membaca Al-Kitab, mengajak orang lain untuk berbuat baik namun dia sendiri melupakan diri sendiri:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلا تَعْقِلُونَ
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir? Al-Baqarah: 44.  
Maka, sebagai seorang muslim di bulan Ramadhan yang mulia inilah marilah kita perbanyak membaca Al-Qur’an, mentadaburinya serta mengamalkannya. Jangan sampai Al-Qur’an yang kita baca justru menjadi hujjah alaina (dasar hukum yang mengancam kita).  


Masa Depan Politik Ekonomi Islam di Indonesia



Oleh: Dr. Abdurrahman Misno BP, MEI


Membahas tentang politik seringkali yang muncul dalam benak kita adalah politik praktis yaitu siasat untuk memperebutkan kekuasaan. Apalagi jika masanya berdekatan dengan pemilihan umum, baik pemilihan kepala daerah, wakil rakyat atau presiden maka yang terbersit adalah politik praktis yang terkadang menghalalkan segala cara. Padahal sejatinya makna politik dalam perspektif Islam mengenai makna yang agung yaitu mengayomi umat berdasarkan syariat.
Tentu saja artikel ini tidak akan membahas mengenai politik praktis yang saat ini sedang ramai dibincangkan oleh masyarakat Indonesia. Walaupun tidak lepas dari makna politik yang dipahami dalam Islam. Ya... politik dalam Islam dipahami sebagai upaya untuk mengayomi masyarakat melalui kemashalahatan yang diajarkan oleh syariat Islam. Politik dalam bahasa Arab adalah siyasah , ia berasal dari kata sasa-yasusu-sisayatan yang bermakna mengatur dan mengurus. Kata ini dalam kamus Al-Munjid dan lisan Al-’Arab berarti mengatur, mengurus, dan memerintah. Abdul Wahhab Khallaf mengutip ungkapan Al-Maqrizi menyatakan bahwa makna siyasah berarti mengatur. Padanan kata ini dalam bahasa Inggris bermakna to govern atau to lead. Ibnu Mandzur dalam Lisaan Al-Arab memberikan makna siyasah dengan mengatur atau memimpin sesuatu dengan cara membawa kepada kemaslahatan. Sedangkan di dalam Al-Munjid di sebutkan, Siasah adalah membuat kemaslahatan manusia dengan membimbing mereka ke jalan yang menyelamatkan. Implementasi dari aturan-aturan yang dibuat dalam siyasah adalah berbagai peraturan dan kebijakan yang diterapkan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat dengan berlandaskan kemashalahatan.
Merujuk pada definisi mengenai politik atau siyasah maka politik ekonomi Islam bermakna mekanisme pembuatan kebijakan yang berkorelasi dengan ekonomi Islam yang ada di Indonesia. Kebijakan tersebut berupa jaminan kebutuhan pokok, sekunder dan tersier bagi seluruh warga negara. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana masa depan politik ekonomi Islam di Indonesia?
Sejak berkembangnya ekonomi Islam yang ditandai dengan pendirian Bank Muamalah di Indonesia, kebijakan pemerintah berkaitan dengan ekonomi Islam dapat dilihat dari berbagai perundang-undangan, peraturan presiden, peraturan Bank Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta peraturan lembaga resmi lainnya. Tentu saja dalam konteks Indonesia kebijakan politik ini tidak lepas dari fatwa DSN yang menjadi pedoman bagi pelaksanaan ekonomi syariah di Indonesia. Sejatinya, pendirian bank syariah di Indonesia yang mendahului munculnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan menjadi indikasi awal politik ekonomi Islam di Indonesia. Terbukti kemudian disahkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan yang secara legal formal mengakui eksistensi perbankan dengan prinsip Islam (Islamic Banking).
Selanjutnya politik ekonomi Islam di Indonesia terlihat semakin baik setelah masa reformasi yaitu dengan disahkannya Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Undang-undang No 41 tahun 2004 tentang Wakaf, Undang-undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan Undang-undang no 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syari’ah Negara. Berbagai peraturan presiden dan lembaga negara lainnya menjadi acuan teknis dalam pelaksanaan berbagai lini ekonomi syariah di Indonesia.
Tentu saja berbagai kebijakan tersebut patut untuk diapresiasi sebagai political will dari pemerintah. Namun untuk kemajuan ke depan yang lebih baik maka sudah selayaknya terus dilakukan perbaikan khususnya berkaitan dengan ekonomi syariah yang tidak hanya setegah-setengah atau dilakukan secara parsial. Sebagai contoh, kebijakan mengenai bidang-bidang ekonomi Islam yang belum tersentuh sudah selayaknya juga untuk terus diperhatikan. Lambatnya peraturan presiden mengenai jaminan produk halal yang merupakan acuan pelaksanaan Undang-undang Jaminan Produk Halal (JPH) seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi umat Islam untuk terus memperjuangkan ekonomi Islam. Demikian pula jaminan kesehatan sosial yang masih belum dipastikan kehalalannya juga menjadi polemik yang saat ini belum habis. Apalagi jika membahas mengenai banyaknya kampus Islam yang masih menggunakan bank ribawi hanya karena kebijakan dari atas yang belum memungkinkan, hingga kesadaran masyarakat yang harus terus dibangkitkan dalam melaksanakan ekonomi Islam ini.
Semua permasalahan tersebut tidak lepas dari politik ekonomi Islam yang sudah seharusnya dipahami oleh umat Islam. Jika selama ini kebijakan pemerintah mengenai ekonomi Islam masih belum optimal maka sudah saatnya umat Islam melakukan studi, mengembangkan ide dan gagasan serta terus berusaha untuk mengimplementasikan ekonomi Islam di seluruh dendi kehidupan mereka. Dr. Murniati Mukhlisin, M.Acc menyatakan bahwa jika ekonomi Islam ingin maksimal dalam perkembangannya maka mau tidak mau umat Islam harus paham politik ekonomi Islam. Ketua STEI Tazkia ini juga menyatakan bahwa disiplin ilmu ini harus terus dikembangkan khususnya oleh perguruan tinggi Islam. STEI Tazkia sendiri akan segera membuka konsentrasi Politik Ekonomi Islam sebagai salah satu disiplin ilmu baru.
Mudah-mudahan dengan semakin meningkatnya ghirah umat Islam, politik ekonomi Islam di Indonesia di masa yang akan datang juga akan semakin lebih baik. Tentu saja smeua itu bukanlah sim salabim namun butuh perjuangan dari seluruh elemen umat Islam. Saya yakin sekali jika umat Islam terus belajar dan melaksanakan seluruh aturan dalam Islam, maka masa depan ekonomi Islam di Indonesia akan semakin menggembirakan. Wallahu a’lam... drm.





Qanun Syariah di Aceh: Pengalaman dan Pembelajaran


Press Release:
Stadium General Bersama Bupati Aceh Besar Ir. Mawardi Ali
Qanun Syariah di Aceh: Pengalaman dan Pembelajaran

Hukum Islam sejatinya adalah sistem hukum yang memberikan rasa aman bagi seluruh umat manusia, sebagaimana Islam adalah rahmat bagi seluruh alam sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam QS. Al Anbiya: 107. Namun, tidak semua umat manusia mampu merasakan indahnya berada di bawah naungan hukum Islam, sehingga ketika suatu wilayah melaksanakan hukum Islam sebagian mereka menolaknya.
Inilah sejatinya yang terjadi di Aceh, pelaksanaan syariat Islam di sana memancing kontroversi dan penolakan dari beberapa pihak khususnya mereka yang tidak suka dengan pelaksanaan syariat Islam. Bagaimana sebenarnya pelaksanaan qanun syariah di Aceh? Apakah benar adanya penolakan menjadikan Aceh semakin konsisten dengan pelaksanaan syariat Islam di sana?
STEI Tazkia sebagai kampus yang konsisten dengan nilai-nilai Islam mengundang Bupati Aceh Besar untuk menjawab semua pertanyaan tersebut. Melalui General Lecturing yang diadakan oleh kampus Pelopor Ekonomi Syariah ini, pemateri membeberkan secara detail mengenai qanun syariah di Aceh yang bisa dijadikan pembelajaran bagi umat Islam.
Beliau mengatakan bahwa eksistensi Aceh sebagai Daerah Khusus adalah dengan diberikan otonomi oleh pemerintah Indonesia melalui  Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Ruang lingkup dari keistimewaan Aceh adalah diberikan kebebasan untuk menjalankan syariat Islam, menjalankan adat-istiadat, melaksanakan sistem pendidikan, serta memberikan peran kepada para ulama di Pemerintahan. Undang-undang ini kemudian diturunkan dalam bentuk Qanun pertama di Aceh, yaitu Qanun  Nomor, : 11 Tahun 2002. Tentang, : Pelaksanaan Syari'at Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan syi'ar Islam.
Tsunami yang terjadi di Aceh pada tahun 2004 memberikan hikmah luar biasa bagi masyarakatnya, salah satunya adalah tercapainya kesepakatan damai antara Pmerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 2005. Salah satu hasil dari perdamaian ini adalah keluarnya Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Otonomi khusus, di mana Aceh diberikan anggaran APBD sebesar 2% dari Anggaran Umum Nasional, dan pada tahun 2022 hingga 2027 sebesar 1%. Lebih dari itu, mereka semakin sadar bahwa pelaksanaan syariat Islam di Aceh bukan hanya kewajiban tetapi kebutuhan bagi mereka sebagai bukti keimanan kepada Allah Taala.
Program ibadah sehari-hari dilakukan sesuai dengan syariat Islam semisal shalat berjamaah bagi laki-laki adalah wajib, termasuk para pedagang juga mereka wajib berhenti berdagang ketika adzan berkumandang. Secara aturan, Provinsi mengeluarkan kebijakan Qanun sedangkan yang melaksanakan penegakannya adalah kabupaten serta kota. 
Salah satu bukti pelaksanaan syariat Islam bidang keuangan di Aceh adalah dilakukannya konversi Bank Aceh menjadi Bank Aceh Syariah, yaitu bank yang menggunakan prinsip-prinsip syariah Islam. Keberkahan dari konversi ini adalah meningkatnya jumlah nasabah hingga 4 kali. Selain itu juga dibuat Program Aceh Besar Sejahtera:, yaitu dengan memberikan bantuan tunai kepada masyarakat sebagai dana konsumtif.
Upaya untuk terus melaksanakan seluruh syariat Islam terus dilakukan, seluruh aktifitas masyarakat di Aceh didasarkan kepada Islam. Bahkan tidak hanya masyarakat yang tinggal di sana, namun juga mereka yang datang ke Aceh diharuskan untuk mengikuti aturan tersebut. Salah satunya adalah para pramugari yang ke Aceh diwajibkan untuk menggunakan hijab. Tentu saja ini mengundang beberpaa kontroversi dari para pemilik maskapai penerbangan, walaupun sejatinya sebelum aturan ini diberlakukan seluruh maskapai penerbangan yang memiliki rute ke Aceh telah diberikan sosialisasi dan pendapatnya. Semua mereka setuju dengan aturan tersebut. Sehingga seharusnya tidak ada lagi alasan untuk menolaknya, apalagi mencari-cari kesalahanan dan kekurangan dalam pelaksanaannya.
Tentu saja pelaksanaan syariat Islam di Aceh masih terus dikembangkan dan diperbaiki, saat ini hukuman bagi pencurian, tindakan korupsi, hukuman rajam bagi pezina dan lain sebagainya. Adanya Wilayatul Hisbah adalah upaya untuk mencegah dan menegakan hukum Islam yang ada di Indonesia khususnya dalam kasus khalwat, pacaran, LGBT, dan pelanggaran lainnya.
Adanya beberapa pelanggaran hukuman yang terjadi bukanlah menunjukan bahwa syariat Islam tidak cocok dengan perkembangan zaman. Justru adanya aturan syariah adalah untuk memberikan efek jera kepada para pelakunya. Adanya tidakan preventif sekaligus coersive adalah upaya untuk menjadikan umat ini menjadi baik. Karena hanya dengan syariah Islam negara ini akan menjadi Baldatun Thayybatun wa Rabbun Gaffur. Demikian panjang lebar Sang Bupati menjelaskan bagaimana pelaksanaan qanun syariah di Aceh adalah kunci bagi keberkahan wilayah ini.
General Lecturing diakhiri dengan diskusi, Bapak Ahmad Mukhlis mengawali diskusi mengenai bagaimana kebersamaan antara pemerintah dan anggota dewan dapat terlaksana dengan baik. Maka H. Mawardi menjawab bahwa komunikasi menjadi kunci utama kesuksesan terlaksananya komunikasi politik ini. sementara Pak Sutopo bertanya mengenai apakah ada pihak-pihak yang tidak suka dengan pelaksanaan syariat Islam ini? maka Sang Bupati menjawab bahwa banyak sekali dari mereka yang tidak suka dan mengecam pelaksanaan syariah di Aceh tapi kami jawab bahwa ini adalah wilayah kami, ini rakyat kami dan kami memiliki kebebasan untuk menjalankan syariat kami ini. Kami tidak pernah mengganggu aturan dan hak orang lain, maka biarkan kami melaksanakan syariat Islam ini. Jika and hendak ke Aceh maka ikutilah aturan. Demikian Bapak H. Mawardi Ali menjawab setiap pertanyaan yang disampaikan oleh seluruh peserta diskusi. Diskusi diakhiri dengan pemberian cindera mata oleh Ketua STEI Tazkia kepada Bapak H. Ir. Mawardi Ali.   







Rahmat Islam Bagi Adat dan Budaya Insan



Dr. Abdurrahman Misno BP, MEI


Sebagai agama langit (baca: samawi) Islam adalah manhaj al-hayat (pedoman hidup) bagi umat Islam dan seluruh umat manusia. Rahmat Islam tidak tersekat oleh ruang dan waktu, Islam telah menyebarkan rahmatNya dari wilayah panas di gurun sahara, hingga rimbunnya belantara Asia. Ia juga telah dipedomani oleh suku-suku asli Amerika hingga ke pedalaman Papua. Rahmat Islam adalah sebuah kepastian sebagaimana firmanNya:
وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia”. QS. Al Anbiya: 107.
Imam Ibnu Katsir, Imam Al-Qurthubi dan beberapa mufasir lainnya menyatakan makna dari ayat ini adalah bahwa Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam. Hal ini berarti bahwa kehadiran Islam sebagai agama langit juga menjadi rahmat bagi seluruh kehidupan umat manusia, bagi dari sisi politik, ekonomi, sosial serta adat dan kebiasaan manusia.
Ketika Islam menyebar memasuki wilayah di luar Jazirah Arabia, maka ia bertemu kemudian berdialog dengan tradisi, adat dan budaya yang berbeda dengan asal di mana Islam diturunkan. Islam berjumpa dengan tradisi Persia, India, Mesir, Eropa, China dan Nusantara. Di sinilah Islam membuktikan bagaimana ia bukan satu pedoman hidup yang kaku, bahkan ia dinamis sehingga memiliki sifat elastis pada beberapa bagian syariatNya.
Allah Ta’ala sendiri telah memberikan visualisasi yang jelas mengenai beranekaragamnya adat dan kebiasaan umat manusia. Sebagaimana firmanNya:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. QS. Al-Hujuraat: 13.
Merujuk pada ayat ini jelaslah bahwa Islam hadir memberikan solusi dalam menghadapi berbagai variasi adat dan kebiasaan di antara mereka. Islam memberikan ruang bagi budaya, adat dan tradisi masyarakat untuk berkembang dan bersandingan dengan Islam. Bahkan dalam sebuah kaidah Fiqhiyyah disebutkan:


اَلْعَادَةُ مُحَكْمَة
 “Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”
Abi Hamid Muhammad Ibn Muhammad Al-Ghazali, Aljurjani, dan ‘Ali Haidar berpendapat bahwa al-‘adah semakna dengan al-‘urf, yaitu  apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ngulangnya dalam ucapan dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum. Sehingga segala hal yang dilakukan oleh individu, komunitas atau masyarakat tertentu yang dilakukan secara terus-menerus itulah yang disebut dengan adat. Contoh paling sederhana adalah bagaimana masyarakat Indonesia melakukan berbagai tradisi memperingati siklus kehidupan, dari mulai mengandung, melahirkan, khitan, menikah, hingga meninggal dunia.
Karakteristik dari Islam dalam menerima adat dan kebiasaan yang ada di masyarakat adalah selarasnya ia dengan fitrah manusia. Sehingga kemudian penggunaan kaidah ini menjadi dasar bagi umat Islam untuk menyikapi berbagai adat dan kebiasaan yang ada di masyarakat. Secara singkat dapat dipahami bahwa rahmat Islam bagi adat dan kebudayaan manusia adalah senantiasa menyelaraskannya dengan syariah Islam yang hanif.
Permasalahan yang saat ini mengemuka di masyarakat adalah bagaimana sebenarnya Islam memandang adat dan kebiasaan masyarakat di Indonesia? Apakah Islam identik dengan Arab? Maka jawabannya adalah; Pertama: Islam menerima adat dan budaya yang ada di Indonesia selama tidak bertentangan dengan nash dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang bersifat Qath’i, semisal berziarah kubur, mendoakan kebaikan bagi orang yang sudah meninggal dunia, bermaaf-maafan di hari raya Idhul Fitri dan tradisi baik lainnya. Adapun tradisi yang jelas ada larangannya semisal riba (bunga bank), perjudian, mengonsumsi khamr, berkurban dengan selain Allah, beribadah kepada selain Allah maka hal itu diharamkan dalam Islam.  Kedua; Islam tidaklah identik dengan Arab, karena banyak juga tradisi Arab yang tidak sesuai dengan Islam dan ditolak oleh Islam. Sehingga menerima Islam bukan berarti menerima Arab, hanya tradisi Arab yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam yang menjadi bagian dari syariat Islam. Drm. 







Memahami Kekurangan Itulah Makna Persahabatan


Kisah ini saya awali dengan sebuah perseteruan rasa, antara kasihan dan suka...
Suka dalam makna sebenarnya bukan hanya hawa... Kepribadian seseorang terkadang memunculkan rasa simpati sehingga jiwa ini merasa tenteram di dalamnya. Bukan cinta. .. Inilah makna Rasul yang Mulia... Innal arwaha junudun mujanadah... ( Sesungguhnya ruh-ruh itu diciptakan saling berkawan dan berteman)...
Ukhuwah Fiillah (Persahabatan karena Allah Ta'ala) inilah yang seharusnya menjadi puncak dari segala persahabatan. Namun untuk mencapai ke sana tidaklah mudah,  kerikil tajam persahabatan, batu-batu cadas perkawanan serta karang-karang pertemanan tak jarang terlempar dan menghantam ukhuwah ini. Ketika dasarnya tidak kokoh serta ada unsur duniawi yang menunggangi maka dengan mudah persahabatan berubah menjadi permusuhan perkawanan menjadi perlawanan. Jika dalam Al Qur'an disebutkan bahwa "Orang-orang yang saling bersahabat pada hari itu -akhirat- menjadi musuh antara yang satu dengan yang lainnya. Ayat ini menjadi ibrah dan juga terjadi di dunia, di mana seringkali persahabatan yang dibina berubah menjadi permusuhan tiada tara.
Persahabatan yang sesungguhnya adalah ketika kita saling memahami kekurangan sahabat kita, memaafkan kesalahannya dan saling menjaga aib serta kekurangannya.  Bukan membiarkan kesalahan yang dilakukan oleh teman kita, tetapi memberi nasehat dengan lembut dan niat karena Allah Ta'ala.

Tak Ada Manusia Sempurna


Oleh: Bambang Sahaja

No Body Perfect, tidak ada manusia yang sempurna.  Kata-kata tentu saja mudah untuk ditulis, dibaca dan diucapkan. Namun seringkali sulit untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Setiap kita ingin perfect (sempurna), untuk diri sendiri lebih-lebih untuk orang lain.
Kita selalu ingin sesempurna mungkin, demikian juga orang lain harus sempurna tanpa adanya aib dan cela. Istilah ini telah sejak awal dipahami oleh wahyu yang mulia, Islam telah memberikan satu pedoman bahwa Manusia itu adalah mahalul khata' wa nisyan (tempatnya salah dan lupa). Bahkan demikianlah manusia, dalam hadits Qudsi disampaikan bahwa seandainya manusia tidak berbuat dosa dan kesalahan maka Allah Taala akan menggantikan makhluk lainnya yang ketika berbuat dosa kemudian segera bertaubat kepada Allah Ta'ala.
Pemahaman bahwa manusia tempat salah dan lupa tentu saja tidak dijadikan dalil atau alasan untuk seseorang berbuat dosa atau membiarkan orang lain berbuat dosa. Ada niat, ada tindakan dan ada hukuman itulah yang balance (seimbang) .
Sebuah pertanyaan yang sering muncul adalah kenapa seorang yang paham agama juga melakukan dosa dan kesalahan? Maka kita korelasikan antara teori manusia tempat salah dan dosa, penciptaan manusia dengan dihiasi oleh hawa serta fungsi Al-Ghafur, Allah Taala.
Ustadz juga manusia, dia pasti pernah berbuat kesalahan. Hal ini terjadi karena ustadz sebagai manusia diciptakan sama dengan manusia lainnya yaitu dihiasi dengan hawa nafsu. Sebuah istilah yang tepat menggambarkan hal ini adalah ungkapan "Semakin pohon itu tinggi maka angin dan badai semakin kencang menerpanya". Semakin seseorang bertambah imannya maka semakin kuat cobaan yang akan dihadapinya.
Bukan melegitimasi ustadz yang berbuat kesalahan, tetapi sebagai pemahaman awal serta menjawab berbagai persoalan kenapa ustadz juga berbuat kesalahan.
Nilai terpenting ketika seseorang berbuat kesalahan adalah segera untuk memperbaiki diri, ketika dia berbuat kesalahan lagi maka kembali terus memperbaiki diri. Mujahadah (kesungguhan)  dalam proses memperbaiki diri inilah seharusnya yang menjadi pertimbangan. Kita masih ingat dengan kisah 99 pembunuh yang ingin bertaubat,  endingnya adalah dia meninggal setelah membunuh seorang ahli agama menuju jalan perbaikan. Mujahadah dia menuju kebaikan walaupun hanya beberapa hasta (meter) menjadi nilai yang sejatinya nilai akhir dari hidupnya.

Minggu, 20 Mei 2018

Ramadhan, Tadabur Al-Qur’an dan Ketaatan Pada Ar-Rahman



Oleh: Abdurrahman Misno

Bulan Ramadhan yang sedang kita jalani ini sejatinya adalah bulan Al-Qur’an, karena pada bulan inilah Al-Qur’an diturunkan. Allah Ta’ala berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). QS. Al-Baqarah: 185.
Imam Ath-Thabari menyatakan, “Sedangkan رمضان /ramadhan/ sebagian ahli balaghah arab menyatakan bahwa dinamakan demikian karena begitu menyengat panasnya di bulan itu, hingga bayi pun merasa kepanasan” (Tafsir Ath Thabari, 3/444). Sehingga dapat disimpulkan bahwa makna Ramadhan adalah panas membara, sehingga ia menjadi simbol semangat, keberanian, pengorbanan dan mujahadah fi sabilillah.
Bulan ini menjadi istimewa karena padanya diturunkan Al-Qur’an, sebagaimana lanjutan dari ayat ini:
الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
“bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an”
Ayat ini adalah dalil bahwa Al Qur’an pertama kali diturunkan di bulan Ramadhan. Sebagaimana ayat lain:
إِنَّا أَنزلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Sesungguhnya kami turunkan ia (Al Qur’an) di malam lailatul qadr” (QS. Al Qadr: 1)
Demikian juga firman Allah Ta’ala:
إِنَّا أَنزلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ
Sesungguhnya kami turunkan ia (Al Qur’an) di malam yang penuh keberkahan” (QS. Ad Dukhan: 3).
Imam Ibnu Katsir memaparkan, “Allah Ta’ala memuji bulan Ramadhan diantara bulan-bulan lainnya. Yaitu dengan memilihnya sebagai bulan diturunkannya Al Qur’an Al Azhim” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/501). Bahkan selain Al Qur’an, Ramadhan juga adalah bulan diturunkannya kitab-kitab Allah sebelumnya. Imam Ibnu Katsir membawakan dalil akan hal ini, yaitu sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
أُنْزِلَتْ صُحُف إِبْرَاهِيمَ فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ وَأَنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لسِتٍّ مَضَين مِنْ رَمَضَانَ، وَالْإِنْجِيلُ لِثَلَاثَ عَشَرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ الْقُرْآنَ لِأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ
Shuhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan. Taurat diturunkan pada hari ke malam ke 7 bulan Ramadhan. Injil diturunkan pada malam ke-14 Ramadhan. Sedangkan Al Qur’an diturunkan pada malam ke-25 bulan Ramadhan” (dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 1575)
Imam Ath Thabari membawakan riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa maksud dari ‘kami turunkan ia (Al Qur’an) di malam lailatul qadr‘ adalah: Al Qur’an diturunkan di malam lailatul qadar dari lauhul mahfudz ke langit dunia. Sebagaimana riwayat dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu :
أنزل القرآنُ كله جملةً واحدةً في ليلة القدر في رمضان، إلى السماء الدنيا، فكان الله إذا أراد أن يحدث في الأرض شَيئًا أنزله منه، حتى جمعه
“Al Qur’an diturunkan sekaligus di malam lailatul qadar pada bulan Ramadhan, ke langit dunia. Lalu setelah itu jika Allah ingin memfirmankan sesuatu ke dunia, ia (Al Qur’an) diturunkan dari langit dunia (bagian demi bagian) hingga akhirnya dikumpulkan” (Tafsir Ath Thabari, no. 2818)
Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu juga berkata:
أنزل الله القرآن إلى السماء الدنيا في ليلة القدر، فكان الله إذا أراد أن يُوحِيَ منه شيئًا أوحاه
“Allah menurunkan Al Qur’an ke langit dunia di malam lailatul qadar. Lalu setelah itu jika Allah ingin memfirmankan sesuatu, Ia mewahyukannya” (Tafsir Ath Thabari, no. 2816)
Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam, ia adalah pedoman hidup dan petunjuk menuju falah (kehidupan yang sejahtera) di dunia dan akhirata:
هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“Sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)”
Ibnu Katsir menjelaskan: “Ini adalah pujian Allah terhadap Al Qur’an, bahwa Ia menurunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi para hamba yang beriman kepada Al Qur’an, membenarkan serta mengikuti tuntunan Al Qur’an. Sedangkan بَيِّنَاتٍ /bayyinaat/ artinya sebagai dalil dan hujjah yang jelas, terang dan gamblang bagi orang yang memahami dan mentadabburinya, sehingga menunjukkan bahwa Al Qur’an itu benar-benar sebuah petunjuk yang menafikan kesesatan dan sebuah pedoman yang menafikan penyimpangan. Al Qur’an juga diturunkan sebagai pembeda antara haq dan batil, antara halal dan haram” (Tafsir Ibni Katsir, 1/502)
Ayat ini juga dalil bahwa Al Qur’an adalah landasar hukum Islam dan ia diturunkan kepada semua manusia, mencakup muslim ataupun bukan, sebagaimana Islam. Muhammad bin Shalih Utsaimin berkata: “Al Qur’an adalah landasan syari’at Islam, Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam diutus bersamanya kepada seluruh manusia. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيراً
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam” (QS. Al Furqaan: 1) ” (Ushul Fiit Tafsir, 1/7)
Maka tidak ada alasan lagi bagi kita untuk tidak mengambil petunjuk dari Al-Qur’an. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana cara mendapatkan petunjuk tersebut? Jawabannya adalah dengan membacanya, mentadaburi, mengamalkan dan mendakwahkan isi kandungan Al-Qur’an. Perintah membaca disebutkan dalam hadits Nabi yang mulia:
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ
Bacalah Al-Qur’an sesungguhnya ia akan menjadi penolong pembacanya di hari kiamat. HR. Muslim dari Abu Umamah.
Membaca Al-Qur’an adalah salah satu sarana untuk mendapatkan hidayah (petunjuk), dalam banyak ayatnya Allah Ta’ala berfirman:
أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلى قُلُوبٍ أَقْفالُها
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci? QS.  Muhammad: 24.
Pada ayat yang lainnya disebutkan:
كِتابٌ أَنْزَلْناهُ إِلَيْكَ مُبارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آياتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُوا الْأَلْبابِ
Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. QS. Shaad: 29.
Makna Tadabur menuru As-Sa’di adalah:
التَّأَمُّلُ فِيْ مَعَانِيْهِ، وَتَحْدِيْقُ الْفِكْرِ فِيْهِ، وَفِيْ مَبَادِئِهِ وَعَوَاقِبِهِ، وَلَوَازِمِ ذلِكَ
“Merenungi makna-maknanya; mempertajam pikiran mengenainya;  demikian pula prinsip-prinsip, akibat (out put) dan konsekuensi-konsekuensinya.” (Tafsir al-Sa’di, 189-190) berupa amal dan ittiba (mengikutinya).
Allah ta'ala memerintah manusia untuk mentadabburi al-qur'an, yakni merenungi, memahami, memikirkan, menghayati isi kandungannya yang menunjukkan tanda-tanda kebesaran Allah ta'ala. Di dalamnya terdapat sejarah umat masa lampau dan gambaran kehidupan masa akan datang. Tidak lain, semuanya itu bertujuan bagaimana manusia bercermin dalam menghadapi kehidupan sehari-harinya agar tidak binasa oleh kelalaian dan kepongahannya.  
Setelah mentadaburi Al-Qur’an, maka langkah berikutnya adalah mengamalkannya. Sebuah syair menyatakan:
الْعِلْمُ بِلَا عَمَلٍ كَالشَّجَرِ بِلَا ثَمَرٍ
Ilmu tanpa diamalkan bagaikan pohon yang tak berbuah.
Allah Ta’ala juga menegur orang-orang yang membaca Al-Qur’an dan tahu hukum-hukumnya namun tidak melaksanakannya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? QS. Ash-Shaff: 2.
Allah Ta’ala juga mencela orang-orang yang membaca Al-Kitab, mengajak orang lain untuk berbuat baik namun dia sendiri melupakan diri sendiri:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلا تَعْقِلُونَ
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir? Al-Baqarah: 44.  
Maka, sebagai seorang muslim di bulan Ramadhan yang mulia inilah marilah kita perbanyak membaca Al-Qur’an, mentadaburinya serta mengamalkannya. Jangan sampai Al-Qur’an yang kita baca justru menjadi hujjah alaina (dasar hukum yang mengancam kita).


Bogor, 20 Mei 2018