Jumat, 07 September 2012

Sejarah Islam di Filipina



Philipina adalah negara kepulauan dengan 7.107 pulau, dengan jumlah penduduk sekitar 47 juta jiwa, dengan menggunakan 87 dialek bahasa yang berbeda-beda yang mencerminkan banyaknya suku dan komunitas etnis. Orang-orang Islam di Philipina menamakan dirinya “Moro”. Namun nama ini sebenarnya bersifat politis, karena dalam kenyataannya Moro terdiri dari banyak kelompok etno linguistik, umpamanya Maranow, Maquindanau, Tausuq, Somal, Yakan, Ira Nun, Jamampun, Badjao, Kalibugan, Kalagan dan Sangil.
Jumlah masyarakat Moro sekitar 4,5 juta jiwa atau 9 % dari seluruh penduduk Philipina. Bila direntang ke belakang, perjuangan bangsa Moro dapat dibagi menjadi 2 fase, yaitu: pertama, berjihad melawan penguasa Spanyol selama 377 tahun (1521-1898). Kedua, Moro melawan pemerintah Philipina (1970-sekarang).
Kedatangan orang-orang Spanyol di Philipina atau menundukkan halus dengan hadiah-hadiah orarng-orang Spanyol dapat memperluas kedaulatannya ke seluruh perkampungan Philipina. Akan tetapi Spanyol mendapatkan perlawanan sengit ketika menghadapi kesultanan Islam di wilayah selatan, yakni Sulu, Maquindanau dan Buayan. Rentetan peperangan yang panjang antara Spanyol dan Islam hasilnya tidak nampak, yang nampak adalah bertambahnya ketegangan antara orang KRISTEN dan orang Islam Philipina.
Amerika menguasai Philipina setelah mengalahkan Spanyol. Hubungan dengan masyarakat Muslim Philipina lebih baik. Ini merupakan efek dari kebijakan resmi Amerika untuk membiarkan kehidupan keagamaan orang Islam dan kebiasaan ritualnya. Namun demikian, Islam dibenci dan dicurigai. Untuk itu, kontak-kontak dengan saudaranya yang terdekat di pulau Kalimantan dan pulau-pulau lainnya di Indonesia dibatasi. Ketika sebagian besar rakyat Philipina memilih dibawah protektorat Amerika, masyarakat Muslim Philipina (dipelopori seratus tokoh agama dari Manarao) pada bulan Maret 1935 menulis surat kepada Presiden Roosevelf yang intinya persetujuannya terhadap pemerintahan protektorat khusus untuk masyarakat Muslim yang terpisah dengan Philipina, tapi permintaan ini dikabulkan Amerika.
Ketika Manuel Quezon (presiden Persemakmuran) menyatakan bahwa undang-undang nasional akan ditetapkan secara sama terhadap orang-orang Islam dan Kristen, mendapat reaksi keras dari kelompok Islam, karena secara mencolok mengabaikan sistem-sistem sosial dan hukum tradisional Islam, undang-undang nasional itu lebih banyak mengambil dari etika Kristen dan sejarah sosial Barat. Sebagian pemimpin Islam berkeyakinan bahwa peraturan pemerintah yang baru itu merupakan rencana jahat yang disengaja untuk mematikan Islam di Philipina (Majul, 1989:8-20). Setelah kemerdekaannya Philipina tanggal 4 Juli  1946, Masyarakat Moro tetap melanjutkan perjuangannyabagi kemerdekaan Moro. Pemerintahan Philipina yang baru tetap melanjutkan kebijakan masa kolonial  yakni  melakukan tindakan-tindakan reprersif kepada gerakan separatis Moro.
Pemindahan masyarakat katolik Philipina ke wilayah Mindanao -yang mayoritas beragama Islam- terus dilakukan. Menjelang tahun 1960, tingginya para pemukim baru yang berasal dari Philipina Utara dan Tengah membuat Moro menjadi Minoritas di wilayah tinggalnya sendiri. Pemerintahan Philipina, seperti halnya pemerintah kolonial Amerika, juga mengeluarkan sejumlah undang-undang yang mensyahkan pengambilan tanah yang secara turun-temurun dimiliki penduduk Muslim Moro guna pembangunan proyek perkebunan dan pemukiman. Kondisi perekonomian yang semakin menurun dikalangan penduduk Muslim Moro ditambah lagi derngan kasus pembunuhan di Jabaidah telah memicu lahirnya gerakan Mindanao Merdeka MIM (Mindanai Independence Movement) di tahun 1968, tapi gerakan ini dapat diatasi oleh pemerintah Philipina dengan menberi posisi yang strategis kepada tokoh-tokoh MIM. Hal ini menimbulkan kekecewaan pada kader-kader muda dibawah pimpinan Nur Misuari. Kader muda itu membentuk Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF-Moro National Liberation Front), sebuah organisasi yang dikenal sangan militan.
Tujuan dari organisasi ini adalah memperjuangkan kemerdekaan penuh dari tanah Moro. MNLF ini mandapat simpati dari negara-negara Islam dibawah sehingga memaksa presiden Marcos menyetujui perjanjian Tripoli pada tanggal 23 Desember 1976. Perjanjian ini memberikan peluang pembentukan wilayah Mindanao sebagai suatu wilayah otonom yang meliputi 3 propinsi dan 9 kota. Marcos bersikeras bahwa untuk menentukan daerah otonomi itu perlu diadakan referendum. Hal ini ditolak MNLF, akibatnya berlanjut lagi diakhir tahun 1977, yang pada akhirnya membuat pemimpin MNLF, Nur Misrua melarikan diri ke Timur Tengah. Gagalnya perjanjian Tripoli ini memunculkan organisasi sempalan yang tidak puas terhadap sepak terjang Nur Misuari , Bibawa Nashim Salamat, berdirilah Front Pembebasan Islam Moro (Moro Islam Liberation Front-MILF). Ketika menjadi presiden di tahun 1986, Aquino mengeluarkan undang-undang baru yang mendeklarasikan berdirinya wilayah otonom bagi Muslim Mindanao tapi MNLF pecah untuk bersatu dan memperbaharui perjuangan bersenjata demi berdririnya Republik Bangsa Moro yang berdaulat.
Pengangkatan Fidel Ramos sebagai Presiden Philipina di tahun  1992, memberi harapan baru bagi Nur Misuari. Presiden mermbuka negoisasi dengan MNLF tahun 1996. Persetujuan yang ditandatangani dengan MNLF menyatakan bahwa MNLF menjadi badan pengawas atas semua proyek pembangunan ekonomi diseluruh propinsi Mindanao untuk 3 tahun dan Nur Misuari sebagai Gubernur di wilayah itu. Ternyata perjanjian itu terbukti berhasil mengurangi perlawanan bersenjata di Mindanao. Pemecahan yang paling jitu atas problem bangsa Moro adalah kemerdekaan penuh lepas dari Philipina dan berdirinya nergara Islam Moro.
Menurut Majul, ada 3 alasan yang menjadi Moro berintegrasi secara penuh kepada pemerintah Republik Philipina. Pertama, Bangsa Moro sulit menghargai undang-undang nasional, khususnya yang mengenai hubungan pribadi dan keluarga, karena jelas undang-undang itu berasal dari Barat dan Katolik. Kedua, sistem sekolah yang menetapkan kurikulum yang sama, bagi setiap anak Philipina di semua daerah tanpa membedakan perbedaan agama dan kultur, membuat bangsa Moro malas untuk belajar di sekolah. Ketiga, Bangsa Moro masih trauma dan kebencian yang mendalam terhadap program pemindahan penduduk yang dilakukan oleh pemerintah Philipina ke wilayah mereka di Mindanao, karena program ini telah merubah posisi mereka dari mayoritas menjadi minoritas hampir di segala bidang kehidupan.  Sumber : http://tugas-makalah.blogspot.com/2012/06/islam-di-philipina.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...