Senin, 11 Februari 2013

Mengenal Kartosuwiryo

Oleh: Wahyudin Dharmalaksana


Prolog: Misteri Kartosoewirjo
Kartosewirjo dinyatakan bersalah, dan divonis mati oleh pengadilan Mahkamah Militer. Tim Oditur menawarkan keinginan kepada terpidana sebelum pelaksanaan eksekusi mati. Kartosoewirjo menjawab “saya ingin melihat Sang Pencipta, untuk melihat hasil kerja”.[1]
Setidaknya ada tiga kejahatan politik yang disangkakan pemerintah kepada Kartosoewirjo. Pertama, memimpin dan mengatur penyerangan dengan maksud hendak merobohkan pemerintahan yang sah. Kedua, memimpin dan mengatur pemberontakan melawan kekuasaan yang telah berdiri dengan sah. Ketiga, memerintahkan melakukan makar pembunuhan terhadap presiden secara berturut-turut. Dalam proses pengadilan itu, Kartosoewirjo membantah tuduhan kedua dan ketiga. Ia mengatakan bahwa tuduhan upaya membunuh Presiden Soekarno hanyalah isapan jempol belaka. Sebuah rekayasa yang disusun untuk menjatuhkan hukuman padanya. Namun, upaya pembelaan Kartosoewirjo kandas.[2]
Mohamad Iskandar menulis, Kartosoewirjo mengajukan grasi kepada Presiden Soekarno. Namun permohonan itu ditolak oleh presiden, sehingga putusan itu pun ditetapkan untuk dilaksanakan.[3] Sarjono putra kandung Kartosoewirjo membantah dan menyatakan bahwa bapak tidak pernah mengajukan grasi. Soekarno mengungkapkan, menandatangani hukuman mati, misalnya, bukanlah satu pekerjaan yang memberi kesenangan kepadaku. Sungguhpun demikian, seorang pemimpin harus bertindak tanpa memikirkan betapapun pahit kenyataan yang dihadapi.[4]
Soekarno, dalam wawancara dengan Cindy Adams, menyebutkan, di tahun 1918 ia (Kartosoewirjo) adalah seorang kawanku yang baik. Kami bekerja bahu-membahu bersama Pak Cokro (HOS. Tjokroaminoto) demi kejayaan tanah air. Di tahun 20-an di Bandung kami tinggal bersama, makan bersama dan mimpi bersama-sama. Tetapi ketika aku bergerak dengan landasan kebangsaan, dia berjuang semata-mata dengan asas Islam.[5]   
Kartosoewirjo memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) yang kemudian dikenal dengan al-Daulatul Islamiyah atau Darul Islam (DI) pada 7 Agustus 1949. Sebelumnya, Qanun Asasi juga berhasil dibuat dan diresmikan pada 27 Agustus 1948.[6] Sesaat setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda pada 19 Desember 1948, Kartosoewirjo langsung mengumumkan “Jihad fi Sabilillah” terhadap Belanda dengan segala kekuatan pasukan Tentara Islam Indonesia (TII). Peristiwa proklamasi NII kemudian diterjemahkan sebagai sebuah bentuk gerakan pemberontakan pemisahan diri dari RI. Pemerintah, dalam hal ini TNI, memandang bahwa berbagai pemberontakan DI/TII, yang dimotori Kartosoewirjo selaku imam, sesuatu yang telah melenceng dari kerangka pergerakan nasional.
Beberapa kajian akademik tentang gerakan DI/TII dan NII bermunculan. Jakcson, 1990, berpendapat dalam proses rekrutmen kekuatannya, DI/NII bertumpu atau memanfaatkan pada struktur patrimonial atau tepatnya bapakisme yang hidup di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa Barat. Van Dijk, 1983, melihat perubahan struktur yang terjadi pasca proklamasi kemerdekaan yang mendorong munculnya DI/TII. Dengel, 1995, berpendapat bahwa penyebab terjadinya pemberontakan DI/NII sangat kompleks, tidak dapat dijelaskan dengan satu faktor saja. Selebihnya, Kartosoewirjo dan DI/TII-nya masih merupakan subjek yang misterius.
 
Sosok Sang Imam: Pendidikan dan Keislaman
Nama lengkapnya adalah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Lahir pada selasa kliwon 7 Februari 1905 di sebuah kota perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur, Cepu. Sebuah kota kecil yang terletak antara Blora dan Bojonegoro.[7] Ayahnya bernama Kartosoewirjo, bekerja sebagai mantri pada kantor yang bertugas melakukan koordinasi penjualan candu.[8] Karena posisi penting ayahnya ini, Kartosoewirjo termasuk salah satu anak negeri yang berkesempatan mengenyam pendidikan modern kolonial Belanda.
Usia 6 tahun Kartosoewirjo masuk Inlandsche School der Tweede Klasse (ISTK), sekolah bumiputera kelas dua di Pamotan, Rembang, Jawa Tengah. Usia 10 tahun ia melanjutkan Hollandsch Inlandsch School (HIS), sekolah bumiputera bahasa Belanda di Rembang. Tahun 1919, saat orang tuanya pindah ke Bojonegoro, dia masuk ke Europeeche Lagere School (ELS), sekolah dasar Eropa. Kemudian di usia 18 tahun ia menjadi mahasiswa Nenderlandsch Indische Artsen School (NIAS) atau sekolah dokter Hindia Belanda di Surabaya tahun 1923.
Pada masa-masa kuliah Kartosoewirjo banyak terlibat dalam aktivitas organisasi dan pergerakan nasional. Tahun 1923 bergabung dengan Jong Java dan tahun 1925 aktif di Jong Islamaiten Bond. Memang menjelang tahun 1910 suasana pergerakan diramaikan oleh munculnya organisasi-organisasi baru dipelopori kalangan terpelajar. Kartosoewirjo dikeluarkan dari sekolah NIAS tahun 1927 karena dianggap terlibat gerakan politik termasuk memiliki buku-buku sosialisme dan komunisme yang didapat dari pamannya Mas Marco Kartodikromo.[9] Kemudian ia tinggal di rumah Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, yang ketika itu menjadi presiden Persatuan Serikat Islam Hindia Timur (kemudian menjadi Partai Serikat Islam Indonesia, PSII). Sebuah partai politik yang pada tahun 1923 mendengungkan “Politik Hijrah”, yakni sikap politik non-kompromi dengan Belanda.[10] Karena bakat dan ambisinya, Kartosoewirjo diangkat menjadi sekretaris pribadi HOS. Tjokroaminoto pada tahun 1927 hingga tahun 1929. HOS. Tjokroaminoto adalah guru politik dan mentor Islamisme Kartosoewirjo.
Tugas sebagai sekretaris pribadi HOS. Tjokroaminoto berakhir tahun 1929 karena sakit dan pindah ke tempat mertuanya di Malangbong, Garut Jawa Barat. Istri Kartosoewirjo adalah Dewi Siti Kalsum (Ibu Wiwiek) anak tokoh PSII Malangbong, Ardiwisastra. Mereka dikaruniai 12 anak.
Kartosoewirjo belajar agama secara intensif pada Notodihardjo selama ia tinggal di Bojonegoro. Notodihardjo merupakan tokoh Islam modern yang dekat dengan pemikiran Muhammadiyah. Tak aneh bila pemikiran modern banyak mewarnai pemikiran Kartosoewirjo. Ia juga belajar Islam dari buku-buku asing, dan disebutkan beberapa sumber bahwa ia juga mendalami Al-Qur’an dan Hadits dari kitab berbahasa Belanda. Kartosoewirjo juga aktif belajar pada banyak ulama dari Jawa Barat, seperti Yunis Anis (Bandung), Joesoef Taudjiri (Tasikmalaya), dan Mustafa Kamil (Tasikmalaya). Namun, ia tak pernah belajar Islam ke luar negeri bahkan tak sempat naik haji.[11]
Pengetahuan keislaman Kartosoewirjo lebih banyak diperoleh secara otodidak dan melalui pergaulannya dengan kaum pergerakan Islam, khususnya HOS. Tjokroaminoto dengan SI-nya. Selama aktivitas dalam organisasi inilah ia berkenalan dengan antara lain Joesoef Taudjiri yang sering disebut-sebut sebagai ulama yang berpengaruh pada sikap religius Kartosoewirjo. Bahkan, ada pula yang menyebutkan bahwa kiyai itulah sebenarnya yang harus bertanggung jawab atas kegemaran Kartosoewirjo pada mistik, yang tercermin antara lain dari dua pusakanya yang selalu dibawa-bawanya, yaitu keris Ki Dongkol dan Pedang Ki Rompang. Pendapat ini mungkin saja benar, namun mungkin saja tidak tepat jika dikaitkan pada data-data faktual yang mulai terungkap yang menunjukan sepak terjang kiyai itu sama sekali tidak menunjukan sebagai sufi, melainkan sebagai Islam reformis, yang disebut oleh Gobee (Adviseur voor Inlandse Zaken) sebagai “kiyai nasionalis”.[12]  
Sejumlah fakta menunjukan bahwa untuk mempengaruhi agar masyarakat Jawa Barat mengikuti tindakannya, Kartosoewirjo tidak semata-mata memanfaatkan budaya Islam semata, melainkan juga budaya lainnya yang hidup di masyarakat, termasuk budaya sinkretisme.[13] Kendati Kartosoewirjo dikenal sebagai pemimpin Islam, namun sesungguhnya ia tidak terlalu Islami. Ia berasal dari keluarga priyai feodal yang cenderung abangan.[14]


[1] Demikian ungkap Sarjono, putra bungsu Kartosoewirjo, dalam acara Diskusi dan Bedah Buku “Hari Terakhir Kartosoewirjo: 81 Foto Eksekusi Imam DI/TII” di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung 11 Nopember 2012.
[2] Kartosoewirjo didakwa melanggar pasal-pasal berlapis yaitu pasal 107 ayat 2, 108 ayat 2 dan junto pasal 55 KUHP, junto pasal 2 PENPRES No. 5 tahun 1959 yang dimuat dalam Lembaran Negara No. 80 tahun 1959. Fadli Zon, Hari Terakhir Kartosoewirjo: 81 Foto Eksekusi Imam DI/TII, Cet. II (Jakarta: Fadli Zon Library, 2012), h. 13.
[3] Mohammad Iskandar, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Penghujung Perjalanan, pengantar dalam Fadli Zon, h. 24.
[4] Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, edisi revisi (Jakarta: Media Presindo, 2012), h. 328.
[5] Ibid.
[6] SESDAM VI/SLW, Siliwangi dari Masa ke Masa (Bandung: Fakta Mahyuma, 1968), h. 508.
[7] Pinardi, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (Jakarta: PT Badan Penerbit Aryaguna, 1964), h. 20. Cornelis van Dijk, Darul Islam (Jakarta: Grafitipers, 1983), h. 11. Ia memiliki kakak laki-laki yang aktif memimpin Serikat Buruh Kereta Api tahun 20-an, dan seorang kakak perempuan di Surakarta yang pada tahun 50-an hidup dengan keguyuban.
[8]  Kartosoewirjo bukanlah orang yang fanatik atau anti-Islam, melainkan warga biasa saja, yang menyerahkan kehidupan anak-anaknya pada perkembangan zaman yang ada. Profesi sebagai pedagang candu diangkat menjadi pegawai oleh pemerintah kolonial Belanda di bidang distribusi perdagangan candu yang dikontrol oleh pemerintah. Fadli Zon, Op. Cit., h. 14.
[9] Ibid., h. 9.
[10] Tjokroaminoto merupakan kiblat kelompok pergerakan nasional. Sikap dan pemikirannya mampu membangkitkan semangat rakyat Indonesia untuk bangkit dan bergerak. Julukan “Raja Jawa Tak Bermahkota” pun dilekatkan Belanda atas dirinya. Sebagai komitmen untuk mempertahankan politik hijrah, tahun 1927 HOS. Tjokroaminoto mengeluarkan Muhammadiyah dari PSII yang kurang setuju terhadap sikap politik hijrah.
[11] Fadli Zon, Op. Cit., h. 10.
[12] Mohammad Iskandar, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Penghujung Perjalanan, pengantar dalam Fadli Zon, Op. Cit., h. 16.
[13] Ibid. h. 18.
[14] TEMPO edisi 16-22 Agustus 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...