Senin, 14 Mei 2012

Konsep Pendidikan Rabbaniyah

Oleh : Abu Abdussalam

Istilah rabbāniyah memang merupakan bahasa al-Qur`ān, sehingga untuk memahaminya diperlukan kajian terhadap nash-nash yang berbicara tentang rabbānī. Kata rabbānī  terulang sebanyak 3 kali dalam al-Qur`ān, dua kali dalam bentuk shīghat (ungkapan kalimat) jama` mudzakkar sālim marfû` (الربانيون), yaitu Qs. al-Maidah [5]: 44 & 63 serta satu dalam bentuk shīghat jama` mudzakkar sālim manshûb (الربانيين), yaitu Qs. Ali `Imran [3]: 79.
Ayat-ayat tersebut adalah:
Pertama, Allah Swt berfirman:
$tB tb%x. @t±u;Ï9 br& çmuŠÏ?÷sムª!$# |=»tGÅ3ø9$# zNõ3ßsø9$#ur no§qç7Y9$#ur §NèO tAqà)tƒ Ĩ$¨Z=Ï9 (#qçRqä. #YŠ$t6Ïã Ík< `ÏB Èbrߊ «!$# `Å3»s9ur (#qçRqä. z`¿ÍhŠÏY»­u $yJÎ óOçFZä. tbqßJÏk=yèè? |=»tGÅ3ø9$# $yJÎur óOçFZä. tbqßâôs?
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia:"Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah". Akan tetapi (dia berkata):"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”. (QS. Ali `Imrān [3]:79)



Kedua, Allah Swt berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat didalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS. Al-Māidah [5]:44)

Ketiga, Allah swt berfirman:
“Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu”. (QS. Al-Māidah [5]:63)

al-Rāghib al-Ashfahāni menambah penjelasan yang lebih tegas, menurutnya:
 “al-Rab menurut etimologinya adalah al-tarbiyyah (pendidikan). Dalam bahasa Arab dikatakan rabbahu, rabbāhu, dan rabbabahu. Kata al-rab adalah mashdar yang diambil untuk menunjukkan pelaku. Sedangkan kata al-rabbānī dihubungkan kepada al-Rab yaitu Allah Ta`ala yang merupakan mashdar (sumbernya) dan Dialah yang memberikan ilmu”.[1]
Rabbāniyah dalam bahasa Arab merupakan penisbatan kepada Allah Swt. Oleh karena itu, sebagaimana orang menisbatkan dirinya kepada negeri atau marganya, seperti Mishrī `berkebangsaan Mesir`, Syāmī `berkebangsaan Syam dan sebagainya, ada juga sekelompok orang yang disebut dengan rabbāniyyūn, yakni mereka yang telah merealisasikan syarat-syarat untuk menisbatkan dirinya kepada Allah Swt.[2]
Kedua akar kata dari rabbānī, yaitu al-Rab atau al-tarbiyyah sebenarnya memiliki hubungan antara sumber dan sifat karakter dasarnya. Karena, di antara sifat karakter dasar dari al-Rab (Tuhan) yaitu tarbiyah (mendidik).
Dalam etimologi bahasa Arab, kata tarbiyah memiliki lima makna, yaitu:
Pertama, arti “al-ziyādah wa al-namā” yang berarti pertambahan dan pertumbuhan.
Kedua, arti “al-nusyū wa al-tara`ra`u” yang berarti perkembangan dan pembesaran.
Ketiga, arti “al-hifdz wa al-ishlāh” yang berarti pemeliharaan dan perbaikan.
Keempat, arti “al-tazkiyah wa al-irtifā`” yang berarti kesucian dan ketinggian.
Kelima, arti bertanggung jawab mengurus, mendukung, menjaga dan mengarahkan sesuatu untuk semua kemaslahatannya.[3]
Menurut Māzin Ibn `Abd al-Karīm al-Frêh, rabbānī adalah orang-orang yang memiliki karakter-karakter khusus yang meliputi: 1) Murabbin hakīm (pendidik yang bijaksana), 2) Dā`iyah mushlih (pembimbing yang reformis), 3) Mengamalkan ilmu, 4) Taqiyyun halīm (bertaqwa lagi penyabar), 5) faqīh bi wāqi` ummatih (memahami realita umat). Ini berarti, Rabbānī  adalah orang yang menggabungkan ilmu pengetahuan dengan pandangan politik yang bijak. Diambil dari perkataan orang Arab: rab amr al-nās yarubbuhu, yaitu ketika dia memperbaiki dan menegakkan urusan umat, maka dialah rabbān dan rabbānī untuk menunjukkan seringnya. Abu `Ubaidah berkata: Aku mendengar seorang yang berilmu berkata: rabbānī adalah orang yang berilmu tentang halal, haram, perintah dan larangan serta mengetahui berbagai khabar tentang umatnya, baik yang telah berlalu maupun yang sedang terjadi.  [4]
Sedangkan menurut Salmān al-`Audah, karakter rabbāniyah memiliki 10 sifat, yaitu: 1) Ilmu, 2) Ittibā` (Pengikut setia Rasulullah saw), 3) Ikhlās (murni tujuan baktinya), 4) Berakhlak dan beradab keilmuan, 5) Bergaul dengan orang lain dengan baik, 6) Memiliki kebanggaan terhadap ilmu, 7) Hikmah (bijaksana), 8) Mengetahui derajat diri, 9) Beramal bakti, dan 10) Belajar.[5]
`Abd al-`Azīz Kuhail menguraikan lebih jauh tentang jalinan antara karatkter rabbāniyah dan jalan pembentukannya dalam satu panduan yang utuh. Menurutnya rabbānī adalah seorang muslim yang memiliki akal yang cerdas, kalbu yang hidup dan anggota tubuh yang produktif, di mana dengan kepribadiannya yang lengkap itu dia sanggup memikul tanggung jawab khilafah dan tegar menghadapi berbagai situasi perubahan dan reformasi.
Jika ke-rabbāniyah-an berarti tegak lurusnya akal, kalbu dan anggota tubuh dalam tatanan dan tuntunan Ilahi, maka pembentukannya harus terorientasi dalam metode pendidikan sebagai berikut:
1)        Afkār (Pemikiran).
Memberi bekal akal dengan wawasan paripurna tentang Allah swt, manusia, alam dan kehidupan yang diasaskan pada wahyu, ayat-ayat alam semesta dan jiwa manusia. Inilah langkah pertama dalam pembentukan yang bertolak dari didahulukannya wahyu “iqra” sebagai asas pendidikan pemikiran orisinil yang dapat memberikan keyakinan tentang pemahaman valid serta menjauhkan akal dari keruwetan filsafat dan prasangka.
2)        `Āthifah (Perasaan)
Mensucikan jiwa dari berbagai penyakit yang dideritanya, meninggikan cita-cita kalbu, mengikatnya dengan Allah swt serta memberinya gizi dengan berbagai hakekat azaliah. Dengan demikian, seluruh perasaannya, kerinduannya dan gejolak jiwanya penuh dengan kelembutan, kasih sayang, kekuatan, kemuliaan, pengabdian dan seluruh kehormatan, tidak menampik hal-hal yang baik serta tidak bergelimang di dalamnya. Dia  akan selalu memperlakukan alam dan makhluk lainnya secara positif, sehingga semuanya menjadi bekal kekal yang tidak akan lenyap saat dia menempuh perjalanan hidup dan fase-fase dakwah.
3)        Sulûk (sikap perilaku)
Memenuhi sikap perilakunya dalam perbuatan-perbuatan yang diridhai Tuhan-nya, melakukan kebaikan, mempropagandakan reformasi kebenaran dan meluruskan penyimpangan dalam tatanan hukum alam kehidupan. Dengan demikian, kekuatan tangannya terbiasa membangun dan memberi, kedua matanya memandang nikmat-nikmat Allah swt dengan pandangan syukur serta memandang aibnya dengan pandangan mengobati, telinganya biasa mendengar suara orang-orang yang dizalimi, lisannya biasa memberikan nasehat, serta kakinya biasa melangkah ke arah produktif.[6]
Dengan ini semua, pendidikan pemikiran, ruhani dan sikap perilaku akan membentuk para pewaris Nabi yang selalu menapaki jalan keimanan Rasulullah saw yang ma`sûm:
öä.øŒ$#ur !$tRy»t7Ïã tLìÏdºtöÎ) t,»ysóÎ)ur z>qà)÷ètƒur Í<'ré& Ï÷ƒF{$# ̍»|ÁöF{$#ur
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya'qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang Tinggi”. (Qs. Shad [38]: 45)
Mereka mata rantai pengikut para Nabi yang mulia, di mana Allah swt memuji mereka dengan dua ciri dasar, yaitu ûli al-aydī[7] (pemilik anggota tubuh yang bersemangat tinggi dan melahirkan perbuatan-perbuatan besar yang produktif) serta ûli al-abshār[8](pemilik kalbu dan akal, karena inilah tempat penangkapan ilmu, walaupun tidak terbatas hanya memiliki keduanya seperti alat-alat mekanik saja, tetapi alat-alat yang hidup bergerak dengan penuh vitalitas).”[9]
Materi dasar dan inti dalam pendidikan rabbāniyah adalah al-Qur`ān yang merupakan Kalāmullāh (kata-kata Allah Swt) yang diturunkan kepada Rasulullah, Muhamamd saw dengan seluruh kandungan mu`jizatnya serta bernilai ibadah dengan membacanya.[10]
Muhammad `Abduh berkata tentang kandungan Qs. Ali `Imran [3] ayat 79 :

أَفَادَتِ الْآيَةُ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَكُوْنُ رَبَّانِيًّا بِعِلْمِ الْكِتَابِ وَدَرْسِهِ وَبِتَعْلِيْمِهِ لِلنَّاسِ وَنَشْرِهِ
Ayat tersebut memberi pengertian bahwa manusia bisa menjadi rabbāni dengan mengetahui dan mempelajari al-Kitāb serta mengajarkan dan menyebarkannya kepada umat manusia”. [11]
Sebagai sebuah materi dasar dan inti, Al-Qur`ān dalam perspektif pendidikan rabbāniyah memiliki banyak keistimewaan yang begitu tinggi dan mulia, di antaranya:
1.      Menghidupkan hati. (Qs. Asy-Syura [42]: 52)
2.      Menyinari mata hati. (Qs. Al-Maidah [5]: 15-16)
3.      Obat Hati. (Qs. Yunus [10]: 57)
4.      Membahagiakan Pemiliknya.  (Qs. Al Hijr [15]: 87-88)
5.      Menambah Keimanan (Qs. Al Anfal [8]: 2)
6.      Memperjelas Pandangan. (Qs. Az- Zumar [39]: 27)
7.      Penyampai Kabar Gembira dan Ancaman. (Qs. Al-Kahfi [18]: 1-2)
8.      Sumber Ilmu yang Paling Penting. (Qs. An-Nahl [16]: 89)
Al-Qur`ān merupakan nasehat terbaik yang mengembalikan para pendengarnya kepada kesadaran. Al-Qur`ān juga merupakan sistem teragung.[12]
Al-Qur`ān penuh dengan berbagai ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, orang yang ingin meneliti tentang sastra, sejarah, kisah, etika dan sebagainya, niscaya akan mendapatkan di dalamnya. Akan tetapi, hal ini bukan yang menjadi tujuan utama diturunkannya al-Qur`ān dan perintah mentadabburi serta memikirkan makna-maknanya. Karena al-Qur`ān adalah kitab petunjuk. Allah Swt berfirman:
“ (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)..”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 185)

Beberapa kandungan materi al-Qur`ān banyak dijabarkan oleh para ulama dan pakar sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Tetapi penulis membaginya ke dalam beberapa kelompok sudut pandang, di antaranya:
1.    Sudut pandang dari tujuan hakiki kehidupan manusia sebagai peserta didik, yaitu tauhid, mengesakan Allah Swt dalam semua pengabdian. Ibn Qayyim adalah tokoh yang dapat kita jadikan salah satu pelopor sudut pandang ini.
2.    Sudut pandang dari berbagai sisi keagamaan dan sosial kehidupan manusia yang sedang manjalani kehidupannya.
3.    Sudut pandang dari berbagai hubungan manusia dengan Pencipta, dirinya sendiri dan alam sekelilingnya.
Salīm bin `īd al-Hilālī menjelaskan bahwa metode utama dalam  pendidikan  rabbāniyah adalah metode hikmah yang digambarkan dalam aktualisasi pengajaran ber-tadarruj (yang bersifat gradual atau bertahap)[13]. Bukhāri rhm berkata:

وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ{ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ }حُلَمَاءَ فُقَهَاءَ وَيُقَالُ الرَّبَّانِيُّ الَّذِي يُرَبِّي النَّاسَ بِصِغَارِ الْعِلْمِ قَبْلَ كِبَارِهِ
Ibn `Abbās berkata (jadilah kalian rabbānī) yaitu para ahli fiqih yang amat penyabar. Dikatakan bahwa rabbānī adalah orang yang mendidik manusia dengan ilmu-ilmu yang sederhana sebelum ilmu-ilmu yang pelik”. [14]

Secara etimologi, kata al-hikmah mengandung empat pengertian, antara lain:
1.    Al-`Ilm wa al-fiqh (Ilmu dan pemahaman) atau al-`ilmu ma`a al-`amal (ilmu yang disertai amal kebajikan)
2.    Itqān al-Umûr (Keakuratan masalah)
3.    Kata-kata bermanfaat yang dapat mencegah kejahilan dan kedunguan.
4.    Tercegah dari kerusakan.
Setelah meneliti makna-makna hikmah dalam kamus-kamus bahasa, Ibn Taimiyah memberikan kesimpulan tentang arti etimologi dari kata hikmah Sebagai “Pemutus dan pembeda, pemisah dan pembatas yang dapat menghantarkan terwujud dan tercapainya sesuatu secara akurat”.[15]
Dari uraian para ulama tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian hikmah dapat dilihat dari dua sudut pandang:
1.    Dari segi teoritis ilmiah.
Dari segi ini, hikmah dimengerti sebagai ketelitian terhadap sesuatu yang berada di balik yang tersurat, mengetahui keterikatan antara sebab akibat, baik yang berbentuk hukum alam maupun hukum perintah dan larangan, atau yang bersifat qadar hukum sosial ataupun yang berbentuk hukum syariah.
2.     Dari segi amal praktis.
Dari segi ini, hikmah diartikan dengan makna meletakan sesuatu di tempatnya yang tepat.[16] Dari segi amal praktis, menurut `Ali Muhammad al-Shallābī, hikmah memiliki tiga tingkatan, yaitu:
a.    Memberikan sesuatu haknya masing-masing, tidak melampaui batas, tidak tergesa-gesa dari waktunya dan tidak pula mengakhirkan watunya. Segala hal memiliki derajat dan hak-hak yang dikandungnya, memiliki batas dan target yang harus digapai dan tidak boleh dilampaui, memiliki waktu yang tidak boleh didahului atau ditunda. Di sinilah hikmah berarti menjaga tiga segi hal tersebut.
b.    Mengenal keadilan Allah dalam ancaman-Nya, kebaikan Allah dalam janji-Nya serta keadilan-Nya dalam hukum-hukum Allah, baik yang bersifat syar`i maupun hukum alam yang berlaku kepada makhluk-makhluk-Nya, karena di dalamnya tak ada kezaliman dan penyelewengan. Allah Swt berfirman:
Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. (Qs. An-Nisa [4]: 40)
c.    Bashīrah (kemampuan mumpuni), yaitu kekuatan daya tangkap, kecerdasan, ilmu dan keahlian.[17]
Dalam pendidikan rabbāniyah, evaluasi dikenal dengan hisab. Kata hisab dalam prakteknya dapat dibagi menjadi dua bagian, muhāsabah (evaluasi ke dalam) dan hisbah (evaluasi ke luar).[18] Menurut Muhammad Shālih al-Munajjid, muhāsabah berarti meneliti amal-amal jiwa, memperbaiki berbagai kesalahannya dan menunaikan berbagai kesalehannya.[19]Dalam kajiannya tentang muhāsabah, Ibn Qayyim al-Jauziyyah membagi muhāsabah kepada dua bagian[20], yaitu:
1.    Muhāsabah (mengadakan evaluasi) sebelum beraktifitas, yaitu dengan pertama kali menganalisa tekad dan niat jiwanya, serta tidak bersegera melakukannya sampai jelas urgensi melaksanakannya dibandingkan meninggalkannya.
2.    Muhāsabah (mengadakan evaluasi) setelah beraktifitas. Bagian ini terdiri dari tiga macam:
a.    Mengevaluasi tentang berbagai keteledoran dalam bidang keta`atan pada hak Allah swt, dimana tidak dijalankan sesuai keharusannya.
b.    Mengevaluasi diri tentang setiap aktifitas yang meninggalkannya jauh lebih baik daripada mengerjakannya.
c.    Mengevaluasi diri tentang urusan-urusan yang mubah atau biasa, mengapa harus dilakukan, apakah untuk tujuan keridhaan Allah swt dan hari akhirat atau sekedar mencari kesenangan dunia.
Sedangkan hisbah dapat diartikan sebagai suatu upaya memerintahkan segala yang ma`ruf saat ditinggalkan secara nyata serta melarang yang munkar saat dilakukan dengan terang-terangan.[21]
Bagi al-Munajjid, ada 5 pokok masalah yang harus dijadikan sasaran evaluasi, yaitu:
1.    Perkara-perkara yang fardhu
2.    Hal-hal yang diharamkan dan dilarang
3.    Kelalaian dari tujuan penciptaan
4.    Evaluasi anggota tubuh
5.    Evaluasi tekad dan niat.[22] 


[1] Al-Rāghib al-Ashfahāni, Mu`jam Mufradāt Alfādz al-Qur`ān, Beirut: Dār al-Fikr, tt, hal: 189
[2]     Majdī al-Hilālī, al-Tharīq Ilā al-Rabbāniyyah Minhājān wa Sulûkān, Mesir: Dār al-Tauzī` wa al-Nasyr al-Islāmiyyah, 2003, Cet ke-1, hlm. 9
[3]     Muhammad Ibn Mandzûr, Lisān al-`Arab, Juz I, hal. 182 dan Juz. XIV, hal. 197 serta dikutip pula oleh Rasyīd Manshûr Muhammad al-Shubbāhī, `Ardh Manhaj al-Qur`ān Fī al-Tarbiyah al-Rabbāniyah Lī al-Nabi Muhammad saw, cet-1, hal. 38
[4]     Māzin bin `Abd al-Karīm al-Frêh, al-Rāid Durūs Fi al-Tarbiyyah wa al-Da`wah, Jeddah: Dār al-Andalus al-Khadrā, 2006, cet ke-2, jilid. III, hal. 279-280
[5]     Salmān al-`Audah, Wa Lākin Kūnū Rabbāniyīn, Riyad: Dār al-Thayyibah, 2005, cet ke-1,hal. 3-17
[7]     Ûli al-aydi menurut Ibn `Abbās adalah “kuat dalam ibadah”, menurut Sa`īd bin Jubair adalah “kuat dalam beramal”, dan menurut Mujāhid adalah “kuat dalam melaksanakan perintah Allah”. Baca: Jalāl al-Dīn al-Suyûthī, al-Dur al-Mantsûr , Juz VIII, 419
[8]     Ûli al-abshar menurut Ibn `Abbās adalah “berilmu tentang perintah-perintah Allah”, menurut Sa`īd Ibn Jubair adalah “berilmu tentang urusan agama mereka”, dan menurut Mujāhid adalah “akal”. Baca: Ibid
[10]    Mannā` al-Qaththān, Mabāhits Fī `Ulûm al-Qur`ān, Kairo: Maktabah Wahbah, 2004, cet ke-4, hal. 17
[11]    Muhammad Rasyīd Ridhā, Tafsīr al-Qur`ān al-Hakīm al-Masyhūr bi Tafsīr al-Manār, Beirut: Dār al-Ma`rifah, 1993, Juz III, hal. 348. Dikutip pula oleh Muhammad Adīb al-Shālih dalam kitab “Al-Rabbāniyyūn; Qudwah wa `Amal, Qirāat fī al-Tarbiyah wa al-Sulūk”, Riyād: Dār al-Wathan, 2000, Cet-1, hal:27.
[12]    Majdi al-Hilālī, al-Tharīq Ila al-Rabbāniyyah Minhāj wa Sulūk, Mesir: Maktabah al-Sayyidah, 2002, cet- 1, hal. 63-66
[13]    www.al-manhaj.com 22 Januari 2011 M
[14]    Muhammad Ibn Ismā`īl al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhāri, Kitāb al-Tauhīd, Beirut: Dār al-Kitāb al-`Arabi, 2007 M, hal. 30
[15]    Ahmad Ibn `Abd al-Halīm Ibn Taimiyah, Majmû` al-Rasāil al-Kubrā, Beirut: Dār Ihyā al-Turāts al-`Arabi, tt, Juz. II, hal. 7
[16]    Sa`īd Ibn `Alī Ibn Wahf al-Qahthānī, Muqawwimāt al-Dā`iyah al-Nājih Fi Dhau al-Kitāb wa al-Sunnah; Mafhūm wa Nadzar wa Tathbīq, Riyād: Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyah, 1994, cet ke-1, hal. 42
[17]    Ali Muhammad Muhammad al-Shallābī, al-Wasathiyah Fī al-Qur`ān al-Karīm, Kairo: Dār Ibn al-Jauzī, 2007, cet ke-1, hal. 152
[18]    Khālid Ibn `Utsmān al-Sabt, al-Amr bi al-Ma`rûf wa al-Nahy `an al-Munkar, London: al-Muntadā al-Islāmī, 1995, Cet ke-1, hlm. 32-33
[19]    Muhammad Shālih al-Munajjid, al-Muhāsabah, Saudi Arabia: Majmû`ah Zād, 2009, Cet ke- 1, hlm. 8
[20]    Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Ighātsat al-Lahfān Min Mashāid al-Syaithān, Juz. I, hlm. 134-135
[21]    Khālid Ibn `Utsmān al-Sabt, al-Amr bi al-Ma`rûf wa al-Nahy `an al-Munkar, hlm. 33
[22]    Muhammad Shālih al-Munajjid, al-Muhāsabah, hlm. 44-45Konsep Pendidikan Rabbaniyah
Istilah rabbāniyah memang merupakan bahasa al-Qur`ān, sehingga untuk memahaminya diperlukan kajian terhadap nash-nash yang berbicara tentang rabbānī. Kata rabbānī  terulang sebanyak 3 kali dalam al-Qur`ān, dua kali dalam bentuk shīghat (ungkapan kalimat) jama` mudzakkar sālim marfû` (الربانيون), yaitu Qs. al-Maidah [5]: 44 & 63 serta satu dalam bentuk shīghat jama` mudzakkar sālim manshûb (الربانيين), yaitu Qs. Ali `Imran [3]: 79.
Ayat-ayat tersebut adalah:
Pertama, Allah Swt berfirman:
$tB tb%x. @t±u;Ï9 br& çmuŠÏ?÷sムª!$# |=»tGÅ3ø9$# zNõ3ßsø9$#ur no§qç7Y9$#ur §NèO tAqà)tƒ Ĩ$¨Z=Ï9 (#qçRqä. #YŠ$t6Ïã Ík< `ÏB Èbrߊ «!$# `Å3»s9ur (#qçRqä. z`¿ÍhŠÏY»­u $yJÎ óOçFZä. tbqßJÏk=yèè? |=»tGÅ3ø9$# $yJÎur óOçFZä. tbqßâôs?
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia:"Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah". Akan tetapi (dia berkata):"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”. (QS. Ali `Imrān [3]:79)



Kedua, Allah Swt berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat didalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS. Al-Māidah [5]:44)

Ketiga, Allah swt berfirman:
“Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu”. (QS. Al-Māidah [5]:63)

al-Rāghib al-Ashfahāni menambah penjelasan yang lebih tegas, menurutnya:
 “al-Rab menurut etimologinya adalah al-tarbiyyah (pendidikan). Dalam bahasa Arab dikatakan rabbahu, rabbāhu, dan rabbabahu. Kata al-rab adalah mashdar yang diambil untuk menunjukkan pelaku. Sedangkan kata al-rabbānī dihubungkan kepada al-Rab yaitu Allah Ta`ala yang merupakan mashdar (sumbernya) dan Dialah yang memberikan ilmu”.[1]
Rabbāniyah dalam bahasa Arab merupakan penisbatan kepada Allah Swt. Oleh karena itu, sebagaimana orang menisbatkan dirinya kepada negeri atau marganya, seperti Mishrī `berkebangsaan Mesir`, Syāmī `berkebangsaan Syam dan sebagainya, ada juga sekelompok orang yang disebut dengan rabbāniyyūn, yakni mereka yang telah merealisasikan syarat-syarat untuk menisbatkan dirinya kepada Allah Swt.[2]
Kedua akar kata dari rabbānī, yaitu al-Rab atau al-tarbiyyah sebenarnya memiliki hubungan antara sumber dan sifat karakter dasarnya. Karena, di antara sifat karakter dasar dari al-Rab (Tuhan) yaitu tarbiyah (mendidik).
Dalam etimologi bahasa Arab, kata tarbiyah memiliki lima makna, yaitu:
Pertama, arti “al-ziyādah wa al-namā” yang berarti pertambahan dan pertumbuhan.
Kedua, arti “al-nusyū wa al-tara`ra`u” yang berarti perkembangan dan pembesaran.
Ketiga, arti “al-hifdz wa al-ishlāh” yang berarti pemeliharaan dan perbaikan.
Keempat, arti “al-tazkiyah wa al-irtifā`” yang berarti kesucian dan ketinggian.
Kelima, arti bertanggung jawab mengurus, mendukung, menjaga dan mengarahkan sesuatu untuk semua kemaslahatannya.[3]
Menurut Māzin Ibn `Abd al-Karīm al-Frêh, rabbānī adalah orang-orang yang memiliki karakter-karakter khusus yang meliputi: 1) Murabbin hakīm (pendidik yang bijaksana), 2) Dā`iyah mushlih (pembimbing yang reformis), 3) Mengamalkan ilmu, 4) Taqiyyun halīm (bertaqwa lagi penyabar), 5) faqīh bi wāqi` ummatih (memahami realita umat). Ini berarti, Rabbānī  adalah orang yang menggabungkan ilmu pengetahuan dengan pandangan politik yang bijak. Diambil dari perkataan orang Arab: rab amr al-nās yarubbuhu, yaitu ketika dia memperbaiki dan menegakkan urusan umat, maka dialah rabbān dan rabbānī untuk menunjukkan seringnya. Abu `Ubaidah berkata: Aku mendengar seorang yang berilmu berkata: rabbānī adalah orang yang berilmu tentang halal, haram, perintah dan larangan serta mengetahui berbagai khabar tentang umatnya, baik yang telah berlalu maupun yang sedang terjadi.  [4]
Sedangkan menurut Salmān al-`Audah, karakter rabbāniyah memiliki 10 sifat, yaitu: 1) Ilmu, 2) Ittibā` (Pengikut setia Rasulullah saw), 3) Ikhlās (murni tujuan baktinya), 4) Berakhlak dan beradab keilmuan, 5) Bergaul dengan orang lain dengan baik, 6) Memiliki kebanggaan terhadap ilmu, 7) Hikmah (bijaksana), 8) Mengetahui derajat diri, 9) Beramal bakti, dan 10) Belajar.[5]
`Abd al-`Azīz Kuhail menguraikan lebih jauh tentang jalinan antara karatkter rabbāniyah dan jalan pembentukannya dalam satu panduan yang utuh. Menurutnya rabbānī adalah seorang muslim yang memiliki akal yang cerdas, kalbu yang hidup dan anggota tubuh yang produktif, di mana dengan kepribadiannya yang lengkap itu dia sanggup memikul tanggung jawab khilafah dan tegar menghadapi berbagai situasi perubahan dan reformasi.
Jika ke-rabbāniyah-an berarti tegak lurusnya akal, kalbu dan anggota tubuh dalam tatanan dan tuntunan Ilahi, maka pembentukannya harus terorientasi dalam metode pendidikan sebagai berikut:
1)        Afkār (Pemikiran).
Memberi bekal akal dengan wawasan paripurna tentang Allah swt, manusia, alam dan kehidupan yang diasaskan pada wahyu, ayat-ayat alam semesta dan jiwa manusia. Inilah langkah pertama dalam pembentukan yang bertolak dari didahulukannya wahyu “iqra” sebagai asas pendidikan pemikiran orisinil yang dapat memberikan keyakinan tentang pemahaman valid serta menjauhkan akal dari keruwetan filsafat dan prasangka.
2)        `Āthifah (Perasaan)
Mensucikan jiwa dari berbagai penyakit yang dideritanya, meninggikan cita-cita kalbu, mengikatnya dengan Allah swt serta memberinya gizi dengan berbagai hakekat azaliah. Dengan demikian, seluruh perasaannya, kerinduannya dan gejolak jiwanya penuh dengan kelembutan, kasih sayang, kekuatan, kemuliaan, pengabdian dan seluruh kehormatan, tidak menampik hal-hal yang baik serta tidak bergelimang di dalamnya. Dia  akan selalu memperlakukan alam dan makhluk lainnya secara positif, sehingga semuanya menjadi bekal kekal yang tidak akan lenyap saat dia menempuh perjalanan hidup dan fase-fase dakwah.
3)        Sulûk (sikap perilaku)
Memenuhi sikap perilakunya dalam perbuatan-perbuatan yang diridhai Tuhan-nya, melakukan kebaikan, mempropagandakan reformasi kebenaran dan meluruskan penyimpangan dalam tatanan hukum alam kehidupan. Dengan demikian, kekuatan tangannya terbiasa membangun dan memberi, kedua matanya memandang nikmat-nikmat Allah swt dengan pandangan syukur serta memandang aibnya dengan pandangan mengobati, telinganya biasa mendengar suara orang-orang yang dizalimi, lisannya biasa memberikan nasehat, serta kakinya biasa melangkah ke arah produktif.[6]
Dengan ini semua, pendidikan pemikiran, ruhani dan sikap perilaku akan membentuk para pewaris Nabi yang selalu menapaki jalan keimanan Rasulullah saw yang ma`sûm:
öä.øŒ$#ur !$tRy»t7Ïã tLìÏdºtöÎ) t,»ysóÎ)ur z>qà)÷ètƒur Í<'ré& Ï÷ƒF{$# ̍»|ÁöF{$#ur
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya'qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang Tinggi”. (Qs. Shad [38]: 45)
Mereka mata rantai pengikut para Nabi yang mulia, di mana Allah swt memuji mereka dengan dua ciri dasar, yaitu ûli al-aydī[7] (pemilik anggota tubuh yang bersemangat tinggi dan melahirkan perbuatan-perbuatan besar yang produktif) serta ûli al-abshār[8](pemilik kalbu dan akal, karena inilah tempat penangkapan ilmu, walaupun tidak terbatas hanya memiliki keduanya seperti alat-alat mekanik saja, tetapi alat-alat yang hidup bergerak dengan penuh vitalitas).”[9]
Materi dasar dan inti dalam pendidikan rabbāniyah adalah al-Qur`ān yang merupakan Kalāmullāh (kata-kata Allah Swt) yang diturunkan kepada Rasulullah, Muhamamd saw dengan seluruh kandungan mu`jizatnya serta bernilai ibadah dengan membacanya.[10]
Muhammad `Abduh berkata tentang kandungan Qs. Ali `Imran [3] ayat 79 :

أَفَادَتِ الْآيَةُ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَكُوْنُ رَبَّانِيًّا بِعِلْمِ الْكِتَابِ وَدَرْسِهِ وَبِتَعْلِيْمِهِ لِلنَّاسِ وَنَشْرِهِ
Ayat tersebut memberi pengertian bahwa manusia bisa menjadi rabbāni dengan mengetahui dan mempelajari al-Kitāb serta mengajarkan dan menyebarkannya kepada umat manusia”. [11]
Sebagai sebuah materi dasar dan inti, Al-Qur`ān dalam perspektif pendidikan rabbāniyah memiliki banyak keistimewaan yang begitu tinggi dan mulia, di antaranya:
1.      Menghidupkan hati. (Qs. Asy-Syura [42]: 52)
2.      Menyinari mata hati. (Qs. Al-Maidah [5]: 15-16)
3.      Obat Hati. (Qs. Yunus [10]: 57)
4.      Membahagiakan Pemiliknya.  (Qs. Al Hijr [15]: 87-88)
5.      Menambah Keimanan (Qs. Al Anfal [8]: 2)
6.      Memperjelas Pandangan. (Qs. Az- Zumar [39]: 27)
7.      Penyampai Kabar Gembira dan Ancaman. (Qs. Al-Kahfi [18]: 1-2)
8.      Sumber Ilmu yang Paling Penting. (Qs. An-Nahl [16]: 89)
Al-Qur`ān merupakan nasehat terbaik yang mengembalikan para pendengarnya kepada kesadaran. Al-Qur`ān juga merupakan sistem teragung.[12]
Al-Qur`ān penuh dengan berbagai ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, orang yang ingin meneliti tentang sastra, sejarah, kisah, etika dan sebagainya, niscaya akan mendapatkan di dalamnya. Akan tetapi, hal ini bukan yang menjadi tujuan utama diturunkannya al-Qur`ān dan perintah mentadabburi serta memikirkan makna-maknanya. Karena al-Qur`ān adalah kitab petunjuk. Allah Swt berfirman:
“ (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)..”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 185)

Beberapa kandungan materi al-Qur`ān banyak dijabarkan oleh para ulama dan pakar sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Tetapi penulis membaginya ke dalam beberapa kelompok sudut pandang, di antaranya:
1.    Sudut pandang dari tujuan hakiki kehidupan manusia sebagai peserta didik, yaitu tauhid, mengesakan Allah Swt dalam semua pengabdian. Ibn Qayyim adalah tokoh yang dapat kita jadikan salah satu pelopor sudut pandang ini.
2.    Sudut pandang dari berbagai sisi keagamaan dan sosial kehidupan manusia yang sedang manjalani kehidupannya.
3.    Sudut pandang dari berbagai hubungan manusia dengan Pencipta, dirinya sendiri dan alam sekelilingnya.
Salīm bin `īd al-Hilālī menjelaskan bahwa metode utama dalam  pendidikan  rabbāniyah adalah metode hikmah yang digambarkan dalam aktualisasi pengajaran ber-tadarruj (yang bersifat gradual atau bertahap)[13]. Bukhāri rhm berkata:

وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ{ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ }حُلَمَاءَ فُقَهَاءَ وَيُقَالُ الرَّبَّانِيُّ الَّذِي يُرَبِّي النَّاسَ بِصِغَارِ الْعِلْمِ قَبْلَ كِبَارِهِ
Ibn `Abbās berkata (jadilah kalian rabbānī) yaitu para ahli fiqih yang amat penyabar. Dikatakan bahwa rabbānī adalah orang yang mendidik manusia dengan ilmu-ilmu yang sederhana sebelum ilmu-ilmu yang pelik”. [14]

Secara etimologi, kata al-hikmah mengandung empat pengertian, antara lain:
1.    Al-`Ilm wa al-fiqh (Ilmu dan pemahaman) atau al-`ilmu ma`a al-`amal (ilmu yang disertai amal kebajikan)
2.    Itqān al-Umûr (Keakuratan masalah)
3.    Kata-kata bermanfaat yang dapat mencegah kejahilan dan kedunguan.
4.    Tercegah dari kerusakan.
Setelah meneliti makna-makna hikmah dalam kamus-kamus bahasa, Ibn Taimiyah memberikan kesimpulan tentang arti etimologi dari kata hikmah Sebagai “Pemutus dan pembeda, pemisah dan pembatas yang dapat menghantarkan terwujud dan tercapainya sesuatu secara akurat”.[15]
Dari uraian para ulama tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian hikmah dapat dilihat dari dua sudut pandang:
1.    Dari segi teoritis ilmiah.
Dari segi ini, hikmah dimengerti sebagai ketelitian terhadap sesuatu yang berada di balik yang tersurat, mengetahui keterikatan antara sebab akibat, baik yang berbentuk hukum alam maupun hukum perintah dan larangan, atau yang bersifat qadar hukum sosial ataupun yang berbentuk hukum syariah.
2.     Dari segi amal praktis.
Dari segi ini, hikmah diartikan dengan makna meletakan sesuatu di tempatnya yang tepat.[16] Dari segi amal praktis, menurut `Ali Muhammad al-Shallābī, hikmah memiliki tiga tingkatan, yaitu:
a.    Memberikan sesuatu haknya masing-masing, tidak melampaui batas, tidak tergesa-gesa dari waktunya dan tidak pula mengakhirkan watunya. Segala hal memiliki derajat dan hak-hak yang dikandungnya, memiliki batas dan target yang harus digapai dan tidak boleh dilampaui, memiliki waktu yang tidak boleh didahului atau ditunda. Di sinilah hikmah berarti menjaga tiga segi hal tersebut.
b.    Mengenal keadilan Allah dalam ancaman-Nya, kebaikan Allah dalam janji-Nya serta keadilan-Nya dalam hukum-hukum Allah, baik yang bersifat syar`i maupun hukum alam yang berlaku kepada makhluk-makhluk-Nya, karena di dalamnya tak ada kezaliman dan penyelewengan. Allah Swt berfirman:
Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. (Qs. An-Nisa [4]: 40)
c.    Bashīrah (kemampuan mumpuni), yaitu kekuatan daya tangkap, kecerdasan, ilmu dan keahlian.[17]
Dalam pendidikan rabbāniyah, evaluasi dikenal dengan hisab. Kata hisab dalam prakteknya dapat dibagi menjadi dua bagian, muhāsabah (evaluasi ke dalam) dan hisbah (evaluasi ke luar).[18] Menurut Muhammad Shālih al-Munajjid, muhāsabah berarti meneliti amal-amal jiwa, memperbaiki berbagai kesalahannya dan menunaikan berbagai kesalehannya.[19]Dalam kajiannya tentang muhāsabah, Ibn Qayyim al-Jauziyyah membagi muhāsabah kepada dua bagian[20], yaitu:
1.    Muhāsabah (mengadakan evaluasi) sebelum beraktifitas, yaitu dengan pertama kali menganalisa tekad dan niat jiwanya, serta tidak bersegera melakukannya sampai jelas urgensi melaksanakannya dibandingkan meninggalkannya.
2.    Muhāsabah (mengadakan evaluasi) setelah beraktifitas. Bagian ini terdiri dari tiga macam:
a.    Mengevaluasi tentang berbagai keteledoran dalam bidang keta`atan pada hak Allah swt, dimana tidak dijalankan sesuai keharusannya.
b.    Mengevaluasi diri tentang setiap aktifitas yang meninggalkannya jauh lebih baik daripada mengerjakannya.
c.    Mengevaluasi diri tentang urusan-urusan yang mubah atau biasa, mengapa harus dilakukan, apakah untuk tujuan keridhaan Allah swt dan hari akhirat atau sekedar mencari kesenangan dunia.
Sedangkan hisbah dapat diartikan sebagai suatu upaya memerintahkan segala yang ma`ruf saat ditinggalkan secara nyata serta melarang yang munkar saat dilakukan dengan terang-terangan.[21]
Bagi al-Munajjid, ada 5 pokok masalah yang harus dijadikan sasaran evaluasi, yaitu:
1.    Perkara-perkara yang fardhu
2.    Hal-hal yang diharamkan dan dilarang
3.    Kelalaian dari tujuan penciptaan
4.    Evaluasi anggota tubuh
5.    Evaluasi tekad dan niat.[22] 


[1] Al-Rāghib al-Ashfahāni, Mu`jam Mufradāt Alfādz al-Qur`ān, Beirut: Dār al-Fikr, tt, hal: 189
[2]     Majdī al-Hilālī, al-Tharīq Ilā al-Rabbāniyyah Minhājān wa Sulûkān, Mesir: Dār al-Tauzī` wa al-Nasyr al-Islāmiyyah, 2003, Cet ke-1, hlm. 9
[3]     Muhammad Ibn Mandzûr, Lisān al-`Arab, Juz I, hal. 182 dan Juz. XIV, hal. 197 serta dikutip pula oleh Rasyīd Manshûr Muhammad al-Shubbāhī, `Ardh Manhaj al-Qur`ān Fī al-Tarbiyah al-Rabbāniyah Lī al-Nabi Muhammad saw, cet-1, hal. 38
[4]     Māzin bin `Abd al-Karīm al-Frêh, al-Rāid Durūs Fi al-Tarbiyyah wa al-Da`wah, Jeddah: Dār al-Andalus al-Khadrā, 2006, cet ke-2, jilid. III, hal. 279-280
[5]     Salmān al-`Audah, Wa Lākin Kūnū Rabbāniyīn, Riyad: Dār al-Thayyibah, 2005, cet ke-1,hal. 3-17
[7]     Ûli al-aydi menurut Ibn `Abbās adalah “kuat dalam ibadah”, menurut Sa`īd bin Jubair adalah “kuat dalam beramal”, dan menurut Mujāhid adalah “kuat dalam melaksanakan perintah Allah”. Baca: Jalāl al-Dīn al-Suyûthī, al-Dur al-Mantsûr , Juz VIII, 419
[8]     Ûli al-abshar menurut Ibn `Abbās adalah “berilmu tentang perintah-perintah Allah”, menurut Sa`īd Ibn Jubair adalah “berilmu tentang urusan agama mereka”, dan menurut Mujāhid adalah “akal”. Baca: Ibid
[10]    Mannā` al-Qaththān, Mabāhits Fī `Ulûm al-Qur`ān, Kairo: Maktabah Wahbah, 2004, cet ke-4, hal. 17
[11]    Muhammad Rasyīd Ridhā, Tafsīr al-Qur`ān al-Hakīm al-Masyhūr bi Tafsīr al-Manār, Beirut: Dār al-Ma`rifah, 1993, Juz III, hal. 348. Dikutip pula oleh Muhammad Adīb al-Shālih dalam kitab “Al-Rabbāniyyūn; Qudwah wa `Amal, Qirāat fī al-Tarbiyah wa al-Sulūk”, Riyād: Dār al-Wathan, 2000, Cet-1, hal:27.
[12]    Majdi al-Hilālī, al-Tharīq Ila al-Rabbāniyyah Minhāj wa Sulūk, Mesir: Maktabah al-Sayyidah, 2002, cet- 1, hal. 63-66
[13]    www.al-manhaj.com 22 Januari 2011 M
[14]    Muhammad Ibn Ismā`īl al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhāri, Kitāb al-Tauhīd, Beirut: Dār al-Kitāb al-`Arabi, 2007 M, hal. 30
[15]    Ahmad Ibn `Abd al-Halīm Ibn Taimiyah, Majmû` al-Rasāil al-Kubrā, Beirut: Dār Ihyā al-Turāts al-`Arabi, tt, Juz. II, hal. 7
[16]    Sa`īd Ibn `Alī Ibn Wahf al-Qahthānī, Muqawwimāt al-Dā`iyah al-Nājih Fi Dhau al-Kitāb wa al-Sunnah; Mafhūm wa Nadzar wa Tathbīq, Riyād: Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyah, 1994, cet ke-1, hal. 42
[17]    Ali Muhammad Muhammad al-Shallābī, al-Wasathiyah Fī al-Qur`ān al-Karīm, Kairo: Dār Ibn al-Jauzī, 2007, cet ke-1, hal. 152
[18]    Khālid Ibn `Utsmān al-Sabt, al-Amr bi al-Ma`rûf wa al-Nahy `an al-Munkar, London: al-Muntadā al-Islāmī, 1995, Cet ke-1, hlm. 32-33
[19]    Muhammad Shālih al-Munajjid, al-Muhāsabah, Saudi Arabia: Majmû`ah Zād, 2009, Cet ke- 1, hlm. 8
[20]    Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Ighātsat al-Lahfān Min Mashāid al-Syaithān, Juz. I, hlm. 134-135
[21]    Khālid Ibn `Utsmān al-Sabt, al-Amr bi al-Ma`rûf wa al-Nahy `an al-Munkar, hlm. 33
[22]    Muhammad Shālih al-Munajjid, al-Muhāsabah, hlm. 44-45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...