Rabu, 06 Februari 2013

Sekilas Jazirah Arab dan Hukum Islam Indonesia

Oleh: Abdurrahman MBP

Jazirah Arabia adalah sebuah semenanjung terbesar di dunia.[1] Wilayah ini disebut jazirah -berarti pulau- karena dikelilingi oleh lautan pada tiga sisinya, batas di barat daya adalah Laut Merah dan Teluk Aqabah, di bagian tenggara adalah Laut Arab, dan di timur laut adalah Teluk Oman dan Teluk Persia. Secara geografis posisi Jazirah Arab berada pada persimpangan tiga benua, sebelah barat laut merupakan pintu masuk menuju benua Afrika, sebelah timur laut merupakan kunci untuk masuk ke Benua Eropa, dan sebelah timur merupakan pintu benua Asia.
Kondisi internal Jazirah Arabia berupa tanah gersang yang dikelilingi gunung karang dan gurun pasir di sebagian besar wilayahnya. Kondisi ini menjadikannya benteng pertahanan yang kokoh, yang tidak memungkinkan bangsa asing untuk menjajah, mencaplok, atau menguasai wilayahnya. Oleh karena itu, penduduk Jazirah Arab hidup merdeka dan bebas dari segala urusan semenjak zaman dahulu. Sekalipun begitu mereka tetap hidup berdampingan dengan dua imperium besar saat itu, yang serangannya tak mungkin dihalangi andaikata tidak ada benteng pertahanan yang kokoh tersebut.[2]
Berdasarkan letak geografisnya Jazirah Arabia terbagi menjadi tiga bagian sebagai berikut :
1.      Arabia Petrix atau Petraea, yaitu daerah-daerah yang terletak di sebelah Barat Daya Lembah Syiria. Wilayah Arab Petra berpusat di daratan Sinai dan kerajaan Nabasia, dengan ibukota Petra.
2.      Arabia Deserta, yaitu daerah Syiria sendiri. Menurut istilah lain Arab Gurun yang meliputi gurun pasir Suriah-Mesopotamia (Badiyah).
3.      Arabia Felix, yaitu negeri Yaman yang terkenal dengan nama “Bumi Hijau” karena kesuburan tanahnya.
Pembagian tersebut didasarkan atas pembagian wilayah ke dalam tiga kekuatan politik pada abad pertama masehi, yaitu kawasan yang bebas, kawasan yang tunduk pada penguasa Romawi dan kawasan yang berada dalam kendali Persia.[3]
Masyarakat Arab menurut sejarahnya terbagi menjadi dua kelompok besar: Pertama, Arab Ba’idah, yaitu masyarakat Arab yang dahulu menghuni beberapa wilayah Arab yang telah musnah, diantaranya adalah kaum ‘Aad, Tsamud, Thasm, Jadis, Ashab ar-Ra’s dan penduduk Madyan. Kedua, Arab Baqiyah, yaitu orang Arab yang hingga saat ini masih ada, mereka adalah Bani Qathan dan Bani Adnan. Bani Qathan adalah Arab ‘Aribah yang mendiami wilayah selatan. Sedangkan Bani Adnan, mereka adalah orang-orang Arab Musta’ribah, yakni orang-orang Arab yang mengambil bahasa Arab sebagai bahasa mereka. Mereka adalah orang-orang Arab bagian utara, yang tempat tinggalnya di Makkah al-Mukarramah. Merekalah yang menjadi nenek moyang bagi masyarakat Arab, termasuk suku Quraisy yang mendiami wilayah Mekkah.
Berdasarkan karakteristik wilayahnya, penduduk Jazirah Arab terbagi menjadi dua  kelompok utama:
1.   Orang-orang Badui: Pola kehidupan mereka berpindah-pindah (nomaden). mereka enggan mengikuti pengaruh dan dan cara hidup asing, memilih untuk bertahan di tenda bulu domba atau bulu onta, aktivitas mereka adalah bertani dan berdagang. Cara berpakaian orang Badui sangat sederhana yaitu Jubah panjang (tsaub) yang dilengkapi dengan ikat pinggang dan busana atas (‘aba) yang modelnya telah terkenal luas.
2.   Masyarakt perkotaan. Mereka adalah masyarakat yang tinggal di beberapa kota di Jazirah Arab, misalnya Mekkah, Madinah dan Thaif. Pola kehidupan mereka lebih teratur dengan pembagian kerja yang jelas.
Secara umum masyarakat Arab hidup secara komunal dalam suku-suku yang umumnya terbentuk berdasarkan pertalian darah. Pola hidup komunal menjadikan seseorang bisa bertahan hidup dengan bantuan dari anggota sukunya. Suku adalah pelindung bagi eksistensi seseorang, jika seseorang terbunuh oleh suku yang lain maka suku orang tersebut akan melakukan tindakan menuntut balas. Ini akhirnya menciptakan lingkaran setan pembunuhan, sehingga berakibat pada terjadinya konflik dan peperangan antar suku yang tidak pernah berhenti. Berbagai peperangan ini kemudian membentuk sifat-sifat ksatria berupa harga diri, tolong menolong, saling melindungi sesame anggota suku.[4]
Pada dasarnya masyarakat Arab mempunyai system hukum tersendiri, mereka memiliki berbagai aturan yang menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Aturan-aturan tersebut meliputi bidang hukum perdata dan hukum pidana. Dalam hukum perdata misalnya berlaku hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Praktek perkawinan yang dilakukan masyarakat Arab membolehkan seorang pria menikahi wanita sebanyak-banyaknya tanpa maskawin dan tanpa batas maksimum. Aturan sumpah di kalangan mereka sudah dikenal. Mereka telah memiliki aturan talak, dzihar dan nikah dengan meminang wanita kepada walinya serta pelamar memberikan mas kawinnya, kemudian wanita itu dibawa suaminya.
Sementara dalam masalah pembagian harta waris wanita tidak mempunyai hak menerima bagian warisan harta orang tua atau keluarganya yang meninggal, dalam beberapa kasus seorang wanita dianggap sebagai harta yang boleh diwariskan. Pembagian waris ini didasarkan pada kontribusi masing-masing anggota keluarga, seorang anak laki-laki akan mendapatkan harta warisan karena ia berkontribusi dalam mencari harta, berperang, dan membela kepentingan suku. Sementara seorang wanita tidak diberikan harta warisan karena tidak adanya kontirbusi bagi kabilahnya.
Dalam bidang Pidana masyarakat Arab mengenal istilah qishas dan diyat[5] yaitu pembalasan bagi seseorang yang membunuh dengan sengaja, “Pembunuhan itu melenyapkan pembunuhan”, diyat itu dikenakan bagi orang yang berakal ketika dalam kesalahan.” Namun aturan-aturan tersebut bukanlah undang-undang tertulis yang dijadikan referensi dalam menyelesaikan perselisihan dan memelihara hak-hak mereka, tapi hanya ketetapan yang sedikit sekali pemanfaatannya, tidak cukup dalam merealisasikan aturan dan tidak dapat mencegah si pembuat kerusakan.
Kondisi perekonomian masyarakat Arab beragam, dari mulai menjadi petani, penggembala hingga menjadi pedagang. Perdagangan menjadi urat nadi perekonomian pada masyarakat Arab yang tinggal di sekitar Mekkah. Bukti yang menunjukkan bahwa bangsa Arab khususnya suku Quraisy telah lama melakukan perdagangan adalah sebagaimana digambarkan al-Qur’an:
لإِيلاَفِ قُرَيْشٍ {1} إِيلاَفِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَآءِ وَالصَّيْفِ {2} فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ {3} الَّذِي أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍ وَءَامَنَهُم مِّنْ خَوْفٍ {4}
Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Kakbah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan. QS. Al-Quraisy: 1-4.
Ibnu Abbas dalam kitab tafsirnya menyebutkan bahwa ayat yang berbunyi “(yaitu) kebiasaan mereka berpergian di musim dingin dan musim panas” adalah orang Quraisy yang biasa mengadakan perjalanan terutama untuk berdagang ke negeri Syam pada musim panas dan ke negeri Yaman pada musim dingin. Dalam perjalanan itu mereka mendapat jaminan keamanan dari penguasa negeri-negeri yang dilaluinya. Ini adalah nikmat yang besar dari Allah ta’ala kepada mereka. Oleh karena itu sewajarnyalah mereka menyembah Allah yang telah memberikan nikmat itu kepada mereka.[6]
Pola-pola perdagangan yang dilakukan oleh masyarakat Arab khususnya Quraisy sebagai pedagang melahirkan berbagai bentuk transaksi perdagangan yang dijadikan pedoman dalam perdagangan mereka, ada akad mudharabah, murabahah, ijarah dan lain sebagainya. Namun dalam faktanya banyak terjadi penyimpangan dalam masyarakat Arab waktu itu seperti menyebarnya praktek riba, jual beli yang mengandung gharar, perjudian yang merajalela dan berbagai penyimpangan ekonomi yang terjadi di antara mereka.
Walaupun demikian dapat disimpulkan bahwa masyarakat Arab pada waktu itu telah memiliki system hukum yang didasarkan kepada adat kebiasaan yang telah disepakati oleh masing-masing kabilah. System hukum adat ini didasarkan kepada pendapat-pendapat anggota suku atau marga dalam komunitas tertentu. Pendapat atau perilaku komunitas tersebut pada akhirnya menjadi sebuah tradisi yang baku pada setiap suku atau ras yang kemudian diberlakukan kembali kepada anggota suku tersebut. Hal ini terbukti dengan analisis Asaf A.A. Fyzee yang mencatat bahwa berbagai pola atau system aturan keluarga seperti perkawinan, ekonomi, sosial dan yang lainnya digunakan dalam menjalankan system kesukuan tersebut.[7]
Di tengah kondisi hukum yang demikian Islam hadir membawa satu prinsip hidup yang membawa kepada kemashlahatn bagi seluruh umat manusia. Tidak hanya dalam masalah aqidah dan keakhiratan, namun Islam juga datang membawa mashlahat dalam bidang kehidupan sehari-hari. Kehadiran hukum Islam tidak serta merta menghapuskan hukum-hukum yang telah ada pada masyarakat Arab. Pola-pola pendekatan dengan memberikan ruang kepada system hukum yang telah ada menjadikan hukum Islam mudah diterima oleh masyarakat Arab. Ada dua fase pola infiltrasi hukum Islam ke dalam masyarakat Arab:
1.   Fase Mekkah, pada fase ini hukum Islam masih dalam taraf penyesuaian dengan hukum Arab. Dakwah Islam sendiri masih difokuskan kepada perbaikan nilai-nilai ketauhidan dan akhlak.  
2.   Fase Madinah, pada fase ini hukum Islam mengalami perkembangan dan penyempurnaan.
Berdasarkan dua fase perkembangan hukum Islam tersebut terdapat beberapa kaidah yang menjadi kunci sukses masuknya hukum Islam ke dalam masyarakat Arab. Beberapa kaidah tersebut adalah:
1.   Adam Al-Kharaj yaitu menghilangkan kesusahan dalam beribadah, misalnya bolehnya berbuka puasa ketika dalam perjalanan, bertayamum karena tidak mendapatkan air untuk bersuci, dan kebolehan mengonsumsi sesuatu yang haram dalam keadaan darurat.  
2.   Taqlil At-Taklif, yaitu menyedikitkan beban. Sifat dari hukum Islam yaitu memberikan keringanan dan mengurangi beban sedikit mungkin.
3.   Tadrij fi Tasyri’ (gradual), yaitu hukum Islam diturunkan secara bertahap. Sebagai contoh dalam masalah keharaman khamr (minuman keras) demikian juga mengenai keharaman riba.[8]   
Seiring dengan perkembangan zaman, Islam tersebar ke berbagai penjuru dunia. Hukum Islam telah sampai ke sebagian besar Asia, Afrika, dan Eropa. Hukum Islam juga telah sampai ke Persia, India, China dan juga Nusantara. Penyebaran hukum Islam ke wilayah-wilayah tersebut bukan hanya dalam hal kepercayaan saja, akan tetapi juga membawa satu system hukum yang tidak bisa dipisahkan dengan nilai-nilai keimanannya.  
Ketika Islam masuk ke Indonesia yang memiliki banyak suku bangsa yang mendiami pulau-pulau di seluruh wilayah Indonesia. Selain beraneka ragamnya suku bangsa dan budaya, kebhinekaan juga terjadi pada sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Setiap suku bangsa memiliki aturan dan norma-norma yang mereka taati sejak zaman dahulu kala. Aturan dan norma ini kemudian dikenal dengan istilah adat istiadat atau dalam pandangan cendekiawan Belanda disebut Hukum Adat (adatrecht).[9]
Kehadiran hukum Islam di tengah masyarakat Indonesia telah memunculkan interaksi hukum antara hukum Islam dan hukum adat. Interaksi ini menghasilkan satu pola dalam bentuk saling mengisi dan mewarnai system hukum di Indonesia. Pada beberapa wilayah seperti Sumatera Barat dan Aceh, pengaruh hukum Islam sangat kuat sehingga hukum Islam menggantikan posisi dari hukum adat yang berlaku sebelumnya. Sementara di wilayah lainnya terjadi akulturasi, dialog dan harmoni antara hukum Islam dan Hukum Adat. harmoni antara kedua system hukum ini memunculkan Theori Receptio In Complexu yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum Islam untuk orang-orang Islam.[10]
Ketika hukum Islam berinteraksi dengan suku Sunda, maka terjadi pula dialog antara kedunaya. Suku Sunda sebagai salah satu suku besar di Indonesia juga memiliki system hukum yang berbeda dengan system hukum lainnya. Mereka memegang teguh pikukuh yang telah diwariskan dari nenek moyangnya. Adanya aturan-aturan adat yang tidak boleh dilanggar adalah system hukum yang sangat dipegang teguh oleh masyarakat Sunda.
Maka ketika hukum Islam bertemu dengan hukum Adat Sunda terjadilah dialog antara keduanya. Dialog ini terjadi didasarkan kepada kedua system hukum yang masing-masing memiliki kaidah-kaidah yang terbuka dengan unsur hukum lainnya. Hukum Adat Sunda sebagaimana hukum adat lainnya memiliki sifat terbuka dan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan di sekitarnya. Keterbukaannya dapat dilihat dari masuknya pengaruh hukum Islam dalam hukum waris adat yang disebut bagian “sepikul segendong”, bagian warisan bagi ahli waris pria dan wanita sebanyak 2:1 .  
Sifat terbuka dan menerima system hukum lainnya juga terdapat dalam system hukum Islam, di mana dalam hukum Islam dikenal sebuah kaidah yaitu  مُحْكَمَةٌ  الْعَادَةُ artinya “Adat itu bisa menjadi hukum”.[11] Salah satu ahli hukum Islam yaitu Abu Hanifah adalah satu di antara fuqaha yang menggunakan adat sebagai pertimbangan dalam menetapkan suatu hukum atau mengeluarkan suatu fatwa. Sementara Imam Syafi’i walaupun tidak secara terbuka menyebutkan Adat sebagai metode ijtihadnya namun pendapat-pendapatnya ketika berada di Mesir (Qaul Jadid) menunjukan penggunaan adat penduduknya sebagai bahan acuan fatwanya.[12]
Realitas yang terjadi di masyarakat khususnya masyarakat Sunda adalah penerimaan mereka terhadap Islam, sehingga muncul istilah Sunda Islam dan Islam Sunda. Namun suku Sunda sendiri pada beberapa wilayah berbeda-beda dalam menerima Islam dan system hukumnya. Corak keagamaan masyarakat Sunda yang tinggal di pesisir utara dan yang berada di pedalaman sangat berbeda. Pola keagamaan masyarakat yang berada di Banten dan di Garut juga berbeda, pola keagamaan di pedalaman cenderung lebih longgar dari pada masyarakat Sunda yang berada di pesisir pantai utara.
Di antara komunitas suku Sunda yang mendiami wilayah bagian pedalaman dan bagian selatan adalah masyarakat Adat Kampung Naga dan Badui Kanekes. Keduanya merupakan suku Sunda yang memiliki karakter sendiri tersendiri dalam menerima hukum Islam. Jika masyarakat Kampung Naga telah menerima Islam sebagai agamanya, maka masyarakat Badui Kanekes sebagian besar belum menerima Islam sebagai kepercayaannya. Namun keduanya memiliki persamaan yaitu mereka masih secara ketat menggunakan hukum adat yang telah mereka dapatkan dari nenek moyangnya. Persamaan lainnya yaitu system hukum adat yang mereka anut secara langsung ataupun tidak langsung telah terpengaruh oleh hukum Islam. Sehingga memahami bagaimana pola-pola penyerapan hukum Islam oleh masyarakat adat Kampung Naga dan badui Kanekes adalah tema yang menarik untuk dijadikan bahan penelitian dan pembahasan


[1] Philip K. Hitti, History of the Arabs, Jakarta : Serambi Ilmu Semesta. 2006, cet ke-1 , hal. 16
[2] Shafiyyurahman Al-Mubarakfury, Ar-Rahiqul Makhtum, Kuwait: Jam’iyyah Ihya At-Turats Al-Islami, 2001, hal. 16.
[3] Philip K. Hitti, History of the Arabs, hal. 54
[4]  Haekal, Muhammad Husain,  Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 2007, hal. 15.
[5] Ali Sodiqin, Anthropologi Al-Qur’an: Model Dialektika Wahyu dan Budaya. Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2008, hal. 108.
[6] Abdullah bin Abbas, Tanwirul Miqbas ‘an tafsir Ibnu Abbas. Beirut : Darul Fikr
[7] Asaf A.A. Fyzee, Outlines of Muhammadan Law, Bombay, India: Oxford University Press. 1948. Hal. 6-10.
[8] Muhammad al-Khudari Beik. Tarikh at-Tasyri‘ al-Islami. Jakarta: Daarul Kutub Al-Islamiyah, 2007. Hal. 17.
[9] Soerojo Wignyodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta : Haji Masagunng, 1990.  hal. 19.
[10] Sajuti Thalib, Receptio a Contrario. Jakarta : Bina Aksara. 1985, hlm. 4.
[11] Al-Suyuthi, Al-Asybah wa al- Nadzhair, Beirut : Daar Al-Kutub al- Araby
[12] Jaih Mubarak, Modifikasi Hukum Islam : Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, Jakarta : Rajagrafindo Persada, tahun 2002. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...