Menulis Artikel di Jurnal Ilmiah, Siapa Takut?

Oleh : Albiner Siagian

Surat Direktur Jenderal Perguruan Tinggi bernomor 152/E/T/2012 yang ditujukan kepada semua perguruan tinggi di Indonesia terus menuai perdebatan. Ada yang mendukung, tetapi tak sedikit pula yang menolak. Isi surat itu adalah syarat lulus bagi mahasiswa perguruan tinggi untuk jenjang S1, S2, dan S3. Setiap mahasiswa wajib memublikasikan karya ilmiahnya di jurnal ilmiah sebelum mereka menyelesaikan studinya. Keputusan ini berlaku untuk kelulusan setelah Agustus 2012. Untuk lulus jenjang sarjana (S1), mahasiswa harus terlebih dahulu menulis di jurnal ilmiah. Untuk ini, syarat jurnalnya boleh yang belum terakreditasi. Sementara itu, untuk dapat menyelesaikan program magister (S2) dan program doktor (S3), mahasiswa harus menulis artikel, masing-masing, di jurnal nasional terakreditasi dan jurnal internasional.

Tak pelak lagi, kebijakan itu menjadi topik hangat di media dan jejaring sosial. Berita itu cepat beredar. Rubrik Harian Analisa beberapa kali memuat opini tentang kebijakan pendidikan yang dianggap terburu-buru itu.

Pengamatan saya terhadap respons mahasiswa dan kalangan perguruan tinggi atas keputusan ini menunjukkan mereka umumnya terkejut. Ada suasana kecemasan yang terasa. Keadaan ini cukup beralasan. Menulis, apalagi di jurnal ilmiah, adalah hal yang masih asing bagi mahasiswa. Kesulitan lain akan muncul ketika membayangkan banyaknya mahasiswa yang akan tamat tidak sebanding dengan banyaknya jurnal ilmiah yang tersedia. Bisa-bisa, kebijakan ini menjadi sumbat di ujung keran kelulusan perguruan tinggi.

Jurnal dan Artikel Ilmiah

Jurnal ilmiah adalah terbitan berkala yang berbentuk pamflet berseri yang berisi artikel ilmiah. Artikel ilmiah yang dimuat pada jurnal ilmiah membahas topik yang sebidang. Oleh karena itu, penulis dan pembaca jurnal ilmiah umumnya berasal dari bidang ilmu atau profesi yang sama. Jurnal ilmiah dapat terbit, misalnya, setiap bulan, setiap tiga bulan, atau setiap 12 bulan.

Sementara itu, artikel ilmiah adalah tulisan yang berisi laporan sistematis mengenai hasil kajian atau hasil penelitian yang disajikan bagi masyarakat ilmiah tertentu, yang merupakan audiens khusus dengan tujuan menyampaikan hasil kajian dan kontribusi penulis artikel kepada mereka untuk dipikirkan, dikaji kembali, dan diperdebatkan, baik secara lisan ataupun tulisan.

Ada beberapa bentuk artikel ilmiah, yaitu artikel asli (original paper), artikel tinjauan (review articles), laporan kasus (case report), catatan penelitian (research note), dan surat pembaca (letter to the editor).

Artikel asli adalah tulisan yang berasal dari hasil penelitian penulis, sementara artikel tinjauan adalah tulisan yang membahas berbagai artikel ilmiah yang memuat topik yang sama yang sudah diterbitkan di jurnal ilmiah. Laporan kasus adalah tulisan yang memuat kasus tertentu. Laporan kasus banyak ditemui pada artikel kedokteran atau kesehatan. Catatan penelitian merupakan laporan ringkas tentang penelitian yang secara ilmiah sangat penting untuk segera dipublikasikan. Akhirnya, surat pembaca merupakan komentar atau kritik terhadap artikel-artikel yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah. Surat pembaca ini dapat ditanggapi oleh pembaca yang lain, kemudian ditanggapi kembali oleh penulis.

Tak Perlu Dicemaskan

Terlepas dari motif dibalik terbitnya surat Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi tersebut, menurut saya keputusan itu patut didukung. Mengapa? Untuk pembaca ketahui, untuk urusan tulis-menulis ini, ilmuwan dan peneliti Indonesia masih tertinggal dari ilmuwan dan peneliti dari negara lain, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

Survei yang dilakukan oleh Scientific American pada tahun 1994 menunjukkan bahwa kontribusi ilmuwan Indonesia pada khasanah pengembangan ilmu pengetahuan tiap tahunnya hanyalah sekitar 0.012%. Bandingkan dengan Singapura (0.179%) dan Amerika Serikat (20%)! Penilaian ini didasarkan oleh banyaknya karya tulis ilmiah peneliti dan ilmuwan kita yang dipublikasikan dalam pelbagai jurnal ilmiah dan karenanya dapat diacu oleh ilmuwan lain dari seantero dunia. Atas dasar itu, kontribusi ilmuwan Indonesia untuk perkembangan khasanah ilmiah dunia diistilahkan sebagai lost science in the third world.

Untuk memperbaiki keadaan ini, itu memerlukan kebijakan yang radikal. Menganjurkan mahasiswa, dosen, peneliti untuk memublikasikan karya ilmiahnya ternyata tidak cukup ampuh mendongkrak publikasi ilmiah di Indonesia. Padahal ada ribuan, bahkan ratusan ribu, karya ilmiah yang dihasilkan setiap tahunnya yang layak diterbitkan di jurnal ilmiah. Fakta ini adalah sebuah ironi dalam dunia akademis kita.

Mahasiswa tidak perlu terlalu cemas secara berlebihan untuk merespons kebijakan ini. Seperti kita ketahui bersama, sebelum mahasiswa menyelesaikan studinya di perguruan tinggi, mereka diwajibkan melakukan penelitian dan menuliskannya dalam bentuk skripsi (S1), tesis (S2), dan disertasi (S3). Ketika sudah menyelesaikannya, mereka tinggal selangkah lagi menuju jurnal ilmiah. Format skripsi, tesis, dan disertasi tidak jauh berbeda dari format artikel ilmiah di jurnal ilmiah. Semua persyaratan artikel ilmiah ada pada skripsi, tesis, dan disertasi. Bahkan, sebuah tesis atau disertasi dapat dituliskan menjadi dua atau tiga artikel ilmiah. Yang perlu dilakukan adalah meringkas skripsi, tesis, atau disertasi lalu mengirimkannya ke jurnal ilmiah yang sesuai. Jangan lupa mengikuti pedoman penulisan pada jurnal yang bersangkutan, karena setiap jurnal ilmiah punya gaya dan aturan sendiri-sendiri. Setelah itu, tinggal menunggu konfirmasi dari redaksi. Mudah, kan?

Pengalaman saya sebagai pengelola dan penyunting jurnal ilmiah menunjukkan bahwa rendahnya kuantitas dan kualitas artikel ilmiah lebih disebabkan oleh keengganan mahasiswa, dosen, dan peneliti mengirimkan karya ilmiahnya ke jurnal ilmiah. Ada kalanya, pengelola jurnal ilmiah kesulitan mendapatkan artikel untuk diterbitkan. Penyebab klasiknya adalah malas, merasa kurang penting, sulit, atau kurang percaya diri. Sekali lagi saya tegaskan, menulis artikel ilmiah di jurnal ilmiah itu mudah. Itu jauh lebih mudah daripada menulis artikel ilmiah populer di media massa, seperti surat kabar.

Persoalannya sekarang adalah terbatasnya jurnal ilmiah yang tersedia. Jumlah jurnal ilmiah yang terakreditasi, misalnya, hanya tinggal hitungan puluhan saja di Indonesia. Jumlah jurnal ilmiah Indonesia yang bertaraf internasional pun masih sangat sedikit. Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengetatkan persyaratan bagi akreditasi jurnal ilmiah yang mengakibatkan ratusan jurnal ilmiah menjadi tidak terakreditasi terkesan bertolakbelakang dengan kebijakan Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi ini.

Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu mengambil kebijakan strategis untuk membangkitkan kembali jurnal ilmiah di perguruan tinggi dan lembaga atau pusat penelitian untuk mendukung kebijakan persyaratan lulus bagi mahasiswa tersebut. ***  Sumber : http://www.analisadaily.com