Rabu, 09 Mei 2012

Hukum Islam Masa Daulah Bani Umayyah



Oleh : Sabila Rasyad 


            Kondisi dan Perkembangan Hukum Islam
Keberhasilan pemerintahan Muawiyyah yang paling menonjol adalah perluasan wilayah kekuasaan Islam sampai ke Aljazair, Tunisia, dan Maroko, bahkan Spanyol dan pantai samudera Atlantik di sebelah barat, ke Asia kecil dan Turki di sebelah utara, dan ke beberapa wilayah yang pernah menjadi Negara bagian dari Uni Soviet (sekarang Rusia), seperti Uzbekistan, dan Tabristan.
Luasnya wilayah kekuasaan ini menjadi faktor semakin berkembangnya Hukum Islam, mengingat semakin banyak dan kompleksnya persoalan baru yang muncul dalam pergulatan interaksi sosial antar bangsa, yang memerlukan jawaban dari Islam sebagai agama petunjuk kehidupan umat manusia. Semakin luas wilayah kekuasaan Islam, semakin banyak pula aspek sosiologis (adat istiadat dan budaya) masing-masing komunitas dalam suatu bangsa yang harus diserap dan diakomodasi oleh Islam. Pada gilirannya akan semakin terbuka pula peluang bagi para ulama untuk melakukan ijtihad dalam menentukan ketetapan-ketetapan hukum.
Persoalan yang menonjol pada masa ini diantaranya adalah munculnya hadits-hadits palsu dari orang-orang yang fanatik sekte dan golongan. Sehingga muncul dua kelompok ulama yang berbeda pendekatan dalam mensikapinya. Kedua kelompok ini dikenal dengan kelompok ahl al-Hadits dan ahl al-Ra'yi. Namun demikian, dalil hukum yang digunakan pada masa ini adalah al-Qur'an, al-Sunnah, Ijma, dan Ijtihad atau Qiyas.
Selain perluasan wilayah kekuasaan Islam dan semakin kompleksnya problem kehidupan umat, beberapa faktor lain diantaranya adalah : pertama, faktor personal mujtahid, disebabkan oleh potensi intelektual, guru, lingkungan keluarga, dan kecenderungan subyektivitas yang beraneka ragam. Kedua, faktor lingkungan sosial, seorang mujtahid yang hidup dalam lingkungan masyarakat agraris akan menghasilkan pendapat yang berbeda dengan mujtahid lain yang hidup yang hidup dan dibesarkan dalam lingkungan masyarakat pedagang. Ketiga, faktor politik atau kehendak penguasa. Sering terdengar sebuah fatwa dan hasil ijtihad pesanan penguasa, dan dalam faktanya hamper sulit ditemukan ulama dan mujtahid pada masa dinasti muawiyah yang betul-betul steril dari pengaruh istana.
            Pengaruh Ahli Hadits dan Ahli Nalar terhadap Hukum Islam
Secara kewilayahan, kelompok ahli hadits kebanyakan adalah para ulama yang ada di Madinah. Ulama Madinah yang tergabung dalam kelompok ahlul hadits ini tidak diketahui jumlahnya secara pasti karena tidak pernah ditemukan catatan husus. Namun diantara mereka ada yang termasuk kepada tujuh ulama Madinah yang disebut dengan al-Fuqaha al-Sab'ah, yaitu : Sa'id bin Musayyab (w.94 H.), Urwah bin Zubair (w.94 H.), Abu Bakar bin Abdurrahman al-Makhzumi (w. 94 H.), Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Abdullah bin Mas'ud (w.98 H.), Kharijah bin Zaid bin Tsabit (w.99 H.), al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar (w.107 H.), dan Sulaiman bin Yasar (w.107 H.).
Sementara ulama-ulama yang tinggal di wilayah Kuffah (Irak) membentuk komunitas yang disebut ahlurra'yi. Yaitu, komunitas ulama yang lebih banyak menggunakan nalar dalam upaya menetapkan hokum yang tidak ada ketetapan hukumnya dalam al-Qur'an dan al-Sunnah. Diantara mereka adalah : Abdullah bin Mas'ud, Abu Musa al-Asy'ari, Sa'ad bin Abi Waqash, 'Amar bin Yasir, Khuzaifah bin Yaman, dan Anas bin Malik. Keenam orang sahabat ini merupakan generasi pertama ulama Madinah yang tinggal di Kuffah. Jumlah mereka semakin bertambah terutama setelah terbunuhnya Utsman mencapai 300-an orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...